Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 09 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(64)



“Tumenggung, tidak usah takut pada Kanjeng Rama. Kalau kelak Kanjeng Rama marah, bilang saja  aku sudah tahu masalah itu bukan dari laporan Tumenggung!”
“Baiklah, Ndara Putri. Rumahnya di Grumbul Jatisari,” jawab Tumenggung Maresi sambil menundukkan wajahnya sesudah lama terdiam karena bingung dan ragu.
“Apakah masih ada hubungan keluarga dengan Tumenggung?”
“Tidak, Ndara Putri.”
“Apa pekerjaan bapaknya?”
“Petani-kaya, Ndara Putri.”
“Umurnya?”
‘Lebih muda sedikit dari Ndara Putri.”
“Lebih muda dari aku?”  Sang Dewi terkejut, hampir tidak percaya.
“Benar, Ndara Putri. Sinden muda sedang menanjak di-Lembah-Ciserayu-dan sekitarnya,” jawab-Tumenggung Maresi.
“O, seorang sinden?” kata Sang Dewi. Sang Dewi sebenarnya sangat menghargai posisi seorang sinden sebagai pelestari seni dan budaya. Tapi yang paling tidak disukai Sang Dewi adalah penyalah gunaan seni yang melanggar norma-norma kesucian dan merusak pagar ayu.
“Tahu kuda Kanjeng Rama?”
“Tahu sekali, Ndara Putri. Hadiah dari Kanjeng Adipati kepada sinden muda itu.”
“Masih ada?”
“Masih ada, Ndara Putri.”
“Siapa yang memakainya?”
“Paling, ya, disewakan bapaknya. Tetapi Titisari bisa berkuda, Ndara” jawab Tumenggung Maresi.
“Bisa berkuda?” tanya Sang Dewi heran.
“Bisa, Ndara Putri. Leluhurnya punggawa tinggi Kadipaten Wirasaba. Demikian pula Ayah Titisari. Belajar nyinden sejak kanak-kanak ketika Ayahnya belum mengundurkan diri-sebagai-punggawa-tinggi-Kadipaten-Wirasaba. Ayahnya membeli tanah-tanah luas di Grumbul Jatisari. Hidup sebagai petani kaya sampai sekarang,” jawab Tumenggung Maresi.
“Oh, pantas bisa berkuda. Keturunan Ksatria. Wajar jika Kanjeng Rama tertarik,” kata Sang Dewi.“ Tetapi Itu kuda kesayanganku. Tumenggung Maresi mau bantu aku, apa bantu-Kanjeng Rama?”
“Membantu Ndara Putri,” jawab Tumenggung Maresi mantap. Dia mulai memihak Sang Dewi, lebih-lebih bila ingat, Kamandaka pernah menyelamatkan nyawanya.  Dalam hati dia sudah bertekad untuk setia pada Kamandaka, yang berarti juga harus setia pada Sang Dewi.
“Usahakan kuda itu kembali ke Dalem-Kadipaten. Tukar dengan sawah Kanjeng Ibu. Tumenggung pasti tahu berapa nilai tukar yang wajar. Dua bahu ?”
“Kalau Ndara Putri yang minta, setengah bau  agaknya mau,”  jawab Tumenggung Maresi.
“Baguslah kalau begitu. Kalau Kanjeng Rama tahu, katakan Kanjeng Ibu yang menghendakinya. Usahakan jangan terlalu lama. Terimakasih sebelumnya,” pesan Sang Dewi.
Kamandaka sengaja menjauh karena tidak mau mencampuri urusan pribadi yang bukan bagiannya. Dia segera mendekat setelah tahu pembicaraan Sang Dewi dan Tumenggung Maresi selesai. Tumenggung Maresi mohon diri kepada Sang Dewi dan Kamandaka untuk membantu Silihwarna dan Arya Baribin mengatur pemberangkatan pasukan yang akan kembali pulang ke Kadipaten Pasirluhur.
***
Kemenangan Kadipaten Pasirluhur dalam perang melawan Kerajaan Nusakambangan disambut dengan sukacita dan kegembiraan yang luar biasa oleh Kanjeng Adipati, para punggawa, dan rakyat Kadipaten Pasirluhur. Pesta untuk merayakan kemenangan diselenggarakan selama tiga hari tiga malam di Pendapa Kadipaten Pasirluhur.
Kanjeng Adipati sebenarnya ingin cepat-cepat merayakan pesta pernikahan Sang Dewi dengan Kamandaka. Tetapi Sang Dewi menghendaki agar ritual dan pesta pernikahan dilaksanakan empat puluh hari setelah perang selesai. Maksud Sang Dewi, empat puluh hari dianggap sudah cukup untuk menghormati keluarga para prajurit kedua belah pihak yang sedang berduka cita karena anggota keluarganya ada yang  tewas di medan peperangan.
Sri Baginda Prabu Siliwangi yang diberitahu Kamandaka menyampaikan surat ucapan selamat lewat kurir khusus yang dikirim kepada Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Adipati Dayeuhluhur. Sri Baginda Prabu Siliwangi telah menyetujui usul Kamandaka agar Nusakambangan dikembalikan kedudukannya seperti semula, yakni menjadi kadipaten dibawah kekuasaan  Pajajaran. Wirapati dan Sekarmenur untuk sementara ditugaskan untuk menangani Kadipaten Nusakambangan.
Suatu pagi setelah hampir tiga minggu perang selesai, Sang Dewi mendatangi kamar Kanjeng Ayu Adipati di Dalem Gede Kadipaten dengan wajah ceria. Ketika masuk kamar, Kanjeng Ayu Adipati sedang merias diri sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
“Nah, gitu lho Kanjeng Ibu, Dewi senang bila Kanjeng Ibu ceria dan selalu bahagia. Mana Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi. Dia tahu kedua orang tuanya sedang tidak bertengkar itu.
“Pagi-pagi begini, tanya Kanjeng Ramamu. Kalau tadi malam, ya ada. Sekarang sudah ke pendapa setelah selesai sarapan tadi,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Tidak ada di pendapa, sudah Dewi cari.”
“Mau apa cari Kanjeng Ramamu? Eh, Nduk Dewi, Kanjeng Ramamu sudah ceraikan istri mudanya. Malah kudanya sudah kembali. Tumenggung Maresi yang mengantarkannya. Rupanya Kanjeng Ramamu takut ancaman Nduk Dewi. Kanjeng Ramamu juga sudah minta maaf pada Ibumu,” kata Kanjeng Ayu Adipati dengan mata berkilat-kilat karena gembira.
“Tumenggung Maresi tidak bicara sesuatu pada Kanjeng Ibu?” tanya-Sang-Dewi.Kanjeng Ayu Adipati menggeleng.
“Soal sawah Kanjeng Ibu?”
“Sawah apa? Nggak bilang apa-apa. Hanya lapor mengembalikan kuda Kanjeng Ramamu yang katanya merupakan kuda kesayangan Nduk Dewi. Itu saja.”
“Soal menceraikan istri muda Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu dengar dari siapa?”
“Ya, dari Kanjeng Ramamu sendiri yang minta maaf dan mengaku bertobat pada Ibu.”
“Wah, Kanjeng Ibu payah. Pasti dirayu Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu langsung menyerah dan pasrah,” kata Sang Dewi sambil tersenyum menggoda Ibunya.
“Ya, memang Ibu sering-sering kasihan dan mudah iba kepada Kanjeng Ramamu. Tetapi kali ini agaknya Kanjeng Ramamu benar-benar-sudah sadar dan  mau tobat, Nduk Dewi.”
“Syukurlah kalau begitu. Dewi senang sekali bila Kanjeng Rama sudah sadar. Nanti malam Kanjeng Rama ada?”
“Sekarang setiap malam ada, Nduk Dewi.”
“Baiklah kalau begitu, nanti malam saja saat santap malam, Dewi akan menemui Kanjeng Rama,”  kata Sang Dewi. Dipeluknya Kanjeng Ayu Adipati. Kemudian Sang Dewi meninggalkan kamar ibundanya.
Malam itu bagi Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, merupakan malam paling menggembirakan. Di beranda ruang makan Dalem Gede Kadipaten, berkumpul semua calon menantu keluarga besar Kanjeng Adipati. Mereka duduk mengelilingi meja makan untuk santap malam bersama. Sang Dewi berdampingan dengan Kamandaka, Mayangsari berdampingan dengan Silihwarna, Arya Baribin dengan Ratna Pamekas, akhirnya Wirapati yang baru tiba siang tadi, duduk berdampingan dengan Sekarmenur yang berhasil diajak ke Kadipaten Pasirluhur. Sekarmenur, putri Adipati Banakeling itu, telah menerima cinta Wirapati. Kanjeng Adipati sendiri duduk berdampingan dengan Kanjeng Ayu Adipati. Bagi Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, acara santap malam itu, terasa meriah, semarak, dan membuatnya bahagia. Mereka bersantap,  diselingi dengan canda dan tawa di antara mereka.
“Nduk Dewi, bagaimana persiapan pesta pernikahan Nduk Dewi, tidak ada perubahan?” tiba-tiba Kanjeng Adipati bertanya kepada Sang Dewi.
”Waktunya tinggal dua puluh hari. Kalau diundur lagi terlalu lama, Kanjeng Rama. Jadi sesuai dengan rencana awal saja. Kami sudah sepakat dan ini yang juga ingin Dewi sampaikan kepada Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu malam ini juga. Kelak kalau ritual dan pesta pernikahan Dewi dengan Kanda Kamandaka selesai, sebulan kemudian akan dilaksanakan ritual dan pesta pernikahan Dinda Mayangsari dengan Dinda Silihwarna di Dayeuhluhur. Sebulan kemudian baru Dinda Ratna Pamekas dengan Dimas Arya Baribin, tempatnya tentu saja di Pakuan Pajajaran. Bagaimana Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu? Paman Adipati Dayeuhluhur sudah setuju. Demikian pula Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan. Tinggal Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu?” tanya Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati.
“Ya, Kanjeng Ramamu dan Ibumu pasti setuju. Bagus sekali. Semoga semuanya berjalan lancar. Kanjeng Ramamu sudah membentuk Panitia. Kanjeng Ramamu juga sudah menyiapkan Puri Permatabiru di samping kiri Dalem Gede untuk tempat tinggal sekaligus kamar pengantin. Panitia Perhelatan sudah dibentuk, ketuanya Tumenggung Maresi dan Jigjayuda, penasihatnya Ki Patih,”  kata Sang Adipati dengan wajah ceria penuh kegembiraan. Sang Dewi pun merasa puas karena kedua orang tuanya tak keberatan dengan rencana yang sudah mereka sepakati.
“Lha, Ananda Wirapati, rencana upacara dan pesta pernikahan kapan dan dimana? Apa akan di Dayeuhluhur juga?” tanya Kanjeng Adipati pada Wirapati.
“Sang Prabu Sri Baginda Siliwangi sudah menyetujui pemindahan Kadipaten Nusakambangan ke daratan di muka pantai Teluk Penyu atas usul Kanda Kamandaka, Kanjeng Uwa Adipati,” jawab Wirapati yang duduk di samping Sekarmenur. “Tepatnya di desa Adireja, tidak jauh dari bekas Kadipaten Banakeling. Dinda Sekarmenur sudah setuju. Persiapan pemindahan sudah mulai dilaksanakan. Kelak upacara pernikahan dan pesta ananda dengan Dinda Sekarmenur akan dilaksanakan berbarengan dengan peresmian Kadipaten Adireja. Karena itu, ananda sudah mengijinkan Dinda Mayangsari dan Dinda Silihwarna lebih dulu menyelenggarakan upacara dan pesta pernikahan di Kadipaten Dayeuhluhur. Nanti baru ananda menyusul.”
“Sebenarnya ananda pun hanya meneruskan usul Dinda Dewi, Kanjeng Rama,” kata Kamandaka yang duduk di samping Sang Dewi. Dinda Dewi juga yang mengusulkan kepada Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi melalui ananda. Termasuk usul Dinda Dewi agar Kadipaten Kalipucang yang pernah ditaklukan Kerajaan Nusakambangan itu, diaktipkan kembali.”
“Rencananya Dimas Arya Baribin dan Dinda Ratna Pamekas yang akan dicalonkan oleh Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk kelak menduduki kursi-Adipati-Kadipaten Kalipucang. Usul Dinda Dewi kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi soal Kadipaten Kalipucang pun sudah disetujui. Betul kan Dinda Dewi ?“ tanya Kamandaka pada Sang Dewi. Sang Dewi memang menyimpan surat balasan Sri Baginda Prabu Siliwangi yang berisi persetujuan pembentukan Kadipaten Adireja dan Kadipaten Kalipucang yang sebelumnya dikuasai Nusakambangan.
Tetapi-ketika-nama-Sang Dewi disebut, tangan kiri-Sang-Dewi yang ada di bawah meja makan langsung hinggap di atas paha kanan Kamandaka dan mencubit sekeras-kerasnya, sehingga muka Kamandaka merah padam menahan sakit.
“Kanjeng Rama, tidak usah percaya pada Kanda Kamandaka. Semua usul dari Kanda Kamandaka sendiri. Dewi tidak pernah ikut campur, benar kan Kanjeng Ibu?” tanya Sang Dewi kepada ibunya meminta dukungan. Kanjeng Ayu Adipati menatap ke arah Sang Dewi,(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar