Matahari pagi sudah naik sepenggalah di atas
kaki langit, ketika Uwak Lengser berjalan dengan menunduk mendekati tandu Raja
Pulebahas. Di depan Sang Raja, Uwak Lengser memberi hormat, kemudian sambil
membungkuk ke depan dengan tangan kirinya ditaruh di belakang pinggangnya dan menggunakan
ujung ibu jari tangan kanan, Uwak Lengser mempersilahkan calon mempelai pria
bangkit dari tempat duduknya supaya menjemput calon mempelai putri. Tanpa
ragu-ragu bahkan dengan perasaan bangga Raja Pulebahas bangkit dari tempat
duduknya setelah menerima penghormatan Uwak Lengser. Dengan dada tegak, Raja
Pulebahas melangkah dengan gagah mendekati tandu mempelai putri diiringi Uwak
Lengser yang berjalan di belakangnya.
Sebenarnya kalau mau, saat itu juga-Kamandaka
bisa mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggangnya dan
menusukkannya ke lambung Raja Pulebahas dari belakang. Tetapi sebagai seorang
ksatria Kamandaka merasa terhina bila menghabisi musuh dengan cara yang curang
dan tidak ksatria. Karena itu Kamandaka memilih menunggu situasi yang tepat
untuk bertindak. Dan saat yang ditunggu-tunggu itu ternyata tiba dengan
sendirinya.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun dan tanpa
menyadari bahaya yang mengintainya, dengan berdebar-debar Raja Pulebahas menyingkapkan
kelambu kuning penutup tandu calon mempelai putri. Sang Raja langsung terpukau
saat menyaksikan calon mempelai putri yang cantik luar biasa bak bidadari dari
kahyangan, tampak seakan-akan sedang menunggu dirinya. Sang Dewi dengan tenang
mengembangkan senyum manis dibibirnya. Tak sabar melihat kecantikan Sang Dewi,
Raja Pulebahas cepat-cepat mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Sang
Dewi dan bermaksud mengajaknya pindah ke tandu Raja Pulebahas. Entah mengapa Sang
Raja seakan-akan sama sekali tidak melihat si Lutung Kasarung yang duduk
disamping Sang Dewi.
Tetapi apa yang
dilihatnya sepintas kilas itu segera lenyap. Tanpa pernah diduga Sang Raja, si
Lutung Kasarung tiba-tiba marah karena mengira ada orang yang tidak pernah
dikenalnya akan mengganggu Sang Dewi. Dengan sigap si Lutung Kasarung meloncat
dari dalam tandu, dan mendarat tepat di bahu kanan Raja Pulebahas. Dengan
cekatan dan gerakan secepat kilat si Lutung Kasarung berhasil-menggigit leher
Sang Raja.Gigitannya tepat sehingga mengakibatkan urat nadi leher Sang Raja putus
seketika hanya dengan sekali gigitan. Raja Pulebahas yang tak menduga mendapat
serangan mendadak, sama sekali tak sempat membela diri. Sang Raja langsung
limbung. Darah merah muncrat dari leher Sang Raja. Ilmu kekebalan yang dimilki
Sang Raja pun lenyap seketika. Maka tubuh Sang Raja yang gagah perkasa itu segera
tumbang, seperti tumbangnya batang pisang roboh ke tanah karena tebasan mata
golok yang sangat tajam.Tubuh Raja Pulebahas langsung terkapar tak berdaya,
tewas seketika hanya beberapa langkah di depan tandu Sang Dewi, disaksikan Uwak-Lengser-dan-Sekarmenur
yang berdiri di depan tandu mempelai pria.
Sang Dewi dan Sekarmenur yang memiliki
kepekaan indra ke enam, tiba-tiba melihat seekor kelelawar hitam keluar dari
jasad Raja Pulebahas. Kelelawar itu bergegas terbang ke arah selatan. Tak lama
kemudian Sang Dewi dan Sekarmenur juga melihat sosok bayangan seorang gadis
cantik berpakaian pengantin, tiba-tiba saja turun dari langit dan muncul di depan jasad Sang Raja.
Lalu tampak sebuah bayangan sosok calon
mempelai pria bangkit berdiri dari jasad yang terkapar itu. Sepasang bayangan
itu sejenak saling berpelukan. Lalu ke duanya bergandengan tangan, dan dengan
tergesa-gesa mereka berdua terbang menghilang ke langit. Kejadiannya begitu
cepat, sehingga ketika Sekarmenur menyadari apa yang terjadi, dia segera
menghampiri Sang Raja dan memberikan penghormatan terakhir dengan air mata
berlinang-linang.
Sang Dewi yang juga melihat kejadian itu,
segera turun berdiri di samping Sekarmenur. Sang Dewi ikut memberikan
penghormatan terakhir pada jasad Sang Raja. Tak terasa mata Sang Dewi pun ikut basah oleh air mata. Lebih-lebih setelah Sang Dewi
melihat pada leher Sang Raja tergantung lempengan emas bergambar Dewa Syiwa.
Sang Dewi pun tahu bahwa Sang Raja ternyata telah melepas kepercayaan lamanya,
dan kembali menjadi penganut agama Syiwa.
“Kematian-Sang-Raja merupakan anugerah dan
rahmat dari Yang Maha Kuasa, Dinda-Sekarmenur. Sang Raja yang telah bertobat telah-dibebaskan
dari segala dosa yang pernah diperbuatnya,” bisik Sang Dewi. Dia baru saat
itu melihat sosok Sekarmenur yang sudah
sering diceriterakan Wirapati.
“Benar, Ayunda Dewi. Para bidadari mengijinkan
Niken Gambirarum yang telah menjadi istrinya untuk menjemput suaminya, Sang Raja. Semoga
mereka berdua berbahagia di alam sana,” bisik Sekarmenur yang telah dapat
mengendalikan emosinya kembali.
Kamandaka, Silihwarna, Arya Baribin, dan
Wirapati yang mendengarkan percakapan kedua wanita itu, hanya bisa saling
berpandangan. Mereka berempat sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
diperbincangkan oleh kedua gadis cantik itu.
Untunglah Silihwarna cukup sigap. Dia segera
menyuruh agar terompet kembali ditiup, suatu pertanda acara membawa tandu calon
mempelai ke arah utara harus segera dilaksanakan. Dengan cekatan dua orang
prajurit maju untuk mengangkat jasad Sang Raja dan dengan cepat dimasukkannya ke
dalam tandu Sang Dewi. Sebaliknya Sang Dewi dibimbing Kamandaka pindah ke dalam
tandu Sang Raja. Si Lutung Kasarung ikut meloncat masuk ke dalam tandu Sang
Raja yang telah dikalahkannya.
Kedua tandu segera diangkat petugas, dan
pelan-pelan mulai bergerak ke utara. Tandu Pasirluhur berisi jasad Sang Raja
yang telah tewas dibawa petugas yang berjalan cepat ke utara dikawal Sekarmenur. Dibelakangnya menyusul
tandu Nusakambangan yang kini berisi Sang Dewi dan si Lutung Kasarung. Kelambu
tandu Nusakambangan berwarna biru yang semula digulung, kini diturunkan oleh
Kamandaka, sehingga Sang Dewi dan si Lutung Kasarung terlindung di dalamnya.
Uwak Lengser telah selesai melaksanakan
tugasnya mengamankan jasad Raja Pulebahas. Kini dia berjalan mengawal tandu
Sang Dewi dan si Lutung Kasarung. Semua prosesi yang telah dirancang Sang Dewi berjalan
cepat dan lancar sesuai dengan harapan. Terompet masih terus dibunyikan pada
saat rombongan 40 gadis kembar yang kini dipimpin Sekarmelati dan Sekarcempaka
bergerak pelan-pelan mengikuti kedua tandu ke arah utara. Tetapi setelah semua
barisan 40 gadis kembar itu melewati-simpang-empat, dan-semua-rombongan-telah-masuk-jalur
jalan ke utara, tiba-tiba terompet berhenti dibunyikan.
Silihwarna segera menutup mulut jalan jalur ke
utara. Tetapi pada saat yang bersamaan, pasukan pendudukung sektor barat sudah
tiba dan berdiri di belakang Wirapati. Demikian pula pasukan pendukung dari
sektor timur sudah tiba di belakang Arya Baribin. Memang-kedua-pasukan
pendukung itu segera bergerak begitu terompet kedua dibunyikan,sehingga-mereka-bisa-tiba-di-tempat-pada-saat-yang-tepat.
Sementara itu pasukan formasi Gajah dari
Nusakambangan sudah berhenti bergerak karena dihentikan Silihwarna. Ternyata
dibelakang pasukan formasi gajah itu tiba pula pasukan Nusakambangan yang siap
tempur. Mereka kini berhenti di belakang pasukan formasi Gajah. Silihwarna
memperkirakan total prajurit Nusakambangan yang siap tempur sekitar 600
prajurit. Silihwarna menarik napas lega. Demikian pula Wirapati dan Arya
Baribin. Total kekuatan pasukan koalisi Kadipaten Pasirluhur-Dayeuhluhur dua
kali lipat kekuatan Pasukan Nusakambangan. Silihwarna memberi isyarat agar
Wirapati selaku Wakil Panglima berbicara kepada Patih Puletembini.
“Hai, Panglima Nusakambangan. Saya Wirapati komandan
pasukan Kadipaten Dayeuhluhur. Dan itu komandan pasukan dari Kadipaten
Pasirluhur. Sedang yang di sana itu juga komandan pasukan Pasirluhur,” kata
Wirapati memperkenalkan diri, lalu berturut-turut memperkenalkan Silihwarna dan
Arya Baribin.
“Pada hari ini Pasukan gabungan
Pasirluhur-Dayeuhluhur, menyatakan perang terhadap Nusakambangan. Raja kalian,
Pulebahas telah tewas. Sekarang terserah kalian. Menyerah atau perang?” tanya
Wirapati. Mendengar pernyataan semacam itu ketiga komandan pasukan Nusakambangan
segera berunding dengan bisik-bisik. Mereka sangat terkejut ketika mendengar
Raja Pulebahas telah tewas. Lebih-lebih Patih Puletembini,karena Raja Pulebahas
adalah kakak kandungnya.
“Tewas? Siapa
yang telah membunuh Kakak saya?” Puletembini tampak emosi dan hampir-hampit
tidak percaya pada-berita kematian-kakaknya. Sebab Puletembini tahu kedigdayaan
kakaknya, antara lain tubuh Raja Pulebahas dikenal kebal terhadap serangan senjata tajam.
“Kamu boleh percaya, boleh tidak. Tetapi
kenyataanya seperti itu,” kata Wirapati.
”Kamu boleh lihat jasadnya, setelah kamu menyatakan menyerah dan takluk.”
“Siapa yang membunuh Kakak saya?” kembali Puletembini
bertanya.
“Rajamu tewas karena digigit seekor lutung,”
jawab Wirapati.
“Seekor lutung? Seekor lutung membunuh Raja
Nusakambangan yang sakti mandra guna?”
“Sudah kubilang. Percaya boleh! Tidak juga
boleh!” jawab Wirapati pendek.
Patih Puletembini bingung juga mendapat
jawaban yang tidak masuk akal, tapi meyakinkan. Tidak masuk akal mana ada
kakaknya yang terkenal kebal bisa dikalahkan seekor lutung. Lutung macam-apa? Pikir-Patih-Pule-Tembini.Tetapi
jawaban yang diberikan Wirapati cukup meyakinkan, karena tidak terdengar-ada
komando atau perintah dari Raja Pulebahasas. Akhirnya Patih Puletembini menduga, Raja
Pulebahas yang sakti itu ditangkap
secara licik dan curang oleh pasukan Kadipaten Pasirluhur. Kalau kakanya-dibunuh,
bagi-Patih Puletembini tidak mungkin. Sebab kakaknya kebal. Paling banter
kakaknya hanya ditahan di suatu tempat yang tersembunyi.
Patih Puletembini sama sekali tidak tahu bahwa
gigitan seekor monyet akan menyebabkan daya kekebalan kakaknya musnah. Dia-juga-tidak-tahu-bahwa
gigitan seekor monyet merupakan pantangan Raja Pulebahas. Dan jika itu terjadi
berakibat fatal, yakni kematian. Karena menduga kakaknya masih hidup dan dalam
keadaan terpedaya. Maka Patih Puletembini bertekad untuk bertempur guna menyelamatkan
kakaknya yang disayanginya. Tiba-tiba Patih Puletembini berteriak memberi
komando kepada pasukannya.
“Serbu!!!” teriaknya sambil jari telunjuk
tangan kanannya ditujukan kepada Silihwarna. Perang pun tak terhindarkan lagi.
Pasukan dari sektor utara, tidak mau kalah. Mereka langsung melemparkan tombak
ke arah pasukan Nusakambangan. Pasukan sektor barat dan timur, menyusul
melemparkan tombaknya.
Pasukan Nusakambangan dihujani tombak dari
timur, dari barat, dan dari utara. Mendapat serangan secara mendadak seperti
itu pasukan Gajah langsung bubar berantakan. Mereka tidak mengira akan dihujani
tombak dari tiga jurusan. Pasukan Gajah barisan depan bersenjatakan pisau
pendek bermata dua. Hanya pasukan yang ada dibelakangnya yang bersenjatakan
tombak. Pasukan pisau Nusakambangan mencoba berkelit dari lemparan tumbak.
Mereka pandai menggunakan loncatan salto sambil menghindari mata tombak, lalu mendekati
musuh. Setelah dekat baru pisau bermata dua itu dilemparkan ke arah musuh. Jika
gagal dilanjutkan dengan duel satu lawan satu.
Lain dengan Tumenggung Surajaladri. Lemparannya-jarang-gagal.Dia
memang ahli melempar pisau. Dalam waktu singkat dia bisa melemparkan sepuluh
pisau bermata dua ke arah musuh. Pada pinggangnya berderet pisau andalannya.
Tujuh pisau sudah dilemparkan ke arah Silihwarna. Untunglah Silihwarna
menguasai jurus Monyet Putih, sehingga ketika mendapat serangan lemparan pisau
secara beruntun, dia bisa berkelit dengan melakukan gerakan indah dan lincah
bagaikan seekor monyet sedang menari.
Sayangnya Silihwarna tidak sempat membalas,
karena lemparan pisau Tumenggung Surajaladri sangat cepat dan tiba secara
beruntun. Silihwarna memang mampu berkelit, tetapi akibatnya, tujuh pisau yang
dilemparkan Tumenggung Surajaladri semuanya mengenai prajurit dibelakang
Silihwarna. Mereka yang terkena pisau nyasar itu, langsung tewas. Untunglah
dari belakang Silihwara, melesat sebuah
tombak bergerak bagaikan kilat mengarah kepada Tumenggung Surajaladri yang akan
melemparkan pisau ke delapan. Tombak yang datang bagaikan kilat tak sempat
dihindarkan tumenggung pelempar pisau yang hebat itu. Tombak yang melesat itu
tepat menancap di dada Tumenggung Surajaladri. Dia pun langsung roboh ke tanah.
Ketika Silihwarna melihat ke belakang untuk mengetahui siapakah yang
melemparkan tombak begitu bertenaga dan tombaknya meluncur begitu cepat
bagaikan anak panah, Silihwarna melihat Uwak Lengser tersenyum kepada dirinya. Uwak Lengser telah
melemparkan tombak dan menewaskan tumenggung pelempar pisau andalan prajurit
Nusakambangan.
Patih Puletembini juga pelempar pisau, tetapi
tidak secakap Tumenggung Surajaladri. Pisau-pisau yang dilemparkan kepada
Wirapati nyaris gagal semua karena mudah dihindari Wirapati dan prajuritnya.
Sama dengan Kamandaka Wirapati juga pelempar tombak hebat. Setelah persediaan
pisau Patih Puletembini habis dan menunggu pasokan dari pembantunya, Wirapati
tidak mau melepaskan kesempatan yang baik itu. Sebuah tombak dilemparkan kearah
Patih Puletembini. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar