Mendengar penjelasan Sang Dewi, Kamandaka
bukan hanya setuju. Tetapi juga semakin kagum pada gadis cantik, cerdas, dan berpengetahuan
luas-itu. “Ya, betul sekali apa yang Dinda Dewi katakan. Itulah kesalahpahaman
di masyarakat yang seharusnya bisa diluruskan. Pernahkah Dinda Dewi baca
Bhagawat Gita?” tanya Kamandaka kepada Sang Dewi yang sesekali masih memandangi
burung-burung hitam di langit. Burung-burung pemakan bangkai itu tampak terus
berputar-putar membentuk banyak lingkaran yang makin lama bukan hanya makin
banyak, tetapi juga makin rumit formasinya.
”Bhagawat Gita, aku senang membacanya
sekalipun agak berat. Beberapa kali aku harus mengernyitkan kening. Pernah
aku bertanya pada Kanjeng Rama, tapi
Kanjeng Rama-pun sering tidak tahu,” kata Sang Dewi menuturkan pengalamannya
membaca Bhagawat-Gita.
“Pasti Dinda Dewi juga sudah tahu, dalam Gita
disebutkan bahwa orang secerdas Arjuna pun pernah meragukan peranan para
ksatria untuk menegakkan tertib damai dalam kehidupan bersama di tengah-tengah
masyarakatnya. Di medan kurusetra, Sang Arjuna sempat mengeluh pada Sri Kresna
dan menolak untuk melaksankan darma seorang ksatria. Ksatria Pandawa itu
menolak berperang melawan
musuh-musuhnya, hanya karena musuh yang dihadapinya adalah para guru, kakek,
keponakan, dan para saudara lainnya. Arjuna sempat berpendapat, perang besar
para ksatria keturunan Bharata itu
hanyalah perang memperebutkan tahta, yakni tahta kerajaan Hastinapura. Menurut
Arjuna, perang yang-demikian itu hanyalah-perang-yang didorong oleh nafsu-kebendaan,
sifat tamak, dan selera rendah lainnya.Untunglah-ada Sri Kresna mengajarkan
kewajiban mulia para ksatria sejati,”kata-Kamandaka.
“Di dunia ini selalu saja ada dua kekuatan
yang saling bertentangan,”kata-Kamandaka-melanjutkan.”Yaitu kekuatan yang
mewakili kejahatan dan kekuatan yang mewakili kebenaran. Para ksatria sejati mewakili-kekuatan-yang-menegakkan
nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Sedang para ksatria palsu kekuatan-yang-menegakkan
nilai-nilai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan sering-pula segala cara
dilakukan demi mencapai tujuan. Ajaran
Sri Kresna kepada Arjuna tentang darma ksatria sejati itulah kemudian menjadi
doktrin abadi para ksatria yang dikenal sebagai Bhagawat Gita.”
“Setelah mendapat wejangan Bhagawat Gita dari
Sri Kresna, Arjuna menjadi manusia yang tercerahkan. Dia bangkit kembali
semangatnya sebagai ksatria sejati, ksatria yang gagah berani melaksankan darma ksatria-sejati,yakni
menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusian dengan cara menguasai ilmu
perang,” kata Kamandaka sambil memandang Sang Dewi yang duduk di sampingnya.
Sang Dewi merenungkan apa yang dikatakan
Kamandaka dan membenarkannya. Kemudian Sang Dewi memandang langit di-atasnya,dan dilihatnya burung-burung hitam itu masih terus
berputar-putar.
Diam diam Sang Dewi berdoa dalam hati, agar
korban dari prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur sekecil mungkin. Kamandaka-dan-panglima-perang-lainnya
selamat-dan-berhasil menjalankan
perannya masing-masing. Sang-Dewi-berharap Raja Pulebahas tewas-secepatnya-sehingga
Kerajaan Nusakambangan-cepat-pula-menyerah. Tetapi ketika Sang Dewi kembali
menatap ke-atas,tampak-burung pemakan bangkai itu bagaikan hantu-hantu berjubah
hitam dengan wajah mengerikan sedang berputar-putar sambil-menari. Kemudian
dalam benak Sang Dewi tampak-pula-suatu padang peperangan entah dimana.Dan
darah merah telah-menggenangi padang peperangan-itu. Puluhan mayat prajurit
yang kalah dan-tewas, bergelimpangan tak beraturan. Gerombolan burung pemakan bangkai
itu sedang berpesta pora meloncat dari satu mayat ke mayat yang lain. Bagi Sang
Dewi gerombolan burung pemakan-bangkai itu bagaikan makhluk pencabut nyawa yang
sudah tidak sabar hendak menjemput nyawa para-prajurit yang tewas untuk dibawa
entah kemana.
Tiba-tiba tampak-dalam-pandangan-mata-batin-Sang-Dewi,ada
dua orang ksatria yang sama-sama-jatuh tertelungkup dalam genangan darah itu, tapi-masing-masing-masih-sempat-bergerak-gerak.
Ya, keduanya bergerak-gerak bersama-sama karena baru sadar dari pingsannya
setelah saling baku-hantam. Dengan susah payah mereka mencoba-bangkit lagi.
Banyak luka menganga pada dada, perut, dan wajah kedua ksatria itu.
Akhirnya dengan susah-payah, kedua-ksatria-itu-mampu-berdirilagi.
Kini-kedua ksatria itu berdiri berhadap-hadapan kembali,dan masing-masing
beradu cepat meraih pedangnya masing-masing. Ksatria yang berdiri lebih dulu
itu lebih cepat mengangkat pedangnya. Dan dengan menggunakan sisa-sisa
tenaganya, pedang-yang-berhasil-diraihnya-dihantamkannya ke leher lawanya yang langsung roboh kembali
ke atas genangan darah. Ksatria yang berhasil menghantamkan pedangnya-pun ikut
jatuh ke atas genangan darah. Tetapi dia hanya pingsan, tidak-tewas.Dan-pemandangan-dalam-mata-batin-Sang-Dewi-pun-lenyap.Sejenak-Sang-Dewi-seperti-keheranan-dengan-peristiwa-yang-baru-saja-terjadi-dalam-benaknya.Tiba-tiba-Sang-Dewi-menjerit
seketika, dan langsung-memeluk Kamandaka. Si Lutung yang ada di pangkuan
Kamandaka cepat-cepat meloncat.Si-Lutung memberi kesempatan Sang Dewi menangis ketakutan dalam pelukan
Kamandaka.
“Dinda
Dewi, tenanglah. Apa yang Dinda Dewi bayangkan bukan kenyataan,” kata-Kamandaka dengan suara lembut.
Sang Dewi masih berlindung dalam dekapan Kamandaka. Beberapa kali tangan
Kamandaka membelai punggung Sang Dewi untuk mengusir rasa cemas yang tengah
menghinggapi Sang Kekasih.
“Dinda Dewi hanya belum terbiasa berada di
tengah-tengah medan pertempuran. Dinda
Dewi hanya sedang kehilangan energi positip saja. Tetapi jika Dinda Dewi sudah pernah sekali saja hadir di medan
pertempuran, aku yakin Dinda Dewi akan
memiliki keberanian seperti prajurit wanita Pandawa yang gagah berani.
Dinda Dewi tentu tahu siapakah dia,
bukan? Dialah Srikandi dan
Larasati,”kata-Kamandaka.
“Bukan itu masalahnya, Kanda. Aku tidak gentar
berada di tengah medan perang. Bukankah ada Kanda? Tetapi lihatlah kembali
burung hitam yang berputar-putar di angkasa itu. Tidakkah Kanda melihat
keanehan burung-burung hitam itu? Keanehan dalam gerakan maupun jumlahnya yang
terus bertambah. Bagaimana kalau burung-burung itu penjelmaan mahluk gaib dunia hitam yang dikirimkan Raja Pulebahas?
Bukankah menurut Dinda Wirapati, Raja Pulebahas menguasai ilmu hitam?” kata
Sang Dewi masih suara cemas.
“Tenanglah, Dinda Dewi. Bisa jadi Dinda Dewi
benar. Raja Pulebahas mengirimkan energi negatip untuk melemahkan prajurit
kita. Sekarang duduklah dengan tenang. Aku akan mencoba mengusir energi negatip
itu,” kata Kamandaka sambil melepaskan Sang Dewi dari pelukannya, kemudina-diciumnya
pipi Sang Dewi yang sempat basah oleh air mata.
Kamandaka segera berdiri tegak dalam posisi
kuda-kuda. Kedua kaki sejajar, kedua tangannya ditarik ke depan dadanya, kedua
tapak tangan menghadap ke atas. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam, lalu
dibacanya sebuah mantra. Ditatapnya burung-burung hitam yang masih
berputar-putar di langit di atas pohon-pohon raksasa-yang-tinggi menjulang.
Kamandaka melepaskan napasnya sambil membuat-putaran-kedua-telapak-tangan-seakan-akan-sedang-mendorong-sebuah-beban-ke-atas.Dengan-gerakan-demikian,Kamandakan-membumbungkan
energi positipnya ke arah burung-burung hitam yang sedang berputar-putar. Tidak
sampai sepuluh kali gerakan-Kamandaka-melepaskan energi positipnya.Maka-satu persatu burung hitam itu meninggalkan formasi tarian ritual yang segera menjadi
kacau balau. Setiap satu ekor-burung gagak pergi, akan segera disusul oleh-burung-hitam
lainnya. Akhirnya langit yang hampir senja itu tampak bersih, terbebas dari
noda-noda hitam-burung-pemakan-bangkai.
“Dinda Dewi, lihatlah burung-burung itu telah
pulang kembali ke tempat mereka,” kata Kamandaka yang disambut dengan senyuman
Sang Dewi. Sang Dewi menyaksikan arah hantu-hantu pencabut nyawa itu pergi.
Tiba-tiba datang muncul bersamaan di depan
tenda Sang Dewi para komandan perang, Silihwarna, Wirapati, dan Arya
Baribin. Mereka sudah bertemu pagi tadi. Sore itu mereka hanya ingin saling
memberikan dukungan semangat agar esok hari sukses memenangkan peperangan.
“Ayunda Dewi, besok sudah siap dengan si
Lutung Kasarung?” tanya Wirapati dengan wajah berseri-seri, karena apa yang dicita-citakan
sejak lama, yakni perang menaklukan Kerajaan Nusakambangan. akhirnya
akan-menjadi kenyataan.
“Sudah dilatih Kanda Kamandaka beberapa kali.
Si Lutung pasti siap. Lutung Kasarung! Ayo bersalaman dan beri hormat pada
adik-adik Dewi!” Sang Dewi memerintahkan Lutung Kasarung yang sedang duduk di
atas dingklik kayu. Lutung Kasarung
langsung meloncat memberi hormat dan mengajak salaman ketiga komandan sektor
itu. Pita kuning yang melilit lehernya, telah berganti dengan pita merah,
sehingga Lutung Kasarung tampak gagah. Wirapati pun puas menyaksikan
ketrampilan Lutung Kasarung.
“Kanda Kamandaka juga-sudah siap memerankan
Uwak Lengser yang akan mengawal calon mempelai putri?” tanya Wirapati pula, “
Jangan lupa pusaka Kujang Kancana Shakti.”
“Siap, Panglima!” jawab Kamandaka berkelakar.
Wirapati menduduki wakil panglima merangkap komandan sektor barat.
“Dimas Arya Baribin, tak ada masalah dengan
sukarelawan pasukan penyadap?” tanya
Wirapati pula. Kini ganti kepada Arya Baribin.
“Sampai sekarang tak ada masalah, Kanda
Wirapati. Para sukarelawan penyadap nira bahkan sangat bersemangat. Mereka
memperoleh pengalaman dan keterampilan baru. Paling tidak mereka sudah memiliki
ilmu beladiri yang berguna untuk menjaga keselamatan diri-sendiri dan
keluarganya,” jawab Arya Baribin-yang
tampak gagah dengan pusaka Kujang Kancana Shakti terselip di pinggang.
“Dinda Silihwarna? Tak ada masalah dengan akomodasi ?” tanya Wirapati
kepada Silihwarna, komandan sektor utara.
“Tak ada masalah yang pelik, Kanda. Akomodasi,
perbekalan, dan persenjataan cukup,” jawab Silihwarna kepada calon kakak
iparnya itu.
“Sekarang tinggal memantapkan strategi esok
hari. Kanda Kamandaka konsentrasi untuk menundukkan Raja Pulebahas secepatnya.
Dinda Silihwarna konsentrasi untuk melumpuhkan Tumenggung Surajaladri yang akan
berada di sisi kiri formasi Diratameta. Dimas Arya Baribin konsentrasi
melumpuhkan Rangga Singalaut yang ada di sisi kanan formasi. Patih Puletembini
yang menduduki posisi kepala dan mengendalikan pasukan belalai, menjadi
tanggung jawab Wakil Panglima untuk melumpuhkannya,” kata Wirapati sambil melaporkan
kesiapan prajurit gabungan Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur kepada Kamandaka
selaku Panglima Perang Tertinggi.Sang Dewi dan Kamandaka wajahnnya-berseri-seri
karena segalanya sepertinya sudah siap.
Namun Sang Dewi masih perlu meyakinkan para
komandan, bahwa formasi perang harus dilaksanakan dengan benar. “Sebelum para
komandan kembali ke pangkalan masing-masing, harap Dinda Wirapati menjelaskan
apa sebabnya Raden Abimanyu dalam perang Bharatayudha melawan pasukan Kurawa
bisa dikalahkan. Padahal Raden Abimanyu menggelar formasi Sumpitudang yang
seharusnya ampuh untuk memenangkan perang. Keterangan ini penting, agar para
komandan bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan Abimanyu sebagaimana
dilukiskan dalam karya agung kitab Mahabharata,” kata Sang Dewi yang telah
pulih kembali dari kecemasannya.
“Baiklah Ayunda Dewi. Sebenarnya aku yakin Ayunda Dewi sudah
tahu kesalahan apa yang dilakukan Abimanyu dalam perang Bharatayudha yang
berakibat fatal. Kesalahan fatal itu telah mengakibatkan tewasnya putra
kesayangan Arjuna itu. Karena itu kalau ada kesalahan atau kekeliruan dari
tafsiran ini, mohon Ayunda Dewi membetulkannya,” kata Wirapati.“Kita sebagai
ksatria yang akrab dengan ilmu perang, memang bisa mengambil pelajaran dari
perang besar Bharatayudha yang telah menjadi kisah perang legendaris. Pada
saat Perang-Bharatayudha yang terjadi pada hari
ke-13 itu, sebenarnya kekuatan Pandawa berada dalam posisi sulit.”
“Harus diakui, Kurawa pada hari itu berhasil
memecah belah kekuatan Pandawa. Bima bisa dipancing Sengkuni dan Wresaya untuk
melayani perang ke arah utara. Bima yang gampang marah, meladeni tantangan
Wresaya dengan berperang di tepi laut. Sementara itu Prabu Gardapati yang naik
gajah juga berhasil mengajak Arjuna bertempur ke-arah selatan. Dengan demikian
Kurawa berhasil memisahkan Bima dan Arjuna meninggalkan induk pasukan. Pada hari
ke-13 itu induk pasukan Pandawa nyaris tanpa Bima dan Arjuna yang sebelumnya
jadi tulang punggung pasukan induk. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar