Pagi itu Arya Baribin minta ijin kepada Kamandaka agar
bisa mengunjungi Kademangan Kejawar. Kebetulan Sang Dewi akan kembali ke
Kadipaten Pasiluhur pada siang hari, sehingga Arya Baribin punya cukup waktu.
Memang sejak berkenalan dengan Ratna Pamekas di rumah Nyai Kertisara, kemudian
di jemput Rekajaya, lalu ikut ke Kadipaten Pasirluhur, Arya Baribin belum
sempat bertemu lagi dengan Ki Demang Kejawar.
Padahal Arya Baribin hampir satu tahun tinggal di Kademangan Kejawar.
Dan Ki Demang Kejawarlah yang telah memberikan perlindungan kepada Arya Baribin
sebagai seorang pelarian Kerajaan Majapahit dari kemungkinan ditangkap tentara
Kerajan Kediri. Arya Baribin, akan merasa sebagai orang yang tidak tahu
terimakasih kepada Ki Demang Kejawar, jika pada saat ada kesempatan baik dia
bisa mengunjungi Kaliwedi, tetapi tidak menyempatkan diri mampir ke Kademangan
Kejawar. Sesungguhnya Arya Baribin sudah menganggap Ki Demang Kejawar sebagai
keluargamya sendiri.
Ketika Nyi
Kertisara mendengar Arya Baribin akan
mengunjungi Kademangan Kejawar, Nyai Kertisara menyuruh Rekajaya agar membawa
sumbangan. Akhirnya dengan menggunakan dua kuda, pagi-pagi Arya Baribin dan
Rekajaya segera berangkat. Arya Baribin dan Rekajaya naik satu kuda. Dan satu
kuda lagi berjalan dibelakangnya dengan tukang kudanya khusus untuk membawa
barang-barang sumbangan Nyai Kertisara. Tentu saja kedua kuda itu harus
melintasi Sungai Ciserayu lebih dulu dengan menggunakan perahu dan rakit
penyeberangan melalui Desa Kaliori ke arah selatan. Setelah menyeberang barulah
mereka bisa tiba di Kademangan Kejawar di sisi selatan Sungai Ciserayu.
Nyai
Kertisara sudah sering memberikan sumbangan kepada Kademangan Kejawar. Tetapi
sumbangan pagi itu bagi Ki Demang Kejawar dan istrinya, merupakan sumbangan
istimewa. Sebab, selain persediaan gula aren, gula kelapa, dan beras sedang
menipis, sumbangan itu diantarkan sendiri oleh Rekajaya bersama Arya Baribin.
Ki Demang Kejawar sama sekali tidak menduga, bahwa Arya Baribin di
tengah-tengah kesibukannya masih menyempatkan diri menjenguknya.
Ketika Arya
Baribin tiba di halaman pendapa, dilihatnya seorang pengasuh sedang
bermain-main dengan anak lelaki baru berusia sekitar empat tahun. Arya Baribin
mengenalnya dengan baik anak lelaki itu sebagai anak lelaki satu-satunya Ki
Demang dan Nyi Demang Kejawar. Arya
Baribin segera mengangkat anak itu, di gendongnya, dibawanya masuk ke ruang
tamu rumah Ki Demang Kejawar di samping kiri pendapa. Pengasuh segera memberi tahu Nyi Demang
Kejawar. Sedangkan Rekajaya menyuruh
tukang kuda untuk membawa barang kiriman Nyi Kertisara, langsung ke dapur rumah
Ki Demang.
Tentu saja
Ki Demang Kejawar terkejut sekali, ketika Nyi Demang belari-lari menemuinya, memberi
tahu bahwa ada tamu dari Kaliwedi. Saat itu Ki Demang sedang di kebun belakang
rumahnya, memeriksa pohon-pohon pisang yang sudah berbuah, kalau-kalau sudah
ada buah yang masak. Sebab jika sudah masak tetapi tidak buru-buru ditebang,
bisa-bisa habis dimakan codot.
“Ada tamu,
Ki Demang. Cepat! Rekajaya dan Raden Arya. Mereka bawa oleh-oleh dari Nyai
Kertisara. Lima kranjang gula aren dan lima kranjang gula kelapa,” kata Nyi Demang dengan wajah gembira.
“Kebetulan
sekali, persediaan gula sudah habis. Eh, Nyai Ketisara ngirim pula,” kata Nyi Demang pula.
“Huss.
Jangan keras-keras. Malu!” bentak Ki Demang. Dia segera bergegas kembali ke
rumahnya.
“Malu-malu,
memang persediaan gula habis, mau apa! Juga persediaan beras sudah menipis,
padahal panen masih dua bulan lagi!” kata Nyi Demang berjalan di belakang Ki
Demang dan setengah berlari karena kalah cepat dalam melangkah. Nyi Demang
mengeluh sekaligus memberikan laporan
kepada suaminya.
“Sudah! Jangan banyak omong! Beras besok dari Wirasaba akan
datang. Aku sudah kirim orang ke Wirasaba. Biasanya begitu kirim orang, Kanjeng
Adipati langsung mengirimnya tanpa menunda-nunda lagi. Tak usah khawatir!” kata
Ki Demang jengkel. Tapi akhirnya dia memahami kecemasan istrinya. Memang
terkadang istrinya rada bawel. Tetapi apa yang dikatakannya selalu benar.
Sampai di rumah, Ki Demang cepat-cepat berganti pakaian, dan Nyi Demang masuk
ke dapur menyiapkan minuman dan makanan kecil.
“Aduh, ada
tamu dari Kaliwedi! Eh, Raden! Paman kira sudah lupa dengan Kejawar! Apa kabar,
Raden? “ kata Ki Demang begitu melihat Rekajaya dan Arya Baribin sudah menunggu
di ruang tamu rumah Ki Demang.
“Kabar
baik, Paman. Paman Demang juga, kan? Juga, Bibi Demang? Ananda tak mungkin lupa
dengan Kademangan Kejawar. Hampir satu tahun lho, ananda tinggal di sini!” kata
Arya Baribin bersalaman dengan Ki Demang, sambil masih menggendong anak Ki
Demang. Ketika Nyi Demang muncul dari ruang tengah, dilihatnya Arya Baribin
masih juga menggendong anak laki-lakinya. Rupanya Arya Baribin rindu juga pada
Bagus, satu-satunya anak laki-laki Ki Demang dan Nyi Demang yang dulu sering
diajaknya main dan memang sering digendongnya.
Nyi Demang
yang melihat anaknya di gendong Arya Baribin, langsung mengambilnya sambil
berkata, “Nakal, ya? Paman Arya baru datang, langsung minta gendong. Padahal
belum mandi!” kata Nyi Demang pura-pura memarahi anak laki-lakinya itu. Nyi Demang
memanggil pengasuh anaknya agar
memandikan anak laki-lakinya itu. Setelah pengasuh dan anak laki-lakinya
pergi, Nyi Demang ikut menemani Ki Demang menemui tamunya.
“Makanya
cepat-cepat cari istri Raden, biar jangan telat nikah seperti Ki Demang. Usia
40 tahun baru mau punya istri. Sekarang sudah 46 tahun, anaknya Bagus baru lima
tahun. Coba kalau dulu Ki Demang nikah muda. Pasti sekarang sudah punya anak
gadis. Dan Raden bisa jadi menantu Ki Demang dan Nyi Demang ,” kata Nyi Demang sambil tertawa.
“Nyi Demang
kalau ngomong memang suka ngawur, Raden. Ketika Ki Demang berusia seperti
Raden, dia belum lahir! Bagaimana mau punya anak?” kata Ki Demang tersenyum, karena berhasil
mementahkan olok-olok istrinya. Memang Ki Demang nikah dengan Nyi Demang agak terlambat.
Dan jarak usia antara keduanya juga cukup jauh, sekitar 25 tahun.
“Ya, kenapa
Paman dan Bibi tidak mau mencarikan gadis Kejawar? Jadi, ananda harus cari ke
Pasirluhur,” kata Arya Baribin ikut berseloroh juga. Hampir empat bulan Arya
Baribin berpisah dengan keluarga Ki Demang Kejawar yang sudah dianggap sebagai
orang tuanya sendiri itu. Ternyata tidak mengurangi keakraban yang sudah
terjalin di antara mereka.
“Mana air
minumnya, Nyi! Coba dilihat-ke dapur sana!” Ki Demang menyuruh istrinya agar cepat-cepat
menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk kedua tamunya. Lalu Ki Demang
berpaling pada Rekajaya setelah Nyi Demang beranjak ke dapur. Ternyata di dapur
masih harus menunggu rebusan ganyong yang belum masak. Karena itu Nyi Demang
keluar lagi ikut menemui tamunya.
“Kamu
kabarnya bagaimana, Rekajaya? Lama tidak
ke sini, ya?” tanya Ki Demang pula. Ki Demang tidak pernah lupa pada Rekajaya
yang dulu dikenalnya sebagai pembantu Ki Sulap Pangebatan.
“Kabar baik
juga, Ki Demang. Semoga Ki Demang sekeluarga juga baik-baik saja keadaannya.
Salam juga, dari Nyai Kertisara,” kata Rekajaya.
“Salam kembali.
Katakan terimakasihku kepada Nyai Kertisara. Kirimannya lima kranjang gula
kelapa dan lima kranjang gula aren, telah sampai. Semoga usaha Nyai Kertisara semakin
maju,” kata Ki Demang.
“Maaf Ki
Demang, lupa. Ada tambahan kiriman satu
karung beras dari Nyai Kertisara. Tukang kuda mengangkutnya ke dapur
tadi,” kata Nyi Demang yang muncul lagi dari dalam ruang tengah dan mendengar
apa yang dikatakan suaminya. Dia langsung mengoreksi macam barang kiriman yang pagi itu diterima
dari Nyai Kertisara yang disebutkan suaminya. Bukan hanya gula aren dan gula
kelapa, tapi ada juga kiriman satu karung beras.
“Oh, iya?
Wah, terimakasih sekali lagi kepada Nyai Kertisara. Sampaikan salam khusus
untuk Nyai Kertisara yang telah banyak menyumbang Kademangan Kejawar,” kata Ki
Demang kepada Rekajaya.
“Sama-sama,
Ki Demang. Bantuan Nyai Kertisara sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan
bantuan dan kemudahan yang telah diberikan Ki Demang Kejawar kepada keluarga
Nyai Kertisara dan penduduk Kaliwedi. Kami sering merepotkan jika mengikuti
ritual-ritual pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa yang diselenggarakan oleh Ki Demang. Sebab
jika penduduk Kaliwedi harus mengikuti ritual di lereng Gunung Agung, tentu
terlalu jauh. Jika ada tempat ritual lebih dekat yang hanya beberapa pal
setelah menyeberangi Sungai Ciserayu, kenapa kami harus ke tempat yang jauh?”
kata Rekajaya yang disambut dengan gembira oleh Ki Demang Kejawar.
“Kalau yang
demikian itu, kan merupakan kewajiban kepada sesama pemeluk Sang Hyang Syiwa.
Jadi, tidak jadi masalah, Rekajaya,” kata Ki Demang.
Bagi Ki
Demang Kejawar, dirinya sudah cukup puas dan senang jika ritual-ritual religi
yang diselenggarakannya ternyata dihargai dan bermanfaat bagi sesama umat
manusia. Tanpa memandang penduduk dari wilayah kadipaten atau kerajaan mana
yang akan mengikuti ritual-ritual religi yang diselenggarakannya.
“Sesungguhnya
agama bukanlah alat pemecah belah, Rekajaya. Hanya orang tolol dan bodo saja
yang menganggap agama adalah alat pemecah belah persatuan,” kata Ki Demang
Kejawar pula.
“Sumber
peperangan, pertikaian, dan permusuhan antar sesama manusia dari jaman dahulu,
jaman sekarang, dan jaman yang akan datang, adalah nafsu tamak manusia akan
harta, tahta, dan wanita. Tiga hal itu yang merupakan biang kerok perpecahan,
peperangan, dan perebutan kekuasaan di antara para raja, para ksatria, bahkan
juga para brahmana dan pendeta. Agama bukan-pemicu perpecahan! Sungguh keliru
dan picik orang yang punya pandangan demikian. Hanya agama memang bisa
disalahgunakan sebagai alat untuk mencapai ambisi dan nafsu para raja untuk memenuhi-keinginanannya
menguasai harta, tahta, dan wanita. Justru agama, secara kodrati adalah alat
pemersatu di antara sesama manusia. Bukankah agama berasal dari bahasa
Sansekerta, yang maknanya adalah a artinya tidak, dan gama, artinya kacau? Jadi
arti harfiah agama ialah tidak kacau?”
“Dengan
jalan memeluk suatu agama, maka manusia akan hidup tertib, seimbang, serasi,
dan harmonis dalam hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam
semesta dan manusia dengan Tuhan. Manusia yang tidak beragama itu sama dengan
binatang! Mana ada binatang yang tahu caranya menyembah kepada Tuhan, bukan?”
“Kadipaten
Wirasaba dan Kadipaten Pasirluhur, adalah kadipaten yang sama-sama menyembah
Sang Hyang Syiwa. Kenapa harus bermusuhan dan bercerai berai? Kerajaan
Majapahit dan Kerajaan Pajajaran, juga-sama-sama penganut agama Hindu Syiwa,
kenapa pula-harus bermusuhan dan bercerai berai? Demikian pula antara Kerajaan
Kediri dan Kerajaan Pajajaran. Sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa, kenapa harus
terus mewarisi permusuhan warisan Perang Bubat? Semua itu bukan karena agama.
Tetapi karena urusan perebutan harta, atau tahta, atau wanita. Bisa salah satu, kedua-duanya, atau
malah ketiga-tiganya.”
“Perang Bubat
bukan perang agama. Tetapi perang untuk memenuhi ambisi Mahapatih Gajah Mada
akan kekuasaan. Hanya karena nafsu kekuasaan untuk bisa menaklukan Kerajaan
Galuh yang belum tertaklukan, Maha Patih Gajah Mada dengan tangan dingin,
membantai Raja Galuh beserta para keluarganya dan seluruh pengiringnya.
Pembantaian dalam tragedi Perang Bubat itu, bukan soal agama. Tetapi soal nafsu
tamak manusia akan tahta dan kekuasaan, sehingga darah dengan mudahnya
ditumpahkan. Camkan hal ini baik-baik, Rekajaya!” kata Ki Demang Kejawar
mengingatkan Rekajaya yang disetujui dan dibenarkan sepenuhnya oleh Rekajaya,
Arya Baribin, bahkan disetujui oleh Nyi Demang Kejawar yang ikut mendengarkan
perbincangan dengan kedua tamunya itu.
“Betul
sekali, apa yang dikatakan Ki Demang. Nasihat itu persis sekali dengan nasihat
yang juga sering disampaikan oleh Ndara
Kamandaka. Terimakasih, Ki Demang telah mengingatkan sebuah ajaran yang
mencerdaskan kita semua,” kata Rekajaya yang membuat Ki Demang Kejawar
tersenyum. Dia melihat Rekajaya mengalami kemajuan dalam pandangan-pandangannya
dan cara berpikirnya.
Memang
Kademangan Kejawar, merupakan wilayah sima yang berada dibawah perlindungan
Kadipaten Wirasaba dan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit digantikan
Kerajaan Keling yang akhirnya pindah ke Kediri, maka Kademangan Kejawar, berada
dibawah perlindungan Kadipaten Wiarasaba dan Kerajaan Hindu Kediri penerus
Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Sedangkan Nyai Kertisara dan penduduk
Kaliwedi yang berada di sisi utara Sungai Ciserayu, berada dibawah perlindungan
Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Galuh yang kemudian dipindahkan ke Pakuan
Pajajaran. Tetapi baik Kadipaten Pasirluhur, maupun Kadipaten Wirasaba adalah
kadipaten yang sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa.
Karena
sama-sama penyembah Sang Hyang Syiwa, perayaan-perayaan dan ritual keagamaan yang ada, seperti Hari Raya
Kuningan atau Diwali dan Hari Raya Nyepi menyambut tahun baru 1 Saka, ternyata Kadipaten
Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba, menyelenggarakan perayaan-perayaan itu dalam
waktu bersamaan. Hanya saja tempat untuk penyelenggaraan ritual menyambut ke
dua hari raya itu masing-masing kadipaten berbeda. Jika Kadipaten Wirasaba
memusatkannya di lereng barat Pegunungan Ciserayu, Kejawar. Maka Kadipaten Pasirluhur memusatkannya di lereng
timur Gunung Agung. Lalu kenapa penduduk yang tinggal di wilayah yang
berdekatan, seperti penduduk Kaliwedi dan sekitarnya tidak diberi kebebasan
untuk memilih tempat beribadah yang lebih praktis dan disukainya? Pikir Ki
Demang Kejawar dalam benaknya.
Andaikata
kelak Adipati Wirasaba melarang kebijakan yang telah diambilnya, Ki Demang
Kejawar telah siap dengan jawabannya dan siap pula mempertanggung jawabkan
tindakan dan kebijakannya. Bahkan, jika Sang Raja Ranawijaya, Raja Kediri,
selaku penguasa tertinggi Kademangan Kejawar kelak menegurnya, demikian tekad
Ki Demang Kejawar, dia akan dapat mempertanggung jawabkannya berdasarkan
tuntunan Weda. Ki Demang Kejawar memang telah memiliki keyakinan yang
tercerahkan bahwa agama bukan sumber perpecahan. Ambisi manusia akan harta,
tahta, dan wanitalah sumber perpecahan dan peperangan antar sesama manusia.
Itulah dasar keyakinan Ki Demang Kejawar.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar