Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 18 November 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(67)



Pagi itu Arya Baribin minta ijin kepada Kamandaka agar bisa mengunjungi Kademangan Kejawar. Kebetulan Sang Dewi akan kembali ke Kadipaten Pasiluhur pada siang hari, sehingga Arya Baribin punya cukup waktu. Memang sejak berkenalan dengan Ratna Pamekas di rumah Nyai Kertisara, kemudian di jemput Rekajaya, lalu ikut ke Kadipaten Pasirluhur, Arya Baribin belum sempat bertemu lagi dengan Ki Demang Kejawar.  Padahal Arya Baribin hampir satu tahun tinggal di Kademangan Kejawar. Dan Ki Demang Kejawarlah yang telah memberikan perlindungan kepada Arya Baribin sebagai seorang pelarian Kerajaan Majapahit dari kemungkinan ditangkap tentara Kerajan Kediri. Arya Baribin, akan merasa sebagai orang yang tidak tahu terimakasih kepada Ki Demang Kejawar, jika pada saat ada kesempatan baik dia bisa mengunjungi Kaliwedi, tetapi tidak menyempatkan diri mampir ke Kademangan Kejawar. Sesungguhnya Arya Baribin sudah menganggap Ki Demang Kejawar sebagai keluargamya sendiri.
Ketika Nyi Kertisara mendengar Arya Baribin  akan mengunjungi Kademangan Kejawar, Nyai Kertisara menyuruh Rekajaya agar membawa sumbangan. Akhirnya dengan menggunakan dua kuda, pagi-pagi Arya Baribin dan Rekajaya segera berangkat. Arya Baribin dan Rekajaya naik satu kuda. Dan satu kuda lagi berjalan dibelakangnya dengan tukang kudanya khusus untuk membawa barang-barang sumbangan Nyai Kertisara. Tentu saja kedua kuda itu harus melintasi Sungai Ciserayu lebih dulu dengan menggunakan perahu dan rakit penyeberangan melalui Desa Kaliori ke arah selatan. Setelah menyeberang barulah mereka bisa tiba di Kademangan Kejawar  di sisi selatan Sungai Ciserayu.
Nyai Kertisara sudah sering memberikan sumbangan kepada Kademangan Kejawar. Tetapi sumbangan pagi itu bagi Ki Demang Kejawar dan istrinya, merupakan sumbangan istimewa. Sebab, selain persediaan gula aren, gula kelapa, dan beras sedang menipis, sumbangan itu diantarkan sendiri oleh Rekajaya bersama Arya Baribin. Ki Demang Kejawar sama sekali tidak menduga, bahwa Arya Baribin di tengah-tengah kesibukannya masih menyempatkan diri menjenguknya.
Ketika Arya Baribin tiba di halaman pendapa, dilihatnya seorang pengasuh sedang bermain-main dengan anak lelaki baru berusia sekitar empat tahun. Arya Baribin mengenalnya dengan baik anak lelaki itu sebagai anak lelaki satu-satunya Ki Demang dan Nyi Demang Kejawar.  Arya Baribin segera mengangkat anak itu, di gendongnya, dibawanya masuk ke ruang tamu rumah Ki Demang Kejawar di samping kiri pendapa.  Pengasuh segera memberi tahu Nyi Demang Kejawar. Sedangkan  Rekajaya menyuruh tukang kuda untuk membawa barang kiriman Nyi Kertisara, langsung ke dapur rumah Ki Demang.
Tentu saja Ki Demang Kejawar terkejut sekali, ketika Nyi Demang belari-lari menemuinya, memberi tahu bahwa ada tamu dari Kaliwedi. Saat itu Ki Demang sedang di kebun belakang rumahnya, memeriksa pohon-pohon pisang yang sudah berbuah, kalau-kalau sudah ada buah yang masak. Sebab jika sudah masak tetapi tidak buru-buru ditebang, bisa-bisa habis dimakan codot.
“Ada tamu, Ki Demang. Cepat! Rekajaya dan Raden Arya. Mereka bawa oleh-oleh dari Nyai Kertisara. Lima kranjang gula aren dan lima kranjang gula kelapa,”  kata Nyi Demang dengan wajah gembira.
“Kebetulan sekali, persediaan gula sudah habis. Eh, Nyai Ketisara ngirim pula,”  kata Nyi Demang pula.
“Huss. Jangan keras-keras. Malu!” bentak Ki Demang. Dia segera bergegas kembali ke rumahnya.
“Malu-malu, memang persediaan gula habis, mau apa! Juga persediaan beras sudah menipis, padahal panen masih dua bulan lagi!” kata Nyi Demang berjalan di belakang Ki Demang dan setengah berlari karena kalah cepat dalam melangkah. Nyi Demang mengeluh sekaligus memberikan  laporan kepada suaminya.

“Sudah! Jangan banyak omong! Beras besok dari Wirasaba akan datang. Aku sudah kirim orang ke Wirasaba. Biasanya begitu kirim orang, Kanjeng Adipati langsung mengirimnya tanpa menunda-nunda lagi. Tak usah khawatir!” kata Ki Demang jengkel. Tapi akhirnya dia memahami kecemasan istrinya. Memang terkadang istrinya rada bawel. Tetapi apa yang dikatakannya selalu benar. Sampai di rumah, Ki Demang cepat-cepat berganti pakaian, dan Nyi Demang masuk ke dapur menyiapkan minuman dan makanan kecil.
“Aduh, ada tamu dari Kaliwedi! Eh, Raden! Paman kira sudah lupa dengan Kejawar! Apa kabar, Raden? “ kata Ki Demang begitu melihat Rekajaya dan Arya Baribin sudah menunggu di ruang tamu rumah  Ki Demang.
“Kabar baik, Paman. Paman Demang juga, kan? Juga, Bibi Demang? Ananda tak mungkin lupa dengan Kademangan Kejawar. Hampir satu tahun lho, ananda tinggal di sini!” kata Arya Baribin bersalaman dengan Ki Demang, sambil masih menggendong anak Ki Demang. Ketika Nyi Demang muncul dari ruang tengah, dilihatnya Arya Baribin masih juga menggendong anak laki-lakinya. Rupanya Arya Baribin rindu juga pada Bagus, satu-satunya anak laki-laki Ki Demang dan Nyi Demang yang dulu sering diajaknya main dan memang sering digendongnya.

Nyi Demang yang melihat anaknya di gendong Arya Baribin, langsung mengambilnya sambil berkata, “Nakal, ya? Paman Arya baru datang, langsung minta gendong. Padahal belum mandi!” kata Nyi Demang pura-pura memarahi anak laki-lakinya itu. Nyi Demang memanggil pengasuh anaknya agar  memandikan anak laki-lakinya itu. Setelah pengasuh dan anak laki-lakinya pergi, Nyi Demang ikut menemani Ki Demang menemui tamunya.
“Makanya cepat-cepat cari istri Raden, biar jangan telat nikah seperti Ki Demang. Usia 40 tahun baru mau punya istri. Sekarang sudah 46 tahun, anaknya Bagus baru lima tahun. Coba kalau dulu Ki Demang nikah muda. Pasti sekarang sudah punya anak gadis. Dan Raden bisa jadi menantu Ki Demang dan Nyi Demang ,” kata  Nyi Demang sambil tertawa.
“Nyi Demang kalau ngomong memang suka ngawur, Raden. Ketika Ki Demang berusia seperti Raden, dia belum lahir! Bagaimana mau punya anak?”  kata Ki Demang tersenyum, karena berhasil mementahkan olok-olok istrinya. Memang Ki Demang nikah dengan Nyi Demang agak terlambat. Dan jarak usia antara keduanya juga cukup jauh, sekitar 25 tahun.
“Ya, kenapa Paman dan Bibi tidak mau mencarikan gadis Kejawar? Jadi, ananda harus cari ke Pasirluhur,” kata Arya Baribin ikut berseloroh juga. Hampir empat bulan Arya Baribin berpisah dengan keluarga Ki Demang Kejawar yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri itu. Ternyata tidak mengurangi keakraban yang sudah terjalin di antara mereka.
“Mana air minumnya, Nyi! Coba dilihat-ke dapur sana!” Ki Demang menyuruh istrinya agar cepat-cepat menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk kedua tamunya. Lalu Ki Demang berpaling pada Rekajaya setelah Nyi Demang beranjak ke dapur. Ternyata di dapur masih harus menunggu rebusan ganyong yang belum masak. Karena itu Nyi Demang keluar lagi ikut menemui tamunya.
“Kamu kabarnya bagaimana, Rekajaya?  Lama tidak ke sini, ya?” tanya Ki Demang pula. Ki Demang tidak pernah lupa pada Rekajaya yang dulu dikenalnya sebagai pembantu Ki Sulap Pangebatan.
“Kabar baik juga, Ki Demang. Semoga Ki Demang sekeluarga juga baik-baik saja keadaannya. Salam juga, dari Nyai Kertisara,” kata Rekajaya.
“Salam kembali. Katakan terimakasihku kepada Nyai Kertisara. Kirimannya lima kranjang gula kelapa dan lima kranjang gula aren, telah sampai. Semoga usaha Nyai Kertisara semakin maju,” kata Ki Demang.
“Maaf Ki Demang, lupa. Ada tambahan kiriman satu  karung beras dari Nyai Kertisara. Tukang kuda mengangkutnya ke dapur tadi,” kata Nyi Demang yang muncul lagi dari dalam ruang tengah dan mendengar apa yang dikatakan suaminya. Dia langsung mengoreksi  macam barang kiriman yang pagi itu diterima dari Nyai Kertisara yang disebutkan suaminya. Bukan hanya gula aren dan gula kelapa, tapi ada juga kiriman satu karung beras.
“Oh, iya? Wah, terimakasih sekali lagi kepada Nyai Kertisara. Sampaikan salam khusus untuk Nyai Kertisara yang telah banyak menyumbang Kademangan Kejawar,” kata Ki Demang kepada Rekajaya.
“Sama-sama, Ki Demang. Bantuan Nyai Kertisara sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan bantuan dan kemudahan yang telah diberikan Ki Demang Kejawar kepada keluarga Nyai Kertisara dan penduduk Kaliwedi. Kami sering merepotkan jika mengikuti ritual-ritual pemujaan kepada Sang Hyang Syiwa  yang diselenggarakan oleh Ki Demang. Sebab jika penduduk Kaliwedi harus mengikuti ritual di lereng Gunung Agung, tentu terlalu jauh. Jika ada tempat ritual lebih dekat yang hanya beberapa pal setelah menyeberangi Sungai Ciserayu, kenapa kami harus ke tempat yang jauh?” kata Rekajaya yang disambut dengan gembira oleh Ki Demang Kejawar.
“Kalau yang demikian itu, kan merupakan kewajiban kepada sesama pemeluk Sang Hyang Syiwa. Jadi, tidak jadi masalah, Rekajaya,” kata Ki Demang.
Bagi Ki Demang Kejawar, dirinya sudah cukup puas dan senang jika ritual-ritual religi yang diselenggarakannya ternyata dihargai dan bermanfaat bagi sesama umat manusia. Tanpa memandang penduduk dari wilayah kadipaten atau kerajaan mana yang akan mengikuti ritual-ritual religi yang diselenggarakannya.
“Sesungguhnya agama bukanlah alat pemecah belah, Rekajaya. Hanya orang tolol dan bodo saja yang menganggap agama adalah alat pemecah belah persatuan,” kata Ki Demang Kejawar pula.
“Sumber peperangan, pertikaian, dan permusuhan antar sesama manusia dari jaman dahulu, jaman sekarang, dan jaman yang akan datang, adalah nafsu tamak manusia akan harta, tahta, dan wanita. Tiga hal itu yang merupakan biang kerok perpecahan, peperangan, dan perebutan kekuasaan di antara para raja, para ksatria, bahkan juga para brahmana dan pendeta. Agama bukan-pemicu perpecahan! Sungguh keliru dan picik orang yang punya pandangan demikian. Hanya agama memang bisa disalahgunakan sebagai alat untuk mencapai ambisi dan nafsu para raja untuk memenuhi-keinginanannya menguasai harta, tahta, dan wanita. Justru agama, secara kodrati adalah alat pemersatu di antara sesama manusia. Bukankah agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang maknanya adalah a artinya tidak, dan gama, artinya kacau? Jadi arti harfiah agama ialah tidak kacau?”
“Dengan jalan memeluk suatu agama, maka manusia akan hidup tertib, seimbang, serasi, dan harmonis dalam hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta dan manusia dengan Tuhan. Manusia yang tidak beragama itu sama dengan binatang! Mana ada binatang yang tahu caranya menyembah kepada Tuhan, bukan?”
“Kadipaten Wirasaba dan Kadipaten Pasirluhur, adalah kadipaten yang sama-sama menyembah Sang Hyang Syiwa. Kenapa harus bermusuhan dan bercerai berai? Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran, juga-sama-sama penganut agama Hindu Syiwa, kenapa pula-harus bermusuhan dan bercerai berai? Demikian pula antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Pajajaran. Sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa, kenapa harus terus mewarisi permusuhan warisan Perang Bubat? Semua itu bukan karena agama. Tetapi karena urusan perebutan harta, atau tahta, atau  wanita. Bisa salah satu, kedua-duanya, atau malah ketiga-tiganya.”
“Perang Bubat bukan perang agama. Tetapi perang untuk memenuhi ambisi Mahapatih Gajah Mada akan kekuasaan. Hanya karena nafsu kekuasaan untuk bisa menaklukan Kerajaan Galuh yang belum tertaklukan, Maha Patih Gajah Mada dengan tangan dingin, membantai Raja Galuh beserta para keluarganya dan seluruh pengiringnya. Pembantaian dalam tragedi Perang Bubat itu, bukan soal agama. Tetapi soal nafsu tamak manusia akan tahta dan kekuasaan, sehingga darah dengan mudahnya ditumpahkan. Camkan hal ini baik-baik, Rekajaya!” kata Ki Demang Kejawar mengingatkan Rekajaya yang disetujui dan dibenarkan sepenuhnya oleh Rekajaya, Arya Baribin, bahkan disetujui oleh Nyi Demang Kejawar yang ikut mendengarkan perbincangan dengan kedua tamunya itu.
“Betul sekali, apa yang dikatakan Ki Demang. Nasihat itu persis sekali dengan nasihat yang  juga sering disampaikan oleh Ndara Kamandaka. Terimakasih, Ki Demang telah mengingatkan sebuah ajaran yang mencerdaskan kita semua,” kata Rekajaya yang membuat Ki Demang Kejawar tersenyum. Dia melihat Rekajaya mengalami kemajuan dalam pandangan-pandangannya dan cara berpikirnya.
Memang Kademangan Kejawar, merupakan wilayah sima yang berada dibawah perlindungan Kadipaten Wirasaba dan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit digantikan Kerajaan Keling yang akhirnya pindah ke Kediri, maka Kademangan Kejawar, berada dibawah perlindungan Kadipaten Wiarasaba dan Kerajaan Hindu Kediri penerus Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Sedangkan Nyai Kertisara dan penduduk Kaliwedi yang berada di sisi utara Sungai Ciserayu, berada dibawah perlindungan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Galuh yang kemudian dipindahkan ke Pakuan Pajajaran. Tetapi baik Kadipaten Pasirluhur, maupun Kadipaten Wirasaba adalah kadipaten yang sama-sama memuja Sang Hyang Syiwa.
Karena sama-sama penyembah Sang Hyang Syiwa, perayaan-perayaan dan ritual  keagamaan yang ada, seperti Hari Raya Kuningan atau Diwali dan Hari Raya Nyepi menyambut tahun baru 1 Saka, ternyata Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba, menyelenggarakan perayaan-perayaan itu dalam waktu bersamaan. Hanya saja tempat untuk penyelenggaraan ritual menyambut ke dua hari raya itu masing-masing kadipaten berbeda. Jika Kadipaten Wirasaba memusatkannya di lereng barat Pegunungan Ciserayu, Kejawar. Maka  Kadipaten Pasirluhur memusatkannya di lereng timur Gunung Agung. Lalu kenapa penduduk yang tinggal di wilayah yang berdekatan, seperti penduduk Kaliwedi dan sekitarnya tidak diberi kebebasan untuk memilih tempat beribadah yang lebih praktis dan disukainya? Pikir Ki Demang Kejawar dalam benaknya.
Andaikata kelak Adipati Wirasaba melarang kebijakan yang telah diambilnya, Ki Demang Kejawar telah siap dengan jawabannya dan siap pula mempertanggung jawabkan tindakan dan kebijakannya. Bahkan, jika Sang Raja Ranawijaya, Raja Kediri, selaku penguasa tertinggi Kademangan Kejawar kelak menegurnya, demikian tekad Ki Demang Kejawar, dia akan dapat mempertanggung jawabkannya berdasarkan tuntunan Weda. Ki Demang Kejawar memang telah memiliki keyakinan yang tercerahkan bahwa agama bukan sumber perpecahan. Ambisi manusia akan harta, tahta, dan wanitalah sumber perpecahan dan peperangan antar sesama manusia. Itulah dasar keyakinan Ki Demang Kejawar.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar