“Setiap
tiba perayaan hari-hari keagamaan, penduduk Kaliwedi harus mengikuti ritual di
lereng Gunung Agung. Tempatnya dari Kaliwedi cukup jauh. Sering mereka harus
bermalam pula. Padahal waktu bagi mereka sangat berharga, karena mereka
kebanyakan terlibat dalam jaringan bisnis Nyai Kertisara. Jika dua atau tiga
hari tidak menderes, mereka merasa rugi. Penghasilan mereka berkurang,
sekalipun hanya beberapa hari,” kata Ki Sulap Pangebatan mengeluh.
“Kenapa Ki
Sulap tidak menganjurkan penduduk Kaliwedi dan sekitarnya merayakan ritual
religi di Kademangan Kejawar saja? Toh Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten
Wirasaba sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa?“ Ki Demang Kejawar masih ingat,
saat itu dia menawarkan pemecahan permasalahan yang dihadapi Ki Sulap
Pangebatan.
“Terimaksih
sekali, bila Ki Demang mengijinkan penduduk Kaliwedi dan sekitarnya mengikuti
ritual pemujaan Sang Hyang Syiwa yang
dipimpin Ki Demang. Tetapi apakah Adipati Wirasaba akan mengijinkan kawula
Kadipaten Pasirluhur numpang mengikuti ritual-ritual religi di Kademangan
Kejawar?” tanya Ki Sulap Pangebatan. Dia nampak masih ragu dengan tawaran Ki
Demang Kejawar.
“Ki Sulap
tidak usah khawatir,” jawab Ki Demang saat itu. “Ki Demang nanti yang akan
menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya kepada Adipati Wirasaba, jika Sang
Adipati kelak tahu dan mempersoalkannya. Kedamangan Kejawar ini, merupakan
daerah sima yang dinyatakan sebagai salah satu wilayah suci untuk memuja Sang
Hyang Syiwa. Disebut wilayah suci, karena di wilayah ini ada tempat suci,
tempat Syang Hyang Syiwa turun ke muka bumi. Di muka bumi banyak tempat suci
yang suka dikunjungi Sang Hyang Syiwa. Salah satunya adalah situs di lereng
barat Pegunungan Ciserayu, tidak jauh dari Sungai Ciserayu. Di situ banyak
sumber mata air yang bening, yang disebut thirtas.”
“Dan Ki
Demang selaku penanggung jawab tanah sima,
memperoleh otonomi seluas-luasnya untuk mengaturnya. Kanjeng Adipati
Wirasaba tidak berhak mencampurinya. Urusan memuja Sang Hyang Syiwa dan
hubungannya dengan keselamatan manusia dan alam yang disebut Trihitakarana,
bukanlah urusan para raja, adipati, dan ksatria. Tetapi urusan para brahmana,
pandita, pandita sinatria, maupun sinatria pinandita. Begitulan menurut aturan
Weda,” kata Ki Demang memberikan penjelasan yang membuat gembira Ki Sulap
Pangebatan.
Akhirnya
tercapailah kesepakatan antara Ki Sulap Pangebatan dengan Ki Demang Kejawar.
Sejak itulah penduduk Kaliwedi dan desa-desa sikitarnya di sebelah utara Sungai
Ciserayu yang sebagian besar terlibat hubungan bisnis dengan Nyai Kertisara,
diijinkan oleh Ki Demang Kejawar untuk mengikuti ritual-ritual religi memuja
Sang Hyang Syiwa yang diselenggarakan di Kademangan Kejawar. Sebagai
imbalannya, Nyai Kertisara secara rutin memberikan bantuan dan sumbangan ke
Kademangan Kejawar, terutama bantuan gula kelapa, gula aren, dan juga beras.
Sejak itulah hubungan antara Ki Demang Kejawar, Ki Sulap Pangebatan, Rekajaya,
dan Nyai Kertisara, semakin erat. Ki Demang Kejawar juga masih ingat ketika
dirinya menawarkan kepada Ki Sulap Pangebatan dan Rekajaya untuk mengunjungi
situs-situs tempat pemujaan Sang Hyang Syiwa.
“Tidak jauh
tempatnya, Ki Sulap. Jika mau Ki Demang bisa
antarkan sekarang? Letaknya ke arah barat laut dari sini. Di lereng
barat Pegunungan Ciserayu, tidak jauh dari sisi selatan Sungai Ciserayu. Dari
Kaliwedi malah lebih dekat. Tinggal menyeberang lewat penyeberangan tambangan
Kaliori ke selatan, lalu ke arah barat. Dengan mengendarai kuda, akan sampai
lebih cepat lagi,” kata Ki Demang
menawarkan. Ternyata Ki Sulap Pangebatan merasa belum perlu mengunjungi situs
pemujaan Sang Hyang Syiwa yang ditunjukkan Ki Demang Kejawar.
“Terimakasih,
Ki Demang. Lain waktu saja. Mudah-mudahan, kelak saya bisa menengoknya. Mungkin
lebih bermanfaat jika Ki Demang bisa menjelaskan tatacara ritual yang
diselenggarakan di Kademangan Kejawar. Itu pun jika Ki Demang tidak keberatan?”
kata Ki Sulap Pangebatan mengajukan permintaan yang langsung dipenuhi Ki Demang
Kejawar.
“Kami yakin
tatacara berbagai jenis ritual pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa yang kami
selenggarakan di situs yang ada di lereng barat Pegunungan Ciserayu itu, tidak
jauh berbeda dengan ritual di lereng Gunung Agung. Bahkan tidak banyak bedanya
dengan ritual di lereng Gunung Tangkuban Perahu yang dipimpin Ki Ajar
Wirangrong. Sebab kita sama-sama pemeluk agama Hindu Syiwa,” kata Ki Demang
Kejawar mencoba meyakinkan Ki Sulap Pangebatan yang memang ketika itu mengaku
berasal dari lereng Gunung Tangkuban Perahu.
Ki Demang
Kejawar dengan sabar menjelaskan bermacam-macam ritual religi yang sering
dipimpinnya antara lain ritual malam Syiwa Ratri pada bulan Badramasa dan Kartikamasa, ritual
Diwali, ritual Tilem Chaitra atau ritual Tilem Kasanga dan ritual Trihitakarana
Bhuta Yajna.
Dijelaskan oleh Ki Demang Kejawar bahwa Ritual Syiwa
Ratri bulan Badramasa dan bulan Kartikamasa
adalah ritual menyambut bulan purnama pada bulan ke-2 dan ke-4. Ritual
Diwali adalah ritual menyambut kemenangan dharma atas adharma. Atau ritual
kemenangan kebenaran atau kebaikan atas kejahatan. Ritual Diwali disimbolkan
sebagai kemenangan Prabu Rama melawan Prabu Rahwana dalam memperebutkan Dewi
Sinta.
Ketika
rombongan Prabu Rama dan Dewi Shinta tiba di Kerajaan Ayodya, demikian Ki
Demang Kejawar menjelaskan, rakyat Ayodya merayakannya sambil memanjatkan puja
kepada Sang Hyang Syiwa yang telah memberikan kemenangan kepada Prabu Rama.
Penduduk Ayodya itu menyambut kedatangan Prabu Rama dan Dewi Shinta dengan
menyalakan barisan lampu-lampu minyak di balkon-balkon, jendela-jendala
rumah dan di sepanjang jalan. Dalam
ritual Diwali, Prabu Rama adalah simbol dari darma. Sedang Prabu Rahwana simbol
dari adharma. Darma dan Adharma senantiasa muncul sepanjang jaman. Terjadi pergulatan
di antara keduanya. Tetapi akhirnya darmalah yang akan memperoleh kejayaan.
“Demikian
Ki Sulap, riwayat Ritual Diwali yang diselenggarakan pada bulan Kartikamasa.
Hari penyelenggaraan ritual Diwali atau ritual barisan seribu cahaya kebaikan
darma itu, dikenal pula sebagai Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan.
Bukankah warna kuning adalah warna emas, Ki Sulap ?” kata Ki Demang Kejawar.
“Ya, betul
sekali Ki Demang. Emas dalam bahasa daerah Pasundan disebut juga sindai.
Kadang-kadang disebut juga kancana. Warna
emas mengandung banyak kebaikan darma, mulai dari kemuliaan, keagungan,
cinta, karunia dewa yang melimpah ruah, kemakmuran dan kesejahteraan,” kata Ki
Sulap Pangebatan memberikan tanggapan atas penjelasan Ki Demang Kejawar yang
disetujuinya.
“Ritual
berikutnya yang diselenggarakan di situs pemujaan Sang Hyang Syiwa di Kademangan Kejawar
adalah, ritual menyambut hari raya 1 Saka yang dikenal sebagai Hari Raya Nyepi
atau Hari Raya Chaitra Amavasya atau Tilem Kasanga, sebab Hari Raya 1 Saka itu
bertepatan dengan bulan ke Sembilan Purnama, yakni bulan Caitra atau bulan
Cetra.
“Ritual
menyambut tahun baru 1 Saka, diisi dengan sejumlah tapa, yakni brata yoga
samadi yang berarti tidak menyalakan api atau pati-agni yang diucapkan oleh
lidah penduduk Kejawar sebagai laku pati-geni. Pati geni ini,
sebenarnya merupakan simbol untuk memadamkan kobaran api hawa nafsu. Cara
mematikan hawa nafsu melalui laku pati-geni dilakukan melalui beberapa cara.
Antara lain, tidak bepergian, tidak melakukan aktivitas keramaian, dan tidak
melakukan kegiatan kerja apa pun. Juga melakukan apwasa atau puasa, yakni
mencegah makan-minum. Apwasa banyak jenisnya, mulai dari pati geni, mutih,
ngrowot, ngalong, ngidang, ngepel, dan lainnya lagi.
“Selesai
melakukan laku pati-geni dengan apwasa dan aktivitas japa, maka pada esok
harinya dilakukan aktivitas Ngembak Geni, yang terdiri dari sejumlah aktivitas
antara lain dharma shanti, upaksama, dan abhivandhana. Dharma shanti artinya
bersilaturahmi dengan orang tua, saudara, tetangga, kawan. Upaksami, artinya
saling maaf memaafkan, dan abhivandhana artinya mensyukuri karunia karena orang
telah mampu melaksanakan brata nyepi pada tanggal 1 Saka yang merupakan hari
penyucian diri, pendakian spiritual, menyatukan diri atau manunggal dengan
gusti, dan mawas diri, koreksi diri, telaah diri, atau amulat sarira hangrasa
wani.”
“Satu hari
sebelum 1 Saka, disebut hari bhuta yajna. Hari bhuta yajna adalah hari manusia
berkorban sebagai upaya menjaga keserasian dan keharmonisan relasi
trihitakarana. Relasi trihitakarana merupakan relasi yang menggambarkan
kesetaraan antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan
akhirnya hubungan manusia dengan Sang Pencipta.”
“Ritual
penting lainnya sebelum hari Nyepi, Nyipeng atau Tilem adalah ritual melasti dan
melis. Artinya, adalah ritual penyucian diri kita masing-masing, penyucian dunia,
dan penyucian alam semesta, yakni buana alit, buana madya, buana agung, dengan
tirthas atau tirtha amerta. Ritual dilakukan dengan cara mengambil tirtha
amertha dari sumber-sumber mata air suci seperti mata air atau tuk, telaga suci, sungai suci, lautan, dan patirtan
lainnya.”
“Air suci
atau tirtha amertha yang paling bagus adalah yang diambil dari lautan. Dalam
Weda disebutkan, ‘nunas tirtha amerta ngamet sarining amerta ring telenging segara’.
Artinya, tirtha yang memberi kehidupan diperoleh dari lautan. Tetapi selain air
lautan, air murni yang berasal dari mata air atau tuk, juga memiliki daya gaib
tirtha amertha yang mensucikan. Disebutkan dalam Weda, ‘Apam napatam
paritasthur apah’. Artinya air murni baik dari mata air maupun lautan mempunyai
daya gaib mensucikan”
“Sumber
tirthas di Kademangan Kejawar cukup melimpah, yakni di sekitar situs perbukitan
Kalibening. Di sekitarnya terdapat tiga sungai suci yakni Cisindai,
Pasinggangan, dan Ciserayu. Ketiga sungai suci itu merupakan sungai suci sumber
tirthas ciptaan dewa yang ditiru dari Sungai Yamuna, Brahmaputra, dan Gangga.
Sungai Ciserayu adalah Sungai Gangganya Kademangan Kejawar. Sungai Pasinggangan
adalah Sungai Brahmapuratnya Kademangan Kejawar, dan Sungai Cisindai adalah
Sungai Yamunanya Kademangan Kejawar,” demikian Ki Demang Kejawar menjelaskan
mengenai berbagai laku dalam ritual menyambut Hari Raya tahun baru 1 Saka yang biasa diselenggarakan
di Kademangan Kejawar. Ki Demang Kejawar masih ingat saat Ki Sulap Pangebatan
mendengarkan penjelasannya, wajahnya nampak ceria. Yang berarti Ki Sulap
Pangebatan merasa puas dengan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikannya.
“Penjelasan
yang bagus sekali, Ki Demang,” kata Ki Sulap Pangebatan. “Yang menarik adalah
penjelasan Ki Demang tadi soal sungai sumber tirthas yang merupakan tiga sungai
suci, yakni Ciserayu, Pasinggangan, dan Cisindai yang diciptakan para dewa
sebagai tiruan sungai suci Gangga, Brahmaputra, dan Yamuna. Bagi Kadipaten
Pasirluhur, sumber utama thirtas adalah hulu Sungai Logawa, hulu Sungai
Banjaran, dan Sungai Ciserayu. Sungai Logawa dianggap tiruan Sungai Suci
Yamuna, Sungai Banjaran dianggap tiruan Sungai Brahmaputra. Dan Sungai Ciserayu
dianggap tiruan Sungai Gangga. Sungai Brahmaputra dan Yamuna bermuara di Sungai
Gangga. Demikian pula Sungai Logawa dan Banjaran, pada akhirnya juga bermuara
di Sungai Ciserayu. Ternyata baik Kadipaten Pasirluhur maupun Wirasaba
sama-sama menjadikan Sungai Ciserayu sebagai sungai suci, sumber tirtha amerta.
Memang Serayu berasal dari Sirrrahayu. Yang artinya jalan menuju keselamatan.”
Ki Demang
Kejawar senang sekali bisa bertukar pikiran dengan Ki Sulap Pangebatan. Banyak
titik-titik pertemuan dan persamaan pandangan di antara mereka berdua. Ki
Demang Kejawar masih ingat ketika Ki Sulap Pangebatan menanyakan ritual Syiwa
Ratri yang membuat Ki Demang Kejawar langsung tertawa.
“Tentang
ritual Syiwa Ratri. Bagaimana menurut pemahaman Ki Demang Kejawar, bisa
dijelaskan?” tanya Ki Sulap Pangebatan.
“Hehehe…, rupanya
Ki Sulap sudah punya calon istri, ya? Kapan Ki Sulap mau selenggarakan pesta
pernikahannya?“ tanya Ki Demang Kejawar
sambil tertawa.
“Ah, belum
punya calon, Ki Demang. Masih pikir-pikir,” jawab Ki Sulap. Tentu saja dia berbohong.
Sebab, saat itu Ki Demang belum tahu bahwa Ki Sulap Pangebatan adalah Kamandaka
yang memang sedang berjuang untuk mendapatkan kekasih jantung hatinya, Sang
Dewi.
“Orang yang menanyakan ritual Malam Syiwa Ratri, biasanya
orang-orang yang akan jadi pengantin atau para pengantin baru. Malam Syiwa
Ratri adalah malam ritual untuk memuja Sang Hyang Syiwa, bertepatan dengan
Malam Purnama tanggal 14 atau 15. Biasanya dilakukan dengan membaca rontal yang
isinya memuja Sang Hyang Syiwa. Menurut Weda, Sang Hyang Syiwa akan memberikan
anugerah besar kepada orang yang memuja dan memberikan bhakti kepadanya pada
malam Syiwa Ratri. Pada malam Syiwa Ratri, pasangan suami istri dilarang melakukan
hubungan..., maaf Ki Sulap. Hubungan persanggamaan atau hubungan badan antara
suami istri. Kalau malam berikutnya, boleh,” kata Ki Demang Kejawar sambil
tersenyum yang membuat Ki Sulap Pangebatan agak tersipu-sipu.
“Tadi Ki
Demang menceriterakan riwayat Hari Raya Diwali yang bermula dari hari
penyambutan rakyat Ayodya atas kemenangan Prabu Rama dan Dewi Shinta dalam
peperangan melawan Prabu Rahwana. Kalau peringatan tahun baru 1 Saka, bukankah
peringatan itu juga berawal dari India juga? Yaitu memperingati kemenangan
bangsa Saka dalam perangnya melawan suku-suku di India lain yang juga gemar
berperang? Bagaimana sebenarnya peran
agama di sini? Sebagai alat pemersatu atau pemecah belah?” tanya Ki Sulap
Pangebatan.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar