”Ayo,Nduk Dewi! Tanganmu itu lho!“ Kanjeng Ayu Adipati
menegur Sang Dewi yang diketahuinya baru saja mencubit paha Kamandaka sampai
kesakitan.
“Beruntung kamu punya calon suami yang sabar,” kata
Kanjeng Ayu Adipati memuji calon menantunya, Kamandaka. “ Tidak seperti Kanjeng
Ramamu.”
Sang Dewi
yang ditegur ibunya hanya senyum-senyum saja, sementara Kamandaka sekalipun
kesakitan, merasa senang. Sebab Kamandaka-tahu adat Sang Dewi. Jika
Sang Dewi sudah mulai mencubiti pahanya, tandanya Sang Dewi mengharapkan ciuman
mesra dari dirinya. Sebagai gantinya, jari jemari tangan kanan dan tangan kiri
sepasang kekasih yang tengah bahagia itu, saling bertautan di bawah meja.
Kanjeng
Adipati Kandhadaha hanya tersenyum mendengar sindiran istrinya dan menyaksikan
polah putri kesayangannya itu. Tentu sebuah senyum bahagia, karena putri
kesayangannya itu setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya menemukan
seorang calon suami yang tulus mencintai Sang Dewi.Selesai berunding, santap
malam, dan berbincang-bincang, mereka pun berpisah meninggalkan ruang makan
Dalem Gede. Bulan tanggal dua belas tampak-di langit Kadipaten Pasirluhur, ditemani bintang
gemintang yang satu demi satu mulai-muncul menghiasi langit malam.
Kini
pertemuan pindah ke teras kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Kamandaka,
Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin, duduk-duduk di teras depan kamar Sang-Dewi,
sambil berbincang kian kemari.Sang Dewi, didampingi-Mayang Sari, Ratna Pamekas,
dan Sekarmenur.
“Aku punya
usul,”kata-Sang-Dewi-di-tengah-tengah-perbincangan.”Aku pernah berjanji kepada Nyai Kertisara di
Kaliwedi. Jika-perang-selesai-dan-kita-memperoleh-kemenangan,aku-akan-menginap-di-rumah-Nyai-Kertisara.Karena
itu besok aku akan bermalam di sana
barang semalam,sekedar-memenuhi-janji-yang-pernah-aku-ucapkan. Mumpung Dinda Wirapati dan Dinda Sekarmenur
masih di Pasirluhur, bagaimana kalau besok kita berangkat ke-sana?”
Sang Dewi
mengajukan usul kepada adik-adiknya. Tentu saja mereka semua setuju. Khandegwilis
yang sibuk menyiapkan minuman dan makanan kecil, ikut berteriak kegirangan.
“Hamba diajak,
Ndara Putri?” Khandegwilis bertanya sambil memohon.
“Pasti aku
ajak, Biyung Emban. Kuda Kanjeng Rama cukup. Biyung Emban besok pergi-dengan
Jigjayuda, ya?”kata-Sang-Dewi-menggoda-Khandegwilis.
“Ah, tidak
mau, Ndoro Putri. Dengan Tumenggung Maresi saja,” jawab-Khandegwilis-malu-malu.
“Ya, aku
tahu. Takut pada Jigjayuda ya?” kata
Sang Dewi. Khandegwilis hanya tersenyum. Dia gembira karena besok akan diajak
berkunjung ke Kaliwedi.
“Eh, Biyung
Emban, kamar tamu di kaputran untuk Kanda Kamandaka, Dinda-Wirapati,Dinda
Silihwarna, dan Dimas Arya Baribin, apakah sudah ada bujang yang setiap harinya
harus merapihkan, mencucikan pakaian, dan membereskan-kamar?”tanya-Sang-Dewi-pula.
“Sudah ada
bujang yang ditugaskan Kanjeng Adipati, Ndara Putri. Hamba setiap hari ditugaskan-Kanjeng-Rama-Adipati-untuk-mengawasinya,”
jawab Khandegwilis.
“Ya, syukur
kalau begit.” Sang Dewi tampak puas dengan fasilitas tempat bermalam bagi
tamu-tamunya itu.
Bagi
Sekarmenur itulah hari pertama dia mengunjungi Kadipaten Pasirluhur, dan
menginap. Sekarmenur akan tidur berdua dengan Sang Dewi. Mayangsari dan Ratna
Pamekas tidur berdua di kamar yang-bersebelahan dengan kamar Sang Dewi.
Khandeg Wilis yang biasa menemani Sang Dewi tidur di bawah ranjang
Sang Dewi, malam itu terpaksa kembali tidur di kamarnya sendiri.Kamandaka
merasa gembira karena Sang Dewi punya prakarsa menepati janjinya kepada Nyai
Kertisara.
“Aku juga
punya usul. Bagaimana kalau sebelum ke Kaliwedi, kita napak tilas tempat-tempat
mengesankan yang hampir saja menewaskan
aku dan Dinda Silihwarna. Perlunya agar kita dan siapa saja, kelak bisa
mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Hanya karena kehendak Yang Maha Kuasa, aku dan Dinda Silihwarna akhirnya bisa
bertemu dengan selamat. Padahal nyawa masing-masing sudah di ujung tanduk,”
kata Kamandaka menyampaikan usul. Semua yang-hadir menyetujui usul Kamandaka. Dan
malam itu mereka terus asyik-berbincang-bincang sampai tengah malam.
***
Angin pagi bertiup pelan menggoyang pucuk pohon-pohon
yang mengelilingi lapangan Desa Pangebatan, ketika rombongan Kamandaka dan
Sang Dewi tiba di pinggir lapangan. Menurut pengakuan penduduk arena sabung
ayam itu sudah lama sepi sejak penduduk tahu adanya persiapan perang melawan
Nusakambangan. Persiapan perang memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan. Pada masa persiapan perang
para punggawa kadipaten yang gemar berjudi cukup sibuk karena mereka semua dilibatkan.Ketika
Sang Dewi melihat arena sabung ayam yang-terbengkalai dan merana di sudut
lapangan, segera menugaskan lurah desa untuk membongkarnya.
“Tidak
boleh ada lagi permainan judi sabung ayam di Pangebatan!” perintah Sang Dewi
kepada Lurah Desa Pangebatan yang menggigil ketakutan karena seumur hidup belum
pernah melihat kehadiran Sang Dewi di lapangan Desa Pangebatan.
“Baik,
Ndara Putri,” jawab Lurah Desa itu.“Hamba akan sampaikan perintah Ndara Putri
kepada semua penduduk Pangebatan.” Sang Dewi tersenyum gembira mendengar
jawaban itu.
“Di
lapangan Desa Pangebatan inilah dulu aku dan Dinda Silihwarna pertama kali
bertemu kemudian saling berkelahai,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi dan
didengarkan oleh semua anggota-rombongan. Sang Dewi hanya mengangguk. Dia sudah
mendengar kisah itu dari Rekajaya beberapa waktu-yang lalu.
“Tumenggung
Maresi, ayo kita lanjutkan ke tepi Sungai Banjaran,” Kamandaka memberi perintah
pada Tumenggung Maresi. Jigjayuda selaku pemandu langsung memutar kudanya
diikuti kuda Kamandaka dengan Sang Dewi, kuda Wirapati dengan Sekarmenur, kuda
Silihwarna dengan Mayangsari, dan-kuda Arya Baribin dengan Ratna Pamekas. Terakhir
adalah-kuda Tumenggung Maresi dengan Khandegwilis. Tak lama kemudian rombongan
tiba di pinggir hutan kecil di tepi Sungai Banjaran.
“Di sini aku sebenarnya ingin istirahat. Tetapi karena
terus ditantang Dinda Silihwarna, terpaksa aku melanjutan perkelahaian. Untung
malam segera tiba. Pada kesempatan itu beberapa kali Dinda Silihwarna
berteriak, sempat atau tidak sempat, kober atau tidak kober,terus mengajak aku
berkelahai,” kata Kamandaka disambut dengan derai tawa,
termasuk Silihwarna yang tertawa tergelak-gelak.
“Jigjayuda
dan Tumenggung Maresi, kalau kelak di tempat-ini menjadi-sebuah desa, berilah
nama Desa Kober,” perintah Sang Dewi kepada Jigjayuda dan Tumenggung Maresi.
Kober artinya sempat.
“Baik, Ndara Putri,” Jigjajuda dan Tumenggung
Maresi menjawab hampir bersamaan.
“Mari kita
lanjutkan ke seberang sungai. Jigjayuda, apakah-ada jalan melintasi sungai yang bisa
di seberangi kuda?” tanya Kamandaka.
“Ada, Ndara.
Harus mutar dulu ke arah utara. Di sana
ada jalan menyeberangi sungai yang dangkal,” kata Jigjayuda yang segera
memacu kudanya ke arah utara menyusuri Sungai Banjaran. Setelah rombongan
berhasil menyeberangi sungai, mereka berhenti di sisi timur sungai di bawah
satu-satunya pohon jati. Tempat itu adalah
tempat Kamandaka berdiri berdua dengan Rekajaya di suatu pagi beberapa
waktu lalu setelah meninggalkan hutan kecil di sebelah barat sungai.
“Dari sini
dulu aku dengan Rekajaya nekad menerobos padang ilalang itu untuk bersembunyi
di hutan yang lebat di timur laut itu,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi yang
duduk di-atas pelana kuda.
“Ternyata
jalan terobosan yang dirintis aku dan
Rekajaya, diikuti juga oleh prajurit Dinda Silihwarna dan Tumenggung
Maresi. Bahkan di pinggir-padang ilalang itu prajurit Kadipaten Pasirluhur yang
mengejar aku dan Rekajaya, kemudian berkemah,” kata Kamandaka melanjutkan.
“Jigjayuda
dan Tumenggung Maresi,” panggil Sang Dewi, “Padang ilalang ini kelak pasti akan
ramai, karena sudah ada jalan terobosan yang dirintis Kanda Kamandaka. Tolong
diingat-ingat, jika kelak padang ini menjadi perkampungan penduduk, pada saat
penduduk lapor untuk membentuk desa baru, katakan pada mereka, bahwa nama desa
yang tepat adalah Desa Bobosan,” Sang Dewi kembali memerintah Tumenggung Maresi
dan Jigjayuda.Bobosan-artinya-jalan-terobosan.
“Baik,
Ndara Putri,” Tumenggung Maresi dan Jigjayuda kembali menyanggupi perintah Sang
Dewi.
“Aduh, Kanda
Kamandaka, aku sudah haus. Bagimana kalau kita istirahat di bawah pohon
jati itu saja?” Sang Dewi mengeluh. Matahari sedang naik menuju puncak
kubah langit. Tetapi Kamandaka membujuk Sang Dewi agar melanjutkan perjalanan
menerobos padang ilalang melewati jalan terobosan yang dulu dirintis Kamandaka.
“Kita akan-istirahat
di pinggir hutan yang lebat dan nyaman-itu,Dinda-Dewi. Kanjeng Rama Adipati-dulu-gemar berburu
di hutan itu. Si Lutung Kasarung juga berasal dari hutan itu,” kata Kamandaka
berusaha membujuk Sang Dewi.
“Baik,
ayohlah. Tetapi Kanda harus memacu kudanya agak cepat supaya lekas sampai,”
kata Sang Dewi yang wajahnya mulai kemerah-merahan ditimpa sinar matahari pagi.
Dalam pandangan Kamandaka, wajah Sang Dewi semakin cantik.
“Jigjayuda,
ayo pacu kudamu cepat-cepat agar kita segera tiba di tepi hutan timur laut
itu,” perintah Kamandaka pada Jigjayuda. ”Ndara Putrimu sudah ingin istirahat.”
Mendengar
perintah seperti itu, Jigjayuda langsung memacu kudanya diikuti Kamandaka dan
rombongan lainnya. Kuda Jigjayuda melesat bagaikan terbang melintasi jalan
terobosan membelah padang ilalang yang luas itu. Kamandaka ikut memacu kudanya
cepat-cepat yang membuat Sang Dewi merasa senang. Kamandaka menggunakan
kesempatan langka itu untuk mencium Sang Dewi yang menjatuhkan kepalanya ke
belakang. Sang Dewi jatuh dalam pelukan
tangan kiri Kamandaka.
Di atas kuda yang sedang lari kencang, Sang Dewi merasakan seperti dibuai-buai dalam
ayunan. Dibiarkannya Kamandaka menciumi pipinya sepuas hati. Diam-diam Sang
Dewi merasakan sensasi aneh luar biasa yang membuat dirinya senang dan bahagia.
Sang Dewi yang diam-diam memejamkan matanya, baru membukanya ketika kudanya
berhenti tepat di bawah pohon-pohon besar.
Rombongan
beristirahat sebentar di pinggir hutan. Angin bertiup lembut menerobos
hutan dan menyinggahi mereka, membuat tubuh mereka merasa nyaman dan segar.
Mereka duduk-duduk di-atas rumput di bawah pohon-rindang. Jigjayuda
membantu Khandegwilis membagi-bagikan minuman dan makanan kecil untuk mengusir rasa
haus. Lalu Kamandaka mulai menceriterakan pengalamannya saat dikepung prajurit
Pasirluhur di hutan yang lebat itu.
“Aku ditemani
Rekajaya dikepung dua hari dua malam di hutan ini,” kata Kamandaka. Sang
Dewi dan anggota rombongan lainnya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Rekajaya
pagi-pagi sekali-berhasil membeli kurungan untuk tidur si Mercu. Tiba-tiba
siang harinya datang anjing pelacak
Tumenggung Maresi. Tetapi anjing pelacak itu dengan mudah dikurung Rekajaya
dengan kurungan untuk si Mercu. Paginya
anjing pelacak yang dikurung Rekajaya dipotong. Bangkainya ditanam di
bawah pohon. Aku lalu berpisah dengan Rekajaya, karena Rekajaya membawa si Mercu dan si Lutung Kasarung
pulang ke Kaliwedi. Aku tinggal semalam lagi di hutan ini. Paginya baru aku
meloloskan diri kembali ke barat menyeberangi Sungai Banjaran.”
“Siapakah
yang membawa kurungan anjing yang digunakan untuk mengurung si Mercu dan
anjing pelacak, Kanda?” tanya Sang Dewi penasaran.
“Oh,
kurungan anjing itu tertinggal di hutan. Tak ada yang sempat membawanya.
Rupanya kurungan anjing itu tak mau berpisah dengan anjing yang dikubur di
situ. Rekajaya sempat mencoba mencarinya bersama Lurah Karangjati, tetapi tidak
ketemu,” jawab Kamandaka.
“Anjing itu
anjing pelacak kesayangan hamba dan Kanjeng Rama, Ndara Putri. Selalu diajak
jika Kanjeng Adipati berburu,” kata
Tumenggung Maresi ikut berbicara. “Jika Ndara Putri berkenan, bagaimana kalau
kelak hutan ini jadi pemukiman penduduk, mohon diberi nama Desa Kurunganjing
saja, Ndara Putri,” kata Tumenggung Maresi mengajukan usul pada Sang Dewi.
“Desa
Kurunganjing kurang lazim dan kurang enak didengar,” kata Sang Dewi, ”Lebih
baik diberinama Desa Karanganjing saja.” Saran Sang Dewi langsung disetujui.
Jigjayuda dan Tumenggung Maresi diminta mengingat-ingatnya.
“Kanda
Kamandaka, hari sudah siang. Sebaiknya kita cepat ke Kaliwedi saja. Silahkan
ceriterakan saja ketika Kanda Kamandaka meloloskan diri ke barat kembali
menyeberangi Sungai Banjaran dan berkejar-kejaran dengan Dinda Silihwarna.
Akhirnya Kanda dan Dinda Silihwarna berhenti di sebuah batu besar. Di batu
itulah Kanda Kamandaka baru tahu kalau Dinda Silihwarna itu ternyata adalah Dinda Banyakngampar, saudara muda Kanda Banyakcatra. Silahkan Kanda,”
kata Sang Dewi, meminta Kamandaka menceriterakan pengalammnya bertemu
dengan saudara mudanya di sebuah batu besar. Sang Dewi sudah tahu
kisahnya, karena Kamandaka pernah menceriterakannya. Kamandaka pun menceriterakan kisah ketika
akhirnya dia mengetahui siapa sesungguhnya Tumenggung Silihwarna yang menantang
berkelahai satu lawan satu itu.
“Dinda
Dewi, aku ingin batu yang punya riwayat itu diberi nama, nama apa yang tepat
menurut Dinda Dewi?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi.
“Barangkali
ada usul dari Dinda Silihwarna?” tanya Sang Dewi kepada Silihwarna yang sedang
duduk di samping Mayangsari. Silihwarna
yang agak pemalu itu menggeleng, sambil berkata, “Silahkan, Ayunda
Dewi saja yang lebih banyak mengetahui adat istiadat dan tradisi Kadipaten
Pasirluhur.”
“Baiklah
kalau begitu. Batu yang punya riwayat itu aku beri nama Watusinom. Artinya,
batu muda. Batu tempat Kanda Kamandaka berjumpa kembali dengan saudara mudanya
setelah tidak berjumpa hampir lima tahun lebih sedikit,” kata Sang Dewi yang
langsung disetujui Kamandaka. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar