Sumber Gambar : Kang Dedi Mulyadi Tweeter.
Konon Pak Bupati jarang menerima tamu
dikantornya. Beliau lebih suka menerima tamu dengan cara lesehan di ruang tamu
rumah dinasnya yang hanya beberapa meter di samping kiri kantor kabupaten.
Bangunan warisan Pemerintah Hindia Belanda dengan cat putih itu, memiliki teras
yang disangga empat tiang persegi panjang. Pada kaki keempat tiang dihiasi
dengan lukisan timbul senjata kujang warna kuning emas. Di kiri kanan jalan
yang menghubungkan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati, berdiri tiang-tiang
yang di atasnya bergelantungan lampu penerangan dengan kap terbuat dari caping
bambu sehingga kelihatan antik.
Ruang tamu rumah Dinas Pak Bupati Purwakarta
berbentuk empat persegi panjang dengan pintu masuk ke ruang dalam yang ada di tengah.
Kelambu dengan corak kotak-kotak hitam putih menjadi penghias pintu masuk ke
ruang dalam yang memiliki lantai lebih rendah dari pada lantai ruang tamu.
Tepat di atas tengah-tengah pintu yang menghubungkan dua kelambu kotak-kotak
hitam putih di kanan dan kiri pintu dipasang topeng raksasa mini dari kayu dengan
wajah merah. Sepintas kilas orang akan mengira itu topeng Bali karena kelambu
kotak-kotak hitam putih mengingatkan orang pada kain kotak hitam putih yang
sering diikutsertakan pada upacara-upacara sesaji di Bali. Mungkin topeng
raksasa berwarna merah itu simbol dari nafsu lauwamah dan sufiah pada diri
manusia yang harus selalu dapat dikendalikan oleh nafsu mutmainah dan fitrah
ketuhanan yang dilambangkan dengan warna putih dan hitam. Bupati H.Dedi
Mulyadi, SH sendiri menafsirkan warna putih sebagai lambang air dan warna hitam
sebagai lambang tanah. Perpaduan air dan tanah, mencerminkan kesuburan,
kemakmuran, dan keberlimpahan. Orang Sunda bilang bumi lemah cai.
Pada dinding kiri ruang tamu terdapat
lukisan timbul berwarna kuning, sebuah lukisan kereta perang dikendarai oleh
seorang ksatria yang sedang menarik busur untuk melepaskan anak panah. Di depan
kereta, seorang sais sibuk mengendalikan kuda yang berlari menarik kereta
perang. Mungkin ksatria yang sedang memanah itu adalah Arjuna dalam kisah
Perang Bharatayudha. Kalau dalam seni pedalangan, lukisan itu
menceriterakan kisah Karno Tanding.
Tampak dalam lukisan kuda-kuda penarik
kereta dengan susah payah sedang bergerak maju. Arjuna tampak sedang menarik
tali busur untuk melepaskan anak panahnya. Dalam Bhagawat Gita dikisahkan,
bahwa Arjuna pada awalnya mengalami kesulitan untuk mengarahkan mata anak panah
pada obyek yang menjadi titik sasaran. Obyek itu dalam pandangan Arjuna selalu
berubah-rubah, sehingga membuat bingung Arjuna. Ketika Arjuna mengeluh karena
tidak bisa berkonsentrasi untuk memanah obyek sasaran dengan tepat, Sri Kresna
memberi nasihat agar Arjuna berkonsentrasi. Ketika Arjuna kembali
berkonsentrasi, Arjuna kembali terkejut karena dia melihat pada obyek yang akan
dipanah di medang perang Kurusetra itu ternyata adalah bayangan sorang ksatria
yang mirip dirinya sendiri, sehingga Arjuna kembali ragu untuk melepaskan anak
panahnya. Sesekali wajah Bhisma dan Drona juga muncul menggantikan bayangan
ksatria yang mirip dirinya itu.
“Bagaimanakah hamba harus berpanah-panahan
dengan Bhisma dan Drona, ya Pembunuh Madhu. Karena keduanya itu mulia. Sebab
terlebih baik jangan membunuh Guru-guru yang maha kuasa itu, walaupun kita
makan nasi dalam dunia yang dipintal ini. Tetapi dari sebab membunuh guru-guru
yang mengingini kesejahteraan itu, termasuk hambalah makanan yang dicemari
darah. Dan hati hamba ini telah dikenai dosa kelemahan.Tiadalah hamba ini hendak
berperang,” Arjuna mengendorkan tali busurnya. Hampir saja Arjuna mogok menolak untuk
berperang.
Kemudian Arjuna memohon pencerahan
kepada Sri Kresna. “Dengan hati yang tiada tetap pada dharma, bertanyalah hamba
kepada tuan. Apakah yang sebenarnya terjadi pada hamba? Katakanlah dengan
terang. Hamba murid tuan. Ajarilah hamba. Inilah permohonan hamba,”
Sri Kresna tersenyum, dan berkata
kepada Arjuna. “Petemuan dengan alam ini, ya Kuntiputra. Telah menimbulkan
perasaan sejuk dan panas, kesukaan dan kedukaan. Kesukaan dan kedukaan dalam
hidup ini akan datang silih berganti. Tanggunglah ia dengan hati tetap, wahai
Tunas Bharata. Semua yang dilahirkan itu akan mati. Dan yang mati pun akan
lahir kembali. Sesungguhnya badan itu mengandung yang baka yang tiada akan
punah. Karena itu janganlah tuan susahkan sesuatu yang tidak mungkin tuan
elakkan itu.”
Selanjutnya Sri Krisna mengatakan
bahwa Arjuna hanya akan dapat mengalahkan musuh-musuhnya hanya apabila dia
lebih dahulu dapat mengalahkan dirinya sendiri. Bayangan yang muncul sebagai kstaria yang
mirip dirinya sendiri setiap kali Arjuna berkonsentrasi untuk memanahnya, itu
tidak lain adalah bayangan dari nafsu dalam dirinya sendiri yang harus lebih
dulu dikalahkan.
Mendengar nasihat Sri Kresna, semangat
Arjuna kembali bangkit. Bayangan obyek yang hendak dipanahnya, kembali tampak
sebagai dirinya sendiri. Tetapi Arjuna yang telah tercerahkan, kini tidak
ragu-ragu lagi. Arjuna pun kembali menarik tali busurnya. Anak panah yang
dilepaskannya melesat bagaikan kilat membunuh lawan-lawannya dalam Perang
Bharatayudha, sekalipun dalam bayangannya musuh yang akan dibunuhnya itu adalah
bayangannya sendiri. Nabi saw dalam salah satu hadistnya juga pernah bersabda,
bahwa jihad yang paling berat adalah jihad melawan diri sendiri. Sesungguhnya
lukisan itu sedang mengajarkan sebuah kearifan yang bersifat universal kepada
siapa saja yang memandangnya.
Setiap tamu yang duduk lesehan di
ruang tamu rumah dinas Bupati Purwakarta itu, dapat dipastikan ketika masih
menunggu tuan rumah, pandangannya akan menyaksikan lukisan dari kisah perang
Barathayudha yang dipajang sebagai hiasan di ruang tamu itu. Mungkin maksud
Bupati H.Dedi Mulyadi,SH memasang lukisan yang diambil dari episode perang
Bharatayudha itu, terkandung pesan simbolik yang ingin disampaikannya. Yaitu bahwa
kemampuan mengendalikan diri dari
keserakahan akan harta, tahta, dan wanita itu penting. Dengan bekal kemampuan
mengendalikan diri, korupsi di birokrasi yang dipimpinnya akan dapat dengan
mudah di atasi. Ya, Pak Bupati bisa jadi secara diam-diam sedang menyampaikan pesan
pentingnya mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel
melalui sebuah lukisan.
Sesungguhnya memaknai simbol-simbol
budaya, bukan perkara mudah karena sifatnya yang subyektif dan relatip. Namun
demikian bagi rakyat, yang penting memang
bukan apa isi dari janji yang dikomunikasikan baik melalui bahasa
simbolik maupun bahasa verbal. Bagi rakyat yang penting adalah pelaksanaan
janji dan program yang dapat langsung dirasakan rakyat banyak. Tampaknya, dalam
mewujudkan janji-janjinya, Bupati yang pernah berpidato mengenalkan budaya
Sunda di forom internasional bergengsi di PBB itu, cukup berhasil.
Tidak lama setelah saya dan teman-teman
dari Bandung dipersilahkan duduk lesehan oleh petugas, dua orang wanita cantik mengenakan jilbab warna hitam, baju atasan
putih dan bagian bawah hitam, membawa beberapa cangkir berisi minuman keluar
dari ruang dalam, menyajikan cangkir-cangkir minuman dan dengan senyum
menghiasi bibirnya mempersilahkan kami untuk menikmatinya. Padahal di depan
kami sudah tersaji makanan kecil dan minuman dalam gelas plastik.
Tak lama kemudian Pak Bupati keluar
langsung menyapa kami dengan senyumannya yang khas. Kali ini dia tampil dengan
pakaian kegemarannya yang telah menjadi ikon dirinya. Bukan warna putih-putih
seperti biasanya. Tetapi warna hitam-hitam. Tampil tanpa alas kaki, penampilan
Bupati yang pada tanggal 13 April 2016 terpilih secara aklamsi menjadi Ketua
DPD Golkar Jawa Barat 2016 – 2020 itu, tampak amat sederhana dan merakyat. Sepintas kilas, tidak banyak orang menduga
bahwa sosok yang tampil sederhana itu adalah orang nomor satu Kabupaten
Purwakarta.
Kepada sejumlah media massa, Pak
Bupati mengaku sebagai penggemar wayang sejak masa kanak-kanak di Subang. Memulai debut politiknya pada usia terbilang
muda. Diawali dengan menjadi anggota DPRD Kabupaten Purwakarta, maka pada tahun
2008 beliau sudah berhasil menduduki kursi Bupati Purwakarta. Pada tahun 2013
terpilih kembali untuk kedua kalinya sampai tahun 2018. H.Dedi Mulyadi,SH
termasuk sosok politisi muda yang berprestasi. Usianya kini baru 45 tahun,
sebab beliau kelahiran tahun 1971. Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten
Purwakarta berkembang menjadi kota budaya yang mencengangkan banyak orang. Pembangunan fisik, sarana jalan,
transportasi, penerangan, obyek wisata, pengobatan dan pendidikan gratis sampai
SMA-SMK, serta santunan kepada warga miskin lima ratus ribu rupiyah/bulan,
hanyalah deretan dari sejumlah prestasi yang berhasil diwujudkannya. Konon Penghasilan Daerah dari Kabupaten yang
memiliki 17 kecamatan dan luas sekitar,
telah mencapai angka 2 trilyun. Padahal bebera tahun sebelumnya penghasilan
daerah baru sekitar 800-900 milyard.
Sebagai politisi, intelektual, dan
budayawan yang pernah dibesarkan lewat
organisasi Islam HMI, pernah menjadi Ketua HMI Purwakarta dan Ketua KAHMI
Purwakarta, tentunya Bupati H.Dedi Mulyadi, SH sangat paham relasi antara Islam
dan kebudayaan. Islam bukanlah agama peribadatan saja. Islam adalah agama yang
mengajarakan sistem nilai dengan dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan
dimensi horisontal. Dimensi vertikal berkaitan dengan soal-soal ritual
peribadatan. Sedang dimensi horisontal berkaitan dengan hablumminannas,
muamalah, dan kebudayaan. Jika pada dimensi vertikal berlaku azas ushul fikih,
yakni segala urusan peribadatan adalah terlarang, kecuali ada perintahNya. Maka
pada dimensi horisontal, habluminnannas, muamalah, dan kebudayaan berlaku azas
ushul fikih, semua hal boleh, kecuali ada larangan dari Nya. Artinya, membangun
dengan basis budaya dan tradis tetap harus dalam bingkai iman dan takwa, agar
senantiasa mendapat maghfirah, rahmat, barokah, dan kasih sayang dari Allah
SWT.
Saya meninggalkan rumah Dinas Bupati,
bersamaan dengan bunyi azan Ashar dari Masjid Agung Purwakarta yang tidak jauh
dari alun-alun. Konon kabarnya,
kadang-kadang Bupati H.Dedi Mulyadi,SH jika sedang tidak sibuk,
menyempatkan diri untuk mengumandangkan azan di Masjid Agung Purwakarta.Dirgahayu
HUT ke 185 dan 48 Purwakarta yang memang Istimewa.Wallahualam.[24-07-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar