Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 27 Juli 2016

[2]Dirgahayu Hut 185 dan 48 Purwakarta : Tinjauan Historis [Bagian ke-2 -Tamat]

Kerajaan Mataram Islam.

 Pada akhir abad ke-16 M, nama Mataram sebagai nama kerajaan muncul kembali, yakni Kerajaan Mataram Islam, yang menggantikan Kerajaan Islam Pajang. Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Ki Gede Pamanahan dibantu putranya Sutawijaya, yang kelak setelah menjadi Raja Mataram, mengambil gelar Panembahan Senapati. Kurang jelas, apa yang menyebabkan Ki Gede Pamanahan memberi nama Mataram kepada kadipaten yang didirikannya di hutan Mentawis yang memang dulunya merupakan salah satu lokasi pusat Kerajaan Mataram Hindu. Apakah karena Ki Gede Pamanahan, ketika membabat hutan Mentawis menjumpai tanaman tarum, sehingga memberi nama kadipaten yang berhasil didirikannya itu Kadipaten Mataram? Tidak ada satu pun kronik Jawa yang menjelaskannya.
Pohon Tarum,Komoditas unggulan Kerajaan Tarumanegara. Sumber gambar Wikipedia.

Bisa jadi Sejarawan Belanda De Graaf sepenuhnya benar, ketika berpendapat bahwa sebenarnya Pendiri Mataram itu bukanlah keturunan bangsawan dari Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi. Ki Gede Pamanahan, hanyalah keturunan orang biasa saja yang leluhurnya berasal dari keturunan petani di daerah Grobogan. Tepatnya di daerah Sesela. Sekalipun Ki Gede Pamanahan sudah memeluk Islam, tetapi leluhurnya di Sesela adalah para pemuja Dewa Api yang dalam agama Hindu diidentikkan dengan Dewa Brahma.


 Rake Sanjaya  selain memuja Syiwa, adalah juga Pemuja Dewa Awan dan Dewa Api. Dalam mitologi Hinduisme, Dewa Awan identik dengan Dewa Indra, sedang Dewa Api identik dengan Dewa Brahma. Pusat Kerajaan Mataram awal di Kunjarakunjadesya yang berada di hulu Sungai Serayu. Kunjarakunjadesya mengandung arti dua gajah, karena kunja, menurut Purbocaroko berarti gajah. Yang dimaksud dua gajah tidak lain adalah Dewa Indra dan Dewa Brahma, karena kedua dewa itu senang bepergian dengan menunggang gajah. Dewa Brahma atau Dewa Api adalah juga dewa yang disembah leluhur Ki Gede Pamanahan.


 Pemilihan nama Mataram sebagai nama kerajaan yang didirikannya, jelas merupakan usaha Pamanahan untuk mengaitkan leluhurnya  dengan Rake Sanjaya, sebagai sesama pemuja Dewa Brahma. Memang leluhur raja-raja Majapahit, Ken Arok Sri Rajasa, juga dimitoskan sebagai putra Dewa Brahma yang dilahirkan di kaki Gunung Bromo, Pananggungan Jawa Timur. Tetapi, Gunung Bromo sebagai tempat memuja Dewa Api itu, terlalu jauh dari hutan Mentawis dibanding Gunung Dieng, gunung  tempat di lereng barat dayanya, Rake Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram Hindu yang juga memuja Dewa Api. Tentu saja Ki Gede Pamanahan juga berharap, Kerajaan Mataram Islam akan mampu berkembang menjadi satu-satunya penguasa di Pulau Jawa, sebagaimana juga pernah diraih Kerajaan Mataram Hindu di bawah Rake Sanjaya.

Sejarah memang mencatat akhirnya Kerajaan Mataram Islam dibawah Sultan Agung berhasil menjadi penguasa tanah Pasundan sampai sebelah timur Sungai Citarum. Setelah wilayah Galuh, Sukapura, Sumedang, Tatar Ukur mengakui kekuasaan Sultan Agung, menyusul daerah Purwakarta dan Karawang.


Sebelum daerah Krawang dan sekitarnya jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung, daerah Krawang dan Purwakarta berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Nama Karawang ditemukan dalam catatan seorang Pengelana Pendeta Hindu dari Pajajaran, Bujangga Manik, yang menyebutkan bahwa Karawang pada saat itu merupakan daerah yang makmur. Seorang Pengelana Portugis, Barros yang semapat mengunjungi Pajajaran, menyebutkan bahwa Pajajaran mempunyai enam pelabuhan di Pantai Utara Jawa Barat. Salah satu pelabuhan itu, disamping Banten, Tangerang, Sunda Kalapa, Pamanukan dan Cirebon, adalah Karawang yang diucapkan dengan lidah Portugal jadi Caravam.  Kecuali Cirebon dan Banten, pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Pajajaran yang makmur itu semua berada tidak jauh dari empat muara sungai besar yang mengalir ke Laut Jawa. Pelabuhan Tangerang dimuara Cisadane, Pelabuan Sunda Kalapa dimuara Ciliwung, Pelabuhan Tanjung Karawang di muara Sungai Citarum, dan Pelabuhan Pamanukan dimuara Sungai Cimanuk. 


Cirebon dan Karawang menurut tradisi lokal Cirebon, malah sudah berkembang pada awal abad ke 15 M.  Pada tahun 1420 M, misalnya Syekh Datuk Kahfi sudah mendarat di Muara Jati, dan membangun Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Ulama-ulama dari Pasai dan Malaka yang menyusul datang ke Cirebon antara lain, Syekh Quro, yang kemudian pindah ke Karawang dan mendirikan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Datang lagi ke Cirebon ulama dari Pasai juga, Syekh Nurjati. Pada akhir akhir abad ke 15 M, Cirebon sudah berada dibawah pengaruh Kerajaan Islam Demak. Karawang dan Sunda Kalapa pada awal abad ke 16 M, masih menjadi pelabuhan penting pengekport tarum, lada dan pala yang merupakan salah satu sumber kemakmuran Kerajaan Pajajaran.


Pada tahun 1511 M, Kerajaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugal. Pedagang-pedagang Islam yang biasa singgah di Malaka merubah jalur pelayarannya, tidak lagi lewat Selat Malaka tetapi lewat Selat Sunda dalam pelayaran mereka menuju Maluku untuk mencari rempah-rempah. Akibatnya Bandar Banten menjadi lebih ramai, dan pedagang-pedagang muslim semakin banyak yang singgah dan bermukim di hampir semua pelabuhan yang ada di Pantai Utara Pulau Jawa. 


Pada tahun 1513 M, Kerajaan Islam Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal, tetapi gagal. Kegagalan Demak merebut Malaka dari tangan Portugal, menyebabkan posisi Portugal di mata Pajajaran dan Kediri meningkat. Pajajaran dan Kediri segera membangun aliansi dengan Portugal. Tentu saja kini ganti Demak yang merasa terancam oleh Kediri dan Pajajaran. Demak yang tadinya menghindari konflik dengan Kediri dan Pajajaran, akhirnya merancang program untuk menundukkan Pajajaran dan Kediri. Untuk menundukkan  Pajajaran, Demak mendapat bantuan Sunan Gunungjati dari Cirebon dan Adipati Banyak Belanak dari Kadipaten Pasirluhur yang sudah memeluk Islam pada dasa warsa kedua abad ke-16 M. Kerjasama Pasirluhur dibawah Adipati Banyak Belanak yang bergelar Senapati Mangkubumi I dan Cirebon dibawah Sunan Gunungjati, membawa hasil yang gilang gemiliang. Daerah sebelah timur Citarum, mulai dari Karawang, Tatar Ukur, Sumedang, Galunggung, dan Galuh, berhasil ditundukkan dibawah Kerajaan Islam Demak. Keberhasilan Adipati Banyak Belanak dengan Sunan Gunungjati mengambil alih wilayah sebelah timur Citarum mulai dari Karawang sampai Galuh ditepi Citanduy, karena menurut tradisi lokal, baik Sunan Gunungjati maupun Adipati Banyak Belanak, masih punya hubungan kekerabatan dengan dengan Raja Pajajaran, Sri Baduga Maharaja (1482 -1522 M). 


Tidak lama setelah Sultan Demak III Trenggono (1521 – 1546 M) wafat, terjadi perang saudara antara Kadipaten Pajang dengan Jippang, memperebutkan tahta Demak. Pada tahun 1568 M, Pajang keluar sebagai pemenang. Adiwijaya dari Pajang mengangkat dirinya menjadi Raja Pajang dan mengklaim sebagai pewaris dan penerus Kerajaan Demak. Tetapi Cirebon tidak mau mengakui Pajang, dan Cirebon menyatakan dirinya sebagai Kerajaan merdeka lepas dari Demak dan Pajang. Ketika itu Cirebon sudah menjadi penguasa atas Banten, Sundakelapa yang sudah dirubah menjadi Jayakarta, dan seluruh wilayah di timur Citarum dari Karawang sampai Galuh. 


Sementara itu Adipati Banyak Galeh atau Senapati Mangkubumi II menggantikan kakaknya, Banyak Belanak yang telah wafat ( 1522 M). Dia memindahkan Kadipaten Pasirluhur ke Pasirbatang. Pada saat terjadi konflik Pajang – Jipang, Mangkubumi II bersifat netral.  Akibatnya, setelah Adipati Banyak Galeh wafat, Raja Pajang langsung membubarkan Kadipaten Pasirbatang dan menurunkan statusnya menjadi setingkat Kademangan. Kadipaten paling tua di Lembah Serayu itu dan yang sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Timur, akhirnya hanya tinggal namanya saja. 


 Namun Kerajaan Pajang setelah membubarkan Kadipaten Pasirbatang (1568 M) tidak berusia panjang. Kerajaan Mataran segera naik panggung sejarah dan menggantikan. Pajang. Kerajaan Mataram pada awal abad ke-17 M, segera tampil menjadi salah satu penguasa di Pulau Jawa, mulai dari Blambangan di Jawa Timur, sampai Karawang dan wilayah bagian timur Sungai Citarum. Wilayah barat Sungai Citarum, berada dibawah kekuasaan Kerajaan Banten, sementara di Batavia, sejak 1619 M bercokol kekuatan Kompeni yang akan segera menjadi ancaman bagi Banten maupun Mataram.


 Kabupaten Purwakarta.

Daerah Karawang dan Purwakarta yang makmur itu, sejak tahun 1620 M sudah jatuh ditangan Mataram. Penguasa Mataram, Sultan Agung( 1613 – 1645 M), menjadikan wilayah Karawang dan Purwakarta yang subur itu sebagai basis untuk menundukkan Kompeni di Batavia.  Dua kali Sultan Agung mengerahkan orang Jawa dan orang Sunda untuk menaklukkan VOC di Batavia. Tetapi kedua serangan pada tahun 1628 M dan 1629 M itu gagal, karena kuatnya benteng pertahanan VOC yang melindungi Batavia. Tahun 1629 M, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieter Zoon Coen, tiba-tiba meninggal terkena kolera. Mungkin kelelahan karena terus menerus dikepung gabungan orang Sunda dan Jawa yang pantang menyerah, sekalipun kalah dan gagal menaklukkan Kompeni. 


Untuk membendung pengaruh Kompeni ke sebelah timur Citarum, Sultan Agung mengangkat Panembahan Galuh Wirasuta, menjadi penguasa Karawang dan sekitarnya dengan pangkat Wedana. Dia bergelar Wiraperbangsa atau Kertabumi III. Dia berhasil mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, dan Parakansapi. Kertabumi III juga berhasil mengubah Karawang dan sekitarnya menjadi lahan-lahan pertanian yang subur. Setelah sukses membangun benteng pertahanan dan membangun daerah pertanian, dia kembali ke Galuh, dan wafat disana. Sultan Agung kemudian mengangkat putranya, dengan pangkat Adipati Kertabumi IV atau Adipati Singaperbangsa. Sejak itu status daerah Karawang menjadi Kadipaten yang mandiri dengan Ibu Kotanya di Udug-Udug. Adipati Singaperbangsa dilantik oleh Sultan Agung menjadi Adipati Karawang di Kraton Mataram pada tanggal 14 September 1633.  Tanggal 14 September ini kemudian dijadikan Hari Jadi Kabupaten Karawang, sampai sekarang. Pada tahun 1656 M, Sunan Amangkurat I pengganti  Sultan Agung Mataram yang wafat tahun 1645 M, mengangkat putra Kertabumi IV, menjadi Adipati Karawang dengan gelar  RAA.Panatayuda I.  Dia memindahkan Ibu Kota Karawang dari Udug-Udug ke Karawang. 


Pada masa Amangkurat II, seluruh daerah Tanah Pasundan, termasuk Krawang jatuh ke tangan Kompeni, sebagai balas jasa Mataram kepada Kompeni. Saat itu Kompeni berhasil memadamkan Pemberontakan Trunojoyo ( 1677 – 1680 M), dan mengembalikan tahta Mataram kepada Sunan Amangkurat II ( 1680 – 1705 M). 


Sejak jatuh ke tangan Kompeni, Kabupaten Karawang dan wilayah Purwakarta, berada dibawah kendali Pemerintah Belanda di Batavia, sampai Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah Inggris pada tahun 1811 M. Pemerintah Inggris langsung melikuidasi Kabupaten Karawang dan sejumlah Kabupaten yang lain. Bahkan Kesultanan Banten sudah di bubarkan oleh Gubernur Jendral Daendels (1807 – 1811 M), yang memerintah Hindia Belanda atas nama Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Kesultanan Banten, dibubah menjadi Karesidenan dengan pusatnya di Serang. 


Kekuasaan Inggris atas wilayah Hindia Belanda berakhir pada tahun 1816 M dan kembali menyerahkan wilayah Hindia Belanda kepada Negeri Belanda. Pemerintah Negeri Belanda kemudian mengangkat Van Der Capellen sebagai Gubernur Hindia Belanda Pertama setelah kekuasaan Inggris berakhir. Pada tahun 1820  Van Der Capellen mengeluarkan keputusan menghidupkan kembali Kabupaten Karawang yang berada di sisi timur Sungai Citarum. Sebagai Bupati Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali itu diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri. Beliau kemudian memilih ibukota kabupaten Karawang di Wanayasa. RAA Surianata wafat pada tahun 1827 M. Jenazahnya dimakamkan ditengah pulau Situ Wanayasa yang sangat indah. Kini Wanayasa menjadi Kota Kecamatan yang berada di kaki Gunung Burangrang, dengan lima belas desa. Pengganti RAASurianata adalah putranya, R.A.Suriawinata. 


Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Konon Sang Bupati ketika itu sedang melakukan survai untuk menemukan sebuah lokasi untuk membangun sebuah kota baru. Tibalah Sang Bupati di suatu desa yang kemudian diberi nama Sindangkasih. Sang Bupati sempat bermalam di desa itu, dan terpukau oleh keramah tamahan penduduknya. Desa itu pun diberi nama Sindangkasih. Dari kata sindang yang artinya mampir. Dan kasih, artinya cinta. Desa tempat Sang Bupati mendapat cinta dan kasih sayang dari penduduknya, yang menyebabkan Sang Bupati merasa betah tinggal di tempat itu. 


Sang Bupati kemudian mengusulkan pemindahan ibu kota kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ternyata Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usul Sang Bupati. Keluarlah SK Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juli 1831 nomor 2. Sejak itu rakyat dikerahkan untuk membangun kota baru, dipimpin oleh arsitektur orang Belanda dan Pribumi. Kota baru itu diberi nama Purwakarta. Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud. Konon, Situ Buleud pada awalnya adalah rawa bundar tempat mandi badak yang berhasil disulap jadi situ buatan dan tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Kini Situ Buleud yang luasnya 4 ha, berada di tengah-tengah Kota Purwakarta, dan berkembang menjadi obyek wisata yang menarik. Tanggal 20 Juli dijadikan Hari Jadi Kota Purwakarta sampai sekarang ini. 



 Kantor Kabupaten Purwakarta, dibangun tahun 1854 M. Dok.Pribadi Anwar Hadja
Pembangunan awal Kota Purwakarta dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur berupa pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan pendukung pemerintahan yang terus dilanjutkan oleh bupati-bupati penerusnya. Misalnya, pembangunan Gedung Karesidenan, Pendapa, Mesjid Agung, Selokan Gede, dan Sawah Lega. Nama Purwakarta berasal dari kata purwa yang artinya awal dan karta yang artinya hidup atau ramai. Purwakarta artinya kota yang baru didirikan dan menjadi makmur, ramai, hidup, dan berkembang, karena menjadi pusat pemerintahan, yakni Ibu Kota Kabupaten Karawang. 


Sementara itu pada pertengahan abad ke 19 M, tanaman tarum tidak lagi menjadi komoditas ekspor yang menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda mulai menggantinya dengan teh dan kopi. Penyebabnya, ahli-ahli Kimia Jerman berhasil membuat pewarna sintetik yang sukses menggantikan pewarna nabati, termasuk pewarna nabati dari tarum. Pada tahun 1897, pewarna sintetik berhasil diproduksi secara besar-besaran. Karena terbukti pewarna sintetik lebih murah ongkos produksinya dan juga lebih unggul kualitasnya, penggunaan pewarna nabati, termasuk tarum, merosot drastis. Kini kejayaan tarum, tinggal kenangan yang mulai dilupakan. 


Pada jaman kemerdekaan, Kabupaten Karawang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Karawang Barat beribukota Kecamatan Krawang dan Kabupaten Krawang Timur beribukota di Purwakarta. Pada tahun 1968, Kabupaten Krawang Timur dipecah lagi menjadi dua, yakni Kabupaten Purwakarta dengan Ibukota di Kecamatan Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan Ibu Kota di Kecamatan Subang.


Bupati Purwakarta sekarang, H.Dedi Mulyadi, SH, adalah Bupati Karawang ke-8 setelah pemecahan pada tahun 1968, yaitu pada masa Orde Baru. Beliau terpilih pertama kali menjadi Bupati Purwakarta periode I (2008-2013 ), kemudian terpilih lagi untuk periode II (2013 - 2018). Dibawah kepemimpinannya, Purwakarta mengalamai kemajuan pesat luar biasa yang mencengangkan banyak orang. Karir politiknya terus menanjak, ketika pada 13 April 2016, terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat. Jalan menuju Jabar 1, semakin terbuka bagi pria kelahiran Subang, Jawa Barat pada 45 tahun yang lalu. Karya kreatipnya dan inovasinya, masih terus ditunggu.

Dirgahayu  HUT ke 185  Kota Purwakarta dan HUT ke 48 Kabupaten Purwakarta. Purwakarta Istimewa, maju terus dan Jaya.[Tammat-25-07-2016]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar