Tepat
ketika matahari mencapai puncaknya dan angin di tepi hutan itu bertiup semakin
kencang, Jigjayuda melarikan kudanya ke arah selatan menuju Desa Kaliwedi,
diikuti kuda Kamandaka dan Sang Dewi. Kuda anggota rombongan yang lain menyusul
dibelakangnya.
“Dinda Dewi,
kita akan istirahat dan santap siang di pondok bambu yang baru saja dibangun
Nyai Kertisara di tepi Sungai Ciserayu. Empat perahu yang dipesan Nyai
Kertisara sudah tiba. Nyai Kertisara berharap Dinda Dewi bisa mewakili Kanjeng
Rama meresmikan pangkalan baru di tepi Sungai Ciserayu itu. Pangkalan baru itu
kelak akan digunakan untuk memperluas jaringan pemasaran gula kelapa dan gula
aren produksi para pengrajin yang dibina Nyai Kertisara. Pangkalan itu juga
untuk memperlancar arus lalu lintas orang dan barang di Sungai Ciserayu,”
Kamandaka memberitahu rencana acara jika nanti
mereka tiba di Kaliwedi. Sang Dewi tampak senang mendengar rencana itu.
Nyai
Kertisara dan Rekajaya menyambut dengan gembira kehadiran rombongan Kamandaka
dan Sang Dewi yang tiba di pondok bambu tepi Sungai Ciserayu. Pondok
bambu itu adalah model rumah panggung dengan dinding anyaman bambu wulung yang
terbuka separo. Lantainya papan kayu
jati berwarna alami. Di atasnya sengaja di gelar tikar pandan halus. Di atas
tikar pandan itu tamu-tamu istimewa Nyai Kertisara duduk lesehan sambil
berbincang-bincang dan menikmati panorama indah Sungai Ciserayu.
Sejumlah
bujang telah dikerahkan Nyai Kertisara untuk mempersiapkan hidangan santap
siang. Khandegwilis yang ceria wajahnya karena bertemu dengan Rekajaya, sudah
gatal tangannya ingin ikut membantu para bujang yang sedang sibuk. Tetapi
Rekajaya melarangnya. Dalam waktu singkat di depan para tamu telah tersaji sejumlah hidangan santap siang. Tampak-sejumlah
bakul bambu berisi nasi beras putih bersih.Lalu- ikan baceman goreng, pepes
ikan, ayam bakar, aneka lalaban, jengkol muda, dan petai rebus, serta sambal
istimewa olahan tangan Nyai Kertisara sendiri. Aneka minuman khas Lembah
Ciserayu juga dihadirkan di depan para tamu. Tak ketinggalan bermacam-macam
buah-buahan mulai dari mangga, rambutan, jambu, jeruk, dan lainnya lagi.
“Aku jadi
ingat Sungai Ciliwung di Pakuan Pajajaran
jika melihat Sunga Ciserayu itu,” bisik Silihwarna kepada Mayangsari
yang duduk di sampingnya. Mayangsari tak berkedip melihat sungai Ciserayu yang
sudah beberapa kali dilihatnya. Dari dalam pondok bambu, Sungai Ciserayu itu tampak jelas dan menarik untuk dipandang.
“Benar,
Kanda Silihwarna,” kata Ratna Pamekas ketika mendengar kata-kata Silihwarna
yang duduk di samping kanannya.
“Kangmas
Arya, pasti belum pernah melihat Sungai Ciliwung di Pakuan Pajajaran,” kata
Ratna Pamekas kepada Arya Baribin. Arya Baribin membenarkan apa yang dikatakan
Ratna Pamekas.
“Benar,
karena Dinda Ratna belum pernah mengajak aku ke Pakuan Pajajaran,” kata Arya
Baribin, ”Kalau Sungai Brantas, ya,
pasti sudah sering aku lihat.”
“Kapan
Kangmas Arya ngajak aku melihat Sungai Brantas?
Tidak jauh dari Kediri, ya?”
“Ya, suatu
saat jika Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki, pasti Dinda Ratna bisa melihat
Sungai Brantas, entah kapan,” kata Arya Baribin.
Sekarmenur
yang duduk di samping Wirapati juga tidak henti-hentinya mengagumi Sungai
Ciserayu yang sedang mengalir tenang tak beriak. Di atasnya beberapa perahu melintasi
menuju hilir.
“Sungguh,
aku tidak mengira sungai yang besar ini akhirnya bermuara di Teluk Penyu di
depan Nusakambangan,” kata Sekarmenur kepada Wirapati, “Sayang sekali, Dinda
Sekarmelati dan Sekarcempaka kemarin tidak aku
ajak,”
“Bukankah
aku telah usulkan kepada Dinda?” kata
Wirapati.
“Ya,
itulah. Dinda Sekarmelati dan Sekarcempaka yang menolak,” kata putri Adipati Banakeling
itu. Di saat gembira seperti itu dia sering ingat kepada kedua adiknya.
Perbincangan
terhenti seketika, ketika Kamandaka meminta waktu untuk berbicara. “Kita pantas
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena di Lembah Ciserayu inilah
keluarga besar Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, Nusakambangan, trah
Majapahit, dan trah Pajajaran, telah dipersatukan dalam hubungan silaturahmi
dan kekeluargaan,” kata Kamandaka mengawali sambutannya.
“Hubungan
silaturahmi dan kekeluargaan itu tidak lama lagi akan ditingkatkan ke dalam
hubungan ikatan pernikahan yang tetap dan abadi. Semua itu akan semakin
memperkokoh silaturahmi di antara kita sehingga kelak diharapkan akan terbentuk
persatuan keluarga besar trah dari turunan bangsa berasal dari lembah Sungai Sutra
yang telah merintis menjadi penghuni awal pulau indah dan subur ini. Semoga anak keturunan kita kelak yang tinggal
di Lembah Sungai Ciserayu ini, tetap bisa melestarikan semangat leluhur kita
sebagai putra-putra sungai, yang menghargai dan menjunjung tinggi air, sungai,
telaga, danau, dan lautan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan berharga.”
“Hanya
apabila kita bisa mewariskan kepada anak cucu dan keturunan kita di Lembah
Sungai Ciserayu ini agar kelak mereka bisa menjadi suatu generasi anak bangsa
yang berani menantang ombak besar
bergelombang dan bergulung-gulung tak kenal lelah di muara Sungai Ciserayu itu.
Maka anak cucu keturunan kita di Lembah Ciserayu ini, nistaya akan menjadi
bangsa yang jaya. Merekalah yang pantas disebut sebagai generasi emas, generasi
cai sindai, generasi banyu mas. Yaitu generasi yang menghargai air, sungai,
telaga, ombak, dan lautan, sebagai sesuatu bernilai tinggi yang akan
mengantarkan nereka ke arah kebesaran, kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama
yang mendapat perkenan Yang Maha Menguasai Jagad Raya.”
“Semoga
kita tidak pernah berhenti mensyukuri karunia ini dan juga tidak pernah
berhenti mewariskan nilai-nilai mulia leluhur kita, kepada generasi penerus.
Semoga Yang Maha Kuasa, senantiasa melindungi kita semua. Akhirnya, silahkan
Dinda Dewi mewakili Kanjeng Rama Adipati memenuhi permohonan Nyai Kertisara,”
kata Kamandaka mengakhiri sambutannya.
“Terimakasih
Kanda Kamandaka yang aku cintai,” kata Sang Dewi mengawali sambutannya yang
segera mendapatkan tepuk tangan panjang
dan meriah gara-gara Sang Dewi menyelipkan kata cinta. Sang Dewi terpaksa
berhenti sejenak, menunggu tepuk tangan yang meriah itu berhenti.
“Menurut
Kanda Kamandaka, pangkalan ini memiliki tujuh buah perahu dibuat dari kayu jati
yang dikerjakan sendiri oleh tangan-tangan trampil para pengrajin kayu jati
yang tinggal di sekitar Sungai Ciserayu ini. Ke tujuh perahu itu merupakan
lambang dari tujuh wanita yang sangat disayangi dan akan terus dikenang oleh
Kanda Kamandaka. Ke tujuh wanita yang dilambangkan dengan tujuh perahu
persembahan Nyai Kertisara itu adalah Kanjeng Ayu Adipati, akui sendiri, Dinda
Sekarmenur, Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas, Nyai Kertisara dan Khandegwilis.
Semoga apa yang diusahakan Nyai Kertisara ini, bisa menjadi contoh dan teladan
penduduk Lembah Sungai Ciserayu dalam usahanya mewujudkan kesesjahteraan,
kemakmuran, dan kemajuan penduduk di sekitarnya dan penduduk Kadipaten
Pasirluhur seluruhnya. Atas nama Kanjeng Adipati Pasirluhur, Kanjeng Rama
Adipati Kandhadaha, serta dengan memohon perkenan Yang Maha Menguasai Jagad
Raya, dengan ini proyek pangkalan perahu Nyai Kertisara di Sungai Ciserayu
untuk memperlancar arus orang dan barang diresmikan,” kata Sang Dewi mengakhiri
kata sambutannya yang kembali diikuti dengan tepuk tangan meriah.
Nyai
Kertisara yang duduk di samping Kamandaka hanya senyum-senyum gembira. Demikian
pula Khandegwilis yang kali ini duduk di samping Nyai Kertisara. Sementara itu
Rekajaya, Tumenggung Maresi, dan Jikgjayuda juga ikut menikmati kebahagiaan dan
kegembiraan yang dirasakaan oleh Nyai Kertisara.
“Aduh, aku
sudah lapar banget, Kanda. Ayoh, kita mulai!” kata Sang Dewi kepada Kamandaka
yang duduk di sampingnya.
Nyai
Kertisara segera mempersilahkan semua tamunya menikmati jamuan santap siang
yang telah terhidang di hadapannya. Santap siang pun segera dimulai. Mereka
semua menikmati dengan lahap hidangan persembahan Nyai Kertisara. Malam itu
Sang Dewi memenuhi janjinya bermalam di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi yang
megah itu. Sang Dewi satu kamar dengan Sekarmenur. Mayangsari satu kamar dengan
Ratna Pamekas. Khandegwilis tidur di kamar Nyai Kertisara. Silihwarna satu
kamar dengan Arya Baribin. Kamandaka satu kamar dengan Wirapati. Tumenggung
Maresi satu kamar dengan Jigjayuda. Kamandaka terkagum-kagum menempati bekas
kamarnya yang selalu dijaga dan diatur sedemikian rupa sehingga mirip kamar
Sang Dewi di Kadipaten Pasirluhur. Malam
menjelang tidur dipanggilnya Rekajaya.
“Kakang,
bagaimana Kakang bisa mengatur kamar ini
mirip kamar Dinda Dewi di Kadipaten
Pasirluhur?”
“Ah, tidak
mirip benar, Ndara. Kamar ini tidak memiliki teras dan taman seperti kamar
Ndara Putri di Taman Kaputren. Tetapi kalau di bagian dalamnya, hamba masih
ingat kamar Ndara Putri. Dulu hamba sering disuruh Ndara Putri mengatur kamar
Ndara Putri ditemani Khandegwilis. Makanya hamba masih ingat sampai sekarang,”
kata Rekajaya.
Kamandaka
senang mendengar Rekajaya yang banyak akalnya itu. Wirapati yang duduk di depan
Kamandaka kagum juga mengetahui kesetiaan Rekajaya. “Badanku lelah, Kakang.
Bisa mijit kan?” kata Kamandaka sambil naik ke atas ranjang. Rekajaya langsung
duduk di sampingnya dan mulai memijit punggung Kamandaka. Usai Kamandaka
dipijit, Wirapati ikut-ikutan minta dipijit Rekajaya.
Malam itu
Rekajaya tidur di atas tikar yang digelar di lantai di bawah ranjang tempat
Kamandaka dan Wirapati tidur nyenyak dibuai mimpi indah. Terpikir oleh
Rekajaya, barangkali itu adalah malam terakhir dirinya bisa menemani Kamandaka.
Sebab, setelah Kamandaka merayakan pesta pernikahannya dengan Sang Dewi, tentu
tidak mungkin lagi-bagi Rekajaya bisa menemani Kamandaka tidur berdekatan
seperti malam itu. Dua puluh hari lagi Kadipaten Pasirluhur akan menggelar
perayaan agung menyambut pernikahan Sang Dewi, putri bungsu Adipati Kandhadaha
dengan Kamandaka, putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Tiba-tiba
Rekajaya ingat Khandegwilis yang kini tidur bersama kakak perempuannya, Nyai
Kertisara. Rekajaya tersenyum sendiri. Dia pun segera bergegas memiringkan
tubuhnya memeluk sebuah guling. Tak lama kemudian Rekajaya pun tidur pulas
menyusul Kamandaka dan Wirapati. Di Desa Kaliwedi yang tidak jauh dari pinggir Sungai
Ciserayu itu, malam pun merangkak pelan dalam sepi, menembus tengah malam
dengan ribuan bintang yang bermunculan di sudut-sudut langit. Langit tampak kelam tetapi sangat indah[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar