“Karena pasukan induk Pandawa harus secepatnya
menghadapi pasukan induk Kurawa, Puntadewa menunjuk Abimanyu menjadi senapati
Pandawa. Abimanyu menyusun formasi
Sumpitudang dengan menempatkan Puntadewa pada posisi kepala. Raja-raja yang
lainya ada di belakang Puntadewa. Abimanyu menempatkan Drestajumena pada
kedudukan sumpit udang kanan, sedang Gatutkaca menduduki sumpit udang kiri.
Sebagai senapati atau panglima perang adalah Abimanyu sendiri yang menduduki
posisi sungut udang.”
“Sementara itu, pasukan induk Kurawa membentuk
formasi Bunga Teratai dengan senapati Jayajatra. Sebenarnya formasi Bunga Teratai
termasuk formasi perang paling sulit ditembus. Hanya Arjuna yang memiliki
ketrampilan menembus formasi Bungateratai, dengan cara masuk jauh ke dalam,
kemudian memporakporandakan formasi musuh dari dalam, lalu Arjuna bisa keluar
dari pengepungan, selalu dengan selamat. Ketrampilan yang demikian, belum
dimiliki Abimanyu.”
“Sebenarnya jika Abimanyu tetap menduduki
posisi sungut dan terus melakukan serangan terhadap formasi pasukan Kurawa, dia
akan tetap selamat. Tetapi kemungkinan memenangkan perang akan lambat, atau
paling tidak akan sama-sama kuat,” kata Wirapati yang tampak bersemangat ketika
menceriterakan kisah perang Bharatayudha.
“Tetapi Drona pintar juga,” kata Wirapati
melanjutkan. “Drona membuka formasi Bungateratai sehingga terbuka lorong jalan
masuk ke tengah-tengan pasukan induk Kurawa. Abimanyu yang memang pandai
memainkan aneka jenis senjata, terpancing menembus masuk ke jantung pasukan
induk kurawa. Abimanyu pun memacu keretanya secepat kilat melewati lorong yang
menuju pusat pasukan induk Kurawa yang sengaja dibuka.”
“Begitu kereta Abimanyu melesat meninggalkan
induk pasukan yang ada di belakangnya, Senapati Jayajatra dengan trampil
memotong pasukan induk Pandawa, sehingga Senapati Abimanyu terlepas dari
pasukan induk. Drona yang ahli strategi itu, segera menutup lorong pasukan yang
dibuatnya. Akibatnya praktis Abimanyu masuk ke dalam perangkap. Dia terkurung di dalam formasi Bungateratai.
Abimanyu belumlah setangkas Arjuna. Abimanyu gagal keluar dari perangkap,” kata
Wirapati. Dia merasa senang, ketika apa yang diceriterakannya mendapat
perhatian dari Sang Dewi dan Kamandaka. Arya Baribin dan Silihwarna ikut
menyimak dengan sungguh-sungguh.
“Maka Abimanyu dikeroyok ramai-ramai dengan dihujani
ribuan tombak, pedang dan panah baik dari arah depan, samping kiri, belakang
dan samping kanan. Kereta Abimanyu pun hancur. Tetapi Abimanyu yang terluka
dengan ribuan panah yang menancapi tubuhnya, masih terus melawan, hingga
berhasil membunuh adiknya Dursasana, Kartasuta. Dia-juga berhasil membunuh
Lesmana Mandrakumara, putra kesayangan Duryudana,” kata Wirapati melanjutkan
ceriteranya.
“Senapati Jayajatra sangat takjub saat melihat
Abimanyu yang-sudah luka parah, tetapi masih juga mengamuk. Jayajatra
cepat-cepat melepaskan anak panah saktinya dari arah belakang punggung
Abimanyu. Akhirnya panah sakti Jayajatra bersarang di leher Abimanyu, tembus dari
belakang ke depan, mengakhiri perlawanan Abimanyu. Putra-Arjuna-itu-pun tewas
di medan Kurusetra. Sudah jelas, kelemahan Abimanyu. Dia terlalu bernafsu
hendak secepatnya memenangkan pepeperangan. Akibatnya fatal.” kata Wirapati mengakhiri kisah Abimanyu dalam
perang Bharayudha hari ke-13.
“Maka pada perang besok dalam formasi
Sumpitudang yang akan kita gelar, kita harus hati-hati jangan sampai terkecoh
tipu daya musuh. Dinda Silihwarna menduduki posisi kepala udang merangkap
sungut. Untuk mengecoh lawan, Dinda Silihwarna jangan menyerang Puletembini
yang ada pada posisi kepala formasi gajah. Dinda Silihwarna hendaknya-konsentrasi
untuk-menyerang Tumenggung Surajaladri yang menduduki posisi pasukan gading
gajah di sebelah kiri. Dimas Arya Baribin juga konsentrasi melumpuhkan Rangga
Singalaut yang menempati posisi pasukan gading gajah di sebelah kanan. Untuk
menghadapi Patih Puletembini, biarlah menjadi tugas Wakil Panglima Perang. Bila
mengalami kerepotan, Kanda Kamandaka bisa turun tangan membantu melumpuhkan
siapa saja. Tentu saja Kanda Kamandaka harus sudah melumpuhkan Raja Pulebahas
terlebih dahulu,” kata Wirapati mengakhiri penjelasannya.Sang Dewi merasa senang
mendengarkan uraian Wirapati yang begitu jelas. Dia pun mengucapkan terimakasih
kepada Wirapati. Demikian pula Kamandaka. Para komandan sektor itu segera mohon
diri setelah bersalaman dan saling berpelukan.
Matahari nampak berwarna bulat merah tembaga, terbenam-di
kaki langit barat di balik deretan pegunungan yang memanjang dari selatan ke
utara. Kamandaka dan-Sang Dewi masuk ke
dalam tenda diikuti-Lutung-Kasaraung.Sang-Dewi-berdoa kepada Yang Maha Kuasa,
agar dalam perang esok hari, kemenangan berpihak kepada prajurit Pasirluhur dan
Dayeuhluhur.
****
Sang
Dewii sudah bangun mendahului terbitnya matahari pagi. Demikian pula Kamandaka.
Sang Dewi mandi di kamar mandi darurat yang didirikan tidak jauh dari tempat
perkemahan. Lalu sarapan pagi ditemani Kamandaka dan Lutung Kasarung. Kemudian datang juru rias yang sengaja dibawa dari Kadipaten Pasirluhur.Sang
Dewi dirias secukupnya. Tetapi dasar gadis cantik, aura kecantikan di sekitar
wajahnya segera muncul. Kecantikan Sang Dewi bisa membuat tergila-gila lelaki
manapun yang melihatnya. Sang Dewi pun menjelma bak bidadari baru turun ke
medan peperangan.
Sebaliknya dengan Kamandaka. Dia dirias
menjadi tokoh dalam legenda Purbasari-Purbarangrang, yakni Uwak Lengser. Tentu
saja penampilan Kamandaka menjadi lebih tua. Namun tubuh kekar Kamandaka yang
dibalut dengan baju semacam surjan warna hitam dikombinasikan dengan celana
hitam dan alas kaki trumpah kulit hitam, membuat Kamandaka tampak sebagai orang
tua berwibawa. Apalagi rambutnya yang hitam oleh juru rias diputihkan sehingga
menjadi rambut uban palsu. Wajahnya pun diberi bedak warna hitam, alis dan
kumisnya yang tipis-pun diputihkan.Di kepalanya, bertengger ikat kepala hitam,
sehingga lengkaplah Kamandaka tampil sebagai Uwak Lengser.
Tepat saat matahari pagi pelan-pelan mulai
mendaki cakrawala langit timur, Sang
Dewi yang sudah dirias menjadi calon mempelai pengantin putri dibawa dengan
tandu ditemani Lutung Kasarung. Tandu
dibuat dari ukiran kayu mengkilap, ditutup kelambu sutera kuning
cemerlang, dan diusung empat orang prajurit bertubuh kekar. Mereka berjalan
menuju simpang empat beberapa pal di
depannya. Uwak Lengser yang diperankan Kamandaka berjalan dengan gagah di
samping kanan tandu. Di belakang tandu berjalan pelan-pelan 40 orang prajurit yang
menyamar sebagai pengiring mempelai wanita, dipimpin Silihwarna.
Rombongan pengiring tandu tiba di simpang
empat berbarengan dengan rombongan prajurit dari sektor timur dan sektor barat
yang juga disamarkan. Jumlah rombongan masing-masing juga 40 prajurit dipimpin
komandannya masing-masing. Arya Baribin dari sektor timur dan Wirapati dari
sektor barat. Pasukan pendukung masing-masing sektor berada pada jarak
kira-kira lima pal dibelakang rombongan
prajurit yang menyamar sebagai pengiring calon mempelai putri. Dengan demikian
jika pengiring calon pengantin putra dari Nusakambangan tiba, mereka hanya
melihat sejumlah pengiring yang tidak terlalu banyak, yaitu sekitar 40 orang
saja pada masing-masing jalur.
Ketika tiba di tempat, tandu calon pengantin
putri pun diturunkan tepat di tengah
mulut jalan simpang empat menghadap ke selatan.
Mereka menunggu dengan sabar rombongan pengiring calon mempelai pria
yang akan datang dari selatan. Memang tak lama kemudian, Kamandaka dan
Silihwarna yang berdiri di ujung jalan dari utara itu, mulai melihat dari jauh di jalur selatan, rombongan calon
mempelai pria yang sedang-berjalan pelan menuju simpang empat. Rombongan itu semakin
lama semakin dekat dan semakin jelas.
Setelah agak dekat, Silihwarna memerintahkan
agar terompet yang dibawa masing-masing sektor dibunyikan sebagai tanda penghormatan kedatangan calon mempelai pria. Terompet segera ditiup diawali
dari barisan pengiring di belakang Silihwarna, disambung tiupan terompet di
belakang Wirapati, dan terakhir terompet di belakang Arya Baribin. Maka
terdengarlah suara tiga terompet memecahkan keheningan pagi yang semula lengang
menjadi riuh rendah. Terdengar-suara terompet yang-saling susul menyusul, membumbung
ke udara, dipantulkan dari pohon ke pohon sehingga gemanya terdengar menjalar
sampai tempat yang jauh.Kupu-kupu, kumbang, dan lebah yang sedang sibuk mencari
madu di pohon-pohon pinggir jalan, langsung pergi berlarian menyelamatkan diri
entah bersembunyi ke-mana. Demikian pula burung-burung berkicau yang sedang
berloncat-loncatan dari dahan ke dahan, langsung menghentikan kicauannya.
Raja Pulebahas duduk di dalam tandu dengan
kelambu biru langit-yang digulung supaya terbuka. Sang-Raja tampak gagah dalam
pakaian kebesaran calon mempelai pria. Baju beskapnya dari kain sutra biru-laut,
kain bawahnya batik coklat-saga, di pinggangnya melilit sabuk berperada sulaman
benang emas, penutup kepalanya blangkon motif batik kombinasi hitam dan kuning, dan alas kakinya dari kulit
lembut warna hitam. Badannya yang kekar, menyebabkan penampilan Raja Pulebahas
tidak kalah dengan penampilan raja agung kerajaan mana-pun di Pulau Jawa.
Mendengar suara terompet penyambutan, Raja
Pulebahas merasa gembira dan bangga. Senyumnya selalu mengembang menghiasi bibirnya.
Dalam benaknya dia mencoba membayangkan wajah cantik Dyah Ayu Dewi Ciptarasa
yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi alih-alih bisa membayangkan
kecantikan wajah Sang Dewi, setiap saat dirinya mereka-reka membayangkan wajah
Sang Dewi, yang selalu muncul berulangkali adalah bayangan Permaisuri-Niken
Gambirarum.
Makin sering Raja Pulebahas mencoba
membayangkan Putri Kadipaten Pasirluhur, makin sering muncul bayangan Niken
Gambirarum. Dia sendiri sering heran, karena semakin dekat dengan hari panggih,
yakni pertemuan calon mempelai putri dengan calon mempelai pria, semakin pula dia sering mimpi didatangi Niken
Gambirarum. Bahkan sejak lima hari lalu, hampir tiap malam dia mimpi hal yang
sama. Bahkan kemarin malam dia malah
mimpi sangat menakutkan. Dia didatangi seekor kera hitam yang mengejarnya dan
akan menggigitnya. Untunglah datang pertolongan dari Niken Gambirarum yang datang
untuk menyelamatkannya.
“Hem, apakah arti mimpi itu?” tanya Raja
Pulebahas berulang kali di dalam benaknya. Dia sendiri takut dengan kera,
makhluk yang sering dimitoskannya sebagai jelmaan dewa.
“Adakah dewa tidak mengampuni dosa-dosaku? “
tanya Sang Raja pula. ”Ataukah Dinda Niken Gambirarum tidak rela aku
memperistri gadis Pasirluhur itu?”
“Tidak mungkin aku membatalkan lamaranku.
Tidak mungkin, Dinda Ratu Ayu Niken Gambirarum! Percayalah kepadaku, wahai
Permaisuriku. Aku tetap mencintaimu. Dan gadis Pasirluhur itu? Aku sangat
berharap Dinda Ratu Ayu Niken Gambirarum segera berinkarnasi ke dalam diri
gadis Pasirluhur itu. Dengan demikian, kita akan tetap bersama-sama. Aku
memandang, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa yang
sebentar lagi akan jadi permaisuriku itu, tidak lain adalah engkau, Niken
Gambirarum. Menyatulah jiwamu dengan jiwa Putri Kadipaten Pasirluhur itu. Maka
kita akan hidup bahagia, abadi bersama selamanya,” kata Sang Raja.Dia-terus-menerus-sibuk
dengan percakapan dalam benaknya. Percakapan yang dimunculkannya sendiri untuk
membunuh kecemasan dalam dirinya.
Akhirnya pertanyaan yang membuatnya cemas,
galau, dan bingung itu, tak pernah terpecahkan.
Tetapi-semua-kecemasan,kegalauan,kebingunangn-itu pun-lenyap seketika,dan
berubah menjadi kegembiraan saat Sang-Raja mendengar terompet yang menyambut
kehadirannya. Raja Pulebahas banggga dan senang mendengar tiupan terompet,
karena dia merasa telah disambut dengan upacara kebesaran. Bunyi terompet
serentak berhenti, ketika tandu mempelai pengantin pria diturunkan di tengah
jalan kira-kira dua puluh depa tepat berhadap-hadapan dengan tandu calon mempelai putri yang menghadap ke selatan.
Sekar Menur yang berdiri mengawal tandu
mempelai pria, menghentikan 40 gadis kembar pengiring yang berbaris di belakang
tandu. Di belakang barisan gadis kembar Pondok Tamanbidadari, tampak
Sekarmelati dan Sekarcempaka. Keduanya
membantu Sekarmenur mengawal 40 gadis kembar. Jauh di belakang barisan
gadis kembar, berhenti juga prajurit Nusakambangan dalam formasi gajah yang
disamarkan sebagai pengiring calon mempelai pria dan 40 gadis kembar. Pasukan
formasi gajah berhenti agak jauh di belakang tandu Sang Raja, sehingga tidak
bisa melihat langsung setiap prosesi yang terjadi di depan dua tandu mempelai
yang saling berhadap-hadapan.
Ketika melihat Wirapati, Sekarmenur segera
memberi tanda. Wirapati yang berdiri di ujung jalur jalan dari barat itu cepat
tanggap. Lima orang prajurit mendatangi tandu calon mempelai pria. Empat
prajurit Wirapati menggantikan empat prajurit pengusung tandu mempelai pria. Atas
perintah Sekarmenur, empat prajurit pengusung tandu Raja Pulebahas,
diperintahkan meninggalkan tempat mengikuti satu orang prajurit Wirapati yang
tadi mendatanginya. Dia lalu membawa keempat prajurit Nusakambangan itu masuk
bergabung ke dalam barisan di belakang Wirapati. Di sana ke empat prajurit
Nusakambangan itu langsung diikat tangannya dan disekap mulutnya agar tidak
berbuat macam-macam.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar