Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 02 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(60)



Mendengar penjelasan Sang Dewi, Kamandaka bukan hanya setuju. Tetapi juga semakin kagum pada gadis cantik, cerdas, dan berpengetahuan luas-itu. “Ya, betul sekali apa yang Dinda Dewi katakan. Itulah kesalahpahaman di masyarakat yang seharusnya bisa diluruskan. Pernahkah Dinda Dewi baca Bhagawat Gita?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi yang sesekali masih memandangi burung-burung hitam di langit. Burung-burung pemakan bangkai itu tampak terus berputar-putar membentuk banyak lingkaran yang makin lama bukan hanya makin banyak, tetapi juga makin rumit formasinya.
”Bhagawat Gita, aku senang membacanya sekalipun agak berat. Beberapa kali aku harus mengernyitkan kening. Pernah aku  bertanya pada Kanjeng Rama, tapi Kanjeng Rama-pun sering tidak tahu,” kata Sang Dewi menuturkan pengalamannya membaca Bhagawat-Gita.
“Pasti Dinda Dewi juga sudah tahu, dalam Gita disebutkan bahwa orang secerdas Arjuna pun pernah meragukan peranan para ksatria untuk menegakkan tertib damai dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakatnya. Di medan kurusetra, Sang Arjuna sempat mengeluh pada Sri Kresna dan menolak untuk melaksankan darma seorang ksatria. Ksatria Pandawa itu menolak  berperang melawan musuh-musuhnya, hanya karena musuh yang dihadapinya adalah para guru, kakek, keponakan, dan para saudara lainnya. Arjuna sempat berpendapat, perang besar para ksatria  keturunan Bharata itu hanyalah perang memperebutkan tahta, yakni tahta kerajaan Hastinapura. Menurut Arjuna, perang yang-demikian itu hanyalah-perang-yang didorong oleh nafsu-kebendaan, sifat tamak, dan selera rendah lainnya.Untunglah-ada Sri Kresna mengajarkan kewajiban mulia para ksatria sejati,”kata-Kamandaka.
“Di dunia ini selalu saja ada dua kekuatan yang saling bertentangan,”kata-Kamandaka-melanjutkan.”Yaitu kekuatan yang mewakili kejahatan dan kekuatan yang mewakili kebenaran. Para ksatria sejati mewakili-kekuatan-yang-menegakkan nilai kebenaran, keadilan, dan  kemanusiaan. Sedang para ksatria palsu kekuatan-yang-menegakkan nilai-nilai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan sering-pula segala cara dilakukan demi mencapai  tujuan. Ajaran Sri Kresna kepada Arjuna tentang darma ksatria sejati itulah kemudian menjadi doktrin abadi para ksatria yang dikenal sebagai Bhagawat Gita.”
“Setelah mendapat wejangan Bhagawat Gita dari Sri Kresna, Arjuna menjadi manusia yang tercerahkan. Dia bangkit kembali semangatnya sebagai ksatria sejati, ksatria yang gagah berani  melaksankan darma ksatria-sejati,yakni menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusian dengan cara menguasai ilmu perang,” kata Kamandaka sambil memandang Sang Dewi yang duduk di sampingnya. 
Sang Dewi merenungkan apa yang dikatakan Kamandaka dan membenarkannya. Kemudian  Sang Dewi memandang langit di-atasnya,dan dilihatnya  burung-burung hitam itu masih terus berputar-putar.
Diam diam Sang Dewi berdoa dalam hati, agar korban dari prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur  sekecil mungkin. Kamandaka-dan-panglima-perang-lainnya selamat-dan-berhasil menjalankan  perannya masing-masing. Sang-Dewi-berharap Raja Pulebahas tewas-secepatnya-sehingga Kerajaan Nusakambangan-cepat-pula-menyerah. Tetapi ketika Sang Dewi kembali menatap ke-atas,tampak-burung pemakan bangkai itu bagaikan hantu-hantu berjubah hitam dengan wajah mengerikan sedang berputar-putar sambil-menari. Kemudian dalam benak Sang Dewi tampak-pula-suatu padang peperangan entah dimana.Dan darah merah telah-menggenangi padang peperangan-itu. Puluhan mayat prajurit yang kalah dan-tewas, bergelimpangan tak beraturan. Gerombolan burung pemakan bangkai itu sedang berpesta pora meloncat dari satu mayat ke mayat yang lain. Bagi Sang Dewi gerombolan burung pemakan-bangkai itu bagaikan makhluk pencabut nyawa yang sudah tidak sabar hendak menjemput nyawa para-prajurit yang tewas untuk dibawa entah kemana.   
Tiba-tiba tampak-dalam-pandangan-mata-batin-Sang-Dewi,ada dua orang ksatria yang sama-sama-jatuh tertelungkup dalam genangan darah itu, tapi-masing-masing-masih-sempat-bergerak-gerak. Ya, keduanya bergerak-gerak bersama-sama karena baru sadar dari pingsannya setelah saling baku-hantam. Dengan susah payah mereka mencoba-bangkit lagi. Banyak luka menganga pada dada, perut, dan wajah kedua ksatria itu.
Akhirnya dengan susah-payah, kedua-ksatria-itu-mampu-berdirilagi. Kini-kedua ksatria itu berdiri berhadap-hadapan kembali,dan masing-masing beradu cepat meraih pedangnya masing-masing. Ksatria yang berdiri lebih dulu itu lebih cepat mengangkat pedangnya. Dan dengan menggunakan sisa-sisa tenaganya, pedang-yang-berhasil-diraihnya-dihantamkannya  ke leher lawanya yang langsung roboh kembali ke atas genangan darah. Ksatria yang berhasil menghantamkan pedangnya-pun ikut jatuh ke atas genangan darah. Tetapi dia hanya pingsan, tidak-tewas.Dan-pemandangan-dalam-mata-batin-Sang-Dewi-pun-lenyap.Sejenak-Sang-Dewi-seperti-keheranan-dengan-peristiwa-yang-baru-saja-terjadi-dalam-benaknya.Tiba-tiba-Sang-Dewi-menjerit seketika, dan langsung-memeluk Kamandaka. Si Lutung yang ada di pangkuan Kamandaka cepat-cepat meloncat.Si-Lutung memberi kesempatan  Sang Dewi menangis ketakutan dalam pelukan Kamandaka.
“Dinda  Dewi, tenanglah. Apa yang Dinda Dewi bayangkan bukan  kenyataan,” kata-Kamandaka dengan suara lembut. Sang Dewi masih berlindung dalam dekapan Kamandaka. Beberapa kali tangan Kamandaka membelai punggung Sang Dewi untuk mengusir rasa cemas yang tengah menghinggapi Sang Kekasih.
“Dinda Dewi hanya belum terbiasa berada di tengah-tengah medan pertempuran. Dinda  Dewi hanya sedang kehilangan energi positip saja. Tetapi jika Dinda  Dewi sudah pernah sekali saja hadir di medan pertempuran, aku yakin Dinda  Dewi akan memiliki keberanian seperti prajurit wanita Pandawa yang gagah berani. Dinda  Dewi tentu tahu siapakah dia, bukan? Dialah   Srikandi dan  Larasati,”kata-Kamandaka.
“Bukan itu masalahnya, Kanda. Aku tidak gentar berada di tengah medan perang. Bukankah ada Kanda? Tetapi lihatlah kembali burung hitam yang berputar-putar di angkasa itu. Tidakkah Kanda melihat keanehan burung-burung hitam itu? Keanehan dalam gerakan maupun jumlahnya yang terus bertambah. Bagaimana kalau burung-burung itu penjelmaan mahluk gaib  dunia hitam yang dikirimkan Raja Pulebahas? Bukankah menurut Dinda Wirapati, Raja Pulebahas menguasai ilmu hitam?” kata Sang Dewi masih suara cemas.
“Tenanglah, Dinda Dewi. Bisa jadi Dinda Dewi benar. Raja Pulebahas mengirimkan energi negatip untuk melemahkan prajurit kita. Sekarang duduklah dengan tenang. Aku akan mencoba mengusir energi negatip itu,” kata Kamandaka sambil melepaskan Sang Dewi dari pelukannya, kemudina-diciumnya pipi Sang Dewi yang sempat basah oleh air mata.
Kamandaka segera berdiri tegak dalam posisi kuda-kuda. Kedua kaki sejajar, kedua tangannya ditarik ke depan dadanya, kedua tapak tangan menghadap ke atas. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dibacanya sebuah mantra. Ditatapnya burung-burung hitam yang masih berputar-putar di langit di atas pohon-pohon raksasa-yang-tinggi menjulang. Kamandaka melepaskan napasnya sambil membuat-putaran-kedua-telapak-tangan-seakan-akan-sedang-mendorong-sebuah-beban-ke-atas.Dengan-gerakan-demikian,Kamandakan-membumbungkan energi positipnya ke arah burung-burung hitam yang sedang berputar-putar. Tidak sampai sepuluh kali gerakan-Kamandaka-melepaskan energi positipnya.Maka-satu persatu burung hitam itu meninggalkan formasi tarian ritual yang segera menjadi kacau balau. Setiap satu ekor-burung gagak pergi, akan segera disusul oleh-burung-hitam lainnya. Akhirnya langit yang hampir senja itu tampak bersih, terbebas dari noda-noda hitam-burung-pemakan-bangkai.
“Dinda Dewi, lihatlah burung-burung itu telah pulang kembali ke tempat mereka,” kata Kamandaka yang disambut dengan senyuman Sang Dewi. Sang Dewi menyaksikan arah hantu-hantu pencabut nyawa itu pergi.
Tiba-tiba datang muncul bersamaan di depan tenda Sang Dewi para komandan perang,  Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin. Mereka sudah bertemu pagi tadi. Sore itu mereka hanya ingin saling memberikan dukungan semangat agar esok hari sukses memenangkan peperangan.
 “Ayunda Dewi, besok sudah siap dengan si Lutung Kasarung?” tanya Wirapati dengan wajah  berseri-seri, karena apa yang dicita-citakan sejak lama, yakni perang menaklukan Kerajaan Nusakambangan. akhirnya akan-menjadi kenyataan.

“Sudah dilatih Kanda Kamandaka beberapa kali. Si Lutung pasti siap. Lutung Kasarung! Ayo bersalaman dan beri hormat pada adik-adik Dewi!” Sang Dewi memerintahkan Lutung Kasarung yang sedang duduk di atas dingklik kayu.  Lutung Kasarung langsung meloncat memberi hormat dan mengajak salaman ketiga komandan sektor itu. Pita kuning yang melilit lehernya, telah berganti dengan pita merah, sehingga Lutung Kasarung tampak gagah. Wirapati pun puas menyaksikan ketrampilan Lutung Kasarung.

“Kanda Kamandaka juga-sudah siap memerankan Uwak Lengser yang akan mengawal calon mempelai putri?” tanya Wirapati pula, “ Jangan lupa pusaka Kujang Kancana Shakti.”

“Siap, Panglima!” jawab Kamandaka berkelakar. Wirapati menduduki wakil panglima merangkap komandan sektor barat.

“Dimas Arya Baribin, tak ada masalah dengan sukarelawan  pasukan penyadap?” tanya Wirapati pula. Kini ganti kepada Arya Baribin.
“Sampai sekarang tak ada masalah, Kanda Wirapati. Para sukarelawan penyadap nira bahkan sangat bersemangat. Mereka memperoleh pengalaman dan keterampilan baru. Paling tidak mereka sudah memiliki ilmu beladiri yang berguna untuk menjaga keselamatan diri-sendiri dan keluarganya,” jawab  Arya Baribin-yang tampak gagah dengan pusaka Kujang Kancana Shakti  terselip di pinggang.
“Dinda Silihwarna?  Tak ada masalah dengan akomodasi ?” tanya Wirapati kepada Silihwarna, komandan sektor utara.
“Tak ada masalah yang pelik, Kanda. Akomodasi, perbekalan, dan persenjataan cukup,” jawab Silihwarna kepada calon kakak iparnya itu.
“Sekarang tinggal memantapkan strategi esok hari. Kanda Kamandaka konsentrasi untuk menundukkan Raja Pulebahas secepatnya. Dinda Silihwarna konsentrasi untuk melumpuhkan Tumenggung Surajaladri yang akan berada di sisi kiri formasi Diratameta. Dimas Arya Baribin konsentrasi melumpuhkan Rangga Singalaut yang ada di sisi kanan formasi. Patih Puletembini yang menduduki posisi kepala dan mengendalikan pasukan belalai, menjadi tanggung jawab Wakil Panglima untuk melumpuhkannya,” kata Wirapati sambil melaporkan kesiapan prajurit gabungan Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur kepada Kamandaka selaku Panglima Perang Tertinggi.Sang Dewi dan Kamandaka wajahnnya-berseri-seri karena segalanya sepertinya sudah siap.
Namun Sang Dewi masih perlu meyakinkan para komandan, bahwa formasi perang harus dilaksanakan dengan benar. “Sebelum para komandan kembali ke pangkalan masing-masing, harap Dinda Wirapati menjelaskan apa sebabnya Raden Abimanyu dalam perang Bharatayudha melawan pasukan Kurawa bisa dikalahkan. Padahal Raden Abimanyu menggelar formasi Sumpitudang yang seharusnya ampuh untuk memenangkan perang. Keterangan ini penting, agar para komandan bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan Abimanyu sebagaimana dilukiskan dalam karya agung kitab Mahabharata,” kata Sang Dewi yang telah pulih kembali dari kecemasannya.
“Baiklah Ayunda  Dewi. Sebenarnya aku yakin Ayunda Dewi sudah tahu kesalahan apa yang dilakukan Abimanyu dalam perang Bharatayudha yang berakibat fatal. Kesalahan fatal itu telah mengakibatkan tewasnya putra kesayangan Arjuna itu. Karena itu kalau ada kesalahan atau kekeliruan dari tafsiran ini, mohon Ayunda Dewi membetulkannya,” kata Wirapati.“Kita sebagai ksatria yang akrab dengan ilmu perang, memang bisa mengambil pelajaran dari perang besar Bharatayudha yang telah menjadi kisah perang legendaris. Pada saat  Perang-Bharatayudha yang terjadi pada hari ke-13 itu, sebenarnya kekuatan Pandawa berada dalam posisi sulit.”
“Harus diakui, Kurawa pada hari itu berhasil memecah belah kekuatan Pandawa. Bima bisa dipancing Sengkuni dan Wresaya untuk melayani perang ke arah utara. Bima yang gampang marah, meladeni tantangan Wresaya dengan berperang di tepi laut. Sementara itu Prabu Gardapati yang naik gajah juga berhasil mengajak Arjuna bertempur ke-arah selatan. Dengan demikian Kurawa berhasil memisahkan Bima dan Arjuna meninggalkan induk pasukan. Pada hari ke-13 itu induk pasukan Pandawa nyaris tanpa Bima dan Arjuna yang sebelumnya jadi tulang punggung pasukan induk. (bersambung)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar