“Iya, betul. Dibuat ongol-ongol! Ini tadi mau cepatnya saja,” kata Nyi Demang pula
sambil melihat cara Rekajaya makan ganyong. Tampak oleh Nyi Demang, Rekajaya
dan Arya Baribin senang dengan ganyong rebus yang disuguhkannya.
“Eh, Kalau
Rekajaya, kapan nih mau punya istri ?” tanya Nyi Demang tiba-tiba.
“Calon
sudah ada, Nyi Demang. Mohon doa restunya saja, agar bisa menyusul Ndara
Kamandaka,” kata Rekajaya sambil tertawa.
“Oh, kamu
mau nikah juga, Rekajaya? Selamat kalau begitu. Nah, kalau kamu kelak resepsi pernikahannya
di Kaliwedi, ya? Ki Demang dan Nyi Demang pasti hadir. Bahkan kalau tidak
diundang, asal dengar, pasti hadir!” kata Ki Demang Kejawar.
“Terima kasih,
Ki Demang dan Nyi Demang,” kata Rekajaya pula sambil mengingatkan Arya Baribin,
bahwa matahari sudah tinggi. Mereka berdua sudah berjanji kepada Kamandaka
untuk kembali ke Kaliwedi sebelum matahari mencapai puncak kubah langit.
Tahu Arya
Baribin dan Rekajaya mau pamitan, Nyi Demang buru-buru memanggil pengasuhnya.
Pengasuhnya datang sambil membawa anak laki-lakinya yang sudah mandi. “Ayo,
Bagus, salam kepada Paman Arya. Ucapkan, ‘Selamat jalan Paman Arya, sampai
ketemu lagi!’ Bisa kan?” Nyi Demang mengajari anak laki-lakinya, Bagus.
Anak
laki-laki itu menirukan kata-kata Ibunya, lalu minta bersalaman. Arya Baribin
tertawa melihat anak yang cakap, sehat, dan cerdas itu. Diangkatnya anak itu,
diciumnya. Lalu diturunkannya. Arya Baribin mengambil 10 tail uang emas dan
diberikan kepada anak laki-laki itu.
“Ditabung,
ya Bagus. Kalau sudah besar main ke Paman, ya. Nanti tabungannya Paman tambah
lagi,” kata Arya Baribin.
“Bilang apa
pada Paman Arya?” kata Nyi Demang.
“Makasih,
Paman Arya,” kata Bagus, lalu bersembunyi di belakang Ibunya sambil membawa
uang hadiah Arya Baribin.
“Sekali
lagi, Nyi Demang dan Ki Demang mengucapkan selamat jalan. Semoga sampai di
Pasirluhur dengan selamat,” kata Nyi Demang.
“Menyesal
juga sih, sepertinya pada hari pernikahan Raden Arya kelak, Bibi tidak bisa
hadir. Kecil sekali kemungkinannya dapat ijin dari Kanjeng Adipati Wirasaba IV.
Apalagi ijin dari Sang Prabu Ranawijaya, Raja Kediri. Bibi hanya mendoakan
semoga apa yang menjadi cita-cita Raden Arya terkabul, yaitu dapat istri
cantik, Putri Raja pula,” kata Nyi Demang.
“Semoga Raden
kelak cepat punya keturunan, jangan terlambat seperti Ki Demang. Dan kalau Raden
kelak punya anak perempuan, sisihkan satu untuk Bagus juga baik. Karena Raden tidak bisa jadi menantu Bibi, ya besanan saja. Setuju Ki Demang?
Setuju Raden?” kata Nyi Demang Kejawar setengah berkelakar.
“Maaf,
Raden. Ibunya Bagus kalau bicara memang suka ceplas-ceplos. Hanya kelakar saja.
Jangan dimasukkan ke dalam hati, ya,” kata Ki Demang pula.
Arya
Baribin hanya tertawa dengan kelakar Nyi Demang. Tetapi sekaligus kagum.
Wawasan Ny Demang ternyata merentang
jauh ke depan, sehingga anak laki-lakinya yang baru berusia lima tahun itu
sudah dipikirkan masa depannya. Bagi Arya Baribin, Nyi Demang adalah sosok
seorang Ibu yang memiliki sifat-sifat sebagai pendidik sejati,yaitu mampu
melihat jauh ke masa depan.
“Gagasan
Bibi, bagus juga, lho. Doakan juga ananda kelak berhasil mengemban amanat Sri
Baginda Prabu Siliwangi yang telah menugaskan ananda untuk membangun kembali
Kadipaten Kalipucang. Bibi boleh sering-sering menengok ke sana. Ajak Bagus.
Kalipucang dekat dari Kejawar. Lebih dekat dari pada ke Pakuan Pajajaran. Yang
paling mudah lewat Rawalo, Jeruk Legi, Kawunganten, Gandrung, Kedungreja,
Rawaapu, menyeberang Sungai Citanduy, sudah sampai di Kalipucang. Banyak kuda
bisa disewa jika mau ke Kalipucang. Kalau ke Kalipucang, tidak perlu ijin
Kanjeng Adipati Wirasaba IV, kan?” kata Arya Baribin menjelaskan rencana masa
depannya jika kelak dia benar-benar berhasil menyunting Putri Pakuan Pajajaran.
Ki Demang
dan istrinya tentu saja sangat gembira mendapat tawaran yang menarik itu.
Dipeluknya Arya Baribin dengan perasaan berbunga-bunga. Harapan mereka agar
hubungan kekerabatan bisa terjalin antara Kejawar-Kalipucang, menjadi impian-impian
indah di masa depan. Kedua tamu istimewa Ki Demang Kejawar itu segera mohon
diri untuk kembali ke Kaliwedi. Ki Demang mengantarkannya sampai ke jalan
dengan perasaan sedih. Bagi Ki Demang dan Nyi Demang, Arya Baribin, sudah
dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Angin dari
arah Pegunungan Ciserayu bertiup lembut, menyertai Arya Baribin yang memacu
kudanya meninggalkan halaman rumah Ki Demang Kejawar. Di belakangnya mengikuti
kuda yang dikendarai tukang kuda dan Rekajaya. Ki Demang dan Nyi Demang
mengiringinya dengan pandangan mata sampai kedua kuda tamunya itu semakin lama
semakin jauh dan semakin kecil. Akhirnya kedua kuda itu menghilang ditelan
ujung jalan yang menghubungkan Kademangan Kejawar dan tempat penyeberangan
Sungai Ciserayu di sebelah selatan desa Kaliori.
Ki Demang
dan istrinya masih berdiri mematung di pinggir jalan memandang ke arah utara,
ke arah dua kuda yang berlari dengan cepat dan sudah menghilang dari jangkauan
pandangan mata. Mereka baru terjaga, ketika Bagus menarik kain Nyi Demang,
menyerahkan 10 tail uang emas yang diterimanya dari Arya Baribin. Bagus lalu
lari ke arah pengasuhnya yang mau mengajak bermain-main di halaman samping
kanan pendapa, bersama-sama anak-anak sebaya lainnya.
“Hari apa
sih ini, Ki Demang?“ tanya Nyi Demang. Wajahnya sumringah.
“Raditya
Kasih, memangnya tadi malam mimpi apa, Nyi?”
“Bener, lho. Semalam mimpi dapat ikan baceman dari Sungai
Ciserayu. Besar-besar lagi. Eh tahunya itu artinya lima keranjang gula aren,
lima keranjang gula kelapa, satu karung
beras, dan sepuluh tail emas!” kata Nyi Demang dengan wajah bersei-seri.
“Alaa…, sekarang
bisa tertawa, pada hal tadi pagi ngomel melulu! Awas uang 10 tail emas milik
Bagus, jangan diutik-utik. Nanti terpakai,” kata Ki Demang mengingatkan.
“Sudah, Ki
Demang ngurusi soal-soal ritual dan ngapalin japa mantra saja. Soal ekonomi
serahkan pada Istri. Kalau Ki Demang campur tangan soal ekonomi rumah tangga,
pasti kacau. Ki Demang gatal kan kalau lihat uang? Supaya tidak dipinjam Ki Demang lalu tidak kembali,
uang 10 tail emas akan aku jadikan kalung saja. Kalau sewaktu-waktu butuh,
cepat diuangkan lagi. Kalau sudah jadi kalung, Ki Demang mau pinjam juga boleh.
Asal tidak untuk dijual, tidak untuk digadaikan, dan tidak untuk kawin lagi!”
kata Nyi Demang yang terus nyerocos.
Dan
satu-satunya cara untuk menghentikannya
omongan istrinya bagi Ki Demang ialah
dengan buru-buru meninggalkan istrinya itu. Ki Demang pun segera masuk rumah,
mau kembali ke kebun belakang untuk melihat-lihat buah pisang yang sudah masak
supaya tidak didahului codot.
Malam
harinya setelah keliling mengawasi orang-orang yang bertugas ronda di pendapa
kademangan, Ki Demang Kejawar masuk kamar tidur. Dijumpainya Nyi Demang sudah
tidur pulas sambil memeluk anak laki-lakinya, Bagus.
“Kapan
Bagus mau punya adik, anak segede itu masih dikeloni? Mestinya kan sudah tidur
di kamar lain,” kata Ki Demang menggerutu. Ki Demang mengira Nyi Demang sudah
tidur. Ternyata belum.
“Memangnya,
Bagus mengangggu, apa? “ kata Nyi Demang yang membuat Ki Demang terkejut karena kata-katanya
terdengar oleh istrinya.
Ki Demang
diam saja, tak berani menjawab pertanyaan istrinya. Ki Demang segera naik ke
tempat tidur setelah berganti dengan pakaian tidur. Lalu Ki Demang membaringkan
dirinya di samping istrinya yang memunggunginya karena istrinya tetap memeluk
Bagus yang tertidur pulas di dalam pelukan ibunya.
“Belum
tidur?” bisik Ki Demang lirih. Nyi
Demang diam saja, pura-pura tidak mendengar.
“Maafkan
aku, ya ,” bisik Ki Demang lagi.
“Memangnya,
apa salah Kakang kepadaku?” tanya istrinya. Ki Demang diam-diam tersenyum,
ketika istrinya mulai menyebutnya dengan panggilan kesayangan, “Kakang”. Suatu
pertanda baik. Strategi merayu kepada istrinya pun dilanjutkan.
“Ya, aku
suka membentak bentak kamu. Itu semua tidak sengaja,”
“Tidak apa
lah. Asal Kakang jangan membentak aku ketika di atas tempat tidur,” jawab
istrinya mulai memancing suaminya.
“Mana
berani aku membentak kamu di tempat tidur?” kata Ki Demang sambil memeluk
istrinya dari belakang dan mencium leher tepat
dibawah telinga istrinya sehingga
membuat istrinya menggelinjang seketika. Istrinya pun langsung membalik.
Kedua pasang suami istri itu saling berhadap-hadapan.
“Tahukah
Kakang, kenapa Kakang suka membentak-bentak aku?” tanya Nyi Demang sambil
menahan suaminya agar tidak memeluknya dulu. Ki Demang pun tahu, bahwa sesungguhnya
istrinya malam itu ingin membicarakan suatu masalah penting dengan dirinya.
“Ya, itulah
makanya aku minta maaf kepadamu. Aku suka membentak-bentak kamu. Itu disebabkan
aku miskin. Sebagai seorang demang daerah sima, aku hanya memiliki kekuasaan
keagamaan. Tetapi aku tidak memiliki kekuasaan dunia. Satu-satunya kekuasaan
dunia yang aku miliki hanya kamu, istriku, dan Bagus anakku. Selebihnya, aku
miskin. Aku tidak punya kekuasaan duniawi yang berupa tahta dan harta,” kata Ki
Demang mencurahkan isi hatinya kepada istrinya. Nyi Demang hanya tersenyum.
Tapi lalu dipeluknya suaminya itu dengan segenap kasih sayangnya.
“Aku
melihat Kakang sudah semakin cerdas!” puji istrinya sambil tersenyum. Ki Demang
diam sebentar, menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan keluhannya.
“Dalam soal
harta, misalnya. Untuk urusan beras saja
yang sering bikin kamu pusing, aku harus minta-minta kepada Kanjeng Adipati
Wirasaba. Dalam soal gula, aku harus menunggu belas kasihan Nyai Kertisara.
Demikian pula dalam soal beras terkadang aku pun harus menunggu belas kasihan
Nyai Kertisara. Bahkan aku tidak pernah mampu memberikan Bagus sepuluh tail
emas. Aku lebih miskin dari Raden Arya,” kata Ki Demang.
“Betapa pun
kecilnya dan sedikitnya harta yang dimiliki oleh seseorang itu tetap saja perlu
selagi manusia hidup di dunia. Apalagi bagi seorang demang dari wilayah sima
seperti Kakang. Bagaimana mungkin Kakang bisa memberi tongkat agar mereka tidak
tergelincir, memberi minum agar mereka tidak kehausan, memberi makan agar
mereka tidak kelaparan, memberi payung agar mereka tidak kehujanan, dan memberi
pakaian agar mereka tidak telanjang, jika Kakang miskin? Bahkan untuk bisa
mendapatkan beras saja, Kakang mengharapkan uluran tangan dari orang lain?
“kata Nyi Demang menyampaikan pandangannya.
“Harta,
tahta dan wanita, memang bisa menjadi malapetaka jika dicari, dikejar, dan
diperoleh dengan ketamakan. Tetapi harta, tahta, dan wanita, akan bermanfaat
jika dicari dengan benar dan digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan
kesejahteraan bersama. Nafsu tamak akan harta, tahta, dan wanita itulah yang
akan menghancurkan peradaban dan kemanusiaan,” kata Nyi Demang masih
melanjutkan.
“Benar
sekali, istriku. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu.” kata Ki Demang
yang masih berbaring di samping istrinya sambil
matanya menatap kosong langit-langit atap kamar tidurnya.
“Dan, dalam
soal tahta, Kakang lebih miskin lagi, bukan?” kata istrinya lagi, mengingatkan.
“Ya, Betul
sekali. Hanya untuk membuka sawah baru saja agar kademangan ini tidak
kekurangan pangan, harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba lebih
dahulu. Itu berarti aku miskin dalam soal-soal kekuasaan.” Ki Demang mengeluh kepada istrinya.
“Bahkan untuk
bisa pergi ke Pakuan Pajajaran hanya untuk keperluan menghadiri pesta dan
ritual pernikahan, Kakang pun harus minta ijin kepada Kanjeng Adipati dan Sang
Raja Kediri, bukan?” kata istrinya, lagi-lagi mengingatkan Ki Demang.
“Kamu betul,
Istriku. Sesungguhnya aku merasa sakit hati sekali. Hanya untuk bisa sekedar
menyenangkan kamu jalan-jalan ke Pakuan Pajajaran saja, aku tidak mampu.
Padahal ongkos tidak menjadi masalah, bukan? Pastilah Raden Arya yang akan
mengongkosi kita,” keluh Ki Demang pula.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar