Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 01 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasarluhur(50)




“Baiklah Dinda Silihwara, aku sebutkan satu persatu. Tolong perhatikan baik-baik.” Sang Dewi pun menyebutkan tujuh syarat yang telah diminta kepada Raja Nusakambangan sebagaimana tersebut dalam jawaban surat lamaran.
Pertama, Raja Pulebahas sebagai  calon mempelai pria harus menyediakan mas kawin berupa 1000 kodi kain mori yang putih bersih. Kedua, menyediakan 40 gadis perawan suci yang semuanya kembar sebagai calon pengiring kedua calon mempelai. Ketiga, pernikahan dilaksanakan 120 hari setelah tanggal lamaran diterima. Keempat, calon mempelai pria akan menjemput calon mempelai wanita di luar kota Kadipaten Pasirluhur. Tempatnya, yakni di persimpangan jalan melintang dari selatan ke utara yang menghubungkan Nusakambangan dengan Gunung Agung dengan jalan melintang dari timur ke barat yang menghubungkan Rawalo dengan Dayeuhluhur.
Kelima, di tempat penjemputan calon mempelai pria harus turun dari tandu untuk menjemput sendiri calon mempelai putri. Calon mempelai putra harus menjemput calon mempelai putri  yang ada dalam tandu calon mempelai putri, dan membawanya  ke tandu calon mempelai pria. Ke enam, prosesi ritual pernikahan dan penyelenggaraan pesta akan dilaksanakan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur. Bulan madu akan dilaksanakan sesudah selesai acara pesta pernikahan. Ke tujuh, pengiring calon pengantin putra tidak diperkenankan membawa pasukan bersenjata dalam bentuk apapun.”
“Demikian syarat-syarat yang aku minta kepada Pulebahas, Raja Nusakambangan,” kata Sang Dewi setelah menyebutkan tujuh syarat-sayarat yang dimintanya kepada Raja Nusakambangan.
“Silahkan Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna, cari jalan dan akal agar Raja Pulebahas tidak bisa memenuhi ketujuh syarat itu. Aku tinggal sebentar. Kalau aku kembali, harus sudah ada pemecahan. Kanjeng Rama dan Paman Patih, boleh ikut mencarikan jalan keluar. Kalau tidak bisa menemukan jalan keluar, wah bisa-bisa aku bakal diboyong ke Nusakambangan,” kata Sang Dewi bercanda sambil bangkit meninggalkan ruang tamu. Mereka yang ada di ruang tamu saling berpandang-pandangan. Sedangkan Kanjeng Ayu Adipati senyum-senyum saja melihat ulah Sang Dewi yang membuat para tamu itu pusing tujuh keliling.
“Coba kita pecahkan satu-satu, mana dari tujuh butir syarat-syarat itu yang tidak akan bisa dipenuhi Pulebahas,” kata Kamandaka mengambil prakarsa mengatasi kebuntuan.
“Syarat pertama dan kedua, menyediakan 1000 kodi kain putih dan 40 gadis kembar perawan suci?  Syarat pertama mudah, karena dia kaya raya. Syarat kedua menyediakan 40 gadis kembar perawan suci?“ tanya Kamandaka.
“Jika berdasarkan laporan Ananda Wirapati, sepertinya Pulebahas bisa memenuhi 40 gadis kembar. Dewi tahu banyak soal itu,” kata Kanjeng Adipati.
“Baik, kita lanjutkan dengan syarat ketiga. Syarat ketiga hanya menunggu 120 hari, mudah. Pasti bisa. Syarat ke empat dan kelima? Syarat ke empat dan kelima apa sulitnya jika hanya menjemput calon mempelai di luar kota di persimpangan jalan? Pastilah mudah. Syarat ke enam dan ke tujuh? Wah syarat yang ini lebih mudah lagi. Hanya teknis pelaksanaan pernikahan, bulan madu  dan soal keamanan penjemputan ke dua calon mempelai. Kalau begitu, semua tujuh syarat itu, kecuali syarat kedua, menyediakan 40 gadis kembar, dengan mudah bisa dipenuhi Raja Pulebahas,” kata Kamandaka menyimpulkan sambil jari-jari tangan kanannya berulang kali mengusap-usap dahinya. Suatu pertanda dia tidak menemukan jalan keluar untuk membatalkan lamaran Raja Pulebahas. Wajah Kamandaka langsung muram, sedih, pucat, dan hampir saja putus asa.
Dalam hati dirinya menyesal, mengapa saat itu tidak buru-buru pulang saja ke Pakuan Pajajaran, lalu mohon ayahandanya untuk mengirimkan duta melamar Sang Dewi secara resmi? Bukankah  gadis idaman hatinya itu sudah ditemukan bahkan sudah sempat memadu kasih dan bermain asmara walau hanya sekejap dan dengan  tetap bisa menjaga kesucian masing-masing? Bahkan sebenarnya dia pun sudah mengajukan lamaran secara pribadi pada malam itu? Tetapi memang tanpa disusul lamaran resmi, lamaran secara pribadi tidak banyak artinya. Sang Dewi memang masih boleh dilamar siapa saja melalui lamaran secara resmi, yaitu lewat kedua orang tuanya. 
Tiba-tiba Sang Dewi keluar diiringi seorang pembantu wanita yang membawa minuman dan hidangan makanan kecil. “Silahkan minum dulu dan nikmati hidangan yang ada, agar gagasan kreatip muncul,” kata Sang Dewi masih saja menggoda tamunya itu. Kanjeng Adipati mendahului meraih cangkir berisi minuman air nira yang masih hangat. Lalu disusul Ki Patih dan yang lainnya lagi.
“Nduk Dewi kalau syarat kedua Pulebahas menyediakan 40 gadis perawan suci, kira-kira bagimana? Pulebahas  bisa memenuhi tidak?” tanya Kanjeng Adipati pada Sang Dewi.
“Ya, gampang sekali, Kanjeng Rama,” jawab Sang Dewi. “Raja Pulebahas itu penganut ajaran sekte Hindu yang menyimpang. Dia penyembah Mahadewa Ditya Kala Rembuculung yang mengajarkan ilmu hitam. Karena itu secara rutin mereka setiap tahun mengadakan ritual persembahan darah perawan suci. Untuk mendapatkan korbannya, mereka punya kebiasan menculik gadis-gadis di sepanjang pantai daratan di depan Nusakambang. Gadis-gadis itu dikumpulkan di sebuah asrama yang dijaga dengan sangat ketat di tengah pulau di suatu tempat rahasia yang bernama Pondok Tamanbidadari. Penghuninya adalah gadis-gadis yang berhasil diculik, yang semuanya dijadikan gadis-gadis kembar. Semua diberi nama sama Tunjung Biru, yang artinya gadis samudra.”
“Dapat dipastikan, 40 gadis kembar yang Dewi minta itu, akan diambil dari gadis-gadis kembar penghuni Pondok Tamanbidadari itu,” kata Dewi menjelaskan persayaratan nomor dua yang  belum pernah didengar oleh semua yang hadir, kecuali Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati .
“Adinda Wirapati dari Kadipaten Dayuehluhur pernah beceritera kepada Dewi,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Dia pernah punya kekasih putri Adipati Kalipucang. Namanya sangat bagus, Niken Gambirarum. Gadis ini berhasil diculik prajurit Nusakambangan, padahal sudah disembunyikan oleh Adipati Kalipucang di kampung nelayan Rawaapu. Kadipaten Kalipucang kini jatuh dibawah kekuasaan Nusakambangan. Kekasih Dinda Wirapati hilang sampai sekarang. Dinda Wirapati mengatakan pada Dewi, akan terus membujang sebelum mengetahui nasib gadis kekasihnya itu, masih hidup atau sudah meninggal. Dia dipastikan tinggal di Pondok  Tamanbidadari.”
Penjelasan Sang Dewi itu membuat semua yang hadir di ruang tamu Dalem Kadipaten menjadi sangat sedih. Supaya tidak larut dalam kesedihan akibat kisah sedih gadis kekasih Wirapati yang diculik prajurit Nusakambangan, Kanjeng Adipati mengajak semua yang hadir kembali pada pokok persoalan.
“Nduk Dewi, jangan membingungkan orang. Kasihan Ananda Kamandaka. Di satu pihak Nduk  Dewi menerima lamaran Pulebahas dengan mengajukan syarat-syarat yang dengan mudah dipenuhi, di lain pihak Nduk Dewi juga menerima lamaran Ananda Kamandaka. Coba buat pilihan yang tegas, sehingga tidak membuat bingung Kanjeng Ramamu dan yang lainnya,” kata Kanjeng Adipati yang membuat Sang Dewi tersenyum.
“Kalau Kanjeng Ibu, bingung tidak dengan pilihan-pilihan Dewi?” tanya Sang Dewi pada Ibunya yang dijawab Ibunya dengan menggelengkan kepala.
“Bagaimana Kanjeng Rama? Ibu saja tidak bingung, Kanjeng Rama malah bingung. Bukankah sudah Dewi sampaikan tadi? Dewi terima lamaran Pulebahas, karena dia lebih dulu secara resmi melamar. Tetapi aku tidak mencintai Pulebahas. Kanda Kamandaka terlambat melamar secara resmi, aku menerima karena aku mencintai Kanda Kamandaka. Sekarang masalahnya, bagaimana caranya agar Pulebahas tidak bisa memenuhi ke tujuh syarat yang aku ajukan pada Pulebahas. Ini yang harus diselesaikan Kanda Kamandaka sebagai kewajiban Kanda Kamandaka membalas cinta aku. Bagaimana Kanda? Sudahkah menemukan jalan keluarnya? Kanjeng Rama, Paman Patih, Dinda Silihwarna, ada saran untuk membantu Kanda Kamandaka?” tanya Sang Dewi lagi sambil tersenyum.
Karena semuanya masih terdiam dan lama tidak ada yang berani menjawab, akhirnya Kanjeng Ayu Adipati berkata, “Begini lho maksud Nduk Dewi. Agar supaya Pulebahas tidak bisa memenuhi syarat-syarat yang diminta Nduk Dewi, Ananda Kamandaka harus berani menaklukan Raja Pulebahas dalam suatu peperangan dengan Nusakambangan, sehingga Pulebahas bisa tewas. Caranya bisa juga melalui tradisi para ksatria yaitu berkelahi satu lawan satu antara Ananda Kamandaka dengan Pulebahas, sampai Pulebahas tewas. Jika Pulebahas tewas, tentu saja Pulebahas tidak akan bisa memenuhi syarat yang diminta Dewi. Ya, orang sudah tewas, mana bisa memenuhi syarat-syarat yang diminta. Ananda Kamandaka, berani menaklukan Raja Nusakambangan sampai tewas?”
Mendengar penjelasan Kanjeng Ayu Adipati, wajah Kamandaka langsung ceria, demikian pula yang lain. Semangat untuk menaklukan Pulebahas Raja Nusakambangan tiba-tiba bangkit dan bergelora menyala-nyala di dalam dadanya. “Kanjeng Ibu, Jangankan hanya untuk menaklukan satu Pulebahas, seribu Pulebahas pun, demi cinta ananda kepada  Adinda Dewi, akan ananda lakukan,” jawab Kamandaka yang kepercayaan dirinya mulai bangkit kembali.
“Tepuk tangan untuk Kanjeng Ibu yang telah berhasil memecahkan masalah. Dan tepuk tangan pula buat Kanda Kamandaka untuk kesanggupannya menaklukan Raja Pulebahas,” kata Sang Dewi sambil bertepuk tangan, secara idak sadar diikuti yang lainnya.
“Ah, Nduk Dewi seperti sedang di taman bermain saja”  kata Kanjeng Ayu Adipati sambil tertawa.
Sang Dewi hanya tersenyum mendengar kata-kata Ibunya. Semua yang hadir ikut tersenyum gembira, karena mereka telah menemukan jalan untuk mengatasi masalah. Pada diri mereka memang mengalir darah para ksatria yang menjunjung tinggi nilai berperang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Darma yang paling tinggi dari seorang ksatria adalah mengorbankan jiwa dan raga di medan peperangan untuk membela cinta. Cinta pada keadilan dan kebenaran, cinta kepada kemanusian, cinta pada sang kekasih, cinta pada orang tua, keluarga, bangsa, tanah air, negara sampai cinta kepada Sang Maha Pencipta.
Seorang emban muncul membisikkan sesuatu kepada Sang Dewi, bahwa hidangan di meja makan untuk acara santap bersama telah siap. Kamandaka segera mengenali emban wanita tadi yang tidak lain adalah Khandegwilis, emban kesayangan Sang Dewi.
“Kita istirahat sejenak untuk santap bersama, nanti pertemuan dilanjutkan lagi,” kata Sang Dewi mengajukan usul kepada Kanjeng Adipati yang langsung disetujui.
Ditengah-tengah santap bersama, Kamandaka bertemu Khandegwilis yang sedang mengawasi tempat-tempat hidangan. Kamandaka langsung menegur, “Biyung Emban, Apa kabar?”
“Eh, Raden. Tambah tampan saja. Baik-baik saja, Raden.”
“Mana Rekajaya? Nggak ke sini? ” tanya Kamandaka.
“Takut kepada Kanjeng Adipati, lagi pula tidak disuruh ke sini,” jawab Khandegwilis.
“Sedang apa?”
“Membereskan kamar tidur untuk menginap Ndara Silihwarna dan Raden,”
“Oh, begitu, “ kata Kamandaka.
“Ndara Silihwarna ditempatkan di depan dekat pendapa, penginapan khusus untuk tamu-tamu istimewa Kanjeng Adipati,” kata Khandegwilis.
“Untuk aku juga, bukan?” tanya Kamandaka.
“Lho, kata Rekajaya kamar untuk menginap Raden di kamar Ndara Putri? Rekajaya tadi  membantu sebentar  membereskan kamar Ndara Putri.” Khandeg Wilis tersenyum, senang bila bisa menggoda Kamandaka.
“Lha, Ndara Putrimu tidur dimana?” Kamandaka sedikit bingung.
“Ya, di kamar Ndara Putri. Bersama Raden,” kata Khandeg Wilis sambil menahan keinginannya untuk tertawa.
“Huss! Nanti dimarahi Kanjeng Uwa Adipati,”
“Lho, kata Ndara Putri, sudah ada surat ijin menginap di kamar Ndara Putri dari Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati.” Khandegwilis berkata sambil menutupi bibirnya. Tiba-tiba Khandegwilis melihat Ndara Putrinya dari  kejauhan  berjalan mendekati. Khandegwilis langsung diam. Sang Dewi mendekati Kamandaka.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar