Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 22 Juli 2016

Melacak Sejarah Ritual Jamasan di Situs Kalibening Banyumas



Benda Upacara dan Benda Pusaka


Ritual Jamasan di situs Makam Kalibening Banyumas, merupakan ritual memandikan benda-benda pusaka koleksi  Makam Kalibening. Sesuai dengan tradisi dan adat, pelakasanaan ritual  jamasan biasanya diselenggarakan pada bulan Maulud, dilaksanakan  sebagai bagian dari ritual peringatan Maulud Nabi yang penyelenggaraannya bertepatan dengan tanggal 12 Mulud tahun Jawa atau 12 Rabiulawal tahun Hijriyah.


Tradisi lisan menyebutkan bahwa benda-benda pusaka itu milik Mbah Kalibening, seorang perintis penyebar agama Islam di wilayah Banyumas. Tetapi tradisi memandikan benda-benda pusaka bukan tradisi Islam. Tradisi itu merupakan tradisi Hinduisme yang dihidupkan kembali pada jaman Kerajaan Mataram Islam ( 1586 – 1755 M). Karena itu kecil sekali kemungkinannya, ritual jamasan memandikan benda-benda pusaka di situs makam Kalibening itu, merupakan tradisi  warisan dari Mbah Kalibening sendiri. Dapat dipastikan ritual Jamasan memandikan benda-benda pusaka itu, baru muncul pada pertengahan abad ke 19 M, ketika Kabupaten Banyumas dan wilayah Lembah Serayu lainnya, lepas dari kendali Kraton Surakarta  dan beralih menjadi wilayah yang langsung dikendalikan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia(1831 M).


Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan benda-benda pusaka dalam konsep kekuasaan raja Jawa?  Memahami makna dan fungsi benda-benda  pusaka dalam konsep kekuasaan raja Jawa, sangat penting. Karena pengetahuan itu akan memudahkan bagi orang yang ingin melacak sejarah tradisi ritual Jamasan di situs Kalibening, Banyumas.


Benda pusaka adalah benda-benda warisan leluhur yang dianggap memiliki daya gaib berupa kekuatan supranatural atau daya sakti. Raja Jawa umumnya memiliki banyak koleksi benda-benda pusaka. Bentuk benda-benda pusaka pun bisa bermacam-macam, Ada yang berbentuk tongkat, aneka macam senjata tajam, tempat sirih, dhampar kencana, payung dan benda-benda pusaka lainnya. Payung yang disebut songsong pun bermacam-macam. Jenis payung atau songsong yang terkenal adalah songsong gilap gubeg, songsong bawat dan songsong  agung.


Benda pusaka paling populer bagi raja Jawa adalah keris yang merupakan senjata untuk perang. Benda pusaka lainnya yang juga merupakan senjata perlengkapan perang adalah tombak, panah, pedang, tongkat pemukul atau gada. Bagi raja-raja Kerajaan Sunda, benda pusaka paling populer yang juga merupakan senjata perlengkapan perang  adalah kujang.


Raja Jawa juga gemar memberikan gelar pada benda-benda pusaka yang dianggap memiliki nilai kesaktian tinggi. Pada jaman Kerajaan Hindu Jawa, gelar yang diberikan kepada benda-benda pusaka paling disakralkan  adalah Sang Hyang. Pada Jaman Kerajaan Islam Pajang dan Mataram, gelar benda-benda pusaka  adalah Kanjeng Kiyai Ageng. Benda pusaka dengan gelar Kanjeng Kiai Ageng, sangat dikeramatkan. Karena itu   cara menyimpannya pun dilakukan secara istimewa. Benda Pusaka dengan gelar Kanjeng Kiai Ageng selalu ditempatkan dalam suatu kamar khusus untuk menyimpan benda-benda pusaka. Kamar itu  berada di suatu bangunan istana raja yang dinamakan  Prabasuyasa. Bangunan Prabasuyasa merupakan bangunan paling keramat, karena selain terdapat kamar penyimpanan benda pusaka, juga  merupakan tempat tinggal Sang Raja. Bagi seorang Raja Jawa fungsi benda-benda pusaka adalah untuk meningkatkan kultus pemujaan kepada Sang Raja sebagai titisan dewa atau raja-dewa. Dengan benda-benda pusaka itu, Raja Jawa berusaha meningkatkan kemegahan, kebesaran, kewibawaan, kebahagiaan dan kesaktian.


Selain benda-benda pusaka seorang raja Jawa juga memiliki benda-benda upacara atau benda-benda ritual. Benda-benda upacara adalah benda-benda yang biasa dikeluarkan mengiringi Sang Raja, pada waktu Sang Raja keluar dari kraton. Fungsi benda-benda upacara, hampir sama dengan benda-benda pusaka, yakni meningkatkan kultus pemujaan kepada Sang Raja. Hanya cara penggunaannya yang berbeda. Sesuai dengan namanya, penggunaan benda-benda upacara dilakukan dengan cara mengikutsertakan benda-benda upacara itu  dalam perjalanannya mengiringi Sang Raja saat Sang Raja keluar kraton untuk berbagai macam keperluan. Misalnya  pada saat ada acara garebeg atau acara mengunjungi tempat-tempat penting lainnya di luar kraton.


Prof.Dr.Darsiti Suratman, seorang ahli Sejarah Kraton Jawa, menyebutkan adanya delapan benda upacara penting. Kedelapan benda upaca itu adalah dua ekor gajah, seekor kijang, seekor ayam kate, seekor binatang mistik ardawalika, seekor sawunggaling, seekor banyak dhalang atau angsa dan seekor induk ayam dengan empat ekor anaknya. Semua benda upacara itu dalam bentuk patung mini agar mudah dibawa mengiringi Sang Raja.


Menurut Rouffer, kedelapan benda upacara itu merupakan simbol pemujaan kepada dewa-dewa Hindu dan dewa-dewa sebelum datangnya agama Hindu. Sawunggaling, misalnya, disebut sebagai simbol pemujaan kepada Dewa Surya,. Ardawalika, hewan mistik berkepala garuda, berbadan naga, merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Awan atau Dewa Indra. Di seluruh dunia timur, simbol ular sering diganti dengan bentuk simbol naga, kadal, buaya dan binatang merangkak lainnya. Semua binatang air berkaki empat itu, termasuk naga, merupakan simbol pemujaan kepada awan sebagai pembawa hujan. Naga dipuja orang Hindu, kadal dan buaya dipuja orang Melayu dan Polinesia sebelum datangnya agama Hindu. Adapun banyak dhalang atau angsa besar, merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Brahma. Bahkan di Masjid Demak ada simbol penyu, yang bisa jadi merupakan sisa-sisa simbol pemujaan kepada awan warisan leluhur Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak yang merupakan keturunan etnis China lewat ibunya. Tetapi bisa juga simbol penyu itu merupakan sisa-sisa pemujaan kepada dewa laut,mengingat Kerajaan Demak adalah kerajaan maritim.


Pada jaman Kerajaan Islam Demak, ritual raja keluar istana diiringi benda-benda upacara menghilang. Tetapi pada jaman Kerajaan Mataram Islam, ritual warisan kerajaan-kerajaan Hindu itu, dihidupkan kembali. Memang kebijakan raja-raja Mataram, diawali dengan Senapati,Sang Pendiri Kerajaan, adalah melakukan akulturasi kebudayaan Hindu warisan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno dengan kebudayaan Islam warisan Kerajaan Demak. Hasilnya adalah berbagai macam ritual bercorak kebudayaan Islam Kejawen. Suatu corak kebudayaan Islam yang dipengaruhi tradisi-tradisi warisan Hinduisme dari jaman Majapahit dan kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya..


Ritual warisan kerajaan Hindu yang juga dihidupkan kembali pada jaman Kerajaan Mataram adalah ritual memandikan benda-benda pusaka. Bagi seorang raja Jawa, kepemilikan benda-benda pusaka merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui publik. Karena itu cara memandikan benda-benda pusaka juga bersifat rahasia, tertutup, dilaksanakan di dalam kedaton, dan hanya boleh dihadiri oleh Sang Raja dengan keluarga dekatnya dan abdi dalem kraton lainnya. Memang di sekitar bangunan Prabasuyasa, tempat tinggal Sang Raja, sengaja  dibuatkan emperan sebagai tempat para abdi dalem dan keluarga raja berkumpul pada hari-hari tertentu untuk menyaksikan ritual Jamasan benda-benda pusaka kerajaan. Dengan demikian untuk melakukan prosesi memandikan benda-benda pusaka tidak jauh dari tempat penyimpanan benda-benda pusaka itu.


 Tradisi memiliki benda-benda pusaka dan memandikan benda-benda pusaka yang bersifat tertutup, juga dilakukan para adipati kadipaten bawahan Kerajaan Mataram. Tetapi adipati bawahan, dilarang melakukan aktivitas yang dipandang akan menyamai kebesaran dan kewibawaan Sang Raja. Sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan para adipati bawahan sebagai bagian dari konsep kekuasaan Jawa adalah larangan membangun alun-alun dengan sepasang beringin kembar Dewa Daru dan Jaya Daru, larangan menyelenggarakan ritual arak-arakan semacam ritual garebeg. Dan tentu saja larangan menyelenggarakan prosesi memandikan benda-benda pusaka secara terbuka. Pelanggaran terhadap larangan itu, bisa berakibat fatal. Adipati yang melanggar larangan akan dituduh mbalela kepada Sang Raja. Hukumannya cukup berat, hukuman mati!


Tetapi ketika sejumlah wilayah Kerajaan Mataram jatuh ke tangan Belanda, kabupaten-kabupaten warisan Kerajaan Mataram oleh Belanda diberi status setara dengan Kerajaan Mataram maupun kerajaan-kerajaan pecahan Mataram. Kabupaten-kabupaten di Priangan misalnya, sudah sejak tahun 1705 M, diperkenankan membuat alun-alun dengan sepasang beringin kembar dan menyelenggarakan ritual-ritual keagamaan sendiri. Demikian pula kabupaten di Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah lepas dari Kerajaan Mataram sejak tahun 1743 M.


Akhirnya ketika Kabupaten Banyumas jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda( 1831 M), sejak itulah sejumlah larangan warisan Kerajaan Pajang dan Mataram seperti disebutkan di atas, tidak berlaku lagi di Kabupaten Banyumas. Agaknya sejak tahun itulah, Kabupaten Banyumas mulai boleh membangun alun-alun dan beringin kembar Jaya Daru dan Wijaya Daru, dan boleh pula menyelenggarakan ritual-ritual tradisi untuk meningkatkan kewibawaan Sang Bupati di hadapan kawulanya. Semakin berwibawa Sang Bupati di hadapan kawulanya, semakin menguntungkan Pemerintah Belanda. Sebab kewibawaan Sang Bupati dihadapan kawulanya hanyalah kewibawaan di bidang adat, tradisi, ritual dan di bidang aktivitas kebudayaan lainnya. Sedang kewibawaan dibidang politik, hukum, pemerintahan dan ekonomi, sepenuhnya berada dibawah kontrol dan kendali Pemerintah Belanda yang dilaksanakan melalui tangan Residen dan Patih.


Dengan demikian  kita dapat simpulkan bahwa Ritual Jamasan benda-benda pusaka  di situs Makam Kalibening yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan Maulud Nabi, tidak mungkin dilaksanakan sebelum tahun 1831 M. Sebab sebelum tahun 1831 M, Kabupaten Banyumas masih dibawah kendali Kraton Surakarta. Seperti hanya Kraton Mataram, Kraton Surakarta juga melarang kadipaten sebagai kerajaan bawahan menyelenggarakan ritual memandikan pusaka dalam bentuk prosesi secara terbuka. Sebab tindakan demikian bisa dinilai sebagai tindakan menantang secara terbuka kesaktian Sang Raja!. Kesan yang ditimbulkan seakan-akan dari rangkaian acara ritual jamasan benda-benda pusaka sudah dilaksanakan pada abad akhir abad ke-16 M, yakni pada  masa-masa awal berdirinya Kabupaten Banyumas, jelas hanyalah sebuah mitos belaka. Ritual itu baru diselenggarakan pada abad yang belum terlalu jauh dari jaman kita sekarang, yakni pada paruh ke dua abad ke 19 M.


Pada saat itu Pemerintah Hindia Belanda memang sedang giat-giatnya membangkitkan kembali tradisi Jawa Kuno dilingkungan kraton-kraton Jawa. Sebagai contoh, dibentuknya Instituut voor de Javaansche Taal dilingkungan Kraton Surakarta pada tahun 1832 M. Sejumlah ahli Belanda menjadi anggota lembaga tersebut,antara lain Gericke, Wilkens, Mounier, C.F Winter, Brumund, Palmer van de Broek dan Cohen Stuart( Darsiti Suratman,1989,Kehidupan Dunia Kraton Surakarta). Hasil studi para sarjana Belanda itu, mempengaruhi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam membangkitkan kembali tradisi-tradisi Jawa Kuno di kabupaten-kabupaten mancanegara bekas wilayah Kraton Surakarta yang diperintah Belanda secara langsung. Termasuk diantaranya adalah  Kabuaten Banyumas tentunya.


Namun demikian, tradisi peringatan Maulud di Komplek Makam Kalibening itu, dapat dipastikan merupakan tradisi yang justru sudah dilaksanakan pada awal-awal berdirinya Kadipaten Banyumas!. Sebab raja-raja Mataram hanya melarang kabupaten bawahan menyelenggarakan acara semacam Garebeg Maulud. Tapi tidak melarang peringatan dan perayaan Maulud Nabi saw yang biasanya secara tradisional dilaksanakan secara terbuka di masjid kadipataen atau kabupaten. Dan peringatan Maulid Nabi di masjid kabupaten bawahan Kraton Mataram, tidak pernah dihadiri Sang Bupati. Sebab Sang Bupati, pada acar Garebeg Mulud wajib hadir di pusat Kerajaan Mataram. Hal serupa juga terjadi pada masa Kerajaan Pajang, Kerajaan yang mendahului Kerajaan Mataram Islam.


Melalui ritual Jamasan benda-benda pusaka yang dikaitkan sebagai rangkaian tak terpisahkan dari peringatan Maulid Nabi, kita memang dapat menyaksikan terjadinya proses akulturasi dua adat, tradisi dan budaya warisan Hindusime dan warisan Islam, yang menghasilkan kebudayaan Islam Kejawen di daerah Banyumas. Menurut Dr.Simuh, Islam Kejawen adalah Islam yang masih terus berproses menuju Islam yang lebih mendekati ajaran  Islam yang dipraktekkan di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Islam Demak. Agar supaya ritual Jamasan benda-benda pusaka tidak berkembang ke arah yang betentangan dengan ajaran Islam sebagaimana yang justru dikehendaki Pemerintah Kolonial belanda, arah kegiatan memang harus bersifat aktivitas gebyar budaya.


Fokus kegiatan gebyar budaya sebaiknya bersifat memajukan seni berbasis tradisi dan local wisdom, termasuk memandang benda-benda pusaka sekedar sebagai benda-benda dengan keindahan seni. Bukan benda-benda yang memiliki daya-daya gaib yang berakar dari logika mistik. Justru sebaiknya tradisi peringatan Maulud Nabi yang  bersejarah di situs Kalibening itulah yang harus terus-menerus dikembangkan, sebagai sarana untuk meningkatkan dakwah Islam.


Bukankah inilah tradisi yang pertamakali dirintis oleh Mbah Kalibening-konon nama aslinya Kiyai Imam Rumani- sebagai salah seorang tokoh perintis penyebar agama Islam di daerah Banyumas?Wallahualam.(anhadja-31-12-2015)



Wallahualam.(anhadja-31-12-2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar