Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 24 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(59)



“Siap, Raden. Banyak punggawa Kadipaten yang bisa dikerahkan, baik untuk Baturagung maupun Kendalisada.”
“Baiklah kalau begitu. Selanjutnya menjadi tanggung jawab Dimas Arya Baribin selaku penanggung jawab sektor timur. Selalu hubungi aku bila ada kesulitan. Tumenggung Maresi, antarkan Rekajaya ke Kaliwedi,” kata Kamandaka sambil bersiap akan kembali ke Dalem Kadipaten Pasirluhur.
Kegiatan meninjau lokasi pelatihan prajurit sektor utara dan sektor timur telah selesai. Kamandaka segera meloncat naik ke atas kudanya, disusul Silihwarna dan Arya Baribin. Jigjayuda selaku petunjuk jalan memacu kudanya kembali ke Kaliwedi. Berturut-turut mengikuti di belakangnya, Arya Baribin dengan Ratna Pamekas, Silihwarna dengan Mayangsari disusul Kamandaka dengan Sang Dewi. Paling belakang Tumenggung Maresi selaku pengawal rombongan sambil membawa Rekajaya yang hanya akan ikut sampai Kaliwedi saja.
Dari Kaliwedi para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu memacu kudanya ke arah utara, lalu belok kiri menuju Kadipaten Pasirluhur. Dengan mudah rombonga Sang Dewi melewati Sungai Banjaran. Matahari akhir musim kemarau akan segera-terbenam, tampak bagaikan bola tembaga raksasa tergantung di langit sebelah barat. Sang Dewi dari atas kudanya melihat bola tembaga raksasa yang sinarnya berpendaran kemana-mana. Sebentar lagi bola tembaga raksasa akan segera lenyap di balik kaki langit. Sebagian dari sinar matahari warna merah tembaga singgah di wajah Sang Dewi,sehingga menjadikan Sang Dewi tampak semakin cantik. Kamandaka yang mengendalikan kudanya, gelisah seketika. Bagi Kamandaka kecantikan Sang Dewi saat-itu-sangat indah alami, bagaikan bidadari dalam balutan cahaya warna merah senja yang sedang-turun dari Kahyangan. Kamandaka pun berbisik lirih.
“Dinda Dewi, dalam balutan cahaya matahari senja hari, tampak semakin cantik.”
“Kenapa Kanda tidak....,?” tanya Sang Dewi, sambil menjatuhkan kepalanya ke belakang, sehingga pipi kiri Sang Dewi langsung berimpitan dengan pipi kanan Kamandaka. Kesempatan itu dimanfaatkan Kamandaka untuk memberikan ciuman lembut kepada Sang Dewi. Tetapi tak lama kemudian Sang Dewi menarik kepalanya ke depan kembali.
“Kenapa, Dinda Dewi?” tanya Kamandaka-penasaran.
“Kanjeng Ibu melarang sepasang kekasih, bahkan sepasang suami istri berkasih-kasihan pada saat senjakala tiba seperti ini. Orang bilang sekarang ini saat candikkala, saat energi negatip muncul di permukaan bumi. Bahkan Dewa Syiwa dan Dewi Uma pun pernah mendapat kutukan alam semesta karena melanggar larangan bermain cinta pada saat senja kala tiba,” kata Sang Dewi mengingatkan Kamandaka kepada kisah para dewa yang sempat dibacanya.
“Tapi, Dinda Dewi yang tadi...,” sanggah Kamandaka.
“Ya, karena Kanda memuji aku,”
“Lagi?” goda Kamandaka.
“Tidak ah, nanti bikin iri Tumenggung Maresi yang ada di belakang kita,” katanya. Tetapi, Sang Dewi kembali menjatuhkan kepalanya kebelakang, sehingga kedua pipi sepasang kekasih itu saling bertemu kembali. Bahkan Sang Dewi memejamkan matanya seakan-akan tertidur dalam pelukan tangan kanan Kamandaka yang sedang mengendalikan tali kekang kuda. Kamandaka tersenyum dalam hati. Dia tidak pernah menyesal. Rasa rindunya kepada Sang Dewi, tak pernah lenyap. Tepat saat matahari terbenam di kaki langit, rombongan para Ksatria Kadipaten Pasirluhur itu tiba kembali di halaman Pendapa Kadipaten.
“Dinda Dewi, sudah sampai,” bisik Kamandaka pada Sang Dewi yang masih memejamkan matanya. Kamandaka tidak melewatkan kesempatan untuk memberikan ciuman selagi mereka masih berada di atas pelana kuda. Kamandaka segera meloncat turun. Kemudian membimbing Sang Dewi turun dari atas pelana kuda.Seorang bujang yang sedang berjaga dekat pintu gerbang berlari-lari dan mengambil alih kuda dari Kamandaka, lalu membawanya ke kandang kuda.
***
Matahari terbit dan terbenam silih berganti. Pagi bertukar dengan siang. Siang bertukar dengan malam. Kembali malam bertukar dengan pagi. Bumi pun terus berputar. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Akhirnya waktu 120 hari yang dijanjikan untuk  pertemuan dan penjemputan calon mempelai wanita Kadipaten Pasirluhur oleh calon mempelai pria  Kerajaan Nusakambangan, tinggal tersisa lima hari lagi.
Tepat pada saat itu datanglah utusan dari Nusakambangan. Mereka segera menghadap Kanjeng Adipati dan-menyatakan siap memenuhi semua persyaratan yang diminta calon mempelai putri. Bahkan permintaan 1000 kodi mori putih bersih telah dibawa dan untuk diserahkan hari itu juga.
Utusan juga minta kepastian janji Kadipaten Pasirluhur mengenai tempat dan waktu penjemputan calon mempelai wanita oleh calon mempelai pria. Kemudina dilanjutkan dengan acara ritual pernikahan kedua calon mempelai-dan pesta pernikahan.
Pihak Kadipaten Pasirluhur memberikan jaminan, bahwa tidak ada perubahan tempat dan waktu yang sudah dijanjikan. Utusan Nusakambangan pun kembali dengan membawa kabar menggembirakan bagi Sang Raja Kerajaan Nusakambangan.
Dua hari sebelum waktu yang telah disepakati,  Sang Dewi dan Kamandaka beserta seluruh pasukan dari tiga sektor segera bertolak dari pangkalannya masing-masing. Esok siang harinya semua pasukan sudah tiba  dan menempati sektornya sendiri-sendiri.Prajurit dari Padepokan Baturagung menempati jalan sektor utara dengan komandan Silihwarna. Prajurit dari Padepokan Dayeuhluhur, menempati jalan sektor barat dengan komandan Wirapati. Sedangkan prajurit dari Padepokan Kendalisada, menempati jalur sektor timur dengan komandan Arya Baribin.
Tenda-tenda pasukan didirikan pada jarak sekitar lima pal dari jalan simpang empat yang sudah disepakati. Tujuannya agar kehadiran pasukan itu tidak mencurigakan Kerajaan Nusakambangan. Memang kehadiran pasukan  sengaja disamarkan sedemikian rupa sehingga seakan-akan mereka hanyalah pasukan pengiring calon mempelai putri, yang sama sekali tidak membahayakan rombongan pengiring mempelai pria Nusakambangan. Kamandaka dan Sang Dewi menempati tenda tersendiri ditemani juru rias yang telah siap dengan tandu calon pengantin putri.  Si Lutung Kasarung ikut menjadi penghuni tenda Sang Dewi.Sore hari pun tiba. Angin dari lereng-lereng bukit yang ada di kanan kiri jalan, menyinggahi tempat perkemahan. Sang Dewi melihat pucuk-pucuk pohon raksasa yang berdiri tegak tidak jauh dari pinggir jalan, bergerak-gerak seakan-akan sedang menari digoyang angin sore.
“Kanda Kamandaka, lihat langit di atas pohon-pohon yang menjulang ke angkasa itu,” kata  Sang Dewi kepada Kamandaka yang duduk di sampingnya sambil memangku si Lutung Kasarung.
“Apakah Kanda melihat keanehan dari burung hitam itu? Elangkah atau burung gagakkah?”
Kamandaka menatap langit di atas pohon yang ditunjukkan Sang Dewi. Sejumlah burung elang berputar-putar membentuk lingkaran di udara. Anehnya makin lama elang yang berkumpul makin banyak. Kumpulan elang itu membentuk banyak lingkaran-lingkaran hitam di langit. Mula-mula hanya satu lingkaran. Datang lagi sekumpulan elang membentuk lingkaran tersendiri. Datang lagi yang lain lagi, juga membentuk lingkaran tersendiri lagi, demikian seterusnya.


“Itu burung elang,” kata Kamandaka
“Bagaimana kalau bukan burung elang, tetapi burung gagak?” tanya Sang Dewi. Kamandaka tidak menjawab, karena dia berpendapat burung gagak dan burung elang memang berbeda.
“Ya, kalau itu burung gagak menurut Dinda Dewi ada masalah apa?”
“Penciuman burung gagak tajam. Dia mampu mencium bau amis darah yang akan tertumpah dalam medan pertempuran, sebelum ada darah tertumpah.”
“Bukan penciuman burung gagak yang tajam,” kata Kamandaka mencoba menjelaskan perilaku burung-burung buas pemakan bangkai itu. “Tapi memang burung-burung itu tahu perilaku manusia sejak jaman dulu hingga sekarang. Mereka tahu, manusia yang berkumpul sambil membawa senjata, kemudian mendirikan perkemahan, bagi burung gagak atau pun elang pemakan bangkai adalah suatu pertanda akan ada peperangan. Dan setiap peperangan pasti akan ada korban, ada darah tumpah, dan ada mayat-mayat bergelimpangan yang segera akan menjadi bangkai. Dan bangkai, memang makanan lezat bagi burung gagak maupun burung elang pemakan bangkai.”
“Kanda, benar sekali. Lihat itu lingkaran-lingkaran hitam semakin banyak saja. Mereka tampaknya sedang berpesta pora dengan tarian ritual menyambut darah, mayat, bangkai, dan kematian,” kata Sang Dewi.
“Kalau pestanya belum. Itu baru tarian ritual mereka agar besok perang benar-benar menjadi kenyataan. Usai peperangan besok sore barulah mereka berpesta pora merayakan kematian, tanpa peduli dari pihak mana kematian itu menjemput para prajurit,” Kamandaka meluruskan anggapan Sang Dewi.
“Perang sebenarnya sesuatu yang problematis. Akibat peperangan bisa merusak peradaban manusia yang sebenarnya cinta damai. Tetapi anehnya, tanpa peperangan tidak akan pernah tercipta keadilan, kebenaran, dan perdamaian sejati. Bisakah manusia hidup tanpa peperangan?” tanya Sang Dewi.
“Itulah masalah yang sejak berpuluh-puluh abad lalu dan pada abad-abad yang-akan datang selalu dipikirkan oleh para brahmana, pendeta, nabi, pujangga, dan para pemikir yang cerdik pandai,” jawab Kamandaka.
“Tetapi Dinda  Dewi, selama  orang hidup di dunia ini masih memperebutkan harta, tahta dan wanita, selama itu akan tetap ada peperangan. Dan selama itu pula para ksatria akan tetap ada. Sebab tugas para ksatria memang berperang. Adalah suatu pandangan keliru jika orang membenci para ksatria karena mengira para ksatria adalah penyebab timbulnya peperangan. Karena menganggap para ksatrialah penyebab timbulnya peperangan, maka ada yang berpendapat, hanya dengan memusnahkan para ksatria maka dunia akan terbebaskan dari peperangan. Dan terwujudlah perdamaian abadi di antara umat manusia. Tapi-sebenarnya-pendapat itu hanyalah romantisme dan khayalan tidak berdasarkan kenyataan di dunia yang terkadang membingungkan.”
“Dalam kisah Mahabharata, Rama Parasu adalah contoh dari sosok brahmana yang menganggap bahwa di dunia ini  tidak akan pernah ada kehidupan yang  tertib dan damai  selama masih ada golongan ksatria dalam masyarakat,” kata Kamandaka melanjutkan.
“Karena golongan ksatria telah dijadikan kambing hitam orang-orang semacam Rama Parasu, maka golongan ksatria itu harus dimusnahkan. Dia menganggap golongan ksatrialah biang kerok kekacauan, penyulut peperangan, demi ambisinya yang-tak-pernah-terpuaskan akan harta, tahta, dan wanita.” 
“Ya, benar sekali,” kata Sang Dewi menanggapi Kamandaka yang menyinggung seorang brahmana sakti, Rama Parasu. “Aku pernah baca kisah Ramaparasu, brahmana yang bersumpah untuk membunuh para ksatria. Dengan kampaknya yang menakutkan, dia memenggal leher setiap ksatria yang dijumpainya. Tetapi para ksatria tidak pernah musnah. Boleh dikatakan patah tumbuh hilang berganti. Kenapa para ksatria tidak pernah musnah?” tanya Sang Dewi. 
“Karena tanpa ksatria justru dunia ini akan kacau balau,” Sang Dewi menjawab pertanyaannya sendiri. “Tanpa peran para ksatria, tidak mungkin tercipta masyarakat tertib damai. Hanya para ksatria dan bukan para brahmana yang bisa mewujudkan tertib damainya masyarakat. Perang akan hilang dengan sendirinya bila para ksatria bisa mewujudkan masyarakat tertib damai. Tertib yang sesungguhnya tidak akan ada bila tidak ada perdamaian. Dan damai dalam masyrakat hanya akan ada apabila setiap warga masyarakat tidak dihalang-halangi dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya atas dasar prinsip keadilan, kebenaran, dan persamaan.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar