Benda Upacara dan Benda Pusaka
Ritual
Jamasan di situs Makam Kalibening Banyumas, merupakan ritual memandikan
benda-benda pusaka koleksi Makam
Kalibening. Sesuai dengan tradisi dan adat, pelakasanaan ritual jamasan biasanya diselenggarakan pada bulan
Maulud, dilaksanakan sebagai bagian dari
ritual peringatan Maulud Nabi yang penyelenggaraannya bertepatan dengan tanggal
12 Mulud tahun Jawa atau 12 Rabiulawal tahun Hijriyah.
Tradisi
lisan menyebutkan bahwa benda-benda pusaka itu milik Mbah Kalibening, seorang
perintis penyebar agama Islam di wilayah Banyumas. Tetapi tradisi memandikan
benda-benda pusaka bukan tradisi Islam. Tradisi itu merupakan tradisi Hinduisme
yang dihidupkan kembali pada jaman Kerajaan Mataram Islam ( 1586 – 1755 M).
Karena itu kecil sekali kemungkinannya, ritual jamasan memandikan benda-benda
pusaka di situs makam Kalibening itu, merupakan tradisi warisan dari Mbah Kalibening sendiri. Dapat
dipastikan ritual Jamasan memandikan benda-benda pusaka itu, baru muncul pada
pertengahan abad ke 19 M, ketika Kabupaten Banyumas dan wilayah Lembah Serayu
lainnya, lepas dari kendali Kraton Surakarta dan beralih menjadi wilayah yang langsung
dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia(1831 M).
Sebenarnya,
apakah yang dimaksud dengan benda-benda pusaka dalam konsep kekuasaan raja Jawa? Memahami makna dan fungsi benda-benda pusaka dalam konsep kekuasaan raja Jawa, sangat
penting. Karena pengetahuan itu akan memudahkan bagi orang yang ingin melacak
sejarah tradisi ritual Jamasan di situs Kalibening, Banyumas.
Benda
pusaka adalah benda-benda warisan leluhur yang dianggap memiliki daya gaib
berupa kekuatan supranatural atau daya sakti. Raja Jawa umumnya memiliki banyak
koleksi benda-benda pusaka. Bentuk benda-benda pusaka pun bisa bermacam-macam, Ada
yang berbentuk tongkat, aneka macam senjata tajam, tempat sirih, dhampar
kencana, payung dan benda-benda pusaka lainnya. Payung yang disebut songsong
pun bermacam-macam. Jenis payung atau songsong yang terkenal adalah songsong
gilap gubeg, songsong bawat dan songsong
agung.
Benda
pusaka paling populer bagi raja Jawa adalah keris yang merupakan senjata untuk perang.
Benda pusaka lainnya yang juga merupakan senjata perlengkapan perang adalah tombak,
panah, pedang, tongkat pemukul atau gada. Bagi raja-raja Kerajaan Sunda, benda
pusaka paling populer yang juga merupakan senjata perlengkapan perang adalah kujang.
Raja
Jawa juga gemar memberikan gelar pada benda-benda pusaka yang dianggap memiliki
nilai kesaktian tinggi. Pada jaman Kerajaan Hindu Jawa, gelar yang diberikan
kepada benda-benda pusaka paling disakralkan adalah Sang Hyang. Pada Jaman Kerajaan Islam
Pajang dan Mataram, gelar benda-benda pusaka adalah Kanjeng Kiyai Ageng. Benda pusaka
dengan gelar Kanjeng Kiai Ageng, sangat dikeramatkan. Karena itu cara menyimpannya pun dilakukan secara
istimewa. Benda Pusaka dengan gelar Kanjeng Kiai Ageng selalu ditempatkan dalam
suatu kamar khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka. Kamar itu berada di suatu bangunan istana raja yang
dinamakan Prabasuyasa. Bangunan
Prabasuyasa merupakan bangunan paling keramat, karena selain terdapat kamar penyimpanan
benda pusaka, juga merupakan tempat
tinggal Sang Raja. Bagi seorang Raja Jawa fungsi benda-benda pusaka
adalah untuk meningkatkan kultus pemujaan kepada Sang Raja sebagai titisan dewa
atau raja-dewa. Dengan benda-benda pusaka itu, Raja Jawa berusaha meningkatkan
kemegahan, kebesaran, kewibawaan, kebahagiaan dan kesaktian.
Selain
benda-benda pusaka seorang raja Jawa juga memiliki benda-benda upacara atau
benda-benda ritual. Benda-benda upacara adalah benda-benda yang biasa
dikeluarkan mengiringi Sang Raja, pada waktu Sang Raja keluar dari kraton. Fungsi
benda-benda upacara, hampir sama dengan benda-benda pusaka, yakni meningkatkan
kultus pemujaan kepada Sang Raja. Hanya cara penggunaannya yang berbeda. Sesuai
dengan namanya, penggunaan benda-benda upacara dilakukan dengan cara mengikutsertakan
benda-benda upacara itu dalam perjalanannya
mengiringi Sang Raja saat Sang Raja keluar kraton untuk berbagai macam
keperluan. Misalnya pada saat ada acara
garebeg atau acara mengunjungi tempat-tempat penting lainnya di luar kraton.
Prof.Dr.Darsiti
Suratman, seorang ahli Sejarah Kraton Jawa, menyebutkan adanya delapan benda
upacara penting. Kedelapan benda upaca itu adalah dua ekor gajah, seekor kijang,
seekor ayam kate, seekor binatang mistik ardawalika, seekor sawunggaling, seekor
banyak dhalang atau angsa dan seekor induk ayam dengan empat ekor anaknya.
Semua benda upacara itu dalam bentuk patung mini agar mudah dibawa mengiringi
Sang Raja.
Menurut
Rouffer, kedelapan benda upacara itu merupakan simbol pemujaan kepada dewa-dewa
Hindu dan dewa-dewa sebelum datangnya agama Hindu. Sawunggaling, misalnya,
disebut sebagai simbol pemujaan kepada Dewa Surya,. Ardawalika, hewan mistik
berkepala garuda, berbadan naga, merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Awan
atau Dewa Indra. Di seluruh dunia timur, simbol ular sering diganti dengan
bentuk simbol naga, kadal, buaya dan binatang merangkak lainnya. Semua binatang
air berkaki empat itu, termasuk naga, merupakan simbol pemujaan kepada awan
sebagai pembawa hujan. Naga dipuja orang Hindu, kadal dan buaya dipuja orang
Melayu dan Polinesia sebelum datangnya agama Hindu. Adapun banyak dhalang atau
angsa besar, merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Brahma. Bahkan di Masjid
Demak ada simbol penyu, yang bisa jadi merupakan sisa-sisa simbol pemujaan kepada
awan warisan leluhur Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak yang merupakan
keturunan etnis China lewat ibunya. Tetapi bisa juga simbol penyu itu merupakan
sisa-sisa pemujaan kepada dewa laut,mengingat Kerajaan Demak adalah kerajaan
maritim.
Pada
jaman Kerajaan Islam Demak, ritual raja keluar istana diiringi benda-benda
upacara menghilang. Tetapi pada jaman Kerajaan Mataram Islam, ritual warisan
kerajaan-kerajaan Hindu itu, dihidupkan kembali. Memang kebijakan raja-raja
Mataram, diawali dengan Senapati,Sang Pendiri Kerajaan, adalah melakukan
akulturasi kebudayaan Hindu warisan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno dengan
kebudayaan Islam warisan Kerajaan Demak. Hasilnya adalah berbagai macam ritual
bercorak kebudayaan Islam Kejawen. Suatu corak kebudayaan Islam yang
dipengaruhi tradisi-tradisi warisan Hinduisme dari jaman Majapahit dan
kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya..
Ritual
warisan kerajaan Hindu yang juga dihidupkan kembali pada jaman Kerajaan Mataram
adalah ritual memandikan benda-benda pusaka. Bagi seorang raja Jawa,
kepemilikan benda-benda pusaka merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui publik.
Karena itu cara memandikan benda-benda pusaka juga bersifat rahasia, tertutup,
dilaksanakan di dalam kedaton, dan hanya boleh dihadiri oleh Sang Raja dengan
keluarga dekatnya dan abdi dalem kraton lainnya. Memang di sekitar bangunan
Prabasuyasa, tempat tinggal Sang Raja, sengaja
dibuatkan emperan sebagai tempat para abdi dalem dan keluarga raja
berkumpul pada hari-hari tertentu untuk menyaksikan ritual Jamasan benda-benda
pusaka kerajaan. Dengan demikian untuk melakukan prosesi memandikan benda-benda
pusaka tidak jauh dari tempat penyimpanan benda-benda pusaka itu.
Tradisi memiliki benda-benda pusaka dan
memandikan benda-benda pusaka yang bersifat tertutup, juga dilakukan para
adipati kadipaten bawahan Kerajaan Mataram. Tetapi adipati bawahan, dilarang
melakukan aktivitas yang dipandang akan menyamai kebesaran dan kewibawaan Sang
Raja. Sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan para adipati bawahan sebagai
bagian dari konsep kekuasaan Jawa adalah larangan membangun alun-alun dengan
sepasang beringin kembar Dewa Daru dan Jaya Daru, larangan menyelenggarakan
ritual arak-arakan semacam ritual garebeg. Dan tentu saja larangan
menyelenggarakan prosesi memandikan benda-benda pusaka secara terbuka.
Pelanggaran terhadap larangan itu, bisa berakibat fatal. Adipati yang melanggar
larangan akan dituduh mbalela kepada Sang Raja. Hukumannya cukup berat, hukuman
mati!
Tetapi
ketika sejumlah wilayah Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Belanda,
kabupaten-kabupaten warisan Kerajaan Mataram oleh Belanda diberi status setara
dengan Kerajaan Mataram maupun kerajaan-kerajaan pecahan Mataram. Kabupaten-kabupaten
di Priangan misalnya, sudah sejak tahun 1705 M, diperkenankan membuat alun-alun
dengan sepasang beringin kembar dan menyelenggarakan ritual-ritual keagamaan
sendiri. Demikian pula kabupaten di Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur
yang telah lepas dari Kerajaan Mataram sejak tahun 1743 M.
Akhirnya
ketika Kabupaten Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda( 1831 M), sejak
itulah sejumlah larangan warisan Kerajaan Pajang dan Mataram seperti disebutkan
di atas, tidak berlaku lagi di Kabupaten Banyumas. Agaknya sejak tahun itulah,
Kabupaten Banyumas mulai boleh membangun alun-alun dan beringin kembar Jaya
Daru dan Wijaya Daru, dan boleh pula menyelenggarakan ritual-ritual tradisi
untuk meningkatkan kewibawaan Sang Bupati di hadapan kawulanya. Semakin berwibawa
Sang Bupati di hadapan kawulanya, semakin menguntungkan Pemerintah Belanda.
Sebab kewibawaan Sang Bupati dihadapan kawulanya hanyalah kewibawaan di bidang
adat, tradisi, ritual dan di bidang aktivitas kebudayaan lainnya. Sedang
kewibawaan dibidang politik, hukum, pemerintahan dan ekonomi, sepenuhnya berada
dibawah kontrol dan kendali Pemerintah Belanda yang dilaksanakan melalui tangan
Residen dan Patih.
Dengan
demikian kita dapat simpulkan bahwa
Ritual Jamasan benda-benda pusaka di
situs Makam Kalibening yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Maulud
Nabi, tidak mungkin dilaksanakan sebelum tahun 1831 M. Sebab sebelum tahun 1831
M, Kabupaten Banyumas masih dibawah kendali Kraton Surakarta. Seperti hanya
Kraton Mataram, Kraton Surakarta juga melarang kadipaten sebagai kerajaan
bawahan menyelenggarakan ritual memandikan pusaka dalam bentuk prosesi secara
terbuka. Sebab tindakan demikian bisa dinilai sebagai tindakan menantang secara
terbuka kesaktian Sang Raja!. Kesan
yang ditimbulkan seakan-akan dari rangkaian acara ritual jamasan benda-benda pusaka
sudah dilaksanakan pada abad akhir abad ke-16 M, yakni pada masa-masa awal berdirinya Kabupaten Banyumas,
jelas hanyalah sebuah mitos belaka. Ritual itu baru diselenggarakan pada abad
yang belum terlalu jauh dari jaman kita sekarang, yakni pada paruh ke dua abad
ke 19 M.
Pada
saat itu Pemerintah Hindia Belanda memang sedang giat-giatnya membangkitkan
kembali tradisi Jawa Kuno dilingkungan kraton-kraton Jawa. Sebagai contoh,
dibentuknya Instituut voor de Javaansche Taal dilingkungan Kraton Surakarta
pada tahun 1832 M. Sejumlah ahli Belanda menjadi anggota lembaga
tersebut,antara lain Gericke, Wilkens, Mounier, C.F Winter, Brumund, Palmer van
de Broek dan Cohen Stuart( Darsiti Suratman,1989,Kehidupan Dunia Kraton
Surakarta). Hasil studi para sarjana Belanda itu, mempengaruhi kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda dalam membangkitkan kembali tradisi-tradisi Jawa Kuno
di kabupaten-kabupaten mancanegara bekas wilayah Kraton Surakarta yang
diperintah Belanda secara langsung. Termasuk diantaranya adalah Kabuaten Banyumas tentunya.
Namun
demikian, tradisi peringatan Maulud di Komplek Makam Kalibening itu, dapat
dipastikan merupakan tradisi yang justru sudah dilaksanakan pada awal-awal
berdirinya Kadipaten Banyumas!. Sebab raja-raja Mataram hanya melarang
kabupaten bawahan menyelenggarakan acara semacam Garebeg Maulud. Tapi tidak
melarang peringatan dan perayaan Maulud Nabi saw yang biasanya secara
tradisional dilaksanakan secara terbuka di masjid kadipataen atau kabupaten. Dan
peringatan Maulid Nabi di masjid kabupaten bawahan Kraton Mataram, tidak pernah
dihadiri Sang Bupati. Sebab Sang Bupati, pada acar Garebeg Mulud wajib hadir di
pusat Kerajaan Mataram. Hal serupa juga terjadi pada masa Kerajaan Pajang,
Kerajaan yang mendahului Kerajaan Mataram Islam.
Melalui
ritual Jamasan benda-benda pusaka yang dikaitkan sebagai rangkaian tak
terpisahkan dari peringatan Maulid Nabi, kita memang dapat menyaksikan
terjadinya proses akulturasi dua adat, tradisi dan budaya warisan Hindusime dan
warisan Islam, yang menghasilkan kebudayaan Islam Kejawen di daerah Banyumas.
Menurut Dr.Simuh, Islam Kejawen adalah Islam yang masih terus berproses menuju
Islam yang lebih mendekati ajaran Islam yang dipraktekkan di lingkungan
pesantren pada masa Kerajaan Islam Demak. Agar supaya ritual Jamasan
benda-benda pusaka tidak berkembang ke arah yang betentangan dengan ajaran
Islam sebagaimana yang justru dikehendaki Pemerintah Kolonial belanda, arah
kegiatan memang harus bersifat aktivitas gebyar budaya.
Fokus
kegiatan gebyar budaya sebaiknya bersifat memajukan seni berbasis tradisi dan
local wisdom, termasuk memandang benda-benda pusaka sekedar sebagai benda-benda
dengan keindahan seni. Bukan benda-benda yang memiliki daya-daya gaib yang
berakar dari logika mistik. Justru sebaiknya tradisi peringatan Maulud Nabi
yang bersejarah di situs Kalibening itulah yang harus terus-menerus
dikembangkan, sebagai sarana untuk meningkatkan dakwah Islam.
Bukankah inilah tradisi yang pertamakali
dirintis oleh Mbah Kalibening-konon nama aslinya Kiyai Imam Rumani- sebagai
salah seorang tokoh perintis penyebar agama Islam di daerah
Banyumas?Wallahualam.(anhadja-31-12-2015)
Wallahualam.(anhadja-31-12-2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar