Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 17 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(66)



Tepat ketika matahari mencapai puncaknya dan angin di tepi hutan itu bertiup semakin kencang, Jigjayuda melarikan kudanya ke arah selatan menuju Desa Kaliwedi, diikuti kuda Kamandaka dan Sang Dewi. Kuda anggota rombongan yang lain menyusul dibelakangnya.
“Dinda Dewi, kita akan istirahat dan santap siang di pondok bambu yang baru saja dibangun Nyai Kertisara di tepi Sungai Ciserayu. Empat perahu yang dipesan Nyai Kertisara sudah tiba. Nyai Kertisara berharap Dinda Dewi bisa mewakili Kanjeng Rama meresmikan pangkalan baru di tepi Sungai Ciserayu itu. Pangkalan baru itu kelak akan digunakan untuk memperluas jaringan pemasaran gula kelapa dan gula aren produksi para pengrajin yang dibina Nyai Kertisara. Pangkalan itu juga untuk memperlancar arus lalu lintas orang dan barang di Sungai Ciserayu,” Kamandaka memberitahu rencana acara jika nanti  mereka tiba di Kaliwedi. Sang Dewi tampak senang mendengar rencana itu.
Nyai Kertisara dan Rekajaya menyambut dengan gembira kehadiran rombongan Kamandaka dan Sang Dewi  yang tiba di  pondok bambu tepi Sungai Ciserayu. Pondok bambu itu adalah model rumah panggung dengan dinding anyaman bambu wulung yang terbuka separo.  Lantainya papan kayu jati berwarna alami. Di atasnya sengaja di gelar tikar pandan halus. Di atas tikar pandan itu tamu-tamu istimewa Nyai Kertisara duduk lesehan sambil berbincang-bincang dan menikmati panorama indah Sungai Ciserayu.
Sejumlah bujang telah dikerahkan Nyai Kertisara untuk mempersiapkan hidangan santap siang. Khandegwilis yang ceria wajahnya karena bertemu dengan Rekajaya, sudah gatal tangannya ingin ikut membantu para bujang yang sedang sibuk. Tetapi Rekajaya melarangnya. Dalam waktu singkat di depan para tamu  telah tersaji sejumlah hidangan santap siang. Tampak-sejumlah bakul bambu berisi nasi beras putih bersih.Lalu- ikan baceman goreng, pepes ikan, ayam bakar, aneka lalaban, jengkol muda, dan petai rebus, serta sambal istimewa olahan tangan Nyai Kertisara sendiri. Aneka minuman khas Lembah Ciserayu juga dihadirkan di depan para tamu. Tak ketinggalan bermacam-macam buah-buahan mulai dari mangga, rambutan, jambu, jeruk, dan lainnya lagi.
“Aku jadi ingat Sungai Ciliwung di Pakuan Pajajaran  jika melihat Sunga Ciserayu itu,” bisik Silihwarna kepada Mayangsari yang duduk di sampingnya. Mayangsari tak berkedip melihat sungai Ciserayu yang sudah beberapa kali dilihatnya. Dari dalam pondok bambu, Sungai Ciserayu itu  tampak jelas dan menarik untuk dipandang.
“Benar, Kanda Silihwarna,” kata Ratna Pamekas ketika mendengar kata-kata Silihwarna yang duduk di samping kanannya.
“Kangmas Arya, pasti belum pernah melihat Sungai Ciliwung di Pakuan Pajajaran,” kata Ratna Pamekas kepada Arya Baribin. Arya Baribin membenarkan apa yang dikatakan Ratna Pamekas.
“Benar, karena Dinda Ratna belum pernah mengajak aku ke Pakuan Pajajaran,” kata Arya Baribin,  ”Kalau Sungai Brantas, ya, pasti sudah sering aku lihat.”
“Kapan Kangmas Arya ngajak aku melihat Sungai Brantas?  Tidak jauh dari Kediri, ya?”
“Ya, suatu saat jika Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki, pasti Dinda Ratna bisa melihat Sungai Brantas, entah kapan,” kata Arya Baribin.
Sekarmenur yang duduk di samping Wirapati juga tidak henti-hentinya mengagumi Sungai Ciserayu yang sedang mengalir tenang tak beriak. Di atasnya beberapa perahu melintasi menuju hilir.
“Sungguh, aku tidak mengira sungai yang besar ini akhirnya bermuara di Teluk Penyu di depan Nusakambangan,” kata Sekarmenur kepada Wirapati, “Sayang sekali, Dinda Sekarmelati dan Sekarcempaka kemarin tidak aku  ajak,”
“Bukankah aku telah usulkan kepada Dinda?”  kata Wirapati.
“Ya, itulah. Dinda Sekarmelati dan Sekarcempaka yang menolak,” kata putri Adipati Banakeling itu. Di saat gembira seperti itu dia sering ingat kepada kedua adiknya.
Perbincangan terhenti seketika, ketika Kamandaka meminta waktu untuk berbicara. “Kita pantas bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena di Lembah Ciserayu inilah keluarga besar Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, Nusakambangan, trah Majapahit, dan trah Pajajaran, telah dipersatukan dalam hubungan silaturahmi dan kekeluargaan,” kata Kamandaka mengawali sambutannya.
“Hubungan silaturahmi dan kekeluargaan itu tidak lama lagi akan ditingkatkan ke dalam hubungan ikatan pernikahan yang tetap dan abadi. Semua itu akan semakin memperkokoh silaturahmi di antara kita sehingga kelak diharapkan akan terbentuk persatuan keluarga besar trah dari turunan bangsa berasal dari lembah Sungai Sutra yang telah merintis menjadi penghuni awal pulau indah dan subur ini.  Semoga anak keturunan kita kelak yang tinggal di Lembah Sungai Ciserayu ini, tetap bisa melestarikan semangat leluhur kita sebagai putra-putra sungai, yang menghargai dan menjunjung tinggi air, sungai, telaga, danau, dan lautan sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan berharga.”
“Hanya apabila kita bisa mewariskan kepada anak cucu dan keturunan kita di Lembah Sungai Ciserayu ini agar kelak mereka bisa menjadi suatu generasi anak bangsa yang berani  menantang ombak besar bergelombang dan bergulung-gulung tak kenal lelah di muara Sungai Ciserayu itu. Maka anak cucu keturunan kita di Lembah Ciserayu ini, nistaya akan menjadi bangsa yang jaya. Merekalah yang pantas disebut sebagai generasi emas, generasi cai sindai, generasi banyu mas. Yaitu generasi yang menghargai air, sungai, telaga, ombak, dan lautan, sebagai sesuatu bernilai tinggi yang akan mengantarkan nereka ke arah kebesaran, kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama yang mendapat perkenan Yang Maha Menguasai Jagad Raya.”
“Semoga kita tidak pernah berhenti mensyukuri karunia ini dan juga tidak pernah berhenti mewariskan nilai-nilai mulia leluhur kita, kepada generasi penerus. Semoga Yang Maha Kuasa, senantiasa melindungi kita semua. Akhirnya, silahkan Dinda Dewi mewakili Kanjeng Rama Adipati memenuhi permohonan Nyai Kertisara,” kata Kamandaka mengakhiri sambutannya.
“Terimakasih Kanda Kamandaka yang aku cintai,” kata Sang Dewi mengawali sambutannya yang segera mendapatkan tepuk tangan  panjang dan meriah gara-gara Sang Dewi menyelipkan kata cinta. Sang Dewi terpaksa berhenti sejenak, menunggu tepuk tangan yang meriah itu berhenti.
“Menurut Kanda Kamandaka, pangkalan ini memiliki tujuh buah perahu dibuat dari kayu jati yang dikerjakan sendiri oleh tangan-tangan trampil para pengrajin kayu jati yang tinggal di sekitar Sungai Ciserayu ini. Ke tujuh perahu itu merupakan lambang dari tujuh wanita yang sangat disayangi dan akan terus dikenang oleh Kanda Kamandaka. Ke tujuh wanita yang dilambangkan dengan tujuh perahu persembahan Nyai Kertisara itu adalah Kanjeng Ayu Adipati, akui sendiri, Dinda Sekarmenur, Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas, Nyai Kertisara dan Khandegwilis. Semoga apa yang diusahakan Nyai Kertisara ini, bisa menjadi contoh dan teladan penduduk Lembah Sungai Ciserayu dalam usahanya mewujudkan kesesjahteraan, kemakmuran, dan kemajuan penduduk di sekitarnya dan penduduk Kadipaten Pasirluhur seluruhnya. Atas nama Kanjeng Adipati Pasirluhur, Kanjeng Rama Adipati Kandhadaha, serta dengan memohon perkenan Yang Maha Menguasai Jagad Raya, dengan ini proyek pangkalan perahu Nyai Kertisara di Sungai Ciserayu untuk memperlancar arus orang dan barang diresmikan,” kata Sang Dewi mengakhiri kata sambutannya yang kembali diikuti dengan tepuk tangan meriah.
Nyai Kertisara yang duduk di samping Kamandaka hanya senyum-senyum gembira. Demikian pula Khandegwilis yang kali ini duduk di samping Nyai Kertisara. Sementara itu Rekajaya, Tumenggung Maresi, dan Jikgjayuda juga ikut menikmati kebahagiaan dan kegembiraan yang dirasakaan oleh Nyai Kertisara.
“Aduh, aku sudah lapar banget, Kanda. Ayoh, kita mulai!” kata Sang Dewi kepada Kamandaka yang duduk di sampingnya.
Nyai Kertisara segera mempersilahkan semua tamunya menikmati jamuan santap siang yang telah terhidang di hadapannya. Santap siang pun segera dimulai. Mereka semua menikmati dengan lahap hidangan persembahan Nyai Kertisara. Malam itu Sang Dewi memenuhi janjinya bermalam di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi yang megah itu. Sang Dewi satu kamar dengan Sekarmenur. Mayangsari satu kamar dengan Ratna Pamekas. Khandegwilis tidur di kamar Nyai Kertisara. Silihwarna satu kamar dengan Arya Baribin. Kamandaka satu kamar dengan Wirapati. Tumenggung Maresi satu kamar dengan Jigjayuda. Kamandaka terkagum-kagum menempati bekas kamarnya yang selalu dijaga dan diatur sedemikian rupa sehingga mirip kamar Sang Dewi di  Kadipaten Pasirluhur. Malam menjelang tidur  dipanggilnya Rekajaya. 

“Kakang, bagaimana Kakang  bisa mengatur kamar ini mirip kamar Dinda Dewi di  Kadipaten Pasirluhur?”
“Ah, tidak mirip benar, Ndara. Kamar ini tidak memiliki teras dan taman seperti kamar Ndara Putri di Taman Kaputren. Tetapi kalau di bagian dalamnya, hamba masih ingat kamar Ndara Putri. Dulu hamba sering disuruh Ndara Putri mengatur kamar Ndara Putri ditemani Khandegwilis. Makanya hamba masih ingat sampai sekarang,” kata Rekajaya.
Kamandaka senang mendengar Rekajaya yang banyak akalnya itu. Wirapati yang duduk di depan Kamandaka kagum juga mengetahui kesetiaan Rekajaya. “Badanku lelah, Kakang. Bisa mijit kan?” kata Kamandaka sambil naik ke atas ranjang. Rekajaya langsung duduk di sampingnya dan mulai memijit punggung Kamandaka. Usai Kamandaka dipijit, Wirapati ikut-ikutan minta dipijit Rekajaya.
Malam itu Rekajaya tidur di atas tikar yang digelar di lantai di bawah ranjang tempat Kamandaka dan Wirapati tidur nyenyak dibuai mimpi indah. Terpikir oleh Rekajaya, barangkali itu adalah malam terakhir dirinya bisa menemani Kamandaka. Sebab, setelah Kamandaka merayakan pesta pernikahannya dengan Sang Dewi, tentu tidak mungkin lagi-bagi Rekajaya bisa menemani Kamandaka tidur berdekatan seperti malam itu. Dua puluh hari lagi Kadipaten Pasirluhur akan menggelar perayaan agung menyambut pernikahan Sang Dewi, putri bungsu Adipati Kandhadaha dengan Kamandaka, putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Kerajaan  Pajajaran.
Tiba-tiba Rekajaya ingat Khandegwilis yang kini tidur bersama kakak perempuannya, Nyai Kertisara. Rekajaya tersenyum sendiri. Dia pun segera bergegas memiringkan tubuhnya memeluk sebuah guling. Tak lama kemudian Rekajaya pun tidur pulas menyusul Kamandaka dan Wirapati. Di Desa Kaliwedi yang tidak jauh dari pinggir Sungai Ciserayu itu, malam pun merangkak pelan dalam sepi, menembus tengah malam dengan ribuan bintang yang bermunculan di sudut-sudut langit. Langit  tampak kelam tetapi sangat indah[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar