Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 28 Juli 2016

[1] Pembangunan dengan basis Budaya di Kabupaten Purwakarta (01)



 Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Sebuah lukisan indah gadis cantik bermahkota berdiri dengan anggun diiringi dua ekor harimau putih, langsung menarik perhatian saya. Lukisan itu menjadi salah satu hiasan ruang tamu Kantor Bupati Purwakarta. Dan menjadi lukisan favorit Bupati Purwakarta, H.Dedi Mulyadi SH. Saya sendiri belum pernah melihatnya di sentra lukisan Desa Jelekong, Ciparay, Kabupaten Bandung, karena memang lukisan itu  tidak pernah dipasarkan di sana. 


 Kulit gadis dalam lukisan itu berwarna kuning, rambutnya hitam bak mayang terurai, dibalut kain dan penutup dada juga bewarna hitam, diiringi dua harimau putih. Langit biru menjadi latar belakang gadis dalam lukisan itu. Secara keseluruhan lukisan itu enak dipandang dan mampu menerbangkan daya khayal  siapa saja yang memandangnya dan  membawanya ke masa lalu. Sayang saya tidak tahu siapa pelukisnya.  Bahkan salah satu staf Setda Kabupaten Purwakarta yang mengenakan pakaian seragam kemeja putih dan celana hitam, hanya menggelengkan kepala saat saya tanya, siapakah gadis cantik dalam lukisan itu.


“Mungkin Nyi Roro Kidul,” jawabnya sambil tertawa. Saya ikut tertawa mendengar jawabannya. Sebab saya tahu itu bukan lukisan Nyi Roro Lidul.


“Dapat dipastikan itu bukan lukisan Nyi Roro Kidul. Sebab kalau Nyi Roro Kidul  latar belakangnya laut dan tidak memiliki dua ekor harimau putih sebagai pengiringnya,”  kata saya, ingat-ingat lupa pada lukisan Affandi berjudul Nyi Roro Kidul dalam album koleksi lukisan Bung Karno.


Tetapi akhirnya saya menemukan nama gadis dalam lukisan itu, Citraresmi. Nama lengkapnya, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi (1340 – 1357 M). Dia adalah Putri Sang Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam tragedi Bubat (1357 M).  Sang Maha Raja Linggabuana adalah Raja Kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali, sekarang masuk Kabupaten Ciamis. Tragedi Bubat menjadi catatan hitam hubungan dua etnis terbesar di Pulau Jawa, Etnis Sunda dan Etnis Jawa. Sebab etnis Jawa mewarisi Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Trowulan, sedangkan Etnis Sunda mewarisi Kerajaan Besar Galuh yang berpusat di Kawali , kemudian di Pakuan. Ambisi Maha Patih Gajah Mada yang ingin mewujudkan Sumpah Palapa telah menenggelamkan cita-cita  Hayam Wuruk untuk menyatukan dua Kerajaan Besar di Pulau Jawa pada masa itu dalam satu federasi atau konfederasi Majapahit – Galuh. 


Tragedi Bubat mengakibatkan tewasnya Dyah Ayu Pitaloka Citra Resmi,  Sang Prabu Maharaja Linggabuana, beserta segenap prajurit pengiringnya. Para prajurit pengawalnya telah berjuang dengan gagah berani sekalipun tahu bahwa mereka akan kalah karena jumlah prajurit dan peralatan yang tidak seimbang.  Pasca peristiwa Bubat hubungan Majapahit dan Galuh langsung memburuk. Kerajaan Galuh memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Raja Hayamwuruk sendiri telah meminta maaf akan kejadian yang memalukan itu. 


Ketika tragedi Bubat terjadi, Kerajaan Galuh masih berpusat di Kawali, sehingga dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Kerajaan Galuh Kawali. Dr.Husein Djajadiningrat dalam tesisnya di Universitas Leiden,”Tinjauan Kritis Sejarah Banten”  yang telah mengantarkannya meraih gelar doktor dengan nilai Cum Laude, menyebutkan bahwa Kerajaan Galuh di Pakuan yang merupakan penerus Kerajaan Galuh Kawali berdiri pada tahun 1433 M. Dengan kata lain, Kerajaan Galuh Kawali telah dipindahkan ke Pakuan, dekat Bogor sekarang, sehingga muncul Kerajaan Galuh yang berpusat di Pakuan, atau Kerajaan Galuh Pakuan. Kerajaan Galuh Pakuan, kemudian lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran. Disebut Kerajaan Pajajaran, karena konon pusat kerajaan ini, yakni Pakuan, terletak di hulu dua sungai yang nyaris sejajar, yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Ciliwung. 


Pada gapura masuk Kantor Kabupaten Purwakarta yang kini memiliki air mancur indah sekali, Air Mancur Sri Baduga, tertulis kata-kata, “Galuh Pakuan”.  Sri Baduga adalah Raja Besar Kerajaan Pajajaran ( 1482 – 1522 M) yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Nama Sri Baduga juga diabadikan menjadi nama musium sejarah dan kebudayaan Sunda di Kota Bandung,  yakni Musium Sri Baduga.


Kemasyhuran dan kebesaran Kerajaan Galuh Kawali dan Galuh Pakuan pada masa lalu itulah agaknya yang telah memberikan inspirasi Bupati H.Dedi Mulyadi, SH untuk membangun Kota Purwakarta dengan basis budaya Sunda yang inklusif dan toleran. Simbol-simbol yang digali dari budaya Sunda segera terasa, begitu orang masuk alun-alun Kabupaten Purwakarta, Pendapa Kabupaten,  Kantor Kabupaten, dan rumah dinas bupati yang berada di samping kiri Kantor Kabupaten.  


Aristektur bangunan kantor kabupaten dan rumah dinas bupati sendiri masih merupakan arsitektur warisan Eropa, sebab kedua bangunan itu memang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Bangunan kantor kabupaten dibangun pada tahun 1854. Semula merupakan Gedung Negara. Pilar tiang penyangga yang berbentuk silinder mengingatkan orang pada tiang-tiang bangunan kuno di Yunani, yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Ketika orang-orang Eropa menjadi penguasa di Pulau Jawa dan Tanah Sunda, corak arsitektur Eropa ikut terbawa masuk. Ahli sejarah Perancis, Denys Lombart, menyebutkan munculnya bangunan dengan arsitektur Eropa sebagai penanda awal pengaruh peradaban Eropa di Pulau Jawa.



Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Lantai bangunan kantor kabupaten itu dilapisi batu pualam putih bersih mengkilap. Setiap orang yang akan masuk ke ruang tamu, diwajibkan melepaskan alas kaki. Sebuah etika budaya Sunda yang menghormati rumah sebagai suatu tempat suci, sehingga orang yang masuk ke dalam rumah orang Sunda pada masa lalu, kaki harus dalam keadaan bersih dan melepaskan alas kaki. Rumah adat orang Sunda pada awalnya memang berbentuk rumah panggung dengan lantai papan. Tamu pun diterima dengan lesehan, sehingga tampak akrab dan tidak terkesan formal.


Tetapi arsitektur bangunan pendapa yang ada di depan kantor kabupaten, tiang dan atapnya merupakan bangunan dengan arsitektur yang terpengaruh Kerajaan Islam Demak. Demikian pula konsep catur gatra tunggal warisan Kerajaan Islam Demak tampak pada penataan bangunan kantor kabupaten dan pendapa yang menghadap alun-alun, bangunan Masjid Agung Syekh Baing Yusuf di sebelah kiri alun-alun, bangunan kantor pengadilan, dan lokasi bangunanan penjara yang juga tidak jauh dari alun-alun.  Alun-alun masih dibelah menjadi dua dengan satu jalan di tengah. Tetapi saya tidak melihat sepasang beringin yang lazimnya ada pada alun-alun warisan Kerajaan Islam Demak yang diadopsi dari Kerajaan Majapahit, kecuali masjid di samping alun-alun yang merupakan ciri Kerajaan Islam di  Pulau Jawa.


Pengaruh budaya Sunda tampak pada ornamen hiasan gedung, hiasan taman, dan tiang-tiang penerangan sekitar pendapa, serta karyawan yang berpakaian putih hitam. Terkadang tampak ada karyawan laki-laki yang lalu lalang dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Tentu saja mereka berbincang-bincang dengan bahasa Sunda. Gambar Bupati H.Dedi Mulyadi SH terpampang dimana-mana dengan pakaian adat Sunda pangsi warna putih kegemarannya, lengkap dengan ikat kepala khas Sunda yang  juga berwarna putih. Di bawah gambar Bupati, tertulis kata Daiang Ki Sunda. Kata Daiang mungkin gelar untuk laki-laki yang dihormati. Kata Daiang sendiri  belum saya temukan dalam Kamus Bahasa Sunda. Yang ada kata Dayang, yang mengandung arti gelar untuk wanita yang dihormati. Misalnya, Dayang Sumbi. Dalam gambar senyum khas Pak Bupati mengembang menghiasai wajahnya, seakan Pak Bupati sedang meyambut dengan segala keramahtamahan kepada setiap tamu, seraya mengucapkan sapaan favoritnya,”Sampurasun…”


 Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
Di teras kantor kabupaten di kanan kiri pintu masuk diparkir dua buah kereta kencana berwarna hitam yang mengingatkan orang pada kereta kebesaran Kerajaan Galuh Kawali maupun Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran. Di bawah masing-masing kereta ada patung banteng, seakan mengingatkan orang pada binatang yang pantang menyerah. Kemudian dua becak dengan tulisan Situ Buleud, juga diparkir menjadi hiasan di teras kantor kabupaten, tidak jauh dari kereta kencana. Becak belum dikenal pada masa Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi becak, sekalipun sudah lama digusur dari jalan-jalan utama di kota-kota besar, masih merupakan alat transportasi rakyat yang amat populer dan merupakan sarana mencari nafkah bagi sebagian besar  penduduk yang tingkat pendidikannya pas-pasan. Mungkin maksud Pak Bupati memajang sepasang becak di teras kantor kabupaten, sekedar simbol agar kita senantiasa ingat pada rakyat kecil, kawula alit, atau kaum dhuafa dalam bahasa agama Islam. 


Jika kita masuk ke ruang tunggu kantor kabupaten, segera akan kita saksikan ornamen lukisan harimau di dinding yang menghadap pintu masuk, seakan-akan hendak menyapa para tamu yang akan menghadap Pak Bupati. Sebuah karpet warna kelabu dengan hiasan ornamen bunga warna hitam menutupi lantai marmer putih bersih. Sejumlah kursi dengan plitur warna hitam mengkilat berderet di ruang tunggu. Pada dinding di samping pintu masuk, terpasang lukisan gadis cantik Putri Galuh yang pernah dilamar Raja Majapahit Hayam Wuruk, Dyah Ayu Pitaloka Citraresmi, seperti telah disebutkan di atas.  Tampak cantik, anggun, berwibawa, dengan menyungging senyum di bibir.


Pendapa Kabupaten yang terletak di depan bangunan kantor kabupaten, tampak megah dengan tiang-tiang-tiang penyangga atap yang mengingatkan orang pada bangunan pendapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya Pendapa Panyawangan, demikian nama Pendapa Kabupaten Purwakarta itu, dibangun di atas taman yang dikeliingi kolam indah, sehingga dalam konsep arsitektur Jawa, pendapa yang demikian itu disebut Bale Kambang. Di kanan kiri Pendapa Panyawangan melintang jembatan kayu di atas kolam yang menghubungkkan jalan dari halaman kantor kabupaten ke alun-alun.  Jika orang dari Kantor Kabupaten dan Pendapa Kabupaten akan menuju alun-alun yang ada di depan pendapa, mau tidak mau harus melintasi jembatan kayu itu. Lantai pendapa dilapisi karpet tebal bersih warna kelabu dengan ornamen bunga warna hitam. Tak ada kursi, sehingga jika ada pertemuan di Pendapa Panyawangan pastilah juga dilakukan dengan cara lesehan.(bersambung).


Catatan : Artikel lanjutan, Bhagawat Gita di rumah dinas Pak Bupati Purwakarta. Klik dibawah ini: 
https://tamanrafflesia.blogspot.co.id/2016/07/pembangunan-dengan-basis-budaya-di_28.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar