Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 02 Juli 2016

Tanggal 27 Ramadhan, Wahyu Lailatul Qodar, dan Naskah Babad Kalibening





Sumber Gambar: Koleksi Musium Waayang, Banyumas.
Para mistikus Jawa punya tradisi unik cara menyambut tanggal 27 Ramadhan atau bulan Puasa. Mereka menyambutnya dengan ritual yang dimaksudkan untuk mendapatkan anugerah Yang Maha Kuasa yang disebut dengan wahyu lailatul qodar. Ternyata tanggal 27 Puasa bagi para mistikus Jawa memiliki nilai sakral yang penting.

Dalam sebuah kitab Primbon Jawa dari sebuah penerbit di Solo, disebutkan, jika seseorang ingin memperoleh wahyu lailatul qodar, dia harus menjalani puasa selama bulan Ramadhan. Pada akhir bulan Puasa diharuskan melakukan laku pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan dengan istri, dan tidak tidur selama sehari semalam. Pada malam pati geni dia juga harus membaca rapal agar dimudahkan untuk mendapatkan wahyu lailatul qodar.  Rapal yang harus dibaca berasal dari surat Inna Anzalnahu ( Q.S. 97 ), tetapi yang diucapkan dengan lidah Jawa tanpa tajwid. Diutamakan dibaca sebanyak-banyaknya pada malam tanggal 27 Pasa. Laku demikian dalam tradisi mistikus Jawa disebut tirakat.

Jika dalam laku tirakat dia mendapat anugerah Yang Maha Kuasa, menurut primbon tersebut, maka dia akan bisa melihat wahyu lailatul qodar dalam bentuk cahaya indah sekali yang akan mendatangi dirinya. Barang siapa mendapat anugerah Yang Maha Kuasa sehingga dia didatangi wahyu lailatul qodar, maka apa yang menjadi hajatnya, terutama yang berkaitan dengan jabatan, karir, rejeki, dan keinginan menjadi sakti akan terkabul. Konon, laku atau tuntunan mencari wahyu lailatur qodar seperti dilukiskan dalam kitab primbon tersebut, berasal dari petunjuk Kanjeng Sunan Kalijaga.

Para raja Pajang dan Mataram pada masa lalu, banyak dikisahkan gemar melakukan berbagai macam laku seperti yang ditunjukkan dalam kitab primbon tersebut. Serat Wedatama mengungkapkan laku tirakat yang dilakukan Senapati yang bercita-cita menjadi Raja Mataram. Joko Tingkir dalam Babad Pajang juga dilukiskan gemar melakukan tirakat dengan mendatangi makam-makam keramat untuk mencari wahyu kedaton. Kurang jelas apakah para mistikus Jawa pada jaman sekarang ini, masih ada yang tertarik mengikuti laku tirakat sebagaimana petunjuk dalam kitab primbon tersebut?

Bagi para raja Jawa, paling tidak para raja Pajang dan Mataram, malam tanggal 27 Pasa adalah  malam istimewa, sehingga banyak para raja yang mengkhususkan diri pada malam itu untuk melakukan tirakat, dengan harapan agar mendapatkan anugerah wahyu lailatul qodar. Tujuannya bagi para raja yang sudah berkuasa ialah agar tahta kerajaan yang didudukinya tidak lepas dari dirinya atau keturunannya.

Adanya malam lailatul qodar, disebutkan dengan jelas dan terang dalam Al Qur’an ( Q.S 97 ) dan dalam sejumlah hadist Nabi saw. Dengan demikian adanya malam lailatul qodar, memang bersumber dari ajaran Islam. Nabi saw sendiri pernah menyuruh umatnya untuk mencari malam lailatur qodar pada sepuluh hari terakhir. Tetapi Nabi saw sendiri tidak pernah menunjukkan tanggal yang tepat pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, malam tanggal berapa yang merupakan malam lailatul qodar. Hanya beberapa Sahabat Nabi saw, antara lain Ubay Ibnu Kaab dan Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa malam laiatul qodar bertepatan dengan malam tanggal 27 Ramadhan.

Karena itu dengan mudah dapat kita simpulkan bahwa tradisi mencari wahyu lailatul qodar pada malam tanggal 27 Puasa yang dilakukan para mistikus raja Jawa, sejalan dengan pandangan para sahabat Nabi saw. Informasi buku primbon Jawa yang menyebutkan tanggal 27 Pasa sebagai malam lailatul qodar berasal dari Sunan Kalijaga, dapat dibenarkan. Tetapi tatacara laku ritual yang dipraktekkan para mistikus itu, bukanlah tuntunan Sunan Kalijaga. Tatacara laku tirakat itu diadopsi dari kepercayaan jaman pra Islam di Jawa yang masih tetap dipertahankan dengan dalih mempertahankan tradisi warisan leluhur dan nenek moyang. Istilah jaman sekarang yang diterapkan secara salah kaprah mungkin adalah lokal wisdom, alias kearifan lokal.

Perlu pula dicacat para mistikus raja Pajang, Mataram, dan raja Jawa lainnya, menghormati bulan Ramadhan yang dianggapnya sebagai bulan suci dengan tidak pernah melakukan ziarah kubur ke makam para leluhur mereka pada bulan Puasa. Demikian pula para Bupati bawahan Pajang, Mataram, dan empat kerajaan pecahan Mataram, tidak pernah melakukan ziarah kubur pada bulan Puasa. Tradisi Islam Kejawen, juga tidak mengenal tradisi ziarah kubur pada bulan Puasa. Tradisi ziarah kubur pada bulan Puasa juga tidak dikenal para bupati Kabupaten Banyumas yang sempat menjadi kadipaten bawahan Pajang, Mataram, dan Kasunanan Surakarta. Tradisi mereka melakukan ziarah kubur pada umumnya dilakukan pada bulan Ruwah, yang dikenal dengan ritus sadranan.

Tradisi akhir Ramadhan yang dilakukan para mistikus raja Jawa dan calon raja Jawa, adalah begadang semalam suntuk pada malam tanggal 27 Pasa untuk mendapatkan wahyu lailatul qodar. Bagi raja yang sudah berkuasa, tirakat pada malam 27 Pasa dimaksudkan agar tahta yang didudukinya tidak lepas, dan wahyu lailatul qodar yang dipercaya telah ada pada dirinya, tidak pergi. Bagi calon raja agar mendapat perkenan menduduki tahta yang diinginkannya.

Dengan adanya tradisi para raja kerajaan Islam penerus Demak melakukan tirakat pada malam tanggal 27 Pasa, kecil kemungkinan Jaka Kahiman, Bupati Banyumas, pernah menghadap Raja Pajang pada tanggal 27 Pasa 1571 M, diterima sowan, lalu diangkat sebagai Adipati Wirasaba VII menggantikan mertuanya, Adipati Wirasaba VI yang telah wafat.

Tanggal 27 Ramadan dalam Babad Kalibening

Tanggal 27 Ramadahan atau Pasa sebagai data sejarah muncul dalam naskah babad Kalibening temuan Pof.Dr.Sugeng Priyadi, M.Hum, seorang ahli ilmu pendidikan sejarah yang menekuni berbagai versi kitab babad Banyumas. Mari kita ikuti bagaimana Sugeng Priyadi dalam buku Hari Jadi Kabupaten Banyumas 22 Pebruari 1571, sampai pada kesimpulan bahwa tanggal 27 Pasa 978 H, yang menurutnya bertepatan dengan tanggal 22 Pebruari 1571 M, telah terjadi persitiwa sejarah pengangkatan Joko Kahiman oleh Raja Pajang menjadi Adipati Wirasaba VII.

Sugeng Priyadi menjelaskan asal usul, pemilik, deskripsi, dan data  tanggal 27 Ramadhan atau 27 Pasa yang ada dalam naskah babad Kalibening, serta kondisi naskah yang menyedihkan, karena sebagian rusak dan halamannya banyak yang hilang.

“Naskah merupakan koleksi Sanmuhadi, juru kunci makam Kalibening, desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas. Naskah setebal 60 halaman memakai kertas dluwang berwarna kuning berukuran 11X16 cm…….Ada beberapa halaman naskah yang hilang, baik di depan, tengah, maupun belakang naskah….

“…Dua halaman yang hilang antara halaman 41 dan 42, mungkin menyebut tokoh Adipati Mrapat, (Bagus Mangun atau Jaka Kahiman) mengirim upeti ke Pajang pada tanggal 27 bulan Ramadhan (Rabu Sore) dan kemudian diangkat sebagai Adipati Wirasaba. Tampaknya, kedua persitiwa tersebut sedang dikenang oleh tokoh utama kula (=Adipati Mrapat) “

Sugeng Priaydi menganggap tanggal 27 Ramadhan yang tercantum dalam naskah Kalibening itu penting, karena tanggal yang menurut para mistikus Jawa adalah tanggal turunnya wahyu lailatul qodar, telah terjadi peristiwa pengangkatan Adipati Mrapat (Joko Kahiman) sebagai Adipati Wirasaba oleh Raja Pajang. Tetapi peristiwa itu tidak ditemukan dalam naskah Kalibening, karena naskah kalibening kondisinya tidak utuh lagi, dan ada sejumlah halaman yang hilang. Termasuk halaman yang hilang, adalah halaman yang mungkin memuat informasi pengangkatan Joko Kahiman oleh Raja Pajang pada tanggal 27 Ramadhan.

Jadi, menurut pengakuan Sugeng Priyadi sendiri, pengangkatan Jaka Kahiman oleh Raja Pajang pada tanggal 27 Pasa, itu belum merupakan kepastian, baru merupakan kemungkinan. Dan kemungkinan itu pun sebenarnya kemungkinan yang amat kecil, jika orang tahu tradisi dan adat istiadat kraton Pajang dalam menghadapi akhir bulan Ramadhan. Demikianlah Sugeng Priyadi melalui naskah Kalebening yang ditelaahnya sebenarnya belum sampai pada kesimpulan yang meyakinkah, bahwa pada tanggal 27 Ramadhan, Joko Kahiman diangkat menjadi Adipati Wirasaba VII oleh Raja Pajang. Sebab, data sejarah yang demikian sama sekali tidak ditemukan dalam naskah Kalibening. Kesimpulan hasil penelitian dan telaahnya, baru sampai pada taraf mungkin, barangkali, bisa jadi, dan istilah-istilah lainnya yang menunjukkan tiadanya kepastian.

Mereka yang pernah mengikuti mata kuliah metode penelitian, mungkin masih ingat tata cara atau kaidah dalam menggunakan kata-kata untuk menyusun kalimat dan alinea hasil penelitian. Antara lain harus dihindari kata-kata yang menimbulkan ketidakpastian, seperti kata mungkin, barangkali, rupanya, agaknya, tampaknya, bisa jadi, dan kata lain sebangsanya. Hasil penelitian adalah karya ilmiyah, dan setiap karya ilmiyah menuntut adanya kepastian. Itulah sebabnya kata-kata yang tidak menunjukkan ketidakpastian harus dihindari, kecuali bagi sebuah penelitian yang sifatnya abal-abal alias tidak berkualitas.

Sekalipun Ketua Pansus Hari Jadi Kabupaten Banyumas 2015, Bambang Pudjianto, BE, dengan gagah dalam laporannya di depan Sidang DPRD Kab.Banyumas, menyebutkan bahwa telah dilakukan penelitian secara mendalam terhadap naskah Kalibening, ternyata pernyataan tersebut tidak terbukti dalam kenyataan.

Dari kutipan hasil penelitian Sugeng Priyadi di atas jelas bahwa proses penelitian belum selesai, karena Sugeng Priyadi masih menggunakan kata mungkin dan tampaknya.

Kaidah dalam metode penelitian, bila masih digunakan kata mungkin dan tampaknya, berarti masih ada premis atau anggapan dasar yang masih harus dibuktikan Sugeng Priyadi sebagai peneliti. Premis yang dimaksud adalah bunyi kalimat yang merupakan kata kunci yang harus dibuktikan melalui penelitian yang berbunyi sebagai berikut, “Adipati Mrapat, (Bagus Mangun atau Jaka Kahiman) mengirim upeti ke Pajang pada tanggal 27 bulan Ramadhan (Rabu Sore) dan kemudian diangkat sebagai Adipati Wirasaba.”  

Premis itu sama sekali tidak tercantum dalam naskah Kalibening, karena menurut Sugeng Priyadi premis itu tercantum pada dua halaman naskah Kalibening yang hilang.

Bagaimana mungkin premis yang ada pada halaman yang hilang, tiba-tiba bisa muncul menjadi sebuah kesimpulan hasil penelitian?

Orang tidak perlu harus menjadi seorang pofesor atau peneliti senior, untuk menyimpulkan bahwa naskah Kalibening yang dalam kondisi rusak berat, tidak lengkap, dan ada halaman yang hilang, adalah kurang layak dan kurang memenuhi syarat dijadikan dokumen sumber penelitian sejarah yang bekerja dengan kaidah ilmiyah dan rasional.

Ketua Pansus nampaknya juga hanya membebek saja tanpa bersikap kritis terhadap hasil penelitian Sugeng Priyadi yang belum sepenuhnya tuntas. Alih-alih bersikap kritis, yang dikemukakan malah usaha untuk melindungi naskah Kalibening dari jangkauan publik, peminat sejarah, dan peneliti lainnya untuk membuka isi naskah Kalibening secara lebih transparan. Dalam laporannya, Ketua Pansus masih sempat menyampaikan sebuah kalimat yang berbau mistik, “Sumber naskah Kalibening memang tergolong naskah sakral dan tidak sembarang waktu boleh dibuka dan dibaca.”

Mungkin di seluruh dunia hanya di Kabupaten Banyumas ada Hari Jadi didasarkan pada dokumen sunber yang halamannya banyak yang rusak, hilang, disakralkan, dan tidak sembarang waktu boleh di baca dan dibuka. Jangan-jangan juga tidak sembarang orang dibolehkan untuk membacanya.  

Jika Ketua Panitia bekerja secara profesinal, mestinya dia mengusahakan agar naskah Kalibening bisa menjadi milik publik, diterjemahkan, dan diterbitkan, sehingga isi naskah dapat diketahui secara transparan oleh para peminat dan para calon peneliti sejarah Banyumas lainnya. Sayang itu tidak terjadi, sehingga isi naskah Kalibening hanya menjadi monopoli Sugeng Priyadi saja, dan Sanmulhadi, si pemilik naskah. Dan Sugeng Priyadi telah bertindak sebagai Sang Juru Tafsir Tunggal. Sebuah posisi yang tidak lazim dikalangan akademisi dan masyarakat ilmiyah. Tetapi memang sangat lazim dikalangan para mistikus dan masyarkat tradisional pra-ilmiyah. Apakah masyarat Banyumas dijaman internet ini masih bercorak tradisonal?  Seharusnya tidak, jika dilihat banyaknya lembaga pendidikan tinggi di wilayah Banyumas.

Benar tanggal 27 Puasa tercantum dalam naskah Kalibening. Tetapi tidak ada satu kalimatpun dalam naskah Kalibening itu yang menyebutkan bahwa pada tanggal 27 Ramadhan, Raja Pajang mengangkat Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Juga peristiwa yang sangat diharapkan Sugeng Priyadi itu, tidak mungkin ditemukan dalam halaman naskah yang hilang. Sebab, memang tidak ada pengangkatan Joko Kahiman oleh Raja Pajang pada tanggl 27 Ramadhan 978 H.

Inilah aline pendek dalam naskah Kalibening yang dimuat dalam  buku Sugeng Priyadi, “Hari Jadi Kabupaten Banyumas tanggal 22 Pebruari 1571”, yang mencantumkan tanggal 27 Pasa.  

“….penget gen kula nyanggi suguh tuwan. Tuwan rencangipun, awit bulan(?) denyangi ..Pajang sebert(y)angga 3 di(n)ten ta ingkang rama 27 wulan Puasa di(n)ten Rebo sonten. Pajang mingak minguk ling wong ngarunge sapucung. Wataking nagara, manungsa kabektan name. Raning sala(?) pratela yen me..( halaman 42)

Saya yakin ahli sejarah purbakala dan epigrafi sekualitas Husen Jayadiningrat dan Purbocaroko, jika disodori teks satu alinea yang terpotong-potong itu, akan mengalami kesulitan untuk bisa mengerti apa maksud alinea tersebut. Sekalipun demikian alinea yang penuh teka-teki itu menampilkan tiga tokoh, yaitu  tokoh kula, tokoh tuwan, dan tokoh ingkang rama. Siapakah tokoh kula, tokoh tuwan, dan tokoh ingkang rama yang bisa dianalisa secara filologi itu?

Sugeng Priyadi selaku peneliti menafsirkan bahwa tokoh kula adalah  tokoh Joko Kahiman yang sedang berkunjung ke Pajang dalam rangka menyampaikan upeti. Sugeng Priyadi tidak menjelaskan siapa tokoh Tuwan dalam teks tersebut? Juga tidak dijelaskan siapakah tokoh Ingkang Rama? Tetapi Ketua Pansus Bambang Pudjiono, BE, dalam laporannya menyebut bahwa Ingkang rama adalah “Sang Mertua”. Lalu siapakah tokoh tuwan? Juga tak dijelaskan.  Yang jelas baik Sugeng Priyadi maupun Ketua Pansus sama-sama keliru menafsirkan dan menyimpulkan bahwa pada tanggal 27 Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 22 Pebruari 1571 M, telah terjadi pengangkatan Joko Kahiman menjadi Adipati Wirasaba VII oleh Raja Pajang..

Sesungguhnya, alinea itu hanya menceriterakan suasan kebatinan tokoh kula yang sedang mengunjungi Pajang dan menjadi bingung, “mingak-minguk ling wong sapucung”. Dia bingung karena mungkin baru pertama kali mengunjungi Keraton Pajang. Mungkinkah tokoh kula yang sedang bingung dan rada bloon itu adalah Jaka Kahiman?  Tokoh kula tidak mungkin Jaka Kahiman. Tokoh Ingkang Rama juga tidak mungkin mertua Jaka Kahiman. Mereka yang paham filologi, seperti MM.Sukarto pasti dengan mudah akan lebih bisa dan lebih tepat menafsirkan dan menjelaskan siapakah tokoh kula, tuwan, dan tokoh  ingkang rama dalam alinea pendek itu.

Adanya kosa kata tuwan, juga penanda waktu, bahwa Naskah Kalibening tidak ditulis pada abad 16 M, seperti diklaim secara sepihak oleh Sugeng Priyadi. Kosa kata tuwan, jelas membuktikan bahwa Naskah Kalibening bukan naskah tua, tetapi naskah yang ditulis pada pertengahan abad ke-19 M, yaitu pada masa ketika wilayah Banyumas sudah jatuh dibawah Pemerintah Hindia Belanda. Masih banyak bukti verifikasi intern yang membuktikan bahwa Naskah Kalibening bukan dari abad ke -16 M. Tetapi sebuah naskah yang ditulis pada abad ke-19 M. Jadi naskah itu seusia dengan naskah babad Kranji Kedungwoeloeh,dan naskah babad Banyumas karya Patih Wirjaatmadja.

Dalam laporannya, Ketua Panitia Pansus Bambang Pudjono,BE, selain menyinggung kesakralan naskah Kalibening dengan banyak halamannya yang rusak, juga menyinggung Sukarto sebagai peneliti Hari Jadi Kabupaten Banyumas yang menghasilkan Perda No.2/1990 yang telah dicabut yang dinilainya kurang cermat dan tergesa-gesa. “Sumber naskah Kalibening memang tergolong naskah sakral dan tidak sembarang waktu boleh dibuka dan dibaca. Penelitian yang tergesa-gesa tentu saja tidak memungkinkan Soekarto untuk membaca teks tersebut, apalagi teks tersebut termasuk sulit bacaannya karena banyak tulisannya yang rusak dan tidak terbaca, bahkan beberapa halaman dimungkinkan telah lenyap,” jelas Ketua Pansus dalam laporannya.

Sebenarnya kalau MM. Sukarto terkesan tergesa-gesa dan mengabaikan Naskah Kalibening, bukan karena MM. Sukarto bekerja kurang teliti dan bekerja tergesa-gesa. Tapi justru karena dia seorang profesional yang memilih dokumen sumber berupa aneka macam versi babad Banyumas yang berhasil dikumpulkan anggota Pansus Hari Jadi 1989 melalui metode sampling. Hasilnya Serat Babad ISSB menjadi dokumen sumber penelitiannya. Sebuah pilihan yang cerdas dan tepat.

Sukarto juga seorang ahli filologi yang menguasai dengan baik Babad Tanah Jawi, sehingga tahu bahwa di Banyumas tidak mungkin ada Naskah Babad yang berusia lebih tua dari Babad Tanah Jawi, yang ditulis pada abad ke -18 M. Babad Tanah Jawi adalah kitab babad yang menjadi induk ,panduan, dan inspirasi bagi hampir semua kitab babad di tanah Jawa. Tidak terkecuali kitab-kitab babad  Banyumas.

Kalau toh naskah Kalibening disodorkan pada Sukarto, dapat dipastikan Sukarto akan menilai bahwa Naskah Kalibening tidak layak dijadikan dokumen sumber penelitian Hari Jadi Kabupaten Banyumas, karena jika dilakukan verifikasi ekstern maupun verifikasi intern, memang tidak layak dijadikan dokumen sumber penelitian Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Hanya sebagai sastra babad, memang bermanfaat. Paling tidak menambah deretan versi-versi babad Banyumas yang memang sudah banyak dan bagi para kolektor, menambah perbendaharaan kitab babad yang dikoleksinya. Tetapi kontribusinya terhadap sejarah Hari Jadi Banyumas, tidak terlalu signifikan. Jika tidak percaya, ya silahkan saja diterbitkan dan dipublikasikan, agar bisa ditelaah ramai-ramai.

MM.Sukarto dimusuhi Sugeng Priyadi dan jaringan kelompok pendukung Wirjasandjaja, semata-mata karena MM.Sukarto adalah seorang ahli epigrafi, yang dipandang Sugeng Priyadi dan jaringan kelompok pendukung Wirjasandjaja bisa mengancam tradisi yang sudah puluhan tahun dilaksanaknnya, yaitu tradisi Sadranan di Makam Adipati Mrapat. Kelompok ini menganggap Adipati Mrapat, memerintah Banyumas tahun 1571 – 1582, dan wafat tahun 1582. Sebuah informasi yang berasal dari kombinasi naskah Kranji Kedungwoeloeh dan Pandangan Fruein Mees. Fruin Mees sendiri adalah penulis Sejarah Mataram, orang Belanda. Tetapi karirnya sebagai sejarawan kurang meyakinkan.

MM.Sukarto juga dipandang penghalang bagi Sugeng Priyadi, karena MM.Sukarto sebagai ahli epigrafi dengan mudah akan mematahkan argumen Sugeng Priyadi, baik melalui verifikasi ekstern maupun intern, bahwa Naskah Kalibening yang dibangga-banggakan Sugeng Priyadi, bukan naskah tua dari abad ke-16 M. Tetapi sebuah naskah dari abad ke-19 M yang penulisnya pun dengan mudah bisa ditemukan oleh MM.Sukarto.

Karena itu, pernyataan Sugeng Priyadi dan Ketua Pansus, Bambang Pudjiono bahwa Naskah Kalibening adalah naskah tua dari abad ke 16 M, hanya sebuah khayalan dan isapan jempol, yang belum pernah dibuktikan secara ilmiyah melalui verifikasi ekstern.  Suatu langkah yang seharusnya dilakukan oleh Ketua Pansus, bila memang Ketua Pansus mau bekerja secara profesionan, netral, demi kebenaran ilmiyah dan sedang tidak memperjuangkan kelompok kepentingan. Langkah profesional yang bisa diambil antara lain melakukan verifikasi ektern naskah Kalibening lewat lembaga yang netral. Bukan menerima apa adanya hasil penelitian yang belum pernah diuji diforum ilmiyah. Atau malah ikut menyakralkan naskah Kalibening.

Memang dapat diterima akal sehat, bahwa pada tanggal 27 Pasa, ada tiga orang yang menghadap Raja Pajang, salah seorang diantaranya adalah Jaka Kahiman. Juga bisa diterima akal sehat bahwa kehadiran mereka di Pajang dalam rangka menyampaikan upeti. Tetapi perbuatan menyampaikan upeti tidak otomatis menjadi bukti diangkatnya Jaka Kahiman sebagai Adipati Wirasaba oleh Raja Pajang. Sebab penyampaian upeti bisa diwakilkan, seba juga bisa diwakilkan, dan sowan untuk menghadiri Garebeg Syawal, juga bisa diwakilkan. Yang tidak bisa diwakilkan tanpa alasan yang jelas adalah Pasowanan Agung Garebeg Maulud.

Naskah Kalibening juga masih menyisakan masalah, yang merupakan kelemahan yang menyolok sehingga tidak layak dijadikan sumber penelitian hari jadi, karena dalam naskah itu, tidak satupun angka tahun yang menyebutkan kehadiran tiga tokoh, yaitu tokoh kula, tuwan, dan ingkang rama di Kraton Pajang. Angka 1571 yang dikemukan Sugeng Priyadi, hanya dicomot asal-asalan tanpa memiliki dasar ilmiyah dari Kitab satunya lagi, yakni Kranji Kedungwoeloeh. Sebuah kitab salinan Wirjasandjaja yang juga bermasalah.

Lagi pula tradisi Raja Pajang dan Mataram, pada malam tanggal 27 Pasa dan esok harinya, adalah hari untuk tirakat menyambut malam lailatul qodar. Pada hari itu mustahil ada kegiatan kenegaraan yang berkaitan dengan pengangkatan seorang bupati bawahan.  Kesimpulan yang ditarik Sugeng Priyadi dan diperkuat oleh Ketua Pansus, bahwa pada tanggal 27 Ramadhan, telah terjadi pengangkatan Joko Kaiman oleh Raja Pajang menjadi Adipati Wirasaba, jelas ahistoris, tak memiliki landasan ilmiyah yang rasional. 

Tetapi bagi para mistikus bisa jadi memang tidak ada hal yang tidak mungkin. Bisa jadi yang dimaksud dengan pengangkatan Joko Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan, adalah pengangkatan yang bersifat mistik. Jaka Kahiman pada tanggal 27 Ramadhan itu, ketika tengah berada di Pajang, dianggap telah mendapat anugerah Yang Maha Kuasa, yakni wahyu lailatul qodar, yang berarti pengangkatan Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba. Jadi, bukan diangkat oleh Adipati Pajang. Tetapi langsung diangkat oleh Yang Maha Kuasa, Allah SWT.

Wajar jika sebuah sumber di Banyumas menyebutkan, bahwa tradisi memperingati tanggal 27 Ramadhan sebagai tanggal diangkatnya Joko Kahiman sebagai Adipati Wirasaba ( Atau Banyumas?) secara rutin sudah dilakukan sejak tahun 2007, jauh sebelum Sugeng Priyadi dengan jaringan kelompok Wirjasandjaja berhasil menggusur Perda No.2/1990 dan sukses menggantinya dengan Perda No.10/2015. Kelompok lain yang juga menganggap Adipati Wirasaba VI wafat tahun 1570 dan Adipati Mrapat memimpin Banyumas tahun 1571 – 1582 M, wafat tahun 1582  adalah kelompok Sadranan pimpinan dr. Sudarmaji.

Kelompok dr.Sudarmaji secara rutin menggelar acara Sadranan yang pelaksanaannya pada bulan Ruwah atau Syakban. Kelompok dr. Sudarmaji  rajin mengadakan ziarah kubur pada bulan Syakban alias Ruwah ke makam Adipati Mrapat, Adipati Banyumas lainnya, dan para leluhur mereka. Kelompok ini jelas mengkuti tradisi Islam Kejawen, yang tatacara ritualnya terus menerus diperbaiki sehingga mendekati tatacara yang diajarkan Rasulullah saw.

Sebaliknya kelompok yang sering memperingati Jumenengan Sang Adipati yang diyakininya bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan acara ziarah ke makam Adipati Mrapat, nampaknya merupakan jaringan kelompok mistikus baru  yang merintis suatu ritual baru, yang menyimpang jauh. Bukan hanya dari tadisi Islam Kejawen. Tetapi lebih-lebih lagi dari tradisi Islam yang tidak pernah mengajarkan ziarah ke makam pada bulan Ramadhan. Sebab ziarah bagi muslim pada bulan Ramadhan adalah masjid. Bukan makam. Sekalipun itu adalah makam tokoh yang dipujanya.

Sejarah bukanlah ilmu mistik. Jika sejarah didekati bukan dengan metode ilmiyah, tetapi didekati dengan logika mistik dan metode mistik, hasilnya memang akan semrawut, kacau balau, dan akan banyak melahirkan keganjilan-keganjilan dan keanehan. Seaneh acara uji nyali yang dulu ramai diminati pemirsa salah satu stasiun tv swasta. Wallahualam.[01-07-20116, bertepatan dengan 27 Ramadhan 1437 H).)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar