“Baiklah Dinda Silihwara, aku sebutkan satu
persatu. Tolong perhatikan baik-baik.” Sang Dewi pun menyebutkan tujuh syarat
yang telah diminta kepada Raja Nusakambangan sebagaimana tersebut dalam jawaban
surat lamaran.
Pertama, Raja Pulebahas sebagai calon mempelai pria harus menyediakan mas
kawin berupa 1000 kodi kain mori yang putih bersih. Kedua, menyediakan 40 gadis
perawan suci yang semuanya kembar sebagai calon pengiring kedua calon mempelai.
Ketiga, pernikahan dilaksanakan 120 hari setelah tanggal lamaran diterima. Keempat,
calon mempelai pria akan menjemput calon mempelai wanita di luar kota Kadipaten
Pasirluhur. Tempatnya, yakni di persimpangan jalan melintang dari selatan ke
utara yang menghubungkan Nusakambangan dengan Gunung Agung dengan jalan
melintang dari timur ke barat yang menghubungkan Rawalo dengan Dayeuhluhur.
Kelima, di tempat penjemputan calon mempelai
pria harus turun dari tandu untuk menjemput sendiri calon mempelai putri. Calon
mempelai putra harus menjemput calon mempelai putri yang ada dalam tandu calon mempelai putri,
dan membawanya ke tandu calon mempelai
pria. Ke enam, prosesi ritual pernikahan dan penyelenggaraan pesta akan
dilaksanakan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur. Bulan madu akan dilaksanakan
sesudah selesai acara pesta pernikahan. Ke tujuh, pengiring calon pengantin
putra tidak diperkenankan membawa pasukan bersenjata dalam bentuk apapun.”
“Demikian syarat-syarat yang aku minta kepada
Pulebahas, Raja Nusakambangan,” kata Sang Dewi setelah menyebutkan tujuh
syarat-sayarat yang dimintanya kepada Raja Nusakambangan.
“Silahkan Kanda
Kamandaka dan Dinda Silihwarna, cari jalan dan akal agar Raja Pulebahas tidak bisa
memenuhi ketujuh syarat itu. Aku tinggal sebentar. Kalau aku kembali, harus
sudah ada pemecahan. Kanjeng Rama dan Paman Patih, boleh ikut mencarikan jalan
keluar. Kalau tidak bisa menemukan jalan keluar, wah bisa-bisa aku bakal
diboyong ke Nusakambangan,” kata Sang Dewi bercanda sambil bangkit meninggalkan
ruang tamu. Mereka yang ada di ruang tamu saling berpandang-pandangan.
Sedangkan Kanjeng Ayu Adipati senyum-senyum saja melihat ulah Sang Dewi yang
membuat para tamu itu pusing tujuh keliling.
“Coba kita pecahkan satu-satu, mana dari tujuh
butir syarat-syarat itu yang tidak akan bisa dipenuhi Pulebahas,” kata
Kamandaka mengambil prakarsa mengatasi kebuntuan.
“Syarat pertama dan kedua, menyediakan 1000
kodi kain putih dan 40 gadis kembar perawan suci? Syarat pertama mudah, karena dia kaya raya.
Syarat kedua menyediakan 40 gadis kembar perawan suci?“ tanya Kamandaka.
“Jika berdasarkan laporan Ananda Wirapati,
sepertinya Pulebahas bisa memenuhi 40 gadis kembar. Dewi tahu banyak soal itu,”
kata Kanjeng Adipati.
“Baik, kita lanjutkan dengan syarat ketiga.
Syarat ketiga hanya menunggu 120 hari, mudah. Pasti bisa. Syarat ke empat dan
kelima? Syarat ke empat dan kelima apa sulitnya jika hanya menjemput calon
mempelai di luar kota di persimpangan jalan? Pastilah mudah. Syarat ke enam dan
ke tujuh? Wah syarat yang ini lebih mudah lagi. Hanya teknis pelaksanaan pernikahan,
bulan madu dan soal keamanan penjemputan
ke dua calon mempelai. Kalau begitu, semua tujuh syarat itu, kecuali syarat
kedua, menyediakan 40 gadis kembar, dengan mudah bisa dipenuhi Raja Pulebahas,”
kata Kamandaka menyimpulkan sambil jari-jari tangan kanannya berulang kali
mengusap-usap dahinya. Suatu pertanda dia tidak menemukan jalan keluar untuk
membatalkan lamaran Raja Pulebahas. Wajah Kamandaka langsung muram, sedih,
pucat, dan hampir saja putus asa.
Dalam hati dirinya menyesal, mengapa saat itu
tidak buru-buru pulang saja ke Pakuan Pajajaran, lalu mohon ayahandanya untuk
mengirimkan duta melamar Sang Dewi secara resmi? Bukankah gadis idaman hatinya itu sudah ditemukan
bahkan sudah sempat memadu kasih dan bermain asmara walau hanya sekejap dan dengan tetap bisa menjaga kesucian masing-masing?
Bahkan sebenarnya dia pun sudah mengajukan lamaran secara pribadi pada malam
itu? Tetapi memang tanpa disusul lamaran resmi, lamaran secara pribadi tidak
banyak artinya. Sang Dewi memang masih boleh dilamar siapa saja melalui lamaran
secara resmi, yaitu lewat kedua orang tuanya.
Tiba-tiba Sang Dewi keluar diiringi seorang
pembantu wanita yang membawa minuman dan hidangan makanan kecil. “Silahkan
minum dulu dan nikmati hidangan yang ada, agar gagasan kreatip muncul,” kata
Sang Dewi masih saja menggoda tamunya itu. Kanjeng Adipati mendahului meraih
cangkir berisi minuman air nira yang masih hangat. Lalu disusul Ki Patih dan
yang lainnya lagi.
“Nduk Dewi kalau syarat kedua Pulebahas
menyediakan 40 gadis perawan suci, kira-kira bagimana? Pulebahas bisa memenuhi tidak?” tanya Kanjeng Adipati
pada Sang Dewi.
“Ya, gampang sekali, Kanjeng Rama,” jawab Sang
Dewi. “Raja Pulebahas itu penganut ajaran sekte Hindu yang menyimpang. Dia
penyembah Mahadewa Ditya Kala Rembuculung yang mengajarkan ilmu hitam. Karena
itu secara rutin mereka setiap tahun mengadakan ritual persembahan darah
perawan suci. Untuk mendapatkan korbannya, mereka punya kebiasan menculik
gadis-gadis di sepanjang pantai daratan di depan Nusakambang. Gadis-gadis itu
dikumpulkan di sebuah asrama yang dijaga dengan sangat ketat di tengah pulau di
suatu tempat rahasia yang bernama Pondok Tamanbidadari. Penghuninya adalah
gadis-gadis yang berhasil diculik, yang semuanya dijadikan gadis-gadis kembar.
Semua diberi nama sama Tunjung Biru, yang artinya gadis samudra.”
“Dapat dipastikan, 40 gadis kembar yang Dewi
minta itu, akan diambil dari gadis-gadis kembar penghuni Pondok Tamanbidadari
itu,” kata Dewi menjelaskan persayaratan nomor dua yang belum pernah didengar oleh semua yang hadir,
kecuali Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati .
“Adinda Wirapati dari Kadipaten Dayuehluhur
pernah beceritera kepada Dewi,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Dia pernah punya
kekasih putri Adipati Kalipucang. Namanya sangat bagus, Niken Gambirarum. Gadis
ini berhasil diculik prajurit Nusakambangan, padahal sudah disembunyikan oleh
Adipati Kalipucang di kampung nelayan Rawaapu. Kadipaten Kalipucang kini jatuh
dibawah kekuasaan Nusakambangan. Kekasih Dinda Wirapati hilang sampai sekarang.
Dinda Wirapati mengatakan pada Dewi, akan terus membujang sebelum mengetahui
nasib gadis kekasihnya itu, masih hidup atau sudah meninggal. Dia dipastikan
tinggal di Pondok Tamanbidadari.”
Penjelasan Sang Dewi itu membuat semua yang
hadir di ruang tamu Dalem Kadipaten menjadi sangat sedih. Supaya tidak larut
dalam kesedihan akibat kisah sedih gadis kekasih Wirapati yang diculik prajurit
Nusakambangan, Kanjeng Adipati mengajak semua yang hadir kembali pada pokok
persoalan.
“Nduk Dewi, jangan membingungkan orang.
Kasihan Ananda Kamandaka. Di satu pihak Nduk
Dewi menerima lamaran Pulebahas dengan mengajukan syarat-syarat yang
dengan mudah dipenuhi, di lain pihak Nduk Dewi juga menerima lamaran Ananda
Kamandaka. Coba buat pilihan yang tegas, sehingga tidak membuat bingung Kanjeng
Ramamu dan yang lainnya,” kata Kanjeng Adipati yang membuat Sang Dewi
tersenyum.
“Kalau Kanjeng Ibu, bingung tidak dengan
pilihan-pilihan Dewi?” tanya Sang Dewi pada Ibunya yang dijawab Ibunya dengan
menggelengkan kepala.
“Bagaimana Kanjeng Rama? Ibu saja tidak
bingung, Kanjeng Rama malah bingung. Bukankah sudah Dewi sampaikan tadi? Dewi
terima lamaran Pulebahas, karena dia lebih dulu secara resmi melamar. Tetapi
aku tidak mencintai Pulebahas. Kanda Kamandaka terlambat melamar secara resmi,
aku menerima karena aku mencintai Kanda Kamandaka. Sekarang masalahnya,
bagaimana caranya agar Pulebahas tidak bisa memenuhi ke tujuh syarat yang aku
ajukan pada Pulebahas. Ini yang harus diselesaikan Kanda Kamandaka sebagai
kewajiban Kanda Kamandaka membalas cinta aku. Bagaimana Kanda? Sudahkah
menemukan jalan keluarnya? Kanjeng Rama, Paman Patih, Dinda Silihwarna, ada
saran untuk membantu Kanda Kamandaka?” tanya Sang Dewi lagi sambil tersenyum.
Karena semuanya masih terdiam dan lama tidak
ada yang berani menjawab, akhirnya Kanjeng Ayu Adipati berkata, “Begini lho
maksud Nduk Dewi. Agar supaya Pulebahas tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang
diminta Nduk Dewi, Ananda Kamandaka harus berani menaklukan Raja Pulebahas
dalam suatu peperangan dengan Nusakambangan, sehingga Pulebahas bisa tewas.
Caranya bisa juga melalui tradisi para ksatria yaitu berkelahi satu lawan satu
antara Ananda Kamandaka dengan Pulebahas, sampai Pulebahas tewas. Jika
Pulebahas tewas, tentu saja Pulebahas tidak akan bisa memenuhi syarat yang diminta
Dewi. Ya, orang sudah tewas, mana bisa memenuhi syarat-syarat yang diminta.
Ananda Kamandaka, berani menaklukan Raja Nusakambangan sampai tewas?”
Mendengar penjelasan Kanjeng Ayu Adipati,
wajah Kamandaka langsung ceria, demikian pula yang lain. Semangat untuk
menaklukan Pulebahas Raja Nusakambangan tiba-tiba bangkit dan bergelora
menyala-nyala di dalam dadanya. “Kanjeng Ibu, Jangankan hanya untuk menaklukan
satu Pulebahas, seribu Pulebahas pun, demi cinta ananda kepada Adinda Dewi, akan ananda lakukan,” jawab
Kamandaka yang kepercayaan dirinya mulai bangkit kembali.
“Tepuk tangan untuk Kanjeng Ibu yang telah
berhasil memecahkan masalah. Dan tepuk tangan pula buat Kanda Kamandaka untuk
kesanggupannya menaklukan Raja Pulebahas,” kata Sang Dewi sambil bertepuk
tangan, secara idak sadar diikuti yang lainnya.
“Ah, Nduk Dewi seperti sedang di taman bermain
saja” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil
tertawa.
Sang Dewi hanya tersenyum mendengar kata-kata
Ibunya. Semua yang hadir ikut tersenyum gembira, karena mereka telah menemukan
jalan untuk mengatasi masalah. Pada diri mereka memang mengalir darah para
ksatria yang menjunjung tinggi nilai berperang untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran. Darma yang paling tinggi dari seorang ksatria adalah mengorbankan
jiwa dan raga di medan peperangan untuk membela cinta. Cinta pada keadilan dan
kebenaran, cinta kepada kemanusian, cinta pada sang kekasih, cinta pada orang
tua, keluarga, bangsa, tanah air, negara sampai cinta kepada Sang Maha
Pencipta.
Seorang emban muncul membisikkan sesuatu
kepada Sang Dewi, bahwa hidangan di meja makan untuk acara santap bersama telah
siap. Kamandaka segera mengenali emban wanita tadi yang tidak lain adalah Khandegwilis,
emban kesayangan Sang Dewi.
“Kita istirahat sejenak untuk santap bersama,
nanti pertemuan dilanjutkan lagi,” kata Sang Dewi mengajukan usul kepada
Kanjeng Adipati yang langsung disetujui.
Ditengah-tengah santap bersama, Kamandaka
bertemu Khandegwilis yang sedang mengawasi tempat-tempat hidangan. Kamandaka
langsung menegur, “Biyung Emban, Apa kabar?”
“Eh, Raden. Tambah tampan saja. Baik-baik
saja, Raden.”
“Mana Rekajaya? Nggak ke sini? ” tanya
Kamandaka.
“Takut kepada Kanjeng Adipati, lagi pula tidak
disuruh ke sini,” jawab Khandegwilis.
“Sedang apa?”
“Membereskan kamar tidur untuk menginap Ndara
Silihwarna dan Raden,”
“Oh, begitu, “ kata Kamandaka.
“Ndara Silihwarna ditempatkan di depan dekat
pendapa, penginapan khusus untuk tamu-tamu istimewa Kanjeng Adipati,” kata Khandegwilis.
“Untuk aku juga, bukan?” tanya Kamandaka.
“Lho, kata Rekajaya kamar untuk menginap Raden
di kamar Ndara Putri? Rekajaya tadi
membantu sebentar membereskan
kamar Ndara Putri.” Khandeg Wilis tersenyum, senang bila bisa menggoda
Kamandaka.
“Lha, Ndara Putrimu tidur dimana?” Kamandaka
sedikit bingung.
“Ya, di kamar Ndara Putri. Bersama Raden,”
kata Khandeg Wilis sambil menahan keinginannya untuk tertawa.
“Huss! Nanti dimarahi Kanjeng Uwa Adipati,”
“Lho, kata Ndara Putri, sudah ada surat ijin
menginap di kamar Ndara Putri dari Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati.” Khandegwilis
berkata sambil menutupi bibirnya. Tiba-tiba Khandegwilis melihat Ndara Putrinya
dari kejauhan berjalan mendekati. Khandegwilis langsung
diam. Sang Dewi mendekati Kamandaka.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar