Patih
Puletembini sebenarnya sempat melihat mata tombak yang mengarah ke dadanya.
Karena itu dia ingin menunduk, tapi terlambat. Satu-satunya jalan paling cepat
ialah berkelit dengan memutar tubuhnya. Ternyata gerakan ini pun tidak
menolongnya. Sebab mata tombak yang dilemparkan kepadanya sudah menyentuh
punggungnya yang terlambat memutar. Mata tumbak yang dilemparkan Wirapati menghunjam
punggung Patih Pulatembini, menerobos,dan merusak tulang rusuknya. Patih
Puletembini langsung tumbang terkapar di atas tanah.
Sementara
itu. Rangga Singalaut juga pelempar pisau hebat. Sudah lebih dari sepuluh buah
pisau dilemparkan ke arah Arya Baribin. Tetapi Arya Baribin juga pendekar hebat
yang menguasai jurus Bandung Bandawasa. Jurus Bandung Bandawasa adalah jurus
yang mengandalkan pukulan dengan tangan kosong. Sebenarnya, gerakan jurus
Bandung Bandawasa tidak terlalu bervariasi. Tetapi gerakannya sangat bertenaga.
Tendangan jarak dekatnya yang cepat bisa menghasilkan gerakan memutar bagaikan
baling-baling sehingga dengan mudah dapat melumpuhkan banyak lawan, sekaligus
juga bisa untuk menghindari serangan senjata yang datang beruntun.
Karena itu
bagi Arya Baribin menghadapi lemparan pisau yang bertubi-tubi datang
kepadanya, tidak terlalu repot. Dengan
mudah Arya Baribin berkelit dan membuat gerakan salto sehingga makin lama Arya
Baribin makin mendekati posisi Rangga Singalaut. Rangga Singalaut tahu Arya Baribin sengaja
mendekati karena ingin mengajak berkelahai dari jarak dekat.
Semakin
dekat Arya Baribin, semakin sulit Rangga Singalaut melemparkan pisaunya.
Akhirnya terpaksa Rangga Singalaut melayani Arya Baribin dalam perkelaihan
jarak dekat. Rangga Singalaut hanya mengandalkan pisau yang ada ditangannya.
Tentu saja Rangga Singalaut bukan lawan seimbang bagi Arya Baribin yang
menguasai jurus Bandung Bandawasa.
Tetapi kali
ini, Arya Baribin ingin memanfaatkan pusaka kujang pemberian Ratna Pamekas yang
terselip dipinggangnya. Tiba-tiba Arya Baribin melihat pisau Rangga Singalaut
mengarah ke arah lehernya. Arya Baribin membungkuk dan menggunakan kaki untuk
menyapu kuda-kuda kaki lawannya. Rangga Singalaut meloncat ke atas untuk
menghindari serangan rendah. Tetapi gerakan melenting ke atas itulah yang
justru ditunggu Arya Baribin.Dia segera meloncat menyusul Rangga Singalaut
dengan menggunakan gerakan tendangan memutar.
Rangga
Singalaut mengira Arya Baribin hendak menggunakan tandangan kaki yang memutar
ke arah lehernya. Karena itu, dia cepat menunduk. Arya Baribin melihat leher
Rangga Singalaut terbuka. Tanpa membuang waktu, secepat kilat Arya Baribin
mencabut senjata kujang pusaka di-pinggangnya.
Tiba-tiba,cross!Ujung senjata kujang hadiah Ratna Pamekas, tahu-tahu sudah
bersarang di leher kiri Rangga Singalaut. Terkena pusaka Kujang Kancana Shakti
tepat dilehernya, Rangga Singalaut langsung jatuh terpuruk mencium tanah. Dia tewas
seketika menjadi korban kesaktian Kujang Kancana Shakti pusaka Kerajaan
Pajajaran.
Melihat
tiga komandannya tewas semua, prajurit Nusakambangan yang tersisa langsung
menyatakan menyerah dan meletakkan senjata. Mereka bagaikan anak ayam
kehilangan induk. Pasukan bagian depan paling banyak menjadi korban, karena
mereka rata-rata tidak siap untuk bertempur. Senjata yang dibawanya rata-rata
senjata untuk serangan jarak dekat. Karena itu ketika dihujani tombak mereka
tidak siap untuk menghindar atau pun menangkis. Lain halnya dengan pasukan
belakang prajurit Nusakambangan yang sengaja disiapkan untuk berjaga-jaga dari
segala kemungkinan. Mereka lebih siap tempur. Mereka tidak segera menyerah dan
masih mencoba melawan. Ketika pertempuran pecah, dari merekalah tombak-tombak
dilemparkan. Sasaran pasukan tombak Nusakambangan adalah pasukan lawan paling
dekat dan paling mudah dijangkau. Pasukan itu tidak lain adalah
pasukan-lawan-dari sektor timur, anak buah Arya Baribin.
Pasukan
sektor timur yang datang dari Rawalo itu sangat unik. Semua terdiri dari 400
prajurit. Yang 200 orang sudah terlatih. Dan senjata andalan utamanya tombak,
seperti juga pasukan dari sektor barat dan utara. Di antara mereka ada sejumlah
prajurit yang sudah terlatih dengan senjata pedang, untuk persiapan menghadapi
pertempuran jarak pendek. Di samping 200 orang prajurit terlatih, sektor timur
memiliki 200 prajurit yang dilatih secara mendadak. Mereka terdiri dari sukarelawan yang sudah akrab menggunakan
senjata pendek, yaitu sabit.Karena-itu
Arya
Baribin terpaksa harus melatih 200 orang yang aktivitasnya sehar-hari sebagai
penderes-itu. Arya Baribin melatih mereka dengan-ilmu beladiri. Karena mereka
adalah para penderes yang secara suka rela ingin ikut berperang, Arya Baribin
melatih mereka bukan ketrampilan menggunakan pedang, tombak, tongkat atau pun
pisau. Mereka dilatih menggunakan sabit sebagai senjata andalan mereka. Karena
itu mereka dikenal sebagai pasukan sabit. Selain itu mereka juga dilatih ilmu
beladiri tangan kosong
Mereka
mendapat pelatihan intensif dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya kurang lebih
selama-tiga bulan. Tempat berlatih mereka di Pusat Latihan Kendalisada. Di sana
dibangun perkemahan khusus untuk berlatih. Arya Baribin dibantu pelatih
pembantu, Jigjayuda dan Lurah Karangjati. Termasuk yang ikut latihan masuk
kelompok pasukan sabit adalah Rekajaya.
Usia
Rekajaya sebenarnya sudah tidak muda lagi. Dia pernah mohon ijin kepada
Kamandaka. Kamandaka pada awalnya melarang jika Rekajaya ikut terjun menjadi
pasukan tempur. Tetapi karena Rekajaya beralasan ingin menguasai ilmu beladiri,
akhirnya Kamandaka mengijinkannya dengan catatan hanya untuk ikut belajar ilmu
beladiri saja. Selanjutnya dalam perang tempat tugasnya bukan di garis depan.
Tetapi cukup di garis belakang saja.
Tentu saja
Rekajaya menjadi satu-satunya peserta paling tua. Tetapi semangat Rekajaya
untuk berlatih luar biasa. Akhirnya, disela-sela waktu istirahat Arya Baribin
memberikan latihan tambahan dasar ilmu pernapasan untuk meningkatkan kekebalan
dan kecepatan bergerak. Ternyata ketekunan Rekajaya, memberikan hasil lumayan.
Tidak kalah dengan anggota pasukan sabit yang lebih muda. Bahkan Rekajaya
diangkat menjadi wakil komandan pasukan sabit atas usul anggota pasukan sabit
yang lain. Mereka mengusulkan Rekajaya jadi wakil komandan, lebih karena
menghormati Rekajaya, baik karena usianya, maupun posisinya sebagai adik Nyai
Kertisara dan Abdi kesayangan Kamandaka. Tetapi ketekunan, semangat, dan
ketrampilan menguasai ilmu beladiri yang dipelajarinya, juga menjadi bahan
pertimbangan. Memang ketrampilan Rekajaya dalam memainkan sabit, baik sabit
sebagai alat menyerang maupun sabit sebagai alat melindungi diri dari serangan
tombak, yang dipelajarinya dalam waktu singkat hasilnya lumayan baik.
Peranan
pasukan sabit dalam menghadapi perang dengan Nusakambangan cukup besar. Pasukan
sabitlah yang berhasil melindungi pasukan lainnya dari serangan tombak yang dilemparkan
pasukan tombak barisan belakang prajurit Nusakambangan. Rekajaya yang ikut
terjun dalam pertempuran beberapa kali bisa menangkis tombak yang datang kepadanya.
Sebagai wakil komandan pasukan sabit, Rekajaya selalu mendapat arahan dari Arya
Bribin. Pasukan sabit yang jumlahnya cukup banyak itu, dibagi menjadi dua
kelompok. Yakni kelompok untuk menangkis
serangan tombak dan kelompok untuk membantu menyerang pasukan pisau lawan.
Hasilnya
memang luar biasa. Prajurit Nusakambangan yang terkenal tangguh itu, karena
mendapat serangan cepat, mendadak, dan tiba-tiba dari gabungan pasukan
Kadipaten Pasirluhur dan Dayeuhluhur, langsung hancur berantakan. Akhirnya,
barisan belakang pasukan Nusakambangan itu ikut menyerah juga. Tidak sampai
tengah hari seluruh pasukan tempur
Nusakambangn bertekuk lutut, menyerah secara total.
Kamandaka
yang masih berpakaian Uwak Lengser langsung menyalami dan memeluk Wirapati,
Silihwarna, dan Arya Baribin. Persiapan perang yang memakan waktu tiga bulan
itu, ternyata berbuah manis dengan kemenangan. Pada kesempatan itu Kamandaka
dan Silihwarna memuji kecakapan Arya
Baribin dalam menggunakan senjata pusaka Kujang Kancana Shakti. Dipeluknya
calon adik iparnya itu. Kamandaka berbisik lembut, ”Terimakasih Dimas Arya
Baribin. Tidak keliru Adinda Ratna Pamekas memilih Dimas sebagai calon suami.”
“Terimakasih, Kanda,” jawab Arya Baribin. Dia merasa senang mendapat pujian dari Kamandaka dan Silihwarna. Wirapati juga ikut memberikan pujian pada Arya Baribin.
“Terimakasih, Kanda,” jawab Arya Baribin. Dia merasa senang mendapat pujian dari Kamandaka dan Silihwarna. Wirapati juga ikut memberikan pujian pada Arya Baribin.
“Dinda Wirapati silahkan diurus prajurit Nusakambangan
yang telah menyerah itu. Suruh mereka mengurus teman-temannya yang tewas dan
terluka,” perintah-Kamandaka. Wirapati segera menghubungi Sekarmenur untuk
mengurus prajurit Nusakambangan.
Sekarmenur,
Sekarmelati, dan Sekarcempaka segera datang. Sekarmenur langsung memeluk jasad
Patih Puletembini yang telah diletakkan oleh Wirapati berdampingan dengan jasad
Tumenggung-Surajaladri dan Rangga-Singalaut.
Sekarmelati memeluk jasad-Tumenggung Surajaladri, dan Sekarcempaka memeluk
jasad Rangga Singalaut. Kamandaka, Silihwarna, dan Arya Baribin memberi kesempatan
kepada tiga gadis putri Adipati Banakeling itu untuk melepaskan air-mata-dukacitanya
sampai tuntas. Bagi Sekarmenur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka ketiga pria
panglima perang Nusakambangan itu memiliki arti khusus sekaligus rumit. Ketiga
pria itu sangat mencintai dirinya dan hampir saja menjadi suami mereka,
andaikata Raja Pulebahas tidak menundanya dan meminta mereka tidak mendahului
rencana pernikahan Raja Pulebahas dengan Sang Dewi yang gagal itu. Tetapi
ketiga gadis itu sendiri selalu mengimpikan bisa meninggalkan Nusakambangan,dan
membawa keluar teman-temannya sesama penghuni Pondok Tamanbidadari.
Sesudah
puas melepaskan airmata duka cita, Sekarmenur memerintahkan kepada seluruh prajurit
Nusakambangan untuk pulang kembali sambil membawa teman-temannya yang luka
maupun mengurus penguburan yang tewas. Sekarmenur meminta kepada Wirapati dan
Kamandaka agar jasad Raja Pulebahas, Puletembini, Tumenggung Surajaladri, dan
Rangga Singalaut bisa diurus secara baik
dengan diperabukan sesuai kepercayaan mereka yang telah kembali memeluk agama
Syiwa. Usul Sekarmenur sepenuhnya disetujui Kamandaka dan Wirapati.
“Biarlah
aku membantu Dinda Sekarmenur mengurus perabuan mereka, Kanda Kamandaka,” kata
Wirapati kepada Kamandaka yang langsung setuju. Sekarmenur tersenyum gembira
mendengar kesanggupan Wirapati. Tak lama kemudian jasad Raja Pulebahas pun tiba
dan diletakkan di samping jasad Puletembini.
“Dimana
rencananya mereka akan diperabukan Dinda Sekarmenur?” tanya Sang Dewi yang
juga tiba sambil memeluk Sekarmenur, Sekarmelati,
dan Sekarcempaka.
“Di muara
Sungai Ciserayu, di tepi Teluk Penyu, Ayunda
Dewi,” jawab Sekarmenur kepada Sang Dewi yang telah mengganti pakaian
pengantinnya dengan pakaian sehari-hari. Hanya rias wajahnya saja yang
dibiarkan utuh.
“Dinda
Wirapati, temani Dinda Sekarmenur dan bantu mengurus perabuan jasad Raja
Pulebahas, Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut
dengan baik. Aku titip Dinda Sekarmenur dan adik-adiknya. Jaga baik-baik. Aku
akan kembali ke Pasirluhur bersama Kanda Kamandaka, Dinda Silihwarna, dan Dimas
Arya Baribin,” pesan Sang Dewi. Mereka pun saling berpelukan dan berpisah.
Wirapati berjanji akan ke Kadipaten Pasirluhur bila urusannya telah selesai.
Sang Dewi
juga meminta kepada Tumenggung Maresi agar mengurus prajurit Pasirluhur yang
luka-luka maupun yang tewas dengan sebaik-baiknya. Santunan yang memadai harus
diberikan kepada keluarga prajurit yang tewas. Ternyata korban tewas dan luka
paling banyak adalah prajurit dari
sektor utara. Prajurit dari sektor timur tak ada satu pun yang tewas. Hal itu
menunjukkan pasukan sabit telah dilatih dengan baik oleh Arya Baribin. Mereka
telah memanfaatkan sabit dengan baik untuk melindungi diri dan melumpuhkan
musuh dalam perkelahaian jarak dekat. Prajurit sektor barat juga tak ada yang
tewas. Dan yang luka berat hanya beberapa saja. Kebanyakan mengalami luka
ringan.Ketika memberi perintah kepada Tumenggung Maresi, tiba-tiba Sang Dewi
ingat sesuatu.
“Tumenggung
Maresi, tunggu! Jangan pergi dulu!”
pinta Sang Dewi. Tumenggung kesayangan Adipati Kandhadaha yang sudah mau
undur dari hadapan Sang Dewi, mengurungkan niatnya. Dia-merasakan-dadanya berdebar-debar.
“Tumenggung
Maresi, engkau tumenggung kesayanan Kanjeng Rama, bukan?”
Tumenggung
Maresi hanya-mengangguk-pelan,tidak menjawab. Tiba-tiba dia merasa cemas, kalau-kalau Sang Dewi menanyakan sesuatu yang
selama ini ditutup-tutupinya. Memang Kanjeng Adipati sudah berpesan agar
dirinya bisa menjaga kehormatan Kanjeng Adipati. Karena itu Tumenggung Maresi
tambah gelisah. Dia berharap Sang Dewi tidak menanyakan urusan pribadi Sang
Adipati.
“Tumenggung
Maresi, bukankah engkau punggawa kesayangan Kanjeng Rama?” kembali Sang Dewi
bertanya sambil tersenyum, karena melihat tumenggung itu tampak gelisah.
“Ndara
Putri, apa yang hendak Ndara Putri tanyakan soal Kanjeng Adipati?” tanya
Tumenggung Maresi mencoba bertanya untuk
menghalau perasaan gelisah yang mengganggunya.
“Kanjeng
Rama punya istri baru? Dimana rumahnya?” tanya Sang Dewi langsung membuat pucat
Tumenggung Maresi. Posisi Tumenggung Maresi serba sulit. Jika Sang Dewi
diberitahu, dia akan dimurkai Sang Adipati. Tetapi bila tidak memberitahu, dia
akan dimarahi Sang Dewi. Padahal-Sang Dewi calon istri Kamandaka yang pernah
menyelamatkan jiwanya.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar