Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 30 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(70)



“Sebuah pertanyaan menarik. Karena Kerajaan Kediri dan Kerajaan Pajajaran sama-sama memeluk Hindu Syiwa,nyatanya mewariskan dendam akibat tragedi Bubat yang terus berlanjut. Bahkan Kadipaten Pasirluhur dan Wirasaba ikut-ikutan tidak saling sapa padahal keduanya sama-sama menganggap Sungai Ciserayu sebagai sungai suci, Sungai Gangganya lembah Ciserayu, bukan?” kata Ki Demang.
“Ki Demang berpendapat, agama bukan alat pemecah belah. Buktinya hubungan-antar sesama suku di Lembah Sungai Gangga, yakni suku Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka. Mereka beda suku, tapi satu agama. Ternyata mereka terlibat konflik dan permusuhan  berkepanjangan, karena berebutkan kekuasaan. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku lainnya. Akhirnya suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan, menjadi perjuangan kesejahteraan, kemanusiaan, dan kebudayaan. Ketika Dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan, dinasti itu terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang menggagas persatuan dan  tidak haus kekuasaan. Kekuasaan yang dipegang suku bangsa Saka bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya.”
“Kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku yang ada di India. Suku Saka mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku bangsa, kemudian  dipadukan menjadi satu kebudayaan nasional kerajaan. Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi sepakat menetapkan sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, berbangsa, dan beragama di India ditata ulang. Semboyannya berbeda suku bangsa, adat istiadat, dan kebudayaan, dilihatnya sebagai suatu keunikan, keragaman, dan kekayaan rokhani. Tetapi semua keragaman itu hakekatnya satu. Bisa satu agama, satu negara, satu tanah air, dan satu kemanusiaan sesama penghuni muka bumi ciptaan Yang Maha Kuasa.”
“Semboyan dari suku bangsa Saka itulah yang kelak mengilhami Mpu Tantular menuliskan semboyan persatuannya yang terkenal dalam kitabnya Sutasoma, ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Darma Mangrwa’, yang artinya sekalipun berbeda-beda tetapi semua itu hakekatnya  satu, dan tidak ada kewajiban yang mendua. Dimensi perbedaan itu bisa luas, dan-bisa sempit. Tetapi tetap saja semuanya bisa bersatu dalam bingkai kemanusiaan. Untuk menghormati gagasan dan idelogi persatuan suku bangsa Saka yang telah menciptakan kalender bersama yang disebut kalender Saka, maka tanggl 1 Saka yang merupakan tanggal awal tahun baru Saka, ditetapkan sebagai Hari Raya 1 Saka yang dirayakan dengan berbagai ritual seperti yang sudah Ki Demang sebutkan di depan. Oleh karena itu, peringatan Hari Raya 1 Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamangan, persatuan, kesatuan, hari toleransi, dan hari perdamaian, sekaligus hari kerukunan nasional. Seiring dengan perkembangan agama Hindu, kalender Saka pun tersebar kemana-mana. Termasuk ke Jawa,” kata Ki Demang Kejawar mengakhiri penjelasannya tentang riwayat kalender Saka.
Penjelasan Ki Demang Kejawar cukup memuaskan Ki Sulap Pangebatan, sehingga dia tidak mengajukan pertanyaan lainnya lagi. “Terimakasih atas penjelasannya, Ki Demang. Penjelasan yang memuaskan. Ki Sulap setuju sekali gagasan dan konsep persatuan yang mendalam itu. Ki Sulap juga yakin sepenuhnya agama bukan pemecah belah persatuan. Kadipaten Pasirluhur dan Kademangan Kejawar ternyata memiliki pandangan sama. Dalam soal peribadatan, ternyata antara Kadipaten Pasirluhur dan Kademangan Kejawar juga memiliki banyak persamaan dan kemiripan. Soal tatacara ibadah hanya masalah teknis saja. Kalau toh ada perbedaan dalam tata cara penyelenggaraan ritual religi, semua itu hanya perbedaan kecil. Bukan perbedaan dalam konsepsi,” kata Ki Sulap Pangebatan menyimpulkan hasil perbincangan di antara keduanya.
“Mudah-mudahan kerja sama ini, bisa terus berlanjut. Tentu baik sekali jika Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba bisa saling kerjasama, bantu membantu, dan saling tolong menolong. Tentu akan semakin baik jika kelak Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Kediri, juga mengikuti langkah-langkah kita, bekerja sama dalam soal penyelenggaraan ritual religi memuja Sang Hyang Syiwa,” kata Ki Sulap Pangebatan menyampaikan harapannya yang disetujui sepenuhnya Ki Demang Kejawar. 
***

 Matahari pagi musim kemarau, tampak semakin cemerlang dan berkilau-kilauan menerobos pohon-pohan di sekitar Kademangan Kejawar. Ki Demang masih asyik duduk di ruang tamu, wajahnya semakin cerah setiap kali mengingat pebincangannya dengan Ki Sulap Pangebatan.
Ki Demang Kejawar merasa punya teman bercakap-cakap masalah agama dan keyakinan yang sejalan dan sepemikiran. Agama bukan sumber perpecahan. Fungsi agama bagi kemanusiaan  justru alat mempersatukan manusia dalam memuja Tuhan. Dan secara tidak disengaja pada saat itu Ki Sulap Pangebatan alias Kamandaka sebenarnya-telah membuka jembatan silaturahmi antara Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba. Yaitu melalui aktivitas pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa, tanpa sepengetahuan Adipati dari kedua Kadipaten yang dipisahkan Sungai Ciserayu itu.         
 Hubungan Ki Sulap Pangebatan dengan Ki Demang Kejawar menjadi lancar dan baik. Dan saat itulah Ki Sulap Pangebatan untuk pertama kalinya berjumpa dengan Arya Baribin yang akhirnya menjadi calon adik iparnya. Kenangannya kepada Ki Sulap Pangebatan lenyap seketika, ketika Ki Demang Kejawar ingat bahwa Arya Baribin baru saja mengatakan  sudah dapat calon istri dari Kadipaten Pasirluhur. “Lalu, kapan Ananda Raden Arya akan menyususul Ananda Kamandaka?“ tanya Ki Demang Kejawar pula.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Arya Baribin tersenyum, lalu terdiam sejenak. Arya Baribin memang ingin menyampaikan maksud kunjungannya pagi itu pada Ki Demang Kejawar. Dia masih menunggu agar Nyi Demang juga ada di samping Ki Demang. Tapi karena Nyi Demang masih di dapur, akhirnya Arya Baribin menyampaikan maksudnya tanpa menunggu kehadiran Nyi Demang.

“Baiklah Paman Demang. Jika pagi ini ananda menyempatkan diri menemui Paman Demang dan Bibi, karena memang ada beberapa maksud yang ingin ananda sampaikan. Pertama, tentu karena ananda masih rindu kepada Paman dan Bibi, setelah hampir lima bulan ananda meninggalkan Kademangan Kejawar. Kedua, ananda ingin mengucapkan terimakasih karena Paman dan Bibi  telah memberikan tempat bernaung kepada ananda, bahkan melindungi ananda, hampir satu tahun. Apabila selama ananda tinggal di Kademangan Kejawar  ada salah kata, atau perbuatan yang tidak senonoh, atau tingkah laku yang pernah membuat Paman dan Bibi tidak senang, ananda mohon maaf,” kata Arya Baribin. Setelah diam sebentar, Arya Baribin meneruskan kata-katanya.
“Terakhir, ananda pun mohon doa restu dari Paman dan Bibi,  agar maksud ananda menyunting gadis idaman ananda bisa menjadi kenyataan. Jika Yang Maha Kuasa mengijinkan, dua atau tiga bulan lagi, ananda akan melamar seorang gadis dari Pakuan Pajajaran. Dan rencananya jika lamaran ananda diterima, akan langsung dilanjutkan dengan ritual dan resepsi pernikahan,” kata Arya Baribin yang membuat Ki Demang ikut merasa gembira dan senang. Pada kesempatan itu Arya Baribin tidak lupa menceriterkan secara singkat pertemuannya dengan calon istrinya yang tidak lain adalah adik perempuan Kamandaka dan putri bungsu Sri Baginda Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran. Diceriterakan pula rencana Arya Baribin menetap jika sudah berhasil menyunting Ratna Pamekas.
Tiba-tiba Nyi Demang keluar diiringi seorang pembantu membawa cangkir berisi wedang jahe dan rebusan ganyong. Dan seperti biasa Nyi Demang langsung mempersilahkan kedua tamunya  menikmati hidangan yang baru saja disajikan.
“Untung sekali Rekajaya datang bawa gula. Sudah dua hari Ki Demang minumannya paitan. Minta wedang jahe, direbuskan tanpa gula, marah-marah. Sekarang pasti Ki Demang tidak akan marah-marah lagi. Wedang jahenya sudah manis,” kata Nyi Demang blaka suta. Tapi kata-kata istrinya itu membuat wajah Ki Demang agak merah.
Rekajaya langsung tertawa dan berkata, “Kenapa tidak kirim orang ke Kaliwedi, Nyi Demang?  Coba kalau kirim orang, pasti Mbakyu Kertisara akan langsung kirim gula ke sini.”  

“Maafkan, ya, Rekajaya, Nyi Demang memang begitu adatnya. Blaka suta. Siapa orangnya yang tak marah, minta dibuatkan wedang jahe, bukan bilang gulanya habis. Eh, malah dikasih garam. Mana ada wedang jahe rasa asin?” kata Ki Demang membeladiri.
“Hihihi…, habis kalau dibilangin gulanya habis, berasnya habis, tak pernah percaya!” kata Nyi Demang dengan tangkas yang membuat Ki Demang langsung bertekuk lutut.
“Sudah, sini duduk! Ini serius, sebuah berita gembira. Ini tadi Ananda Raden Arya  baru saja bilang, minta doa restu kita berdua, karena dua bulan lagi akan punya istri. Tahu tidak, Nyi? Calon istri Ananda Raden Arya  itu Putri Sri Baginda Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran!” kata Ki Demang Kejawar sambil menyuruh Nyi Demang duduk lagi disampingnya.
“Oh, sudah punya calon istri, Ananda Raden Arya?  Pasti Bibi ikut bergembira. Habis Bibi sendiri tidak punya adik perempuan. Ki Demang juga tidak punya. Anak gadis apa lagi. Punya anak laki-laki masih kecil. Kalau Bibi punya pasti sudah Bibi jodohkan dengan Raden, biar Raden ada yang mengurus. Tadinya Raden mau Bibi carikan ke Kadipaten Wirasaba, kalau-kalau di sana ada gadis cantik. Tapi ya itu, Ki Demang lagi-lagi tidak menyetujui,” kata Nyi Demang yang mau terus bicara, jika tidak buru-buru distop oleh Ki Demang. Nyi Demang tidak pernah diberitahu oleh Ki Demang bahwa Arya Baribin itu seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit yang dilindungi Ki Demang.
“Raden, Paman sungguh sangat gembira dengan berita rencana pernikahan Raden dengan Putri Pajajaran. Paman dan Bibi pun minta maaf jika selama Raden tinggal di Kademangan Kejawar, pernah menyinggung perasaan atau melakukan hal-hal yang membuat Raden Arya tidak enak. Kami berdua hanya bisa memanjatkan puja, japa, dan mantra, agar rencana pernikahan Raden kelak lancar, selamat, dan terhindar dari segala macam bahaya,” kata Ki Demang Kejawar  didampingi Nyi Demang-yang ikut mendengarkan-dan sudah tidak sabar ingin ikut bicara.
“Bibi juga ikut gembira, Raden. Semoga pernikahan dengan putri Pajajaran kelak lancar. Jika ada undangan dan yang mengajak, Bibi juga mau, lho, menyaksikan resepsi pernikahan Raden di Pakuan Pajajaran kelak,” kata Nyi Demang.
“Oh, tentu gembira sekali jika Paman dan Bibi bisa hadir. Paman dan Bibi Demang kan sudah ananda anggap sebagai orang tua sendiri. Jika bisa hadir di Pakuan Pajajaran, kelak bisa mewakili Ayahanda untuk melamarkan ananda, sekaligus juga bisa jadi saksi dan wakil keluarga. Bagaimana Paman Demang?“ tanya Arya Baribin. Dia sangat girang dan berharap Ki Demang dan Nyi Demang bisa ikut hadir di Pakuan Pajajaran sebagai wakil dari keluarga Arya Baribin, seperti apa yang diusulkan Nyi Demang.
“Paman sependapat dengan Ibunya Bagus,” kata  Ki Demang menyetujui usul Nyi Demang. Dan Nyi Demang merasakannya sebagai perubahan sikap yang lebih positip pada Ki Demang. Sebab, jangankan menyetujui setiap usul yang disampaikannya. Sikap Ki Demang terhadap dirinya selalu mencela dan tak pernah memujinya. Sekalipun pada akhirnya menyetujui sarannya atau pendapatnya. Karena itu, Nyi Demang lebih sering dongkol kepada suaminya.
“Tetapi, Paman kan harus minta ijin dulu kepada Kanjeng Adipati Wirasaba, jika akan mengunjungi Kerajaan Pakuan Pajajaran. Tentu dalam hal ini Raden lebih memahaminya,” kata Ki Demang yang langsung membuat kecewa Nyi Demang.
“Kalau begitu, jika Ki Demang tidak berani minta ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba, Raden tidak usah cemas. Besok biar Bibi mau ke Wirasaba, Bibilah yang mau menghadap Kanjeng Adipati Wirasaba, lalu minta ijin agar Ki Demang diijinkan menghadiri pernikahan Raden di Pakuan Pajajaran,” kata Nyi Demang menentang secara terang-terangan suaminya, karena Nyi Demang menganggap soal ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba hanyalah akal-akalan Ki Demang saja untuk mencari-cari alasan guna menolak secara halus undangan ke Pajajaran. Tetapi Ki Demang bersikap tenang-tenang saja.
“Kalau toh Kanjeng Adipati mengijinkan Paman dan Bibi pergi ke Pakuan Pajajaran, belum tentu Sri Baginda Prabu Ranawijaya di Kediri, mengijinkan Paman dan Bibi pergi ke Pakuan Pajajaran,” kata Ki Demang, yang langsung membuat Nyi Demang terdiam. Kini Nyi Demang baru tahu bahwa urusan hadir di Pakuan Pajajaran bagi suaminya ternyata rumit dan tidak mudah.
“Ayo, diminum wedang jahenya. Juga dicicipi ganyong rebus, manis sekali, lho! Hasil dari ladang sendiri,” kata Nyi Demang mengalihkan perhatian dari soal minta ijin bagi suaminya, menjadi soal ganyong. Tapi bagi Nyi Demang, masih tersimpan keinginan untuk membicarakan soal pernikahan Arya Baribin.
“Kenapa tidak dibuat ongol-ongol saja, Nyi Demang?” tanya Rekajaya kepada Nyi Demang sambil mengajak Raden Aryo Baribin yang baru meneguk wedang jahe, menikmati rebusan ganyong.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar