Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 27 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(47)




Halimun pekat yang menyelimuti hutan dan padang ilalang pelan-pelan mulai menipis. Sinar matahari masih kesulitan menembus hutan lebat dengan pohon-pohon raksasa menjulang tinggi ke angkasa. Sudah dua malam  Kamandaka bertahan di dalam hutan. Demikian pula pasukan Kadipaten Pasirluhur yang tengah melakukan pengepungan. Tumenggung Silihwarna tidak berani mengerahkan pasukannya memasuki hutan yang lebat itu karena khawatir Kamandaka telah memasang banyak perangkap dan jebakan. Lebih-lebih Tumenggung Maresi yang penakut itu. Begitu anjing pelacaknya lenyap setelah masuk ke dalam hutan, nyali Tumenggung Maresi langsung ciut.
Bagi Tumenggung Silihwarna, lebih baik bertempur satu lawan satu dengan Kamandaka, dari pada mengerahkan pasukan untuk menangkap Kamandaka. Karena berdasarkan pengalaman, tidak mudah menangkap Kamandaka yang menguasai seni beladiri tingkat tinggi. Jika pengepungnya hanya memiliki ketrampilan pas-pasan, risko jatuhnya banyak korban  di pihak prajurit pengepung akan sangat besar. Satu-satunya cara untuk mengalahkan Kamandaka adalah melanjutkan menantang duel satu-satu yang sempat tertunda dua hari lalu. Ketika itu malam telah turun menyelimuti bumi dan esok paginya Kamandaka ternyata sudah melarikan diri.
Pagi itu Tumenggung Silihwarna berdiri di depan kemahnya sambil menatap hutan lebat tempat Kamandaka bersembunyi. Dia masih penasaran siapa sebenarnya Kamandaka itu? “Dia menyamar sebagai Ki Sulap Pangebatan, pastilah untuk menutupi bahwa sebenarnya nama dia Kamandaka. Siapa Kamandaka? Kanda Banyakcatrakah dia? Hem, jurus harimau putih, jurus monyet putih? Jumlah jurus harimau putih, persis seperti yang diterima para siswa yang pernah berguru di Padepokan Sangkuriang asuhan Ki Ajar Wirangrong,” kata Tumenggung Silihwarna di dalam hati. “Berarti Kamandaka pernah belajar dari seorang guru didikan Padepokan Sangkuriang. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka? Jurus monyet putih hampir saja membuat diriku tewas. Hem, itu berasal dari Padepokan  Sampakwaja asuhan para penerus pendekar Sampakwaja. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka?  Hanya ada satu jalan untuk menguji teka-teki Kamandaka yang mencurigakan, yaitu melanjutkan duel satu-satu dengan Kamandaka.”
“Ya, aku ingin kepastian, apakah Kamandaka juga menguasai jurus bangau putih dari Megamendung? Jika Kamandaka benar adalah Kanda Banyakcatra, untuk apa dia berpetualang begitu lama? Bukankah tujuan semula untuk mencari gadis idamannya? Aku sendiri belum pernah melihat seperti apa wajah Dyah Ayu Ciptarasa itu?  Oh, ada satu lagi kunci rahasia Kamandaka. Jika dia punya senjata rahasia Kujang Kancana Shakti seperti yang aku miliki, tidak salah lagi, Kamandaka adalah Kanda Banyakcatra yang sedang menyamar. Oh, Kanda Banyakcatra kelakuannmu benar-benar membikin repot dan cemas Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi.”  Demikian sejumlah pikiran yang berkecamuk di kepala Tumenggung Silihwarna, ketika pada pagi yang pekat itu dia berdiri di depan tendanya. Pandangan matanya yang tajam mengamati kemah-kemah prajurit yang sudah dua malam mengepung Kamandaka.
Sementara itu, sesuai dengan rencana semula, Kamandaka juga penasaran dengan identitas Tumenggung Silihwarna. Dia ingin melanjutkan duel berdua saja sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui siapakah Tumenggung Silihwarna itu. Kamandaka segera berkemas-kemas keluar dari tempat perlindungannya. Dia bergerak ke arah barat yang memang tidak dijaga. Dengan mudah Kamandaka melintasi padang ilalang yang masih diselimuti kabut pekat. Begitu pekatnya sehingga jarak pandang ke depan hanya beberapa meter.
Tentu saja para prajurit pengepung dan pemantau tidak bisa melihat ketika Kamandaka diam-diam melintasi padang ilalang dan terus bergerak ke arah barat. Akhirnya dia tiba di tepi Sungai Banjaran. Kamandaka cepat bergerak menyeberangi sungai dan kini sudah ada di seberang barat. Sementara itu, kemah-kemah pengepung di sisi utara maupun selatan sudah bisa dilihat dengan jelas. Memang pelan-pelan cahaya matahari pagi mulai berhasil mengusir kabut putih yang tebal itu.
Pada kesempatan itulah, Kamandak berteriak keras-keras memanggil Tumenggung Silihwarna agar menyusulnya ke seberang sisi barat sungai Banjaran.
“Hai, Silihwarna! Aku Kamandaka sudah berada di sisi barat sungai. Jika engkau memang seorang ksatria sejati dan bukan pengecut, kejarlah aku. Ayo,  bertanding satu lawan satu!” Tentu saja Tumenggung Silihwarna terkejut mendengar tantangan dari Kamandaka yang tahu-tahu sudah berhasil meloloskan diri dari kepungan itu.
“Kakang Maresi! Aku akan kejar Kamandaka ke seberang sungai! Pimpinan prajurit yang ada di padang ilalang seluruhnya aku serahkan kepada Kakang Maresi. Susul aku, hanya jika aku lama tidak kembali. Aku tidak ingin kehilangan jejak sehingga Kamandaka bisa menghilang dari kejaranku,” kata Tumenggung Silihwarna menyampaikan pesan kepada Tumenggung Maresi. Setelah menyampaikan pesan, Tumenggung Silihwarna segera mengejar Kamandaka. Dengan mudah dia berhasil menyeberangi Sungai Banjaran.  Dilihatnya Kamandaka berdiri sendirian di kejauhan.
“Ayo, Silihwarna! Kejarlah aku, kita cari tempat yang nyaman untuk mengadu ketrampilan kita berdua!” kata Kamandaka yang segera berbalik lari ke arah barat. Tumenggung Silihwarna terus mengejarnya. Agaknya Kamandaka memang ingin menghadapi Silihwarna di tempat yang sepi yang hanya dihadiri oleh mereka berdua.
Tibalah Kamandaka di tepi sebuah sungai. Kamandaka terus berbelok ke utara mengikuti arah hulu sungai sampai akhirnya Kamandaka menemui sebuah batu besar yang rata permukaannya. Kamandaka berpikir, di atas batu itulah tempat yang nyaman dan sepi untuk mengetahui siapakah sebenarnya Tumenggung Silihwarna itu. Dengan gerakan yang lincah, Kamandaka melentingkan dirinya meloncat ke atas batu dan tiba di sana dengan mudah. Kamandaka berdiri dengan gagah sambil menunggu Tumenggung Silihwarna yang terus berlari mengejarnya.
Kini Tumenggung Silihwarna sudah tiba di kaki batu besar. Sebenarnya Tumenggung Silihwarna, semakin yakin, Kamandaka adalah Banyakcatra, lebih-lebih saatdia melihat cara Kamandaka melentingkan dirinya ke atas batu besar itu. “Hem, itu tadi jurus bango putih”, pikir Silihwarna sambil tersenyum. Dia pun mulai paham, apa maksud Kamandaka mengajak berduel di tempat sepi yang tidak bisa disaksikan orang lain. Pastilah ada sesuatu yang ingin disampaikan Kamandaka kepadanya. Dugaan  Silihwarna tidak keliru, ketika dia mendengar Kamandaka menantangnya dari atas batu.
“Heh, Silihwarna! Naiklah ke atas batu ini, jika engkau memang ksatria perkasa. Aku tidak pernah takut kepada siapapun. Aku juga tidak pernah takut kepadamu. Naiklah ke atas batu, jika engkau ingin tahu siapakah aku sebenarnya. Aku adalah Banyakcatra, Putra Sri Baginda Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Inilah pusaka Kujang Kancana Shakti yang akan mengantarkanmu ke lubang kubur,” kata Kamandaka sambil mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Kujang pusaka itu berkilat-kilat ditimpa cahaya pagi yang jatuh di atas batu besar itu.
Ketika mendengar Kamandaka menyebutkan identitas yang sebenarnya dengan  menunjukkan pusaka kujang Pajajaran, Silihwarna langsung berteriak dari bawah.
“Hei! Kanda Banyakcatra! Ini aku adikmu, Banyakngampar! Lihatlah kalau tidak percaya pusaka Kujang Kancana Shakti. Inilah pusaka Pajajaran!” teriak Silihwarna dengan suka cita. Dia langsung mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggang kiri dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan supaya dapat dilihat Kamandaka.
“Pusaka Kujang Kancana Shakti hanya ada tiga buah. Yang ketiga ada pada Dinda Banyakbelabur!” teriak Silihwarna pula.
Betapa terkejutnya Kamandaka setelah mendengar pengakuan Silihwarna. Apalagi setelah Silihwarna bisa menunjukkan pusaka Kujang Kancana Shakti dan menyebut nama adik tirinya, Banyakbelabur. Tak perlu diragukan lagi, Silihwarna itu adalah adik kandungnya sendiri yang sangat dicintainya. Dan adik kandungnya yang dikiranya telah menjadi pendeta gundul di Megamendung. Kamandaka cepat meloncat turun ke bawah. Dan dipeluknya adiknya itu dengan perasaan gembira yang sulit dilukiskan.
“Oh, Dinda Banyakngampar, kenapa engkau  membuat bingung aku? Coba kalau engkau dari awal tidak meyembunyikan namamu. Pastilah tidak akan ada kesalahpaham dan kejadian yang berlarut-larut seperti ini!”
“Maafkan aku, Kanda. Aku memang ceroboh. Karena kecerobohanku, hampir saja nyawa Kanda melayang terkena tikaman senjata pusaka Pajajaran.”
“Yah, sudahlah. Engkau pun hampir tewas karena pukulan maut jurus monyet putih yang mengenai tengkukmu. Hanya karena engkau putra Pajajaran, maka dapat selamat. Kini tidak ada gunanya lagi kita menyembunyikan identitas kita masing-masing. Katakan kepada prajurit-prajuritmu, siapa sebenarnya kita ini. Mudah-mudahan Kanjeng Adipati dan Ki Patih, juga sudah tahu siapa diriku. Aku sudah menyampaikan pesan lewat Dinda  Dewi,” kata Kamandaka.
Mereka berdua segera tiba di padang ilalang tempat pasukan pengepung berkumpul. Silihwarna mencari Tumenggung Maresi. Ternyata dia telah pulang. Tumenggung yang penakut itu beralasan sakit setelah dua malam tidak tidur. Tanggung jawab komando diserahkan pada wakilnya, Jigjayuda. Silihwarna kemudian memerintahkan agar semua prajurit dibubarkan. Tugas pengejaran dinyatakan selesai. Tepuk tangan pun bergemuruh dari sekitar 600 prajurit yang berkumpul di padang ilalang itu. Mereka menyambutnya dengan gembira karena  tugas yang membosankan itu telah berakhir. Mereka bisa segera kembali ke tengah keluarga mereka masing-masing.
Ketika mereka berdua sedang berada di padang ilalang itulah dua orang prajurit  utusan Ki Patih tiba dengan menunggang kuda. Mereka datang menemui Silihwarna dan Kamandaka, dengan maksud  menjemput kedua Ksatria Pajajaran itu. Kemudian mereka berdua akan diantarkan  menemui Ki Patih dan Kanjeng Adipati.
“Ayo, Dinda Silihwarna pinjam kuda, mumpung ada. Sebelum menghadap Ki Patih dan Kanjeng Adipati, kita lebih dulu ke tempat Nyai Kertisara di Kaliwedi. Sudah dua hari aku  tidak mandi. Aku malu bila nanti sore bertemu Dinda Dewi. Nanti  aku  kenalkan dengan Nyai Kertisara yang selama ini mengurus keperluanku  sehari-hari,” Kamandaka mengajak adiknya, Silihwarna.
“Kanda Kamandaka, tidak hafal ya? Itu kan kuda kita yang aku  bawa dari Pajajaran dan aku titipkan di kepatihan. Rupanya Ki Patih sudah mendapat perintah khusus dari Kanjeng Adipati sehingga mengirimkan kuda untuk menjemput kita.”
Dengan menggunakan satu kuda, Silihwarna membawa Kamandaka menuju tempat tinggal Nyai Kertisara di Kaliwedi. Nyai Kertisara sangat gembira menerima kedatangan mereka. “Aduh Raden, hamba cemas sekali, sudah tiga malam Raden tidak pulang. Rekajaya juga pulang hanya sebentar mengantarkan si Mercu, lalu pergi lagi membawa seekor monyet yang lucu sekali. Eh, Raden, kemarin teman Raden dari Kejawar mencari-cari Raden. Katanya hari ini akan datang ke sini lagi,” kata Nyai Kertisara setelah dikenalkan oleh Kamandaka dengan Silihwarna. Kamandaka memberikan penjelasan singkat kepada Nyai Kertisara kemana saja dia dan Rekajaya  pergi, sehingga beberapa malam tidak pulang.
Selesai kedua ksatria Pajajaran itu mandi dan santap siang, tiba-tiba Arya Baribin dari Kademangan Kejawar muncul di depan pintu. Kamandaka langsung memeluk Arya Baribin dan mengenalkan kepada adiknya. Arya Baribin langsung akrab dengan Silihwarna. Usia keduanya memang sebaya.
“Dinda Silihwarna, Dimas Arya Baribin ini seorang ksatria dari Majapahit yang mencari perlindungan kepada Ki Demang Kejawar, setelah Majapahit jatuh. Majapahit jatuh karena serangan Kerajaan Keling yang kini telah pindah ke Kediri,” kata Kamandaka. Dimas Arya Baribin ini ingin mengabdikan diri untuk kepentingan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan Pajajaran. Dia banyak mengetahui soal Kerajaan Islam Demak yang merupakan saingan berat Kerajaan Hindu Kediri setelah runtuhnya Majapahit.” 
Silihwarna sebenarnya sudah pernah mendengar nama Arya Baribin yang sempat disebut-sebut pula oleh Kanjeng Adipati Kandhadaha. “Senang sekali bertemu dengan Dimas Arya Baribin. Nama Dimas sudah aku dengar dari Kanjeng Adipati dan Ki Patih. Bahkan Kanjeng Adipati dan Ki Patih sudah tahu persahabatan yang erat antara Kanda Kamandaka dengan Dimas Arya Baribin,” kata Silihwarna.
“Hahaha…, pasti kita dituduh bersekongkol mau mengobarkan pemberontakan melawan Kadipaten Pasirluhur dan Pajajaran. Betul begitu, Dinda Silihwarna?” Kamandaka berkata sambil tertawa saat mendengar bahwa Kanjeng Adipati dan Ki Patih ternyata sudah tahu keberadaan Arya Baribin di Kademangan Kejawar. “Itu laporan fitnah dari cecunguk Kadipaten Pasirluhur macam Ngabehi Nitipraja dan Tumenggung Maresi. Pasti Ngabehi Nitipraja yang menyebarkan mata-mata sampai Kaliwedi dan Kejawar.”
Silihwarna ikut tertawa ketika Kamandaka menyebut Ngabehi Nitipraja. Ngabehi Nitipraja pernah menjadi kopoh Silihwarna dalam permainan judi adu ayam di Pangebatan. ”Yah, aku pun ditipu oleh Ngabehi Nitipraja. Akhirnya si Penipu itu tewas ditangan Kanda Kamandaka. Dia memetik akibat dari hukum karma.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar