Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Sebuah lukisan indah gadis cantik
bermahkota berdiri dengan anggun diiringi dua ekor harimau putih, langsung
menarik perhatian saya. Lukisan itu menjadi salah satu hiasan ruang tamu Kantor
Bupati Purwakarta. Dan menjadi lukisan favorit Bupati Purwakarta, H.Dedi
Mulyadi SH. Saya sendiri belum pernah melihatnya di sentra lukisan Desa Jelekong,
Ciparay, Kabupaten Bandung, karena memang lukisan itu tidak pernah dipasarkan di sana.
Kulit gadis dalam lukisan itu berwarna kuning,
rambutnya hitam bak mayang terurai, dibalut kain dan penutup dada juga bewarna
hitam, diiringi dua harimau putih. Langit biru menjadi latar belakang gadis
dalam lukisan itu. Secara keseluruhan lukisan itu enak dipandang dan mampu
menerbangkan daya khayal siapa saja yang
memandangnya dan membawanya ke masa
lalu. Sayang saya tidak tahu siapa pelukisnya.
Bahkan salah satu staf Setda Kabupaten Purwakarta yang mengenakan
pakaian seragam kemeja putih dan celana hitam, hanya menggelengkan kepala saat
saya tanya, siapakah gadis cantik dalam lukisan itu.
“Mungkin Nyi Roro Kidul,” jawabnya
sambil tertawa. Saya ikut tertawa mendengar jawabannya. Sebab saya tahu itu
bukan lukisan Nyi Roro Lidul.
“Dapat dipastikan itu bukan lukisan Nyi
Roro Kidul. Sebab kalau Nyi Roro Kidul
latar belakangnya laut dan tidak memiliki dua ekor harimau putih sebagai
pengiringnya,” kata saya, ingat-ingat
lupa pada lukisan Affandi berjudul Nyi Roro Kidul dalam album koleksi lukisan
Bung Karno.
Tetapi akhirnya saya menemukan nama
gadis dalam lukisan itu, Citraresmi. Nama lengkapnya, Dyah Ayu Pitaloka
Citraresmi (1340 – 1357 M). Dia adalah Putri Sang Maharaja Linggabuana, yang
gugur dalam tragedi Bubat (1357 M). Sang
Maha Raja Linggabuana adalah Raja Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali,
sekarang masuk Kabupaten Ciamis. Tragedi Bubat menjadi catatan hitam hubungan
dua etnis terbesar di Pulau Jawa, Etnis Sunda dan Etnis Jawa. Sebab etnis Jawa
mewarisi Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Trowulan, sedangkan Etnis
Sunda mewarisi Kerajaan Besar Galuh yang berpusat di Kawali , kemudian di
Pakuan. Ambisi Maha Patih Gajah Mada yang
ingin mewujudkan Sumpah Palapa telah menenggelamkan cita-cita Hayam Wuruk untuk menyatukan dua Kerajaan
Besar di Pulau Jawa pada masa itu dalam satu federasi atau konfederasi
Majapahit – Galuh.
Tragedi Bubat mengakibatkan tewasnya
Dyah Ayu Pitaloka Citra Resmi, Sang
Prabu Maharaja Linggabuana, beserta segenap prajurit pengiringnya. Para
prajurit pengawalnya telah berjuang dengan gagah berani sekalipun tahu bahwa
mereka akan kalah karena jumlah prajurit dan peralatan yang tidak
seimbang. Pasca peristiwa Bubat hubungan
Majapahit dan Galuh langsung memburuk. Kerajaan Galuh memutuskan hubungan
diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Raja Hayamwuruk sendiri telah meminta
maaf akan kejadian yang memalukan itu.
Ketika tragedi Bubat terjadi, Kerajaan
Galuh masih berpusat di Kawali, sehingga dikenal dalam sejarah Indonesia
sebagai Kerajaan Galuh Kawali. Dr.Husein Djajadiningrat dalam tesisnya di
Universitas Leiden,”Tinjauan Kritis Sejarah Banten” yang telah mengantarkannya meraih gelar
doktor dengan nilai Cum Laude, menyebutkan bahwa Kerajaan Galuh di Pakuan yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh Kawali berdiri pada tahun 1433 M. Dengan kata
lain, Kerajaan Galuh Kawali telah dipindahkan ke Pakuan, dekat Bogor sekarang,
sehingga muncul Kerajaan Galuh yang berpusat di Pakuan, atau Kerajaan Galuh
Pakuan. Kerajaan Galuh Pakuan, kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran.
Disebut Kerajaan Pajajaran, karena konon pusat kerajaan ini, yakni Pakuan,
terletak di hulu dua sungai yang nyaris sejajar, yaitu Sungai Cisadane dan
Sungai Ciliwung.
Pada gapura masuk Kantor Kabupaten
Purwakarta yang kini memiliki air mancur indah sekali, Air Mancur Sri Baduga,
tertulis kata-kata, “Galuh Pakuan”. Sri
Baduga adalah Raja Besar Kerajaan Pajajaran ( 1482 – 1522 M) yang dikenal
sebagai Prabu Siliwangi. Nama Sri Baduga juga diabadikan menjadi nama musium
sejarah dan kebudayaan Sunda di Kota Bandung, yakni Musium Sri Baduga.
Kemasyhuran dan kebesaran Kerajaan
Galuh Kawali dan Galuh Pakuan pada masa lalu itulah agaknya yang telah memberikan
inspirasi Bupati H.Dedi Mulyadi, SH untuk membangun Kota Purwakarta dengan
basis budaya Sunda yang inklusif dan toleran. Simbol-simbol yang digali dari
budaya Sunda segera terasa, begitu orang masuk alun-alun Kabupaten Purwakarta,
Pendapa Kabupaten, Kantor Kabupaten, dan
rumah dinas bupati yang berada di samping kiri Kantor Kabupaten.
Aristektur bangunan kantor kabupaten
dan rumah dinas bupati sendiri masih merupakan arsitektur warisan Eropa, sebab
kedua bangunan itu memang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Bangunan kantor kabupaten dibangun pada tahun 1854. Semula merupakan Gedung
Negara. Pilar tiang penyangga yang berbentuk silinder mengingatkan orang pada
tiang-tiang bangunan kuno di Yunani, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa.
Ketika orang-orang Eropa menjadi penguasa di Pulau Jawa dan Tanah Sunda, corak
arsitektur Eropa ikut terbawa masuk. Ahli sejarah Perancis, Denys Lombart,
menyebutkan munculnya bangunan dengan arsitektur Eropa sebagai penanda awal
pengaruh peradaban Eropa di Pulau Jawa.
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Lantai bangunan kantor kabupaten itu dilapisi
batu pualam putih bersih mengkilap. Setiap orang yang akan masuk ke ruang tamu,
diwajibkan melepaskan alas kaki. Sebuah etika budaya Sunda yang menghormati
rumah sebagai suatu tempat suci, sehingga orang yang masuk ke dalam rumah orang
Sunda pada masa lalu, kaki harus dalam keadaan bersih dan melepaskan alas kaki.
Rumah adat orang Sunda pada awalnya memang berbentuk rumah panggung dengan
lantai papan. Tamu pun diterima dengan lesehan, sehingga tampak akrab dan tidak
terkesan formal.
Tetapi arsitektur bangunan pendapa
yang ada di depan kantor kabupaten, tiang dan atapnya merupakan bangunan dengan
arsitektur yang terpengaruh Kerajaan Islam Demak. Demikian pula konsep catur
gatra tunggal warisan Kerajaan Islam Demak tampak pada penataan bangunan kantor
kabupaten dan pendapa yang menghadap alun-alun, bangunan Masjid Agung Syekh
Baing Yusuf di sebelah kiri alun-alun, bangunan kantor pengadilan, dan lokasi
bangunanan penjara yang juga tidak jauh dari alun-alun. Alun-alun masih dibelah menjadi dua dengan
satu jalan di tengah. Tetapi saya tidak melihat sepasang beringin yang lazimnya
ada pada alun-alun warisan Kerajaan Islam Demak yang diadopsi dari Kerajaan
Majapahit, kecuali masjid di samping alun-alun yang merupakan ciri Kerajaan
Islam di Pulau Jawa.
Pengaruh budaya Sunda tampak pada
ornamen hiasan gedung, hiasan taman, dan tiang-tiang penerangan sekitar pendapa,
serta karyawan yang berpakaian putih hitam. Terkadang tampak ada karyawan laki-laki
yang lalu lalang dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Tentu saja mereka
berbincang-bincang dengan bahasa Sunda. Gambar Bupati H.Dedi Mulyadi SH
terpampang dimana-mana dengan pakaian adat Sunda pangsi warna putih
kegemarannya, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda yang juga berwarna putih. Di bawah gambar Bupati,
tertulis kata Daiang Ki Sunda. Kata Daiang mungkin gelar untuk laki-laki yang
dihormati. Kata Daiang sendiri belum
saya temukan dalam Kamus Bahasa Sunda. Yang ada kata Dayang, yang mengandung
arti gelar untuk wanita yang dihormati. Misalnya, Dayang Sumbi. Dalam gambar senyum
khas Pak Bupati mengembang menghiasai wajahnya, seakan Pak Bupati sedang meyambut
dengan segala keramahtamahan kepada setiap tamu, seraya mengucapkan sapaan
favoritnya,”Sampurasun…”
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Di teras kantor kabupaten di kanan
kiri pintu masuk diparkir dua buah kereta kencana berwarna hitam yang
mengingatkan orang pada kereta kebesaran Kerajaan Galuh Kawali maupun Kerajaan Galuh
Pakuan Pajajaran. Di bawah masing-masing kereta ada patung banteng, seakan mengingatkan
orang pada binatang yang pantang menyerah. Kemudian dua becak dengan tulisan
Situ Buleud, juga diparkir menjadi hiasan di teras kantor kabupaten, tidak jauh
dari kereta kencana. Becak belum dikenal pada masa Kerajaan Galuh dan
Pajajaran. Tetapi becak, sekalipun sudah lama digusur dari jalan-jalan utama di
kota-kota besar, masih merupakan alat transportasi rakyat yang amat populer dan
merupakan sarana mencari nafkah bagi sebagian besar penduduk yang tingkat pendidikannya
pas-pasan. Mungkin maksud Pak Bupati memajang sepasang becak di teras kantor
kabupaten, sekedar simbol agar kita senantiasa ingat pada rakyat kecil, kawula
alit, atau kaum dhuafa dalam bahasa agama Islam.
Jika kita masuk ke ruang tunggu kantor
kabupaten, segera akan kita saksikan ornamen lukisan harimau di dinding yang
menghadap pintu masuk, seakan-akan hendak menyapa para tamu yang akan menghadap
Pak Bupati. Sebuah karpet warna kelabu dengan hiasan ornamen bunga warna hitam menutupi
lantai marmer putih bersih. Sejumlah kursi dengan plitur warna hitam mengkilat
berderet di ruang tunggu. Pada dinding di samping pintu masuk, terpasang
lukisan gadis cantik Putri Galuh yang pernah dilamar Raja Majapahit Hayam Wuruk,
Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, seperti telah disebutkan di atas. Tampak cantik, anggun, berwibawa, dengan
menyungging senyum di bibir.
Pendapa Kabupaten yang terletak di
depan bangunan kantor kabupaten, tampak megah dengan tiang-tiang-tiang
penyangga atap yang mengingatkan orang pada bangunan pendapa kabupaten di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Hanya Pendapa Panyawangan, demikian nama Pendapa
Kabupaten Purwakarta itu, dibangun di atas taman yang dikeliingi kolam indah,
sehingga dalam konsep arsitektur Jawa, pendapa yang demikian itu disebut Bale
Kambang. Di kanan kiri Pendapa Panyawangan melintang jembatan kayu di atas
kolam yang menghubungkkan jalan dari halaman kantor kabupaten ke alun-alun. Jika orang dari Kantor Kabupaten dan Pendapa
Kabupaten akan menuju alun-alun yang ada di depan pendapa, mau tidak mau harus
melintasi jembatan kayu itu. Lantai pendapa dilapisi karpet tebal bersih warna
kelabu dengan ornamen bunga warna hitam. Tak ada kursi, sehingga jika ada pertemuan
di Pendapa Panyawangan pastilah juga dilakukan dengan cara lesehan.(bersambung).
Catatan : Artikel lanjutan, Bhagawat Gita di rumah dinas Pak Bupati Purwakarta. Klik dibawah ini:
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/pembangunan-dengan-basis-budaya-di_28.html
Catatan : Artikel lanjutan, Bhagawat Gita di rumah dinas Pak Bupati Purwakarta. Klik dibawah ini:
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/pembangunan-dengan-basis-budaya-di_28.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar