“Tumenggung,
tidak usah takut pada Kanjeng Rama. Kalau kelak Kanjeng Rama marah, bilang
saja aku sudah tahu masalah itu bukan
dari laporan Tumenggung!”
“Baiklah,
Ndara Putri. Rumahnya di Grumbul Jatisari,” jawab Tumenggung Maresi sambil
menundukkan wajahnya sesudah lama terdiam karena bingung dan ragu.
“Apakah
masih ada hubungan keluarga dengan Tumenggung?”
“Tidak,
Ndara Putri.”
“Apa
pekerjaan bapaknya?”
“Petani-kaya,
Ndara Putri.”
“Umurnya?”
‘Lebih muda
sedikit dari Ndara Putri.”
“Lebih muda
dari aku?” Sang Dewi terkejut, hampir
tidak percaya.
“Benar,
Ndara Putri. Sinden muda sedang menanjak di-Lembah-Ciserayu-dan sekitarnya,” jawab-Tumenggung
Maresi.
“O, seorang
sinden?” kata Sang Dewi. Sang Dewi sebenarnya sangat menghargai posisi seorang
sinden sebagai pelestari seni dan budaya. Tapi yang paling tidak disukai Sang
Dewi adalah penyalah gunaan seni yang melanggar norma-norma kesucian dan
merusak pagar ayu.
“Tahu kuda
Kanjeng Rama?”
“Tahu
sekali, Ndara Putri. Hadiah dari Kanjeng Adipati kepada sinden muda itu.”
“Masih
ada?”
“Masih ada,
Ndara Putri.”
“Siapa yang
memakainya?”
“Paling, ya,
disewakan bapaknya. Tetapi Titisari bisa berkuda, Ndara” jawab Tumenggung
Maresi.
“Bisa
berkuda?” tanya Sang Dewi heran.
“Bisa,
Ndara Putri. Leluhurnya punggawa tinggi Kadipaten Wirasaba. Demikian pula Ayah
Titisari. Belajar nyinden sejak kanak-kanak ketika Ayahnya belum mengundurkan
diri-sebagai-punggawa-tinggi-Kadipaten-Wirasaba. Ayahnya membeli tanah-tanah
luas di Grumbul Jatisari. Hidup sebagai petani kaya sampai sekarang,” jawab
Tumenggung Maresi.
“Oh, pantas
bisa berkuda. Keturunan Ksatria. Wajar jika Kanjeng Rama tertarik,” kata Sang
Dewi.“ Tetapi Itu kuda kesayanganku. Tumenggung Maresi mau bantu aku, apa bantu-Kanjeng
Rama?”
“Membantu
Ndara Putri,” jawab Tumenggung Maresi mantap. Dia mulai memihak Sang Dewi, lebih-lebih
bila ingat, Kamandaka pernah menyelamatkan nyawanya. Dalam hati dia sudah bertekad untuk setia
pada Kamandaka, yang berarti juga harus setia pada Sang Dewi.
“Usahakan
kuda itu kembali ke Dalem-Kadipaten. Tukar dengan sawah Kanjeng Ibu. Tumenggung
pasti tahu berapa nilai tukar yang wajar. Dua bahu ?”
“Kalau
Ndara Putri yang minta, setengah bau agaknya
mau,” jawab Tumenggung Maresi.
“Baguslah
kalau begitu. Kalau Kanjeng Rama tahu, katakan Kanjeng Ibu yang menghendakinya.
Usahakan jangan terlalu lama. Terimakasih sebelumnya,” pesan Sang Dewi.
Kamandaka
sengaja menjauh karena tidak mau mencampuri urusan pribadi yang bukan
bagiannya. Dia segera mendekat setelah tahu pembicaraan Sang Dewi dan
Tumenggung Maresi selesai. Tumenggung Maresi mohon diri kepada Sang Dewi dan
Kamandaka untuk membantu Silihwarna dan Arya Baribin mengatur pemberangkatan
pasukan yang akan kembali pulang ke Kadipaten Pasirluhur.
***
Kemenangan Kadipaten Pasirluhur dalam perang melawan
Kerajaan Nusakambangan disambut dengan sukacita dan kegembiraan yang luar biasa
oleh Kanjeng Adipati, para punggawa, dan rakyat Kadipaten Pasirluhur. Pesta
untuk merayakan kemenangan diselenggarakan selama tiga hari tiga malam di
Pendapa Kadipaten Pasirluhur.
Kanjeng
Adipati sebenarnya ingin cepat-cepat merayakan pesta pernikahan Sang Dewi
dengan Kamandaka. Tetapi Sang Dewi menghendaki agar ritual dan pesta pernikahan
dilaksanakan empat puluh hari setelah perang selesai. Maksud Sang Dewi, empat
puluh hari dianggap sudah cukup untuk menghormati keluarga para prajurit kedua
belah pihak yang sedang berduka cita karena anggota keluarganya ada yang tewas di medan peperangan.
Sri Baginda
Prabu Siliwangi yang diberitahu Kamandaka menyampaikan surat ucapan selamat
lewat kurir khusus yang dikirim kepada Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Adipati
Dayeuhluhur. Sri Baginda Prabu Siliwangi telah menyetujui usul Kamandaka agar
Nusakambangan dikembalikan kedudukannya seperti semula, yakni menjadi kadipaten
dibawah kekuasaan Pajajaran. Wirapati
dan Sekarmenur untuk sementara ditugaskan untuk menangani Kadipaten
Nusakambangan.
Suatu pagi
setelah hampir tiga minggu perang selesai, Sang Dewi mendatangi kamar Kanjeng
Ayu Adipati di Dalem Gede Kadipaten dengan wajah ceria. Ketika masuk kamar,
Kanjeng Ayu Adipati sedang merias diri sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
“Nah, gitu
lho Kanjeng Ibu, Dewi senang bila Kanjeng Ibu ceria dan selalu bahagia. Mana
Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi. Dia tahu kedua orang tuanya sedang tidak
bertengkar itu.
“Pagi-pagi
begini, tanya Kanjeng Ramamu. Kalau tadi malam, ya ada. Sekarang sudah ke
pendapa setelah selesai sarapan tadi,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Tidak ada
di pendapa, sudah Dewi cari.”
“Mau apa cari Kanjeng Ramamu? Eh, Nduk Dewi, Kanjeng
Ramamu sudah ceraikan istri mudanya. Malah kudanya sudah kembali. Tumenggung
Maresi yang mengantarkannya. Rupanya Kanjeng Ramamu takut ancaman Nduk Dewi.
Kanjeng Ramamu juga sudah minta maaf pada Ibumu,” kata Kanjeng Ayu Adipati
dengan mata berkilat-kilat karena gembira.
“Tumenggung
Maresi tidak bicara sesuatu pada Kanjeng Ibu?” tanya-Sang-Dewi.Kanjeng Ayu
Adipati menggeleng.
“Soal sawah
Kanjeng Ibu?”
“Sawah apa?
Nggak bilang apa-apa. Hanya lapor mengembalikan kuda Kanjeng Ramamu yang
katanya merupakan kuda kesayangan Nduk Dewi. Itu saja.”
“Soal
menceraikan istri muda Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu dengar dari siapa?”
“Ya, dari
Kanjeng Ramamu sendiri yang minta maaf dan mengaku bertobat pada Ibu.”
“Wah,
Kanjeng Ibu payah. Pasti dirayu Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu langsung menyerah dan
pasrah,” kata Sang Dewi sambil tersenyum menggoda Ibunya.
“Ya, memang
Ibu sering-sering kasihan dan mudah iba kepada Kanjeng Ramamu. Tetapi kali ini
agaknya Kanjeng Ramamu benar-benar-sudah sadar dan mau tobat, Nduk Dewi.”
“Syukurlah
kalau begitu. Dewi senang sekali bila Kanjeng Rama sudah sadar. Nanti malam
Kanjeng Rama ada?”
“Sekarang setiap
malam ada, Nduk Dewi.”
“Baiklah kalau
begitu, nanti malam saja saat santap malam, Dewi akan menemui Kanjeng
Rama,” kata Sang Dewi. Dipeluknya
Kanjeng Ayu Adipati. Kemudian Sang Dewi meninggalkan kamar ibundanya.
Malam itu
bagi Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, merupakan malam paling
menggembirakan. Di beranda ruang makan Dalem Gede Kadipaten, berkumpul semua
calon menantu keluarga besar Kanjeng Adipati. Mereka duduk mengelilingi meja
makan untuk santap malam bersama. Sang Dewi berdampingan dengan Kamandaka,
Mayangsari berdampingan dengan Silihwarna, Arya Baribin dengan Ratna Pamekas,
akhirnya Wirapati yang baru tiba siang tadi, duduk berdampingan dengan
Sekarmenur yang berhasil diajak ke Kadipaten Pasirluhur. Sekarmenur, putri
Adipati Banakeling itu, telah menerima cinta Wirapati. Kanjeng Adipati sendiri
duduk berdampingan dengan Kanjeng Ayu Adipati. Bagi Kanjeng Adipati dan Kanjeng
Ayu Adipati, acara santap malam itu, terasa meriah, semarak, dan membuatnya
bahagia. Mereka bersantap, diselingi
dengan canda dan tawa di antara mereka.
“Nduk Dewi,
bagaimana persiapan pesta pernikahan Nduk Dewi, tidak ada perubahan?” tiba-tiba
Kanjeng Adipati bertanya kepada Sang Dewi.
”Waktunya
tinggal dua puluh hari. Kalau diundur lagi terlalu lama, Kanjeng Rama. Jadi
sesuai dengan rencana awal saja. Kami sudah sepakat dan ini yang juga ingin
Dewi sampaikan kepada Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu malam ini juga. Kelak kalau
ritual dan pesta pernikahan Dewi dengan Kanda Kamandaka selesai, sebulan
kemudian akan dilaksanakan ritual dan pesta pernikahan Dinda Mayangsari dengan
Dinda Silihwarna di Dayeuhluhur. Sebulan kemudian baru Dinda Ratna Pamekas
dengan Dimas Arya Baribin, tempatnya tentu saja di Pakuan Pajajaran. Bagaimana
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Paman Adipati Dayeuhluhur sudah setuju. Demikian
pula Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan. Tinggal Kanjeng Rama dan Kanjeng
Ibu?” tanya Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati.
“Ya,
Kanjeng Ramamu dan Ibumu pasti setuju. Bagus sekali. Semoga semuanya berjalan
lancar. Kanjeng Ramamu sudah membentuk Panitia. Kanjeng Ramamu juga sudah
menyiapkan Puri Permatabiru di samping kiri Dalem Gede untuk tempat tinggal
sekaligus kamar pengantin. Panitia Perhelatan sudah dibentuk, ketuanya
Tumenggung Maresi dan Jigjayuda, penasihatnya Ki Patih,” kata Sang Adipati dengan wajah ceria penuh
kegembiraan. Sang Dewi pun merasa puas karena kedua orang tuanya tak keberatan
dengan rencana yang sudah mereka sepakati.
“Lha,
Ananda Wirapati, rencana upacara dan pesta pernikahan kapan dan dimana? Apa
akan di Dayeuhluhur juga?” tanya Kanjeng Adipati pada Wirapati.
“Sang Prabu Sri Baginda Siliwangi sudah menyetujui
pemindahan Kadipaten Nusakambangan ke daratan di muka pantai Teluk Penyu atas
usul Kanda Kamandaka, Kanjeng Uwa Adipati,” jawab Wirapati yang duduk di
samping Sekarmenur. “Tepatnya di desa Adireja, tidak jauh dari bekas Kadipaten
Banakeling. Dinda Sekarmenur sudah setuju. Persiapan pemindahan sudah mulai
dilaksanakan. Kelak upacara pernikahan dan pesta ananda dengan Dinda Sekarmenur
akan dilaksanakan berbarengan dengan peresmian Kadipaten Adireja. Karena itu,
ananda sudah mengijinkan Dinda Mayangsari dan Dinda Silihwarna lebih dulu
menyelenggarakan upacara dan pesta pernikahan di Kadipaten Dayeuhluhur. Nanti
baru ananda menyusul.”
“Sebenarnya
ananda pun hanya meneruskan usul Dinda Dewi, Kanjeng Rama,” kata Kamandaka yang
duduk di samping Sang Dewi. Dinda Dewi juga yang mengusulkan kepada Ayahanda
Sri Baginda Prabu Siliwangi melalui ananda. Termasuk usul Dinda Dewi agar
Kadipaten Kalipucang yang pernah ditaklukan Kerajaan Nusakambangan itu,
diaktipkan kembali.”
“Rencananya
Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas yang akan dicalonkan oleh Ayahanda
Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk kelak menduduki kursi-Adipati-Kadipaten
Kalipucang. Usul Dinda Dewi kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi soal Kadipaten
Kalipucang pun sudah disetujui. Betul kan Dinda Dewi ?“ tanya Kamandaka pada
Sang Dewi. Sang Dewi memang menyimpan surat balasan Sri Baginda Prabu Siliwangi
yang berisi persetujuan pembentukan Kadipaten Adireja dan Kadipaten Kalipucang
yang sebelumnya dikuasai Nusakambangan.
Tetapi-ketika-nama-Sang
Dewi disebut, tangan kiri-Sang-Dewi yang ada di bawah meja makan langsung
hinggap di atas paha kanan Kamandaka dan mencubit sekeras-kerasnya, sehingga
muka Kamandaka merah padam menahan sakit.
“Kanjeng
Rama, tidak usah percaya pada Kanda Kamandaka. Semua usul dari Kanda Kamandaka
sendiri. Dewi tidak pernah ikut campur, benar kan Kanjeng Ibu?” tanya Sang Dewi
kepada ibunya meminta dukungan. Kanjeng Ayu Adipati menatap ke arah Sang Dewi,(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar