Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 20 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(69)



“Setiap tiba perayaan hari-hari keagamaan, penduduk Kaliwedi harus mengikuti ritual di lereng Gunung Agung. Tempatnya dari Kaliwedi cukup jauh. Sering mereka harus bermalam pula. Padahal waktu bagi mereka sangat berharga, karena mereka kebanyakan terlibat dalam jaringan bisnis Nyai Kertisara. Jika dua atau tiga hari tidak menderes, mereka merasa rugi. Penghasilan mereka berkurang, sekalipun hanya beberapa hari,” kata Ki Sulap Pangebatan mengeluh.
“Kenapa Ki Sulap tidak menganjurkan penduduk Kaliwedi dan sekitarnya merayakan ritual religi di Kademangan Kejawar saja? Toh Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa?“ Ki Demang Kejawar masih ingat, saat itu dia menawarkan pemecahan permasalahan yang dihadapi Ki Sulap Pangebatan.
“Terimaksih sekali, bila Ki Demang mengijinkan penduduk Kaliwedi dan sekitarnya mengikuti ritual pemujaan Sang Hyang Syiwa  yang dipimpin Ki Demang. Tetapi apakah Adipati Wirasaba akan mengijinkan kawula Kadipaten Pasirluhur numpang mengikuti ritual-ritual religi di Kademangan Kejawar?” tanya Ki Sulap Pangebatan. Dia nampak masih ragu dengan tawaran Ki Demang Kejawar.
“Ki Sulap tidak usah khawatir,” jawab Ki Demang saat itu. “Ki Demang nanti yang akan menjelaskan dan mempertanggungjawabkannya kepada Adipati Wirasaba, jika Sang Adipati kelak tahu dan mempersoalkannya. Kedamangan Kejawar ini, merupakan daerah sima yang dinyatakan sebagai salah satu wilayah suci untuk memuja Sang Hyang Syiwa. Disebut wilayah suci, karena di wilayah ini ada tempat suci, tempat Syang Hyang Syiwa turun ke muka bumi. Di muka bumi banyak tempat suci yang suka dikunjungi Sang Hyang Syiwa. Salah satunya adalah situs di lereng barat Pegunungan Ciserayu, tidak jauh dari Sungai Ciserayu. Di situ banyak sumber mata air yang bening, yang disebut thirtas.”
“Dan Ki Demang selaku penanggung jawab tanah sima,  memperoleh otonomi seluas-luasnya untuk mengaturnya. Kanjeng Adipati Wirasaba tidak berhak mencampurinya. Urusan memuja Sang Hyang Syiwa dan hubungannya dengan keselamatan manusia dan alam yang disebut Trihitakarana, bukanlah urusan para raja, adipati, dan ksatria. Tetapi urusan para brahmana, pandita, pandita sinatria, maupun sinatria pinandita. Begitulan menurut aturan Weda,” kata Ki Demang memberikan penjelasan yang membuat gembira Ki Sulap Pangebatan.
Akhirnya tercapailah kesepakatan antara Ki Sulap Pangebatan dengan Ki Demang Kejawar. Sejak itulah penduduk Kaliwedi dan desa-desa sikitarnya di sebelah utara Sungai Ciserayu yang sebagian besar terlibat hubungan bisnis dengan Nyai Kertisara, diijinkan oleh Ki Demang Kejawar untuk mengikuti ritual-ritual religi memuja Sang Hyang Syiwa yang diselenggarakan di Kademangan Kejawar. Sebagai imbalannya, Nyai Kertisara secara rutin memberikan bantuan dan sumbangan ke Kademangan Kejawar, terutama bantuan gula kelapa, gula aren, dan juga beras. Sejak itulah hubungan antara Ki Demang Kejawar, Ki Sulap Pangebatan, Rekajaya, dan Nyai Kertisara, semakin erat. Ki Demang Kejawar juga masih ingat ketika dirinya menawarkan kepada Ki Sulap Pangebatan dan Rekajaya untuk mengunjungi situs-situs tempat pemujaan Sang Hyang Syiwa.
“Tidak jauh tempatnya, Ki Sulap. Jika mau Ki Demang bisa  antarkan sekarang? Letaknya ke arah barat laut dari sini. Di lereng barat Pegunungan Ciserayu, tidak jauh dari sisi selatan Sungai Ciserayu. Dari Kaliwedi malah lebih dekat. Tinggal menyeberang lewat penyeberangan tambangan Kaliori ke selatan, lalu ke arah barat. Dengan mengendarai kuda, akan sampai lebih cepat lagi,”  kata Ki Demang menawarkan. Ternyata Ki Sulap Pangebatan merasa belum perlu mengunjungi situs pemujaan Sang Hyang Syiwa yang ditunjukkan Ki Demang Kejawar.
“Terimakasih, Ki Demang. Lain waktu saja. Mudah-mudahan, kelak saya bisa menengoknya. Mungkin lebih bermanfaat jika Ki Demang bisa menjelaskan tatacara ritual yang diselenggarakan di Kademangan Kejawar. Itu pun jika Ki Demang tidak keberatan?” kata Ki Sulap Pangebatan mengajukan permintaan yang langsung dipenuhi Ki Demang Kejawar.
“Kami yakin tatacara berbagai jenis ritual pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa yang kami selenggarakan di situs yang ada di lereng barat Pegunungan Ciserayu itu, tidak jauh berbeda dengan ritual di lereng Gunung Agung. Bahkan tidak banyak bedanya dengan ritual di lereng Gunung Tangkuban Perahu yang dipimpin Ki Ajar Wirangrong. Sebab kita sama-sama pemeluk agama Hindu Syiwa,” kata Ki Demang Kejawar mencoba meyakinkan Ki Sulap Pangebatan yang memang ketika itu mengaku berasal dari lereng Gunung Tangkuban Perahu.
Ki Demang Kejawar dengan sabar menjelaskan bermacam-macam ritual religi yang sering dipimpinnya antara lain ritual malam Syiwa Ratri  pada bulan Badramasa dan Kartikamasa, ritual Diwali, ritual Tilem Chaitra atau ritual Tilem Kasanga dan ritual Trihitakarana Bhuta Yajna.
Dijelaskan oleh Ki Demang Kejawar bahwa Ritual Syiwa Ratri bulan Badramasa dan bulan Kartikamasa  adalah ritual menyambut bulan purnama pada bulan ke-2 dan ke-4. Ritual Diwali adalah ritual menyambut kemenangan dharma atas adharma. Atau ritual kemenangan kebenaran atau kebaikan atas kejahatan. Ritual Diwali disimbolkan sebagai kemenangan Prabu Rama melawan Prabu Rahwana dalam memperebutkan Dewi Sinta.
Ketika rombongan Prabu Rama dan Dewi Shinta tiba di Kerajaan Ayodya, demikian Ki Demang Kejawar menjelaskan, rakyat Ayodya merayakannya sambil memanjatkan puja kepada Sang Hyang Syiwa yang telah memberikan kemenangan kepada Prabu Rama. Penduduk Ayodya itu menyambut kedatangan Prabu Rama dan Dewi Shinta dengan menyalakan barisan lampu-lampu minyak di balkon-balkon, jendela-jendala rumah  dan di sepanjang jalan. Dalam ritual Diwali, Prabu Rama adalah simbol dari darma. Sedang Prabu Rahwana simbol dari adharma. Darma dan Adharma senantiasa muncul sepanjang jaman. Terjadi pergulatan di antara keduanya. Tetapi akhirnya darmalah yang akan memperoleh kejayaan.
“Demikian Ki Sulap, riwayat Ritual Diwali yang diselenggarakan pada bulan Kartikamasa. Hari penyelenggaraan ritual Diwali atau ritual barisan seribu cahaya kebaikan darma itu, dikenal pula sebagai Hari Raya Galungan atau Hari Raya Kuningan. Bukankah warna kuning adalah warna emas, Ki Sulap ?”  kata Ki Demang Kejawar.
“Ya, betul sekali Ki Demang. Emas dalam bahasa daerah Pasundan disebut juga sindai. Kadang-kadang disebut juga kancana. Warna  emas mengandung banyak kebaikan darma, mulai dari kemuliaan, keagungan, cinta, karunia dewa yang melimpah ruah, kemakmuran dan kesejahteraan,” kata Ki Sulap Pangebatan memberikan tanggapan atas penjelasan Ki Demang Kejawar yang disetujuinya.
“Ritual berikutnya yang diselenggarakan di situs pemujaan  Sang Hyang Syiwa di Kademangan Kejawar adalah, ritual menyambut hari raya 1 Saka yang dikenal sebagai Hari Raya Nyepi atau Hari Raya Chaitra Amavasya atau Tilem Kasanga, sebab Hari Raya 1 Saka itu bertepatan dengan bulan ke Sembilan Purnama, yakni bulan Caitra atau bulan Cetra.
“Ritual menyambut tahun baru 1 Saka, diisi dengan sejumlah tapa, yakni brata yoga samadi yang berarti tidak menyalakan api atau pati-agni yang diucapkan oleh lidah penduduk  Kejawar  sebagai laku pati-geni. Pati geni ini, sebenarnya merupakan simbol untuk memadamkan kobaran api hawa nafsu. Cara mematikan hawa nafsu melalui laku pati-geni dilakukan melalui beberapa cara. Antara lain, tidak bepergian, tidak melakukan aktivitas keramaian, dan tidak melakukan kegiatan kerja apa pun. Juga melakukan apwasa atau puasa, yakni mencegah makan-minum. Apwasa banyak jenisnya, mulai dari pati geni, mutih, ngrowot, ngalong, ngidang, ngepel, dan lainnya lagi.
“Selesai melakukan laku pati-geni dengan apwasa dan aktivitas japa, maka pada esok harinya dilakukan aktivitas Ngembak Geni, yang terdiri dari sejumlah aktivitas antara lain dharma shanti, upaksama, dan abhivandhana. Dharma shanti artinya bersilaturahmi dengan orang tua, saudara, tetangga, kawan. Upaksami, artinya saling maaf memaafkan, dan abhivandhana artinya mensyukuri karunia karena orang telah mampu melaksanakan brata nyepi pada tanggal 1 Saka yang merupakan hari penyucian diri, pendakian spiritual, menyatukan diri atau manunggal dengan gusti, dan mawas diri, koreksi diri, telaah diri, atau amulat sarira hangrasa wani.”
“Satu hari sebelum 1 Saka, disebut hari bhuta yajna. Hari bhuta yajna adalah hari manusia berkorban sebagai upaya menjaga keserasian dan keharmonisan relasi trihitakarana. Relasi trihitakarana merupakan relasi yang menggambarkan kesetaraan antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan akhirnya hubungan manusia dengan Sang Pencipta.”
“Ritual penting lainnya sebelum hari Nyepi, Nyipeng atau Tilem adalah ritual melasti dan melis. Artinya, adalah ritual penyucian diri kita masing-masing, penyucian dunia, dan penyucian alam semesta, yakni buana alit, buana madya, buana agung, dengan tirthas atau tirtha amerta. Ritual dilakukan dengan cara mengambil tirtha amertha dari sumber-sumber mata air suci seperti  mata air atau tuk,  telaga suci, sungai suci, lautan, dan patirtan lainnya.”
“Air suci atau tirtha amertha yang paling bagus adalah yang diambil dari lautan. Dalam Weda disebutkan, ‘nunas tirtha amerta ngamet sarining amerta ring telenging segara’. Artinya, tirtha yang memberi kehidupan diperoleh dari lautan. Tetapi selain air lautan, air murni yang berasal dari mata air atau tuk, juga memiliki daya gaib tirtha amertha yang mensucikan. Disebutkan dalam Weda, ‘Apam napatam paritasthur apah’. Artinya air murni baik dari mata air maupun lautan mempunyai daya gaib mensucikan”
“Sumber tirthas di Kademangan Kejawar cukup melimpah, yakni di sekitar situs perbukitan Kalibening. Di sekitarnya terdapat tiga sungai suci yakni Cisindai, Pasinggangan, dan Ciserayu. Ketiga sungai suci itu merupakan sungai suci sumber tirthas ciptaan dewa yang ditiru dari Sungai Yamuna, Brahmaputra, dan Gangga. Sungai Ciserayu adalah Sungai Gangganya Kademangan Kejawar. Sungai Pasinggangan adalah Sungai Brahmapuratnya Kademangan Kejawar, dan Sungai Cisindai adalah Sungai Yamunanya Kademangan Kejawar,” demikian Ki Demang Kejawar menjelaskan mengenai berbagai laku dalam ritual menyambut Hari Raya  tahun baru 1 Saka yang biasa diselenggarakan di Kademangan Kejawar. Ki Demang Kejawar masih ingat saat Ki Sulap Pangebatan mendengarkan penjelasannya, wajahnya nampak ceria. Yang berarti Ki Sulap Pangebatan merasa puas dengan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikannya.
“Penjelasan yang bagus sekali, Ki Demang,” kata Ki Sulap Pangebatan. “Yang menarik adalah penjelasan Ki Demang tadi soal sungai sumber tirthas yang merupakan tiga sungai suci, yakni Ciserayu, Pasinggangan, dan Cisindai yang diciptakan para dewa sebagai tiruan sungai suci Gangga, Brahmaputra, dan Yamuna. Bagi Kadipaten Pasirluhur, sumber utama thirtas adalah hulu Sungai Logawa, hulu Sungai Banjaran, dan Sungai Ciserayu. Sungai Logawa dianggap tiruan Sungai Suci Yamuna, Sungai Banjaran dianggap tiruan Sungai Brahmaputra. Dan Sungai Ciserayu dianggap tiruan Sungai Gangga. Sungai Brahmaputra dan Yamuna bermuara di Sungai Gangga. Demikian pula Sungai Logawa dan Banjaran, pada akhirnya juga bermuara di Sungai Ciserayu. Ternyata baik Kadipaten Pasirluhur maupun Wirasaba sama-sama menjadikan Sungai Ciserayu sebagai sungai suci, sumber tirtha amerta. Memang Serayu berasal dari Sirrrahayu. Yang artinya jalan menuju keselamatan.”
Ki Demang Kejawar senang sekali bisa bertukar pikiran dengan Ki Sulap Pangebatan. Banyak titik-titik pertemuan dan persamaan pandangan di antara mereka berdua. Ki Demang Kejawar masih ingat ketika Ki Sulap Pangebatan menanyakan ritual Syiwa Ratri yang membuat Ki Demang Kejawar langsung tertawa.
“Tentang ritual Syiwa Ratri. Bagaimana menurut pemahaman Ki Demang Kejawar, bisa dijelaskan?” tanya Ki Sulap Pangebatan.
“Hehehe…, rupanya Ki Sulap sudah punya calon istri, ya? Kapan Ki Sulap mau selenggarakan pesta pernikahannya?“ tanya Ki Demang Kejawar  sambil tertawa.
“Ah, belum punya calon, Ki Demang. Masih pikir-pikir,” jawab Ki Sulap. Tentu saja dia berbohong. Sebab, saat itu Ki Demang belum tahu bahwa Ki Sulap Pangebatan adalah Kamandaka yang memang sedang berjuang untuk mendapatkan kekasih jantung hatinya, Sang Dewi.

“Orang yang menanyakan ritual Malam Syiwa Ratri, biasanya orang-orang yang akan jadi pengantin atau para pengantin baru. Malam Syiwa Ratri adalah malam ritual untuk memuja Sang Hyang Syiwa, bertepatan dengan Malam Purnama tanggal 14 atau 15. Biasanya dilakukan dengan membaca rontal yang isinya memuja Sang Hyang Syiwa. Menurut Weda, Sang Hyang Syiwa akan memberikan anugerah besar kepada orang yang memuja dan memberikan bhakti kepadanya pada malam Syiwa Ratri. Pada malam Syiwa Ratri, pasangan suami istri dilarang melakukan hubungan..., maaf Ki Sulap. Hubungan persanggamaan atau hubungan badan antara suami istri. Kalau malam berikutnya, boleh,” kata Ki Demang Kejawar sambil tersenyum yang membuat Ki Sulap Pangebatan agak tersipu-sipu.
“Tadi Ki Demang menceriterakan riwayat Hari Raya Diwali yang bermula dari hari penyambutan rakyat Ayodya atas kemenangan Prabu Rama dan Dewi Shinta dalam peperangan melawan Prabu Rahwana. Kalau peringatan tahun baru 1 Saka, bukankah peringatan itu juga berawal dari India juga? Yaitu memperingati kemenangan bangsa Saka dalam perangnya melawan suku-suku di India lain yang juga gemar berperang?  Bagaimana sebenarnya peran agama di sini? Sebagai alat pemersatu atau pemecah belah?” tanya Ki Sulap Pangebatan.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar