Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 06 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(62)




Matahari pagi sudah naik sepenggalah di atas kaki langit, ketika Uwak Lengser berjalan dengan menunduk mendekati tandu Raja Pulebahas. Di depan Sang Raja, Uwak Lengser memberi hormat, kemudian sambil membungkuk ke depan dengan tangan kirinya ditaruh di belakang pinggangnya dan menggunakan ujung ibu jari tangan kanan, Uwak Lengser mempersilahkan calon mempelai pria bangkit dari tempat duduknya supaya menjemput calon mempelai putri. Tanpa ragu-ragu bahkan dengan perasaan bangga Raja Pulebahas bangkit dari tempat duduknya setelah menerima penghormatan Uwak Lengser. Dengan dada tegak, Raja Pulebahas melangkah dengan gagah mendekati tandu mempelai putri diiringi Uwak Lengser yang berjalan di belakangnya.
Sebenarnya kalau mau, saat itu juga-Kamandaka bisa mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggangnya dan menusukkannya ke lambung Raja Pulebahas dari belakang. Tetapi sebagai seorang ksatria Kamandaka merasa terhina bila menghabisi musuh dengan cara yang curang dan tidak ksatria. Karena itu Kamandaka memilih menunggu situasi yang tepat untuk bertindak. Dan saat yang ditunggu-tunggu itu ternyata tiba dengan sendirinya.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun dan tanpa menyadari bahaya yang mengintainya, dengan   berdebar-debar Raja Pulebahas menyingkapkan kelambu kuning penutup tandu calon mempelai putri. Sang Raja langsung terpukau saat menyaksikan calon mempelai putri yang cantik luar biasa bak bidadari dari kahyangan, tampak seakan-akan sedang menunggu dirinya. Sang Dewi dengan tenang mengembangkan senyum manis dibibirnya. Tak sabar melihat kecantikan Sang Dewi, Raja Pulebahas cepat-cepat mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Sang Dewi dan bermaksud mengajaknya pindah ke tandu Raja Pulebahas. Entah mengapa Sang Raja seakan-akan sama sekali tidak melihat si Lutung Kasarung yang duduk disamping Sang Dewi.

Tetapi apa yang dilihatnya sepintas kilas itu segera lenyap. Tanpa pernah diduga Sang Raja, si Lutung Kasarung tiba-tiba marah karena mengira ada orang yang tidak pernah dikenalnya akan mengganggu Sang Dewi. Dengan sigap si Lutung Kasarung meloncat dari dalam tandu, dan mendarat tepat di bahu kanan Raja Pulebahas. Dengan cekatan dan gerakan secepat kilat si Lutung Kasarung berhasil-menggigit leher Sang Raja.Gigitannya tepat sehingga mengakibatkan urat nadi leher Sang Raja putus seketika hanya dengan sekali gigitan. Raja Pulebahas yang tak menduga mendapat serangan mendadak, sama sekali tak sempat membela diri. Sang Raja langsung limbung. Darah merah muncrat dari leher Sang Raja. Ilmu kekebalan yang dimilki Sang Raja pun lenyap seketika. Maka tubuh Sang Raja yang gagah perkasa itu segera tumbang, seperti tumbangnya batang pisang roboh ke tanah karena tebasan mata golok yang sangat tajam.Tubuh Raja Pulebahas langsung terkapar tak berdaya, tewas seketika hanya beberapa langkah di depan tandu Sang Dewi, disaksikan Uwak-Lengser-dan-Sekarmenur yang berdiri di depan tandu mempelai pria.
Sang Dewi dan Sekarmenur yang memiliki kepekaan indra ke enam, tiba-tiba melihat seekor kelelawar hitam keluar dari jasad Raja Pulebahas. Kelelawar itu bergegas terbang ke arah selatan. Tak lama kemudian Sang Dewi dan Sekarmenur juga melihat sosok bayangan seorang gadis cantik berpakaian pengantin, tiba-tiba saja turun dari langit dan  muncul di depan jasad  Sang Raja.
Lalu tampak sebuah bayangan sosok calon mempelai pria bangkit berdiri dari jasad yang terkapar itu. Sepasang bayangan itu sejenak saling berpelukan. Lalu ke duanya bergandengan tangan, dan dengan tergesa-gesa mereka berdua terbang menghilang ke langit. Kejadiannya begitu cepat, sehingga ketika Sekarmenur menyadari apa yang terjadi, dia segera menghampiri Sang Raja dan memberikan penghormatan terakhir dengan air mata berlinang-linang.
Sang Dewi yang juga melihat kejadian itu, segera turun berdiri di samping Sekarmenur. Sang Dewi ikut memberikan penghormatan terakhir pada jasad Sang Raja. Tak terasa mata Sang Dewi pun  ikut basah oleh  air mata. Lebih-lebih setelah Sang Dewi melihat pada leher Sang Raja tergantung lempengan emas bergambar Dewa Syiwa. Sang Dewi pun tahu bahwa Sang Raja ternyata telah melepas kepercayaan lamanya, dan kembali menjadi penganut agama Syiwa.
“Kematian-Sang-Raja merupakan anugerah dan rahmat dari Yang Maha Kuasa, Dinda-Sekarmenur. Sang Raja yang telah bertobat telah-dibebaskan dari segala dosa yang pernah diperbuatnya,” bisik Sang Dewi. Dia baru saat itu  melihat sosok Sekarmenur yang sudah sering diceriterakan Wirapati.
“Benar, Ayunda Dewi. Para bidadari mengijinkan Niken Gambirarum yang telah menjadi istrinya  untuk menjemput suaminya, Sang Raja. Semoga mereka berdua berbahagia di alam sana,” bisik Sekarmenur yang telah dapat mengendalikan emosinya kembali.
Kamandaka, Silihwarna, Arya Baribin, dan Wirapati yang mendengarkan percakapan kedua wanita itu, hanya bisa saling berpandangan. Mereka berempat sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan oleh kedua gadis cantik itu.
Untunglah Silihwarna cukup sigap. Dia segera menyuruh agar terompet kembali ditiup, suatu pertanda acara membawa tandu calon mempelai ke arah utara harus segera dilaksanakan. Dengan cekatan dua orang prajurit maju untuk mengangkat jasad Sang Raja dan dengan cepat dimasukkannya ke dalam tandu Sang Dewi. Sebaliknya Sang Dewi dibimbing Kamandaka pindah ke dalam tandu Sang Raja. Si Lutung Kasarung ikut meloncat masuk ke dalam tandu Sang Raja yang telah dikalahkannya.
Kedua tandu segera diangkat petugas, dan pelan-pelan mulai bergerak ke utara. Tandu Pasirluhur berisi jasad Sang Raja yang telah tewas dibawa petugas yang berjalan cepat ke utara  dikawal Sekarmenur. Dibelakangnya menyusul tandu Nusakambangan yang kini berisi Sang Dewi dan si Lutung Kasarung. Kelambu tandu Nusakambangan berwarna biru yang semula digulung, kini diturunkan oleh Kamandaka, sehingga Sang Dewi dan si Lutung Kasarung terlindung di dalamnya.
Uwak Lengser telah selesai melaksanakan tugasnya mengamankan jasad Raja Pulebahas. Kini dia berjalan mengawal tandu Sang Dewi dan si Lutung Kasarung. Semua prosesi yang telah dirancang Sang Dewi berjalan cepat dan lancar sesuai dengan harapan. Terompet masih terus dibunyikan pada saat rombongan 40 gadis kembar yang kini dipimpin Sekarmelati dan Sekarcempaka bergerak pelan-pelan mengikuti kedua tandu ke arah utara. Tetapi setelah semua barisan 40 gadis kembar itu melewati-simpang-empat, dan-semua-rombongan-telah-masuk-jalur jalan ke utara, tiba-tiba terompet berhenti dibunyikan. 
Silihwarna segera menutup mulut jalan jalur ke utara. Tetapi pada saat yang bersamaan, pasukan pendudukung sektor barat sudah tiba dan berdiri di belakang Wirapati. Demikian pula pasukan pendukung dari sektor timur sudah tiba di belakang Arya Baribin. Memang-kedua-pasukan pendukung itu segera bergerak begitu terompet kedua dibunyikan,sehingga-mereka-bisa-tiba-di-tempat-pada-saat-yang-tepat.
Sementara itu pasukan formasi Gajah dari Nusakambangan sudah berhenti bergerak karena dihentikan Silihwarna. Ternyata dibelakang pasukan formasi gajah itu tiba pula pasukan Nusakambangan yang siap tempur. Mereka kini berhenti di belakang pasukan formasi Gajah. Silihwarna memperkirakan total prajurit Nusakambangan yang siap tempur sekitar 600 prajurit. Silihwarna menarik napas lega. Demikian pula Wirapati dan Arya Baribin. Total kekuatan pasukan koalisi Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur dua kali lipat kekuatan Pasukan Nusakambangan. Silihwarna memberi isyarat agar Wirapati selaku Wakil Panglima berbicara kepada Patih Puletembini.
“Hai, Panglima Nusakambangan. Saya Wirapati komandan pasukan Kadipaten Dayeuhluhur. Dan itu komandan pasukan dari Kadipaten Pasirluhur. Sedang yang di sana itu juga komandan pasukan Pasirluhur,” kata Wirapati memperkenalkan diri, lalu berturut-turut memperkenalkan Silihwarna dan Arya Baribin.
“Pada hari ini Pasukan gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur, menyatakan perang terhadap Nusakambangan. Raja kalian, Pulebahas telah tewas. Sekarang terserah kalian. Menyerah atau perang?” tanya Wirapati. Mendengar pernyataan semacam itu ketiga komandan pasukan Nusakambangan segera berunding dengan bisik-bisik. Mereka sangat terkejut ketika mendengar Raja Pulebahas telah tewas. Lebih-lebih Patih Puletembini,karena Raja Pulebahas adalah kakak kandungnya.

“Tewas? Siapa yang telah membunuh Kakak saya?” Puletembini tampak emosi dan hampir-hampit tidak percaya pada-berita kematian-kakaknya. Sebab Puletembini tahu kedigdayaan kakaknya, antara lain tubuh Raja Pulebahas dikenal  kebal terhadap serangan senjata tajam. 
“Kamu boleh percaya, boleh tidak. Tetapi kenyataanya seperti itu,” kata  Wirapati. ”Kamu boleh lihat jasadnya, setelah kamu menyatakan menyerah dan takluk.”
“Siapa yang membunuh Kakak saya?” kembali Puletembini bertanya.
“Rajamu tewas karena digigit seekor lutung,” jawab Wirapati.
“Seekor lutung? Seekor lutung membunuh Raja Nusakambangan yang sakti mandra guna?”
“Sudah kubilang. Percaya boleh! Tidak juga boleh!” jawab Wirapati pendek.
Patih Puletembini bingung juga mendapat jawaban yang tidak masuk akal, tapi meyakinkan. Tidak masuk akal mana ada kakaknya yang terkenal kebal bisa dikalahkan seekor lutung. Lutung macam-apa? Pikir-Patih-Pule-Tembini.Tetapi jawaban yang diberikan Wirapati cukup meyakinkan, karena tidak terdengar-ada komando atau perintah dari Raja Pulebahasas.  Akhirnya Patih Puletembini menduga, Raja Pulebahas yang sakti itu  ditangkap secara licik dan curang oleh pasukan Kadipaten Pasirluhur. Kalau kakanya-dibunuh, bagi-Patih Puletembini tidak mungkin. Sebab kakaknya kebal. Paling banter kakaknya hanya ditahan di suatu tempat yang tersembunyi.
Patih Puletembini sama sekali tidak tahu bahwa gigitan seekor monyet akan menyebabkan daya kekebalan kakaknya musnah. Dia-juga-tidak-tahu-bahwa gigitan seekor monyet merupakan pantangan Raja Pulebahas. Dan jika itu terjadi berakibat fatal, yakni kematian. Karena menduga kakaknya masih hidup dan dalam keadaan terpedaya. Maka Patih Puletembini bertekad untuk bertempur guna menyelamatkan kakaknya yang disayanginya. Tiba-tiba Patih Puletembini berteriak memberi komando  kepada pasukannya.
“Serbu!!!” teriaknya sambil jari telunjuk tangan kanannya ditujukan kepada Silihwarna. Perang pun tak terhindarkan lagi. Pasukan dari sektor utara, tidak mau kalah. Mereka langsung melemparkan tombak ke arah pasukan Nusakambangan. Pasukan sektor barat dan timur, menyusul melemparkan tombaknya.
Pasukan Nusakambangan dihujani tombak dari timur, dari barat, dan dari utara. Mendapat serangan secara mendadak seperti itu pasukan Gajah langsung bubar berantakan. Mereka tidak mengira akan dihujani tombak dari tiga jurusan. Pasukan Gajah barisan depan bersenjatakan pisau pendek bermata dua. Hanya pasukan yang ada dibelakangnya yang bersenjatakan tombak. Pasukan pisau Nusakambangan mencoba berkelit dari lemparan tumbak. Mereka pandai menggunakan loncatan salto sambil menghindari mata tombak, lalu mendekati musuh. Setelah dekat baru pisau bermata dua itu dilemparkan ke arah musuh. Jika gagal dilanjutkan dengan duel satu lawan satu.
Lain dengan Tumenggung Surajaladri. Lemparannya-jarang-gagal.Dia memang ahli melempar pisau. Dalam waktu singkat dia bisa melemparkan sepuluh pisau bermata dua ke arah musuh. Pada pinggangnya berderet pisau andalannya. Tujuh pisau sudah dilemparkan ke arah Silihwarna. Untunglah Silihwarna menguasai jurus Monyet Putih, sehingga ketika mendapat serangan lemparan pisau secara beruntun, dia bisa berkelit dengan melakukan gerakan indah dan lincah bagaikan seekor monyet sedang menari.
Sayangnya Silihwarna tidak sempat membalas, karena lemparan pisau Tumenggung Surajaladri sangat cepat dan tiba secara beruntun. Silihwarna memang mampu berkelit, tetapi akibatnya, tujuh pisau yang dilemparkan Tumenggung Surajaladri semuanya mengenai prajurit dibelakang Silihwarna. Mereka yang terkena pisau nyasar itu, langsung tewas. Untunglah dari belakang  Silihwara, melesat sebuah tombak bergerak bagaikan kilat mengarah kepada Tumenggung Surajaladri yang akan melemparkan pisau ke delapan. Tombak yang datang bagaikan kilat tak sempat dihindarkan tumenggung pelempar pisau yang hebat itu. Tombak yang melesat itu tepat menancap di dada Tumenggung Surajaladri. Dia pun langsung roboh ke tanah. Ketika Silihwarna melihat ke belakang untuk mengetahui siapakah yang melemparkan tombak begitu bertenaga dan tombaknya meluncur begitu cepat bagaikan anak panah, Silihwarna melihat Uwak Lengser  tersenyum kepada dirinya. Uwak Lengser telah melemparkan tombak dan menewaskan tumenggung pelempar pisau andalan prajurit Nusakambangan.
Patih Puletembini juga pelempar pisau, tetapi tidak secakap Tumenggung Surajaladri. Pisau-pisau yang dilemparkan kepada Wirapati nyaris gagal semua karena mudah dihindari Wirapati dan prajuritnya. Sama dengan Kamandaka Wirapati juga pelempar tombak hebat. Setelah persediaan pisau Patih Puletembini habis dan menunggu pasokan dari pembantunya, Wirapati tidak mau melepaskan kesempatan yang baik itu. Sebuah tombak dilemparkan kearah Patih Puletembini. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar