Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 30 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(49)




Sore itu, Kanjeng Adipati mondar-mandir di beranda ruang tamu Dalem Kadipaten. Sebentar lagi dia akan menerima tamu  dua putra Kerajaan Pajajaran. Perasaan gembira, bahagia, dan cemas campur aduk jadi satu. Kanjeng Ayu Adipati yang memperhatikan tingkah laku suaminya hanya tersenyum.
“Tidak usah tegang dan gelisah, Kanda. Masa mau menerima calon menantu wajahnya tegang?” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil mendekati suaminya.
‘Apakah aku kelihatan tegang? Aku pikir, Diajeng saja yang suka berpikiran negatip.”
“Aku tahu apa yang sedang Kanda pikirkan,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa coba, kalau memang tahu?”
“Kanda wajahnya kelihatan gembira karena sudah  memberikan surat jawaban lamaran yang dibuat Dewi kepada utusan dari Nusakambangan tadi pagi. Dan mereka telah pergi dengan perasaan senang karena lamaran mereka diterima. Kepergian mereka dari Kadipaten itulah yang membuat Kanda gembira, karena Kanda merasa telah terhindar dari beban berat.”
“Lho, yang menerima kan Dewi, Diajeng tahu sendiri tadi malam, bukan?”
“Betul Dewi yang menerima dan yang membuat surat jawaban. Tetapi bukankah yang menandatangani Kanda sendiri, bukan Dewi? Itu kan yang membuat Kanda gembira tapi campur bingung.” Kata Kanjeng Ayu Adipati yang membuat suaminya tidak berkata sedikit pun.
“Ada satu lagi yang membuat Kanda galau,” kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa itu?” tanya Kanjeng Adipati.
“Kamandaka, belum akan melamar Dewi secara resmi. Dia akan pulang dulu ke Pajajaran, lapor Ayahandanya, baru melamar Dewi. Kanda galau, karena belum ada kepastian. Bagaimana kalau Kamandaka tidak kembali ke Pasirluhur? Bagaimana kalau Ayahandanya ternyata ingkar janji dan tak menyetujui Dewi jadi menantunya? Banyak hal belum pasti. Karena itu Kakanda bingung dan galau, benar bukan, Kakanda?” Kanjeng Ayu Adipati melirik suaminya.
Tiba-tiba Sang Dewi muncul dengan dandanan anggun bak bidadari baru turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam mengkilat disanggul indah sekali, dihiasi rangkaian melati  putih bersih yang menyebarkan aroma harum mewangi. Bagian atas tubuhnya dibalut  kain penutup dada berwarna merah jambu. Selendangnya sutra kuning. Kain batiknya berwarna putih truntum  berhiaskan burung merak warna hitam, melekat indah membelit pinggang dan bagian bawah tubuh Sang Dewi yang tinggi semampai itu. Seuntai kalung emas meliliti lehernya dan sepasang gelang emas keroncong berkilau-kilauan di pergelangan tangannya. Alas kaki yang dipakainya adalah alas kaki dengan haq tinggi dilapisi beludru hitam berhiaskan sulaman benang mas. Seuntai rantai emas berkilau-kilauan  meliliti salah satu ujung kakinya.
Sejenak Kanjeng Adipati Kandhadaha terpukau melihat kecantikan putri kesayangannya, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Melati Kadipaten Pasirluhur. Sang Dewi sore itu, tampil bagaikan Dewi Supraba, bidadari tercantik kekasih Sang Arjuna dari kahyangan yang sedang bertamu mengunjungi Kadipaten Pasirluhur. Seraya mengembangkan senyumnya yang manis, Sang Dewi langsung berkata kepada ayahandanya. Bayangan bidadari Dewi Supraba dari kahyangan lenyap seketika dari benak Kanjeng Adipati Kandhadaha, ketika mendengar kata-kata Sang Dewi.
“Kanjeng Rama, tidak usah cemas. Bukankah  Dewi sudah mengatakan? Kanda Kamandaka pasti akan melamar Dewi secara resmi, sebelum pulang ke Pakuan Pajajaran. Pulang ke Pajajaran juga tidak akan lama. Percaya saja pada Dewi. Kalau sampai Kanda Kamandaka pulang ke Pakuan tanpa lebih dulu melamar Dewi secara resmi, Kanjeng Rama tahu kan?” kata Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati, lalu diam sejenak. Kemudian katanya melanjutkan.
“Dewi akan berkata pada Kanda Kamandaka, silahkan pulang ke Pajajaran, dan tak usah melamar aku lagi. Karena akan terlambat, bukankah aku sudah dilamar Raja Nusakambangan? Dan aku sudah menerima lamaran itu. Artinya jika Kanda Kamandaka memang serius menginginkan aku jadi pendamping hidupnya, Kanda Kamandaka masih punya beberapa kewajiban.”
“Pertama, sebelum kembali ke Pajajaran, harus sudah melamar aku secara resmi. Kedua, Kanda Kamandaka harus sanggup membatalkan lamaran Raja Nusakambangan yang sudah aku terima. Caranya terserah bagaimana Kanda Kamandaka saja. Kenapa aku menerima lamaran Raja Nusakambangan? Karena Kanda Kamandaka terlambat menemui Kanjeng Rama untuk  melamar Dewi secara resmi. Kanda Kamandaka berjanji sebulan setelah bertemu Dewi, dia mau melamar secara resmi. Eh, malah empat bulan lebih masih ada di sekitar Kadipaten Pasirluhur.”
Mendengar penjelasan Sang Dewi, Kanjeng Adipati merasa tenang dan kegalauannya yang menggelayuti dirinya sedikit demi sedikit lenyap dari dalam benaknya. Kanjeng Adipati semakin kagum pada kecerdasan putrinya itu. Bukan hanya cerdas. Tetapi juga banyak akalnya. Mereka bertiga masih berdiri di beranda ruang tamu Dalem Gede Kadipaten sambil berbincang-bincang menunggu tamu yang menurut seorang utusan Ki Patih, akan segera tiba.
Sementara itu, di halaman kadipaten sejumlah prajurit berbaris rapi siap menyambut kedatangan tamu. Tak lama kemudian memang datanglah tamu yang ditunggu-tungu itu. Tiga ekor kuda berjalan di depan diiringi sejumlah prajurit dari kepatihan yang berjalan gagah sambil membawa tombak. Di atas kuda duduk berturut-turut Kamandaka yang mengenakan baju sutra warna kuning, celana hitam, sabuk kulit coklat dan alas kaki dari kulit halus berwarna hitam.
Di samping kiri Kamandaka, duduk di atas kuda, Silihwarna dengan pakaian yang sama dengan Kamandaka, hanya baju sutranya yang berwarna biru laut. Kedua satria itu nampak bagaikan sepasang satria kembar. Di samping kanannya lagi, duduk di atas kuda adalah Ki Patih Reksanata yang mengantarkan kedua Ksatria Pajajaran itu sejak dari Dalem Kepatihan. Ki Patih mengenakan beskap warna hitam mengkilat dengan hiasan benang emas, celana hitam, alas kaki hitam dan penutup kepala sebuah blangkon corak batik.
Memang Kamandaka dan Silihwarna, sebelum menuju kadipaten, mampir dulu ke kepatihan. Malah Kamandaka menyempatkan diri menengok bekas kamar yang dulu ditempatnya saat masih mondok jadi anak angkat Ki Patih Reksanata.
Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati, dan Sang Dewi, menyambut kedua Ksatria Putra Pajajaran itu di depan beranda ruang tamu. Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati langsung terpukau kepada ketampanan kedua putra Kerajaan Pajajaran yang bagaikan ksatria kembar. Keduanya hanya bisa dibedakan dengan warna bajunya.
“Hem, bagaikan ksatria Arjuna yang sangat layak menjadi anak menantu pendamping hidup putriku tercinta, Dewi, Melati dari Pasirluhur yang cantik jelita itu,” kata Sang Adipati dalam benaknya.
Kamandakan langsung mencium tangan Kanjeng Adipati dan  tangan Kanjeng Ayu Adipati. Dengan Sang Dewi selain bersalaman dan mencium punggung telapak tangan kanan Sang Dewi,  tentu saja Kamandaka langsung cium pipi kanan dan cium pipi kiri Sang Dewi. Silihwarna mengikuti kakaknya. Tetapi dengan Sang Dewi, Silihwarna tentu saja hanya bersalaman biasa saja, sambil menyebutkan namanya. Sebab, walaupun agak sering ke Kadipaten, Silihwarna belum pernah berjumpa dengan Sang Dewi. Dalam hati, Silihwarna merasa bangga juga punya kakak ipar secantik Sang Dewi.
Pertemuan sore hari itu diadakan di ruang tamu Dalem Kadipaten. Hanya Ki Patih yang menemani kedua putra Pajajaran itu menghadap Kanjeng Adipati yang duduk didampingi Kanjeng Ayu Adipati dan Sang Dewi. Ki Patih yang duduk di depan Kanjeng Adipati mendampingi kedua putra Pajajaran itu mengawali pembicaraannya.
“Kanjeng Adipati, mewakili kedua putra Pajajaran ini, kami menyampaikan terimakasih atas kesediaan Kanjeng Adipati dan keluarga yang telah menerima kami bertiga. Selanjutnya silahkan Ananda Kamandaka mengutarakan sendiri apa tujuannya sore ini menghadap Kanjeng Adipati.”
Kamandaka langsung melanjutkan kata-kata Ki Patih, “Pertama, tentu saja, ananda Banyakcatra, mengucapkan terimakasih atas penerimaan dan penyambutan dari Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga yang sungguh luar biasa ini. Kedua, ananda Banyakcatra pada kesempatan ini memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kelakuan dan perbuatan ananda Banyakcatra yang tidak senonoh, yang telah melanggar adat, tradisi serta kebiasaan-kebiasakan yang dimuliakan yang telah ananda langgar, sehingga sangat merepotkan dan menyulitkan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga. Ketiga, Adinda Silihwarna akan mengutarakan sesuatu mewakli Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran. Silahkan Adinda.”

Silihwarna langsung angkat bicara, “Sebagimana baru saja diutarakan oleh Ki Patih dan Kanda Banyakcatra, ananda Banyakngampar juga mengucapkan terimakasih atas penyambutan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga kepada kami bertiga. Kedua, ananda  juga mohon maaf kepada Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga, jika selama ananda di Kadipaten Pasirluhur, banyak melakukan kesalahan, baik yang disadari maupun tidak. Ketiga, atas nama Sri Baginda Prabu Siliwangi, Ayahanda kami berdua, ananda sendiri dan Kanda Banyakcatra, memohon ijin kepada Kanjeng Uwa Adipati, agar Kanda Banyakcatra diijinkan dan direstui oleh Kanjeng Uwa Adipati dan Kanjeng Ibu Adipati, untuk menyunting Ayunda  Dewi. Terakhir, ananda dan Kanda Banyakcatra mohon ijin besok akan kembali ke Pakuan untuk melaporkan kepada Ayahanda guna membicarakan langkah-langkah lebih lanjut setelah lamaran resmi diterima. Keempat, Kanda Banyakcatra ingin menyerahkan sesuatu sebagai pengikat untuk Ayunda Dewi,”  kata Silihwarna mengakhiri kata-katanya sambil menyerahkan kotak dari perak yang diikat dengan pita berwarna kuning dan diletakkan di atas meja di depannya.
Kanjeng Adipati langsung memberikan sambutan sambil tersenyum, wajahnya nampak ceria. “Ki Patih, terimakasih telah ikut bersusah-susah mengantar ke dua putra Kerajaan Pajajaran ke Dalem Kadipaten. Ananda Banyakcatra dan Ananda Banyakngampar, semua permintaan dan permohan Ananda berdua, Kanjeng Uwa kabulkan. Kanjeng Uwa juga minta maaf, karena kekurang telitian dan bisa jadi karena keteledoran dan kecerobohan. Marilah kita lupakan semua peristiwa yang timbul semata-mata karena kesalahpahaman. Maklumlah, karena sudah tua. Adapun soal lamaran, sebagai orang tua, Kanjeng Uwa dan Kanjeng Ayu Adipati pastilah menyetujui dan merestui. Tapi karena dalam soal lamaran ini yang paling punya hak untuk menjawab adalah Dewi, ya biarlah Dewi saja yang menjawabnya secara langsung.”
Sang Dewi langsung memberikan sambutan. Dengan tenang dan nada suara enak di dengar, Sang Dewi memenuhi permintaan Kanjeng Adipati. “Terimakasih Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, Paman Patih, Kanda Banyakcatra dan Dinda Banyakngampar. Soal lamaran tidak mudah,  karena sudah ada seorang pria yang secara resmi lebih dahulu melamar Dewi,” kata Sang Dewi, lalu diam beberapa saat, sehingga membuat mereka yang hadir berdebar-debar. Bahkan Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati ikut menahan napas. Karena mereka tahu, langkah Sang Dewi terkadang sukar ditebak.
“Sebenarnya, Kanda Kamandaka sudah mengenal aku lebih dari  empat bulan yang lalu. Tetapi lebih dari empat bulan ditunggu-tunggu lamarannya secara resmi tak datang-datang juga. Tidak ada pula kabarnya. Maka ketika ada lamaran resmi dari Raja Nusakambangan tiga hari yang lalu, aku langsung menerimanya.” Berkata demikian Sang Dewi lalu diam lagi beberapa saat. Semua yang hadir menahan napas semua, lebih-lebih Kamandaka. Wajahnya langsung pucat pasi.
“Namun sekalipun aku sudah  menerima lamaran Raja Nusakambangan, tetapi aku mengajukan sejumlah syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi Raja Nusakambangan, tentu saja lamaran akan batal dengan sendirinya. Sekarang datang lamaran ke dua dari Kanda Kamandaka. Tentu saja lamaran Kanda Kamandaka sekalipun terlambat akan aku terima. Tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi Kanda Kamandaka,” kata Sang Dewi membuat susana menjadi hening mendadak. Ketegangan pun muncul kembali akibat penjelasan Sang Dewi yang agak membingungkan itu.
“Kira-kira syarat apakah yang harus dipenuhi Kanda Banyakcatra, Ayunda Dewi?” tanya Silihwarna memecahkan keheningan suasana yang sempat terbentuk.
“Tentu saja Kanda Kamandaka harus berjuang sekuat tenaga agar semua butir persyaratan yang Dewi minta kepada Raja Nusakambangan tidak bisa dipenuhinya”, jawab Sang Dewi sambil tersenyum.
“Boleh tahu syarat-syarat apa yang Ayunda Dewi minta kepada Raja Nusakambangan?” tanya  Silihwarna pula.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar