Kerajaan Mataram Islam.
Pada akhir abad ke-16 M, nama Mataram sebagai
nama kerajaan muncul kembali, yakni Kerajaan Mataram Islam, yang menggantikan
Kerajaan Islam Pajang. Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Ki Gede Pamanahan
dibantu putranya Sutawijaya, yang kelak setelah menjadi Raja Mataram, mengambil
gelar Panembahan Senapati. Kurang jelas, apa yang menyebabkan Ki Gede Pamanahan
memberi nama Mataram kepada kadipaten yang didirikannya di hutan Mentawis yang
memang dulunya merupakan salah satu lokasi pusat Kerajaan Mataram Hindu. Apakah
karena Ki Gede Pamanahan, ketika membabat hutan Mentawis menjumpai tanaman
tarum, sehingga memberi nama kadipaten yang berhasil didirikannya itu Kadipaten
Mataram? Tidak ada satu pun kronik Jawa yang menjelaskannya.
Bisa jadi Sejarawan Belanda De Graaf
sepenuhnya benar, ketika berpendapat bahwa sebenarnya Pendiri Mataram itu
bukanlah keturunan bangsawan dari Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Babad
Tanah Jawi. Ki Gede Pamanahan, hanyalah keturunan orang biasa saja yang
leluhurnya berasal dari keturunan petani di daerah Grobogan. Tepatnya di daerah
Sesela. Sekalipun Ki Gede Pamanahan sudah memeluk Islam, tetapi leluhurnya di
Sesela adalah para pemuja Dewa Api yang dalam agama Hindu diidentikkan dengan
Dewa Brahma.
Rake Sanjaya
selain memuja Syiwa, adalah juga Pemuja Dewa Awan dan Dewa Api. Dalam
mitologi Hinduisme, Dewa Awan identik dengan Dewa Indra, sedang Dewa Api
identik dengan Dewa Brahma. Pusat Kerajaan Mataram awal di Kunjarakunjadesya
yang berada di hulu Sungai Serayu. Kunjarakunjadesya mengandung arti dua gajah,
karena kunja, menurut Purbocaroko berarti gajah. Yang dimaksud dua gajah tidak
lain adalah Dewa Indra dan Dewa Brahma, karena kedua dewa itu senang bepergian
dengan menunggang gajah. Dewa Brahma atau Dewa Api adalah juga dewa yang
disembah leluhur Ki Gede Pamanahan.
Pemilihan nama Mataram sebagai nama kerajaan
yang didirikannya, jelas merupakan usaha Pamanahan untuk mengaitkan leluhurnya dengan Rake Sanjaya, sebagai sesama pemuja Dewa Brahma.
Memang leluhur raja-raja Majapahit, Ken Arok Sri Rajasa, juga dimitoskan
sebagai putra Dewa Brahma yang dilahirkan di kaki Gunung Bromo, Pananggungan
Jawa Timur. Tetapi, Gunung Bromo sebagai tempat memuja Dewa Api itu, terlalu
jauh dari hutan Mentawis dibanding Gunung Dieng, gunung tempat di lereng barat dayanya, Rake Sanjaya mendirikan Kerajaan
Mataram Hindu yang juga memuja Dewa Api. Tentu saja Ki Gede Pamanahan juga
berharap, Kerajaan Mataram Islam akan mampu berkembang menjadi satu-satunya
penguasa di Pulau Jawa, sebagaimana juga pernah diraih Kerajaan Mataram Hindu
di bawah Rake Sanjaya.
Sejarah memang mencatat akhirnya
Kerajaan Mataram Islam dibawah Sultan Agung berhasil menjadi penguasa tanah
Pasundan sampai sebelah timur Sungai Citarum. Setelah wilayah Galuh, Sukapura,
Sumedang, Tatar Ukur mengakui kekuasaan Sultan Agung, menyusul daerah
Purwakarta dan Karawang.
Sebelum daerah Krawang dan sekitarnya
jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung, daerah Krawang dan Purwakarta berada dibawah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Nama Karawang ditemukan dalam catatan
seorang Pengelana Pendeta Hindu dari Pajajaran, Bujangga Manik, yang
menyebutkan bahwa Karawang pada saat itu merupakan daerah yang makmur. Seorang Pengelana
Portugis, Barros yang semapat mengunjungi Pajajaran, menyebutkan bahwa
Pajajaran mempunyai enam pelabuhan di Pantai Utara Jawa Barat. Salah satu
pelabuhan itu, disamping Banten, Tangerang, Sunda Kalapa, Pamanukan dan
Cirebon, adalah Karawang yang diucapkan dengan lidah Portugal jadi
Caravam. Kecuali Cirebon dan Banten,
pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Pajajaran yang makmur itu semua berada tidak jauh
dari empat muara sungai besar yang mengalir ke Laut Jawa. Pelabuhan Tangerang
dimuara Cisadane, Pelabuan Sunda Kalapa dimuara Ciliwung, Pelabuhan Tanjung Karawang
di muara Sungai Citarum, dan Pelabuhan Pamanukan dimuara Sungai Cimanuk.
Cirebon dan Karawang menurut tradisi
lokal Cirebon, malah sudah berkembang pada awal abad ke 15 M. Pada tahun 1420 M, misalnya Syekh Datuk Kahfi
sudah mendarat di Muara Jati, dan membangun Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Ulama-ulama
dari Pasai dan Malaka yang menyusul datang ke Cirebon antara lain, Syekh Quro,
yang kemudian pindah ke Karawang dan mendirikan Pesantren Syekh Quro di
Karawang. Datang lagi ke Cirebon ulama dari Pasai juga, Syekh Nurjati. Pada
akhir akhir abad ke 15 M, Cirebon sudah berada dibawah pengaruh Kerajaan Islam
Demak. Karawang dan Sunda Kalapa pada awal abad ke 16 M, masih menjadi
pelabuhan penting pengekport tarum, lada dan pala yang merupakan salah satu
sumber kemakmuran Kerajaan Pajajaran.
Pada tahun 1511 M, Kerajaan Islam
Malaka jatuh ke tangan Portugal. Pedagang-pedagang Islam yang biasa singgah di
Malaka merubah jalur pelayarannya, tidak lagi lewat Selat Malaka tetapi lewat
Selat Sunda dalam pelayaran mereka menuju Maluku untuk mencari rempah-rempah. Akibatnya
Bandar Banten menjadi lebih ramai, dan pedagang-pedagang muslim semakin banyak
yang singgah dan bermukim di hampir semua pelabuhan yang ada di Pantai Utara
Pulau Jawa.
Pada tahun 1513 M, Kerajaan Islam
Demak mencoba merebut kembali Malaka dari tangan Portugal, tetapi gagal. Kegagalan
Demak merebut Malaka dari tangan Portugal, menyebabkan posisi Portugal di mata
Pajajaran dan Kediri meningkat. Pajajaran dan Kediri segera membangun aliansi
dengan Portugal. Tentu saja kini ganti Demak yang merasa terancam oleh Kediri
dan Pajajaran. Demak yang tadinya menghindari konflik dengan Kediri dan
Pajajaran, akhirnya merancang program untuk menundukkan Pajajaran dan Kediri.
Untuk menundukkan Pajajaran, Demak
mendapat bantuan Sunan Gunungjati dari Cirebon dan Adipati Banyak Belanak dari
Kadipaten Pasirluhur yang sudah memeluk Islam pada dasa warsa kedua abad ke-16
M. Kerjasama Pasirluhur dibawah Adipati Banyak Belanak yang bergelar Senapati Mangkubumi I dan Cirebon dibawah
Sunan Gunungjati, membawa hasil yang gilang gemiliang. Daerah sebelah timur
Citarum, mulai dari Karawang, Tatar Ukur, Sumedang, Galunggung, dan Galuh, berhasil
ditundukkan dibawah Kerajaan Islam Demak. Keberhasilan Adipati Banyak Belanak
dengan Sunan Gunungjati mengambil alih wilayah sebelah timur Citarum mulai dari
Karawang sampai Galuh ditepi Citanduy, karena menurut tradisi lokal, baik Sunan
Gunungjati maupun Adipati Banyak Belanak, masih punya hubungan kekerabatan
dengan dengan Raja Pajajaran, Sri Baduga Maharaja (1482 -1522 M).
Tidak lama setelah Sultan Demak III
Trenggono (1521 – 1546 M) wafat, terjadi perang saudara antara Kadipaten Pajang
dengan Jippang, memperebutkan tahta Demak. Pada tahun 1568 M, Pajang keluar
sebagai pemenang. Adiwijaya dari Pajang mengangkat dirinya menjadi Raja Pajang
dan mengklaim sebagai pewaris dan penerus Kerajaan Demak. Tetapi Cirebon tidak
mau mengakui Pajang, dan Cirebon menyatakan dirinya sebagai Kerajaan merdeka
lepas dari Demak dan Pajang. Ketika itu Cirebon sudah menjadi penguasa atas
Banten, Sundakelapa yang sudah dirubah menjadi Jayakarta, dan seluruh wilayah
di timur Citarum dari Karawang sampai Galuh.
Sementara itu Adipati Banyak Galeh
atau Senapati Mangkubumi II menggantikan kakaknya, Banyak Belanak yang telah
wafat ( 1522 M). Dia memindahkan Kadipaten Pasirluhur ke Pasirbatang. Pada saat
terjadi konflik Pajang – Jipang, Mangkubumi II bersifat netral. Akibatnya, setelah Adipati Banyak Galeh
wafat, Raja Pajang langsung membubarkan Kadipaten Pasirbatang dan menurunkan
statusnya menjadi setingkat Kademangan. Kadipaten paling tua di Lembah Serayu
itu dan yang sempat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Timur, akhirnya
hanya tinggal namanya saja.
Namun Kerajaan Pajang setelah membubarkan
Kadipaten Pasirbatang (1568 M) tidak berusia panjang. Kerajaan Mataran segera
naik panggung sejarah dan menggantikan. Pajang. Kerajaan Mataram pada awal abad
ke-17 M, segera tampil menjadi salah satu penguasa di Pulau Jawa, mulai dari
Blambangan di Jawa Timur, sampai Karawang dan wilayah bagian timur Sungai
Citarum. Wilayah barat Sungai Citarum, berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Banten, sementara di Batavia, sejak 1619 M bercokol kekuatan Kompeni yang akan segera
menjadi ancaman bagi Banten maupun Mataram.
Kabupaten Purwakarta.
Daerah Karawang dan Purwakarta yang makmur
itu, sejak tahun 1620 M sudah jatuh ditangan Mataram. Penguasa Mataram, Sultan
Agung( 1613 – 1645 M), menjadikan wilayah Karawang dan Purwakarta yang subur
itu sebagai basis untuk menundukkan Kompeni di Batavia. Dua kali Sultan Agung mengerahkan orang Jawa
dan orang Sunda untuk menaklukkan VOC di Batavia. Tetapi kedua serangan pada
tahun 1628 M dan 1629 M itu gagal, karena kuatnya benteng pertahanan VOC yang
melindungi Batavia. Tahun 1629 M, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieter Zoon Coen,
tiba-tiba meninggal terkena kolera. Mungkin kelelahan karena terus menerus
dikepung gabungan orang Sunda dan Jawa yang pantang menyerah, sekalipun kalah
dan gagal menaklukkan Kompeni.
Untuk membendung pengaruh Kompeni ke
sebelah timur Citarum, Sultan Agung mengangkat Panembahan Galuh Wirasuta,
menjadi penguasa Karawang dan sekitarnya dengan pangkat Wedana. Dia bergelar
Wiraperbangsa atau Kertabumi III. Dia berhasil mendirikan benteng pertahanan di
Tanjungpura, Adiarsa, dan Parakansapi. Kertabumi III juga berhasil mengubah
Karawang dan sekitarnya menjadi lahan-lahan pertanian yang subur. Setelah
sukses membangun benteng pertahanan dan membangun daerah pertanian, dia kembali
ke Galuh, dan wafat disana. Sultan Agung kemudian mengangkat putranya, dengan
pangkat Adipati Kertabumi IV atau Adipati Singaperbangsa. Sejak itu status
daerah Karawang menjadi Kadipaten yang mandiri dengan Ibu Kotanya di Udug-Udug.
Adipati Singaperbangsa dilantik oleh Sultan Agung menjadi Adipati Karawang di
Kraton Mataram pada tanggal 14 September 1633.
Tanggal 14 September ini kemudian dijadikan Hari Jadi Kabupaten
Karawang, sampai sekarang. Pada tahun 1656 M, Sunan Amangkurat I pengganti Sultan Agung Mataram yang wafat tahun 1645 M,
mengangkat putra Kertabumi IV, menjadi Adipati Karawang dengan gelar RAA.Panatayuda I. Dia memindahkan Ibu Kota Karawang dari
Udug-Udug ke Karawang.
Pada masa Amangkurat II, seluruh
daerah Tanah Pasundan, termasuk Krawang jatuh ke tangan Kompeni, sebagai balas
jasa Mataram kepada Kompeni. Saat itu Kompeni berhasil memadamkan Pemberontakan
Trunojoyo ( 1677 – 1680 M), dan mengembalikan tahta Mataram kepada Sunan
Amangkurat II ( 1680 – 1705 M).
Sejak jatuh ke tangan Kompeni,
Kabupaten Karawang dan wilayah Purwakarta, berada dibawah kendali Pemerintah
Belanda di Batavia, sampai Hindia Belanda jatuh ke tangan pemerintah Inggris
pada tahun 1811 M. Pemerintah Inggris langsung melikuidasi Kabupaten Karawang
dan sejumlah Kabupaten yang lain. Bahkan Kesultanan Banten sudah di bubarkan
oleh Gubernur Jendral Daendels (1807 – 1811 M), yang memerintah Hindia Belanda
atas nama Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Kesultanan Banten, dibubah
menjadi Karesidenan dengan pusatnya di Serang.
Kekuasaan Inggris atas wilayah Hindia Belanda
berakhir pada tahun 1816 M dan kembali menyerahkan wilayah Hindia Belanda
kepada Negeri Belanda. Pemerintah Negeri Belanda kemudian mengangkat Van Der
Capellen sebagai Gubernur Hindia Belanda Pertama setelah kekuasaan Inggris
berakhir. Pada tahun 1820 Van Der
Capellen mengeluarkan keputusan menghidupkan kembali Kabupaten Karawang yang
berada di sisi timur Sungai Citarum. Sebagai Bupati Kabupaten Karawang yang
dihidupkan kembali itu diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri. Beliau kemudian
memilih ibukota kabupaten Karawang di Wanayasa. RAA Surianata wafat pada tahun
1827 M. Jenazahnya dimakamkan ditengah pulau Situ Wanayasa yang sangat indah.
Kini Wanayasa menjadi Kota Kecamatan yang berada di kaki Gunung Burangrang,
dengan lima belas desa. Pengganti RAASurianata adalah putranya, R.A.Suriawinata.
Pada
masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830
ibu kota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih. Konon
Sang Bupati ketika itu sedang melakukan survai untuk menemukan sebuah lokasi
untuk membangun sebuah kota baru. Tibalah Sang Bupati di suatu desa yang
kemudian diberi nama Sindangkasih. Sang Bupati sempat bermalam di desa itu, dan
terpukau oleh keramah tamahan penduduknya. Desa itu pun diberi nama
Sindangkasih. Dari kata sindang yang artinya mampir. Dan kasih, artinya cinta.
Desa tempat Sang Bupati mendapat cinta dan kasih sayang dari penduduknya, yang
menyebabkan Sang Bupati merasa betah tinggal di tempat itu.
Sang
Bupati kemudian mengusulkan pemindahan ibu kota kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Ternyata Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usul Sang Bupati.
Keluarlah SK Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juli 1831 nomor 2. Sejak
itu rakyat dikerahkan untuk membangun kota baru, dipimpin oleh arsitektur orang
Belanda dan Pribumi. Kota baru itu diberi nama Purwakarta. Pembangunan dimulai
antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud. Konon, Situ
Buleud pada awalnya adalah rawa bundar tempat mandi badak yang berhasil disulap
jadi situ buatan dan tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Kini Situ
Buleud yang luasnya 4 ha, berada di tengah-tengah Kota Purwakarta, dan
berkembang menjadi obyek wisata yang menarik. Tanggal 20 Juli dijadikan Hari
Jadi Kota Purwakarta sampai sekarang ini.
Kantor Kabupaten Purwakarta, dibangun tahun 1854 M. Dok.Pribadi Anwar Hadja
Pembangunan
awal Kota Purwakarta dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur berupa
pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan pendukung pemerintahan yang terus
dilanjutkan oleh bupati-bupati penerusnya. Misalnya, pembangunan Gedung Karesidenan, Pendapa, Mesjid Agung, Selokan
Gede, dan Sawah Lega. Nama Purwakarta berasal dari kata purwa yang artinya awal
dan karta yang artinya hidup atau ramai. Purwakarta artinya kota yang baru
didirikan dan menjadi makmur, ramai, hidup, dan berkembang, karena menjadi
pusat pemerintahan, yakni Ibu Kota Kabupaten Karawang.
Sementara
itu pada pertengahan abad ke 19 M, tanaman tarum tidak lagi menjadi komoditas
ekspor yang menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda mulai menggantinya dengan
teh dan kopi. Penyebabnya, ahli-ahli Kimia Jerman berhasil membuat pewarna
sintetik yang sukses menggantikan pewarna nabati, termasuk pewarna nabati dari
tarum. Pada tahun 1897, pewarna sintetik berhasil diproduksi secara
besar-besaran. Karena terbukti pewarna sintetik lebih murah ongkos produksinya
dan juga lebih unggul kualitasnya, penggunaan pewarna nabati, termasuk tarum,
merosot drastis. Kini kejayaan tarum, tinggal kenangan yang mulai dilupakan.
Pada
jaman kemerdekaan, Kabupaten Karawang dipecah menjadi dua, yakni Kabupaten Karawang
Barat beribukota Kecamatan Krawang dan Kabupaten Krawang Timur beribukota di Purwakarta.
Pada tahun 1968, Kabupaten Krawang Timur dipecah lagi menjadi dua, yakni
Kabupaten Purwakarta dengan Ibukota di Kecamatan Purwakarta dan Kabupaten
Subang dengan Ibu Kota di Kecamatan Subang.
Bupati
Purwakarta sekarang, H.Dedi Mulyadi, SH, adalah Bupati Karawang ke-8 setelah
pemecahan pada tahun 1968, yaitu pada masa Orde Baru.
Beliau terpilih pertama kali menjadi Bupati Purwakarta periode I
(2008-2013 ), kemudian terpilih lagi untuk periode II (2013 - 2018).
Dibawah kepemimpinannya, Purwakarta mengalamai kemajuan pesat luar biasa
yang mencengangkan banyak orang. Karir politiknya terus menanjak,
ketika pada 13 April 2016, terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD
Golkar Jawa Barat. Jalan menuju Jabar 1, semakin terbuka bagi pria
kelahiran Subang, Jawa Barat pada 45 tahun yang lalu. Karya kreatipnya
dan inovasinya, masih terus ditunggu.
Dirgahayu
HUT ke 185 Kota Purwakarta dan
HUT ke 48 Kabupaten Purwakarta. Purwakarta Istimewa, maju terus dan Jaya.[Tammat-25-07-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar