Sesungguhnya makanan sate sudah lama dikenal, baik oleh orang Sunda, Jawa, Madura, Padang, Melayu. Bahkan sate merupakan makanan asli orang Sunda, Jawa, Madura, Padang, dan orang Melayu. Bisa jadi masakan daging sate malah sudah dikenal pada jaman Kerajaan Tarumanegara, Galuh, dan Pajajaran. Tetapi mungkin saja memasak daging sate malahan tidak dikenal dalam tradisi masakan China.
Pada awalnya budaya makan sate berasal
dari budaya berburu binatang dan pesta api unggun memanggang binatang hasil
buruan. Lama-lama bukan hanya daging binatang buruan yang dipanggang seperti
babi hutan, dan kijang. Tetapi juga daging binatang ternak, seperti domba,
sapi, kerbau, babi, dan sebagainya.Baru ketika jaman Kerajaan Islam, tidak ada
lagi daging babi yang dikonsumsi, sehingga tidak ada sate babi.
Dalam kamus bahasa Sunda disebutkan bahwa sate
adalah dengeun sangu tina daging embe nu
dikeureutan sarta dipanggang tuluy dibeuleum. Sate adalah teman makan nasi
dibuat dari daging kambing, dipotong-potong kecil, dipanggang lalu dikasih
bumbu. Kata sate punya kedekatan dengan kata sato yang artinya binatang atau
daging binatang. Jelaslah dari kamus Bahasa Sunda itu, cara memasak daging sate
telah lama dikenal oleh orang Sunda.
Memang bisa jadi orang Sunda menemukan
ide membuat Sate Maranggi dengan cara daging bahan sate direndam lebih dulu ke
dalam cairan bumbu, awalnya dari melihat proses pengolahan daging babi yang
direndam ke dalam cairan bumbu yang dilakukan orang-orang China. Tetapi tehnik
mengolah daging binatang menjadi sate, sudah lama dikenal oleh orang Sunda,
jauh sebelum orang Sunda berhubungan dengan orang China. Sebab jika orang Sunda baru belajar mengolah
daging sate kepada orang China, nama makanannya bukan Sate Maranggi. Mungkin
bate atau basate Maranggi.
Kata maranggi, juga sudah lama dikenal
oleh orang Sunda. Dalam kamus bahasa Sunda, kata maranggi mengandung arti tukang membuat keris. Sekalipun keris
kemudian menjadi senjata andalan para ksatria Jawa, tampaknya pembuat awal
keris bukanlah orang Jawa. Tapi orang Sunda. Senjata khas orang Sunda adalah
senjata kujang. Modifikasi senjata kujang di daerah Banyumas berubah menjadi
kudi. Kudi mirip golok berperut, tapi gagasan awalnya dipengaruhi oleh ide
pembuatan senjata kujang.
Disebut Sate Maranggi, karena daging yang
dipotong-potong itu ditusuk-tusuk dengan batang bambu, sehingga mirip keris
buatan maranggi. Gedung Pemerintahan Jawa Barat, disebut gedung sate, karena
dipuncaknya ada ornamen berbentuk sate. Bisa jadi pencipta Sate Maranggi,
berasal dari keluarga pembuat keris dan sarung keris, yang sempat melihat cara
orang China merendam daging babi di dalam cairan bumbu. Hasil pengamatannya itu
kemudian jatuh ketangan pembuat sate orang Purwakarta yang memang kreatif dan
inovatif itu.
Budaya makan sate juga berkaitan dengan budaya
menggunakan bambu, sebab tusuk sate selalu dibuat dari bambu, umumnya bambu
petung. Pengusaha sate, jarang yang
membuat tusuk sate sendiri. Tusuk sate biasanya dibuat oleh pengrajin tusuk
sate yang ada di desa-desa. Saya pernah mengunjungi sebuah desa di Kecamatan
Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Di situ ada sejumlah pengrajin tusuk sate yang
tergabung dalam KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang mendapat bantuan kredit
lunat dari BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat).
Sebagian besar pengrajin tusuk sate adalah para ibu-ibu yang bekerja
paruh waktu. Mereka mengerjakannya pada malam hari. Satu malam seorang
pengrajin bisa membuat seribu tusuk sate. Ternyata pembuatan tusuk sate tidak
mudah. Setelah bilah bambu dipotong-potong sesuai ukuran standar, baru dibuat batang-batang tusuk sate yang salah satu
ujungnya diruncingkan. Batang-batang tusuk sate masih harus diproses lebih
lanjut, yaitu di keringkan di atas bara api, agar tusuk sate benar-benar
kering, sehingga bisa tahan lama dan terbebas dari jamur. Setelah selesai
dikeringkan, baru diikat, setiap ikatan terdiri dari seribu tusuk. Kemudian
dipak, siap untuk diambil tengkulak yang akan memasarkannya ke kota-kota
Bandung dan sekitarnya.
Jika musim hujan tiba, para pengrajin
tusuk sate itu mengeluh, karena mereka kesulitan menjemur batang tutuk sate.
Rupanya sebelum dipanggang batang tusuk sate itu perlu dijemur dulu, agar
proses pemanggangan lebih cepat. Ketika ditanya bantuan apa yang mereka
harapkan agar produksi tusuk sate jadi mudah, dan produktif. Mereka rame-rame
menjawab yang diperlukan bukan mesin untuk mengolah bilah-bilah bambu. Tapi
hanya perlu open untuk memanggang batang-batang tusuk sate. Rupanya bukan hanya
dagingnya yang harus dimasak dengan cara dipanggang. Batang tusuk sate perlu
juga dipanggang agar higienis dan terbebas dari jamur.
Penggunaan lidi daun kelapa sebagai
pengganti tusuk sate dari bambu, jarang dijumpai penjual sate di tanah
Pasundan. Sekalipun yang dijual sate ayam yang dagingnya lebih lunak, selalu
digunakan tusuk sate dari bambu. Hanya
di Banjar, Ciamis, dekat simpang tiga jalan ke Pangandaran – Yogyakarta, tidak
jauh dari POM Bensin, memang ada penjual sate ayam menggunakan tusuk sate dari
lidi daun pohon kelapa. Saya belum pernah tanya apakah penjual sate dengan
tusuk dari lidi itu orang Sunda, Jawa atau Madura. Namun secara umum
menggunakan tusuk sate dari lidi, jarang dijumpai pada penjual sate orang
Sunda.
Jika benar keterangan Bupati
Purwakarta, bahwa satu hari produksi Sate
Maranggi Purwakarta menghabiskan daging 2 ton, dapat dibayangkan berapa ratus
ribu tusuk sate yang diperlukan untuk mendukung proses produksi Sate Maranggi
setiap harinya. Yang jelas produksi Sate
Maranggi telah menciptakan nilai tambah, bukan hanya bagi pengusaha sate saja.
Tetapi juga bagi pengrajin tusuk sate, peternak domba, dan peladang pemilik
bambu. Penciptaan nilai tambah pada akhirnya akan menciptakan penghasilan. Dan
ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat akan meningkat.
Tanaman bambu yang merupakan bagian
keseharian budaya orang Sunda pada masa lalu, dengan sendirinya juga akan dapat
dilestarikan. Bupati H. Dedi Mulyadi,SH sepenuhnya benar ketika beliau
menggagas desa budaya. Desa sebagai pusat produksi dan kota sebagai pusat
penyedia jasa. Desa dan kota dihubungkan dengan rantai produksi nilai tambah.
Di sini konsep budaya, tidak semata-mata dilihat dalam pandangan yang sempit
sebagai hanya kesenian saja. Tetapi budaya dalam arti yang luas. Termasuk
didalamnya budaya etos kerja berproduksi meningkatkan nilai tambah, agar
tercipta kemakmuran dan kesejahteraan.
Jika tradisi kuliner sate sudah
dikenal orang Sunda pada masa lalu, tradisi kuliner soto, kelihatannya berasal
dari luar budaya Sunda yang berhasil diserap oleh orang Sunda yang kreatip.
Jika dalam kamus bahasa Sunda kata sate sama sekali tidak dikaitkan dengan suku
lain. Maka kosa kata soto dalam kamus bahasa Sunda dikaitkan dengan suku lain.
Yakni suku Madura. Padahal orang Madura dikenal bukan hanya dengan sotonya
tetapi juga satenya. Tetapi baik soto Madura maupun sate Madura kurang
berkembang di tanah Sunda. Dulu di Bandung terkenal dengan soto Bandungnya. Kini
soto Bandung sulit dicari, karena kurang diminati.
Dalam kamus bahasa Sunda, kosa kata
soto dijelaskan sebagai berikut, sarupa
angeun, aya nu make cipati aya nu heunteu. Soto babat, soto nu bukurna babat.
Soto Madura, soto no dijieun nurutkeun resep urang Madura. Mkasudnya,
sejenis makanan, ada yang pakai santan ada yang tidak. Soto babat, adalah soto
yang bahan bakunya babat. Soto Madura, adalah soto yang dibuat menurut resep
orang Madura.
Rupanya perintis pembuat soto adalah
orang Madura. Sebab budaya beternak sapi untuk lomba karapan sapi sangat
populer di Madura. Di Jawa Timur juga ada soto yang tidak dijumpai di daerah
lain, yaitu soto rawon. Hal ini menujukkan bahwa budaya makan soto awalnya
memang dari Jawa Timur, dan orang Madura penciptanya.
Bukan mustahil dulunya orang Jawa
belajar membuat soto dari orang Madura. Dan orang Sunda belajar membuat soto
dari orang Jawa. Orang Betawi belajar kepada orang Sunda. Orang Jawa membuat
modifikasinya sendiri. Demikian pula orang Sunda dan orang Betawi Maka munculah
aneka macam soto yang khas daerah. Soto Boyolali, Soto Sokaraja, Soto Bandung,
Soto Sadang, dan Soto Betawi. Jika kota Bandung gagal mempertahankan soto
Bandung, Purwakarta berhasil mempertahankan soto Sadang. Bahkan Purwakarta
berhasil membuat Sate Maranggi go internasional. Masih banyak jenis-jenis
kuliner tradisonal ditanah air kita yang
dapat digali, dikembangkan, dan dipasarkan dengan format dan cara-cara modern,
sehingga bisa mengikuti jejak Sate Maranggi Purwakarta.[26-07-2016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar