Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 06 Desember 2017

Novel: Melati Kadipaten Pasirluhur (71)



“Iya, betul. Dibuat ongol-ongol! Ini tadi mau cepatnya saja,” kata Nyi Demang pula sambil melihat cara Rekajaya makan ganyong. Tampak oleh Nyi Demang, Rekajaya dan Arya Baribin senang dengan ganyong rebus yang disuguhkannya.
“Eh, Kalau Rekajaya, kapan nih mau punya istri ?” tanya Nyi Demang tiba-tiba.
“Calon sudah ada, Nyi Demang. Mohon doa restunya saja, agar bisa menyusul Ndara Kamandaka,” kata Rekajaya sambil tertawa.
“Oh, kamu mau nikah juga, Rekajaya? Selamat kalau begitu. Nah, kalau kamu kelak resepsi pernikahannya di Kaliwedi, ya? Ki Demang dan Nyi Demang pasti hadir. Bahkan kalau tidak diundang, asal dengar, pasti hadir!” kata Ki Demang Kejawar.
“Terima kasih, Ki Demang dan Nyi Demang,” kata Rekajaya pula sambil mengingatkan Arya Baribin, bahwa matahari sudah tinggi. Mereka berdua sudah berjanji kepada Kamandaka untuk kembali ke Kaliwedi sebelum matahari mencapai puncak kubah langit.
Tahu Arya Baribin dan Rekajaya mau pamitan, Nyi Demang buru-buru memanggil pengasuhnya. Pengasuhnya datang sambil membawa anak laki-lakinya yang sudah mandi. “Ayo, Bagus, salam kepada Paman Arya. Ucapkan, ‘Selamat jalan Paman Arya, sampai ketemu lagi!’ Bisa kan?” Nyi Demang mengajari anak laki-lakinya, Bagus.
Anak laki-laki itu menirukan kata-kata Ibunya, lalu minta bersalaman. Arya Baribin tertawa melihat anak yang cakap, sehat, dan cerdas itu. Diangkatnya anak itu, diciumnya. Lalu diturunkannya. Arya Baribin mengambil 10 tail uang emas dan diberikan kepada  anak laki-laki itu.
“Ditabung, ya Bagus. Kalau sudah besar main ke Paman, ya. Nanti tabungannya Paman tambah lagi,” kata Arya Baribin.
“Bilang apa pada Paman Arya?”  kata Nyi Demang.
“Makasih, Paman Arya,” kata Bagus, lalu bersembunyi di belakang Ibunya sambil membawa uang hadiah Arya Baribin.
“Sekali lagi, Nyi Demang dan Ki Demang mengucapkan selamat jalan. Semoga sampai di Pasirluhur dengan selamat,” kata Nyi Demang.
“Menyesal juga sih, sepertinya pada hari pernikahan Raden Arya kelak, Bibi tidak bisa hadir. Kecil sekali kemungkinannya dapat ijin dari Kanjeng Adipati Wirasaba IV. Apalagi ijin dari Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri. Bibi hanya mendoakan semoga apa yang menjadi cita-cita Raden Arya terkabul, yaitu dapat istri cantik, Putri Raja pula,” kata Nyi Demang.
“Semoga Raden kelak cepat punya keturunan, jangan terlambat seperti Ki Demang. Dan kalau Raden kelak punya anak perempuan, sisihkan satu untuk Bagus juga baik. Karena Raden  tidak bisa jadi menantu  Bibi, ya besanan saja. Setuju Ki Demang? Setuju Raden?” kata Nyi Demang Kejawar setengah berkelakar.
“Maaf, Raden. Ibunya Bagus kalau bicara memang suka ceplas-ceplos. Hanya kelakar saja. Jangan dimasukkan ke dalam hati, ya,” kata Ki Demang pula.
Arya Baribin hanya tertawa dengan kelakar Nyi Demang. Tetapi sekaligus kagum. Wawasan Ny Demang  ternyata merentang jauh ke depan, sehingga anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun itu sudah dipikirkan masa depannya. Bagi Arya Baribin, Nyi Demang adalah sosok seorang Ibu yang memiliki sifat-sifat sebagai pendidik sejati,yaitu mampu melihat jauh ke masa depan.
“Gagasan Bibi, bagus juga, lho. Doakan juga ananda kelak berhasil mengemban amanat Sri Baginda Prabu Siliwangi yang telah menugaskan ananda untuk membangun kembali Kadipaten Kalipucang. Bibi boleh sering-sering menengok ke sana. Ajak Bagus. Kalipucang dekat dari Kejawar. Lebih dekat dari pada ke Pakuan Pajajaran. Yang paling mudah lewat Rawalo, Jeruk Legi, Kawunganten, Gandrung, Kedungreja, Rawaapu, menyeberang Sungai Citanduy, sudah sampai di Kalipucang. Banyak kuda bisa disewa jika mau ke Kalipucang. Kalau ke Kalipucang, tidak perlu ijin Kanjeng Adipati Wirasaba IV, kan?” kata Arya Baribin menjelaskan rencana masa depannya jika kelak dia benar-benar berhasil menyunting Putri Pakuan Pajajaran.
Ki Demang dan istrinya tentu saja sangat gembira mendapat tawaran yang menarik itu. Dipeluknya Arya Baribin dengan perasaan berbunga-bunga. Harapan mereka agar hubungan kekerabatan bisa terjalin antara Kejawar-Kalipucang, menjadi impian-impian indah di masa depan. Kedua tamu istimewa Ki Demang Kejawar itu segera mohon diri untuk kembali ke Kaliwedi. Ki Demang mengantarkannya sampai ke jalan dengan perasaan sedih. Bagi Ki Demang dan Nyi Demang, Arya Baribin, sudah dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Angin dari arah Pegunungan Ciserayu bertiup lembut, menyertai Arya Baribin yang memacu kudanya meninggalkan halaman rumah Ki Demang Kejawar. Di belakangnya mengikuti kuda yang dikendarai tukang kuda dan Rekajaya. Ki Demang dan Nyi Demang mengiringinya dengan pandangan mata sampai kedua kuda tamunya itu semakin lama semakin jauh dan semakin kecil. Akhirnya kedua kuda itu menghilang ditelan ujung jalan yang menghubungkan Kademangan Kejawar dan tempat penyeberangan Sungai Ciserayu di sebelah selatan desa Kaliori.
 Ki Demang dan istrinya masih berdiri mematung di pinggir jalan memandang ke arah utara, ke arah dua kuda yang berlari dengan cepat dan sudah menghilang dari jangkauan pandangan mata. Mereka baru terjaga, ketika Bagus menarik kain Nyi Demang, menyerahkan 10 tail uang emas yang diterimanya dari Arya Baribin. Bagus lalu lari ke arah pengasuhnya yang mau mengajak bermain-main di halaman samping kanan pendapa, bersama-sama anak-anak sebaya lainnya.
“Hari apa sih ini, Ki Demang?“ tanya Nyi Demang. Wajahnya sumringah.
“Raditya Kasih, memangnya tadi malam mimpi apa, Nyi?”

“Bener, lho. Semalam mimpi dapat ikan baceman dari Sungai Ciserayu. Besar-besar lagi. Eh tahunya itu artinya lima keranjang gula aren, lima keranjang gula kelapa, satu  karung beras, dan sepuluh tail emas!” kata Nyi Demang dengan wajah bersei-seri.
“Alaa…, sekarang bisa tertawa, pada hal tadi pagi ngomel melulu! Awas uang 10 tail emas milik Bagus, jangan diutik-utik. Nanti terpakai,” kata Ki Demang mengingatkan.
“Sudah, Ki Demang ngurusi soal-soal ritual dan ngapalin japa mantra saja. Soal ekonomi serahkan pada Istri. Kalau Ki Demang campur tangan soal ekonomi rumah tangga, pasti kacau. Ki Demang gatal kan kalau lihat uang?  Supaya tidak dipinjam Ki Demang lalu tidak kembali, uang 10 tail emas akan aku jadikan kalung saja. Kalau sewaktu-waktu butuh, cepat diuangkan lagi. Kalau sudah jadi kalung, Ki Demang mau pinjam juga boleh. Asal tidak untuk dijual, tidak untuk digadaikan, dan tidak untuk kawin lagi!” kata Nyi Demang yang terus nyerocos.
Dan satu-satunya  cara untuk menghentikannya omongan istrinya bagi Ki Demang  ialah dengan buru-buru meninggalkan istrinya itu. Ki Demang pun segera masuk rumah, mau kembali ke kebun belakang untuk melihat-lihat buah pisang yang sudah masak supaya tidak didahului codot.
Malam harinya setelah keliling mengawasi orang-orang yang bertugas ronda di pendapa kademangan, Ki Demang Kejawar masuk kamar tidur. Dijumpainya Nyi Demang sudah tidur pulas sambil memeluk anak laki-lakinya, Bagus.
“Kapan Bagus mau punya adik, anak segede itu masih dikeloni? Mestinya kan sudah tidur di kamar lain,” kata Ki Demang menggerutu. Ki Demang mengira Nyi Demang sudah tidur. Ternyata belum.
“Memangnya, Bagus mengangggu, apa? “ kata Nyi Demang yang membuat  Ki Demang terkejut karena kata-katanya terdengar oleh istrinya.
Ki Demang diam saja, tak berani menjawab pertanyaan istrinya. Ki Demang segera naik ke tempat tidur setelah berganti dengan pakaian tidur. Lalu Ki Demang membaringkan dirinya di samping istrinya yang memunggunginya karena istrinya tetap memeluk Bagus yang tertidur pulas di dalam pelukan ibunya.
“Belum tidur?”  bisik Ki Demang lirih. Nyi Demang diam saja, pura-pura tidak mendengar.
“Maafkan aku, ya ,” bisik Ki Demang lagi.
“Memangnya, apa salah Kakang kepadaku?” tanya istrinya. Ki Demang diam-diam tersenyum, ketika istrinya mulai menyebutnya dengan panggilan kesayangan, “Kakang”. Suatu pertanda baik. Strategi merayu kepada istrinya pun dilanjutkan.
“Ya, aku suka membentak bentak kamu. Itu semua tidak sengaja,”
“Tidak apa lah. Asal Kakang jangan membentak aku ketika di atas tempat tidur,” jawab istrinya mulai memancing suaminya.
“Mana berani aku membentak kamu di tempat tidur?” kata Ki Demang sambil memeluk istrinya dari belakang dan mencium leher tepat  dibawah telinga istrinya sehingga  membuat istrinya menggelinjang seketika. Istrinya pun langsung membalik. Kedua pasang suami istri itu saling berhadap-hadapan.
“Tahukah Kakang, kenapa Kakang suka membentak-bentak aku?” tanya Nyi Demang sambil menahan suaminya agar tidak memeluknya dulu. Ki Demang pun tahu, bahwa sesungguhnya istrinya malam itu ingin membicarakan suatu masalah penting dengan dirinya.
“Ya, itulah makanya aku minta maaf kepadamu. Aku suka membentak-bentak kamu. Itu disebabkan aku miskin. Sebagai seorang demang daerah sima, aku hanya memiliki kekuasaan keagamaan. Tetapi aku tidak memiliki kekuasaan dunia. Satu-satunya kekuasaan dunia yang aku miliki hanya kamu, istriku, dan Bagus anakku. Selebihnya, aku miskin. Aku tidak punya kekuasaan duniawi yang berupa tahta dan harta,” kata Ki Demang mencurahkan isi hatinya kepada istrinya. Nyi Demang hanya tersenyum. Tapi lalu dipeluknya suaminya itu dengan segenap kasih sayangnya.
“Aku melihat Kakang sudah semakin cerdas!” puji istrinya sambil tersenyum. Ki Demang diam sebentar, menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan keluhannya.
“Dalam soal harta, misalnya. Untuk  urusan beras saja yang sering bikin kamu pusing, aku harus minta-minta kepada Kanjeng Adipati Wirasaba. Dalam soal gula, aku harus menunggu belas kasihan Nyai Kertisara. Demikian pula dalam soal beras terkadang aku pun harus menunggu belas kasihan Nyai Kertisara. Bahkan aku tidak pernah mampu memberikan Bagus sepuluh tail emas. Aku lebih miskin dari Raden Arya,” kata Ki Demang.
“Betapa pun kecilnya dan sedikitnya harta yang dimiliki oleh seseorang itu tetap saja perlu selagi manusia hidup di dunia. Apalagi bagi seorang demang dari wilayah sima seperti Kakang. Bagaimana mungkin Kakang bisa memberi tongkat agar mereka tidak tergelincir, memberi minum agar mereka tidak kehausan, memberi makan agar mereka tidak kelaparan, memberi payung agar mereka tidak kehujanan, dan memberi pakaian agar mereka tidak telanjang, jika Kakang miskin? Bahkan untuk bisa mendapatkan beras saja, Kakang mengharapkan uluran tangan dari orang lain? “kata Nyi Demang menyampaikan pandangannya.
“Harta, tahta dan wanita, memang bisa menjadi malapetaka jika dicari, dikejar, dan diperoleh dengan ketamakan. Tetapi harta, tahta, dan wanita, akan bermanfaat jika dicari dengan benar dan digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan kesejahteraan bersama. Nafsu tamak akan harta, tahta, dan wanita itulah yang akan menghancurkan peradaban dan kemanusiaan,” kata Nyi Demang masih melanjutkan.
“Benar sekali, istriku. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu.” kata Ki Demang yang masih berbaring di samping istrinya sambil  matanya menatap kosong langit-langit atap kamar tidurnya.
“Dan, dalam soal tahta, Kakang lebih miskin lagi, bukan?” kata istrinya lagi, mengingatkan.
“Ya, Betul sekali. Hanya untuk membuka sawah baru saja agar kademangan ini tidak kekurangan pangan, harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba lebih dahulu. Itu berarti aku miskin dalam soal-soal kekuasaan.”  Ki Demang mengeluh kepada istrinya.
“Bahkan untuk bisa pergi ke Pakuan Pajajaran hanya untuk keperluan menghadiri pesta dan ritual pernikahan, Kakang pun harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati dan Sang Raja Kediri, bukan?” kata istrinya, lagi-lagi mengingatkan Ki Demang.
“Kamu betul, Istriku. Sesungguhnya aku merasa sakit hati sekali. Hanya untuk bisa sekedar menyenangkan kamu jalan-jalan ke Pakuan Pajajaran saja, aku tidak mampu. Padahal ongkos tidak menjadi masalah, bukan? Pastilah Raden Arya yang akan mengongkosi kita,” keluh Ki Demang pula.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar