Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 12 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(65)





”Ayo,Nduk Dewi! Tanganmu itu lho!“ Kanjeng Ayu Adipati menegur Sang Dewi yang diketahuinya baru saja mencubit paha Kamandaka sampai kesakitan.

“Beruntung kamu punya calon suami yang sabar,” kata Kanjeng Ayu Adipati memuji calon menantunya, Kamandaka. “ Tidak seperti Kanjeng Ramamu.”
Sang Dewi yang ditegur ibunya hanya senyum-senyum saja, sementara Kamandaka sekalipun kesakitan, merasa senang. Sebab Kamandaka-tahu adat Sang Dewi. Jika Sang Dewi sudah mulai mencubiti pahanya, tandanya Sang Dewi mengharapkan ciuman mesra dari dirinya. Sebagai gantinya, jari jemari tangan kanan dan tangan kiri sepasang kekasih yang tengah bahagia itu, saling bertautan di bawah meja.
Kanjeng Adipati Kandhadaha hanya tersenyum mendengar sindiran istrinya dan menyaksikan polah putri kesayangannya itu. Tentu sebuah senyum bahagia, karena putri kesayangannya itu setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya menemukan seorang calon suami yang tulus mencintai Sang Dewi.Selesai berunding, santap malam, dan berbincang-bincang, mereka pun berpisah meninggalkan ruang makan Dalem Gede. Bulan tanggal dua belas tampak-di langit  Kadipaten Pasirluhur, ditemani bintang gemintang yang satu demi satu mulai-muncul menghiasi langit malam.
Kini pertemuan pindah ke teras kamar Sang Dewi di Taman Kaputren. Kamandaka, Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin, duduk-duduk di teras depan kamar Sang-Dewi, sambil berbincang kian kemari.Sang Dewi, didampingi-Mayang Sari, Ratna Pamekas, dan Sekarmenur.
“Aku punya usul,”kata-Sang-Dewi-di-tengah-tengah-perbincangan.”Aku  pernah berjanji kepada Nyai Kertisara di Kaliwedi. Jika-perang-selesai-dan-kita-memperoleh-kemenangan,aku-akan-menginap-di-rumah-Nyai-Kertisara.Karena itu besok  aku akan bermalam di sana barang semalam,sekedar-memenuhi-janji-yang-pernah-aku-ucapkan.  Mumpung Dinda Wirapati dan Dinda Sekarmenur masih di Pasirluhur, bagaimana kalau besok kita berangkat ke-sana?”
Sang Dewi mengajukan usul kepada adik-adiknya. Tentu saja mereka semua setuju. Khandegwilis yang sibuk menyiapkan minuman dan makanan kecil, ikut berteriak kegirangan.

“Hamba diajak,  Ndara Putri?” Khandegwilis bertanya sambil memohon.
“Pasti aku ajak, Biyung Emban. Kuda Kanjeng Rama cukup. Biyung Emban besok pergi-dengan Jigjayuda, ya?”kata-Sang-Dewi-menggoda-Khandegwilis.
“Ah, tidak mau, Ndoro Putri. Dengan Tumenggung Maresi saja,” jawab-Khandegwilis-malu-malu.
“Ya, aku tahu. Takut pada Jigjayuda ya?”  kata Sang Dewi. Khandegwilis hanya tersenyum. Dia gembira karena besok akan diajak berkunjung ke Kaliwedi.
“Eh, Biyung Emban, kamar tamu di kaputran untuk Kanda Kamandaka, Dinda-Wirapati,Dinda Silihwarna, dan Dimas Arya Baribin, apakah sudah ada bujang yang setiap harinya harus merapihkan, mencucikan pakaian, dan membereskan-kamar?”tanya-Sang-Dewi-pula.
“Sudah ada bujang yang ditugaskan Kanjeng Adipati, Ndara Putri. Hamba setiap hari ditugaskan-Kanjeng-Rama-Adipati-untuk-mengawasinya,” jawab Khandegwilis.
“Ya, syukur kalau begit.” Sang Dewi tampak puas dengan fasilitas tempat bermalam bagi tamu-tamunya itu.
Bagi Sekarmenur itulah hari pertama dia mengunjungi Kadipaten Pasirluhur, dan menginap. Sekarmenur akan tidur berdua dengan Sang Dewi. Mayangsari dan Ratna Pamekas tidur berdua di kamar yang-bersebelahan dengan kamar Sang Dewi. Khandeg Wilis yang biasa menemani Sang Dewi tidur di bawah ranjang Sang Dewi, malam itu terpaksa kembali tidur di kamarnya sendiri.Kamandaka merasa gembira karena Sang Dewi punya prakarsa menepati janjinya kepada Nyai Kertisara.
“Aku juga punya usul. Bagaimana kalau sebelum ke Kaliwedi, kita napak tilas tempat-tempat  mengesankan yang hampir saja menewaskan aku dan Dinda Silihwarna. Perlunya agar kita dan siapa saja, kelak bisa mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Hanya karena kehendak Yang Maha Kuasa, aku dan Dinda Silihwarna akhirnya bisa bertemu dengan selamat. Padahal nyawa masing-masing sudah di ujung tanduk,” kata Kamandaka menyampaikan usul. Semua yang-hadir menyetujui usul Kamandaka. Dan malam itu mereka terus asyik-berbincang-bincang sampai tengah malam.
***
Angin pagi bertiup pelan menggoyang pucuk pohon-pohon yang mengelilingi lapangan Desa Pangebatan, ketika rombongan Kamandaka dan Sang Dewi tiba di pinggir lapangan. Menurut pengakuan penduduk arena sabung ayam itu sudah lama sepi sejak penduduk tahu adanya persiapan perang melawan Nusakambangan. Persiapan perang memerlukan waktu  kurang lebih tiga bulan. Pada masa persiapan perang para punggawa kadipaten yang gemar berjudi cukup sibuk karena mereka semua dilibatkan.Ketika Sang Dewi melihat arena sabung ayam yang-terbengkalai dan merana di sudut lapangan, segera menugaskan lurah desa untuk membongkarnya.
“Tidak boleh ada lagi permainan judi sabung ayam di Pangebatan!” perintah Sang Dewi kepada Lurah Desa Pangebatan yang menggigil ketakutan karena seumur hidup belum pernah melihat kehadiran Sang Dewi di lapangan Desa Pangebatan.
“Baik, Ndara Putri,” jawab Lurah Desa itu.“Hamba akan sampaikan perintah Ndara Putri kepada semua penduduk Pangebatan.” Sang Dewi tersenyum gembira mendengar jawaban itu.
“Di lapangan Desa Pangebatan inilah dulu aku dan Dinda Silihwarna pertama kali bertemu kemudian saling berkelahai,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi dan didengarkan oleh semua anggota-rombongan. Sang Dewi hanya mengangguk. Dia sudah mendengar kisah itu dari Rekajaya beberapa waktu-yang lalu.
“Tumenggung Maresi, ayo kita lanjutkan ke tepi Sungai Banjaran,” Kamandaka memberi perintah pada Tumenggung Maresi. Jigjayuda selaku pemandu langsung memutar kudanya diikuti kuda Kamandaka dengan Sang Dewi, kuda Wirapati dengan Sekarmenur, kuda Silihwarna dengan Mayangsari, dan-kuda Arya Baribin dengan Ratna Pamekas. Terakhir adalah-kuda Tumenggung Maresi dengan Khandegwilis. Tak lama kemudian rombongan tiba di pinggir hutan kecil di tepi Sungai Banjaran.
“Di sini aku sebenarnya ingin istirahat. Tetapi karena terus ditantang Dinda Silihwarna, terpaksa aku melanjutan perkelahaian. Untung malam segera tiba. Pada kesempatan itu beberapa kali Dinda Silihwarna berteriak, sempat atau tidak sempat, kober atau tidak kober,terus mengajak aku berkelahai,” kata Kamandaka disambut dengan derai tawa, termasuk Silihwarna yang tertawa tergelak-gelak.
“Jigjayuda dan Tumenggung Maresi, kalau kelak di tempat-ini menjadi-sebuah desa, berilah nama Desa Kober,” perintah Sang Dewi kepada Jigjayuda dan Tumenggung Maresi. Kober artinya sempat.
 “Baik, Ndara Putri,” Jigjajuda dan Tumenggung Maresi menjawab hampir bersamaan.
“Mari kita lanjutkan ke seberang sungai. Jigjayuda, apakah-ada jalan melintasi sungai yang bisa di seberangi kuda?” tanya Kamandaka.
“Ada, Ndara. Harus mutar dulu ke arah utara. Di sana  ada jalan menyeberangi sungai yang dangkal,” kata Jigjayuda yang segera memacu kudanya ke arah utara menyusuri Sungai Banjaran. Setelah rombongan berhasil menyeberangi sungai, mereka berhenti di sisi timur sungai di bawah satu-satunya pohon jati. Tempat itu adalah  tempat Kamandaka berdiri berdua dengan Rekajaya di suatu pagi beberapa waktu lalu setelah meninggalkan hutan kecil di sebelah barat sungai.
“Dari sini dulu aku dengan Rekajaya nekad menerobos padang ilalang itu untuk bersembunyi di hutan yang lebat di timur laut itu,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi yang duduk di-atas pelana kuda.
“Ternyata jalan terobosan yang dirintis aku dan  Rekajaya, diikuti juga oleh prajurit Dinda Silihwarna dan Tumenggung Maresi. Bahkan di pinggir-padang ilalang itu prajurit Kadipaten Pasirluhur yang mengejar aku dan Rekajaya, kemudian berkemah,” kata Kamandaka melanjutkan.
“Jigjayuda dan Tumenggung Maresi,” panggil Sang Dewi, “Padang ilalang ini kelak pasti akan ramai, karena sudah ada jalan terobosan yang dirintis Kanda Kamandaka. Tolong diingat-ingat, jika kelak padang ini menjadi perkampungan penduduk, pada saat penduduk lapor untuk membentuk desa baru, katakan pada mereka, bahwa nama desa yang tepat adalah Desa Bobosan,” Sang Dewi kembali memerintah Tumenggung Maresi dan Jigjayuda.Bobosan-artinya-jalan-terobosan.
“Baik, Ndara Putri,” Tumenggung Maresi dan Jigjayuda kembali menyanggupi perintah Sang Dewi.
“Aduh, Kanda Kamandaka, aku sudah haus. Bagimana kalau kita istirahat di bawah pohon jati itu saja?” Sang Dewi mengeluh. Matahari sedang naik menuju puncak kubah langit. Tetapi Kamandaka membujuk Sang Dewi agar melanjutkan perjalanan menerobos padang ilalang melewati jalan terobosan yang dulu dirintis Kamandaka.
“Kita akan-istirahat di pinggir hutan yang lebat dan nyaman-itu,Dinda-Dewi. Kanjeng Rama Adipati-dulu-gemar berburu di hutan itu. Si Lutung Kasarung juga berasal dari hutan itu,” kata Kamandaka berusaha membujuk Sang Dewi.
“Baik, ayohlah. Tetapi Kanda harus memacu kudanya agak cepat supaya lekas sampai,” kata Sang Dewi yang wajahnya mulai kemerah-merahan ditimpa sinar matahari pagi. Dalam pandangan Kamandaka, wajah Sang Dewi semakin cantik.
“Jigjayuda, ayo pacu kudamu cepat-cepat agar kita segera tiba di tepi hutan timur laut itu,” perintah Kamandaka pada Jigjayuda. ”Ndara Putrimu sudah ingin istirahat.”
Mendengar perintah seperti itu, Jigjayuda langsung memacu kudanya diikuti Kamandaka dan rombongan lainnya. Kuda Jigjayuda melesat bagaikan terbang melintasi jalan terobosan membelah padang ilalang yang luas itu. Kamandaka ikut memacu kudanya cepat-cepat yang membuat Sang Dewi merasa senang. Kamandaka menggunakan kesempatan langka itu untuk mencium Sang Dewi yang menjatuhkan kepalanya ke belakang.  Sang Dewi jatuh dalam pelukan tangan kiri Kamandaka. 

Di atas kuda yang sedang lari kencang,  Sang Dewi merasakan seperti dibuai-buai dalam ayunan. Dibiarkannya Kamandaka menciumi pipinya sepuas hati. Diam-diam Sang Dewi merasakan sensasi aneh luar biasa yang membuat dirinya senang dan bahagia. Sang Dewi yang diam-diam memejamkan matanya, baru membukanya ketika kudanya berhenti tepat di bawah pohon-pohon besar.
Rombongan beristirahat sebentar di pinggir hutan. Angin bertiup lembut menerobos hutan dan menyinggahi mereka, membuat tubuh mereka merasa nyaman dan segar. Mereka duduk-duduk di-atas rumput di bawah pohon-rindang. Jigjayuda membantu Khandegwilis membagi-bagikan minuman dan makanan kecil untuk mengusir rasa haus. Lalu Kamandaka mulai menceriterakan pengalamannya saat dikepung prajurit Pasirluhur di hutan yang lebat itu.
“Aku ditemani Rekajaya dikepung dua hari dua malam di hutan ini,” kata Kamandaka. Sang Dewi dan anggota rombongan lainnya mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Rekajaya pagi-pagi sekali-berhasil membeli kurungan untuk tidur si Mercu. Tiba-tiba siang harinya datang anjing pelacak Tumenggung Maresi. Tetapi anjing pelacak itu dengan mudah dikurung Rekajaya dengan kurungan untuk si Mercu. Paginya  anjing pelacak yang dikurung Rekajaya dipotong. Bangkainya ditanam di bawah pohon. Aku lalu berpisah dengan Rekajaya, karena Rekajaya  membawa si Mercu dan si Lutung Kasarung pulang ke Kaliwedi. Aku tinggal semalam lagi di hutan ini. Paginya baru aku meloloskan diri kembali ke barat menyeberangi Sungai Banjaran.”
“Siapakah yang membawa kurungan anjing yang digunakan untuk mengurung si Mercu dan anjing pelacak, Kanda?” tanya Sang Dewi penasaran.
“Oh, kurungan anjing itu tertinggal di hutan. Tak ada yang sempat membawanya. Rupanya kurungan anjing itu tak mau berpisah dengan anjing yang dikubur di situ. Rekajaya sempat mencoba mencarinya bersama Lurah Karangjati, tetapi tidak ketemu,” jawab Kamandaka.
“Anjing itu anjing pelacak kesayangan hamba dan Kanjeng Rama, Ndara Putri. Selalu diajak jika Kanjeng Adipati  berburu,” kata Tumenggung Maresi ikut berbicara. “Jika Ndara Putri berkenan, bagaimana kalau kelak hutan ini jadi pemukiman penduduk, mohon diberi nama Desa Kurunganjing saja, Ndara Putri,” kata Tumenggung Maresi mengajukan usul pada Sang Dewi.
“Desa Kurunganjing kurang lazim dan kurang enak didengar,” kata Sang Dewi, ”Lebih baik diberinama Desa Karanganjing saja.” Saran Sang Dewi langsung disetujui. Jigjayuda dan Tumenggung Maresi diminta mengingat-ingatnya.
“Kanda Kamandaka, hari sudah siang. Sebaiknya kita cepat ke Kaliwedi saja. Silahkan ceriterakan saja ketika Kanda Kamandaka meloloskan diri ke barat kembali menyeberangi Sungai Banjaran dan berkejar-kejaran dengan Dinda Silihwarna. Akhirnya Kanda dan Dinda Silihwarna berhenti di sebuah batu besar. Di batu itulah Kanda Kamandaka baru tahu kalau Dinda Silihwarna itu ternyata adalah Dinda Banyakngampar, saudara muda Kanda Banyakcatra. Silahkan Kanda,” kata Sang Dewi, meminta Kamandaka menceriterakan pengalammnya bertemu dengan saudara mudanya di sebuah batu besar. Sang Dewi sudah tahu kisahnya, karena Kamandaka pernah menceriterakannya.  Kamandaka pun menceriterakan kisah ketika akhirnya dia mengetahui siapa sesungguhnya Tumenggung Silihwarna yang menantang berkelahai satu lawan satu itu.
“Dinda Dewi, aku ingin batu yang punya riwayat itu diberi nama, nama apa yang tepat menurut Dinda Dewi?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi.
“Barangkali ada usul dari Dinda Silihwarna?” tanya Sang Dewi kepada Silihwarna yang sedang duduk di samping Mayangsari. Silihwarna yang agak pemalu itu menggeleng, sambil berkata, “Silahkan, Ayunda Dewi saja yang lebih banyak mengetahui adat istiadat dan tradisi Kadipaten Pasirluhur.”
“Baiklah kalau begitu. Batu yang punya riwayat itu aku beri nama Watusinom. Artinya, batu muda. Batu tempat Kanda Kamandaka berjumpa kembali dengan saudara mudanya setelah tidak berjumpa hampir lima tahun lebih sedikit,” kata Sang Dewi yang langsung disetujui Kamandaka. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar