Halimun pekat
yang menyelimuti hutan dan padang ilalang pelan-pelan mulai menipis. Sinar
matahari masih kesulitan menembus hutan lebat dengan pohon-pohon raksasa
menjulang tinggi ke angkasa. Sudah dua malam
Kamandaka bertahan di dalam hutan. Demikian pula pasukan Kadipaten
Pasirluhur yang tengah melakukan pengepungan. Tumenggung Silihwarna tidak
berani mengerahkan pasukannya memasuki hutan yang lebat itu karena khawatir Kamandaka
telah memasang banyak perangkap dan jebakan. Lebih-lebih Tumenggung Maresi yang
penakut itu. Begitu anjing pelacaknya lenyap setelah masuk ke dalam hutan,
nyali Tumenggung Maresi langsung ciut.
Bagi Tumenggung Silihwarna, lebih baik
bertempur satu lawan satu dengan Kamandaka, dari pada mengerahkan pasukan untuk
menangkap Kamandaka. Karena berdasarkan pengalaman, tidak mudah menangkap
Kamandaka yang menguasai seni beladiri tingkat tinggi. Jika pengepungnya hanya
memiliki ketrampilan pas-pasan, risko jatuhnya banyak korban di pihak prajurit pengepung akan sangat
besar. Satu-satunya cara untuk mengalahkan Kamandaka adalah melanjutkan
menantang duel satu-satu yang sempat tertunda dua hari lalu. Ketika itu malam
telah turun menyelimuti bumi dan esok paginya Kamandaka ternyata sudah
melarikan diri.
Pagi itu Tumenggung Silihwarna berdiri di
depan kemahnya sambil menatap hutan lebat tempat Kamandaka bersembunyi. Dia
masih penasaran siapa sebenarnya Kamandaka itu? “Dia menyamar sebagai Ki Sulap
Pangebatan, pastilah untuk menutupi bahwa sebenarnya nama dia Kamandaka. Siapa
Kamandaka? Kanda Banyakcatrakah dia? Hem, jurus harimau putih, jurus monyet
putih? Jumlah jurus harimau putih, persis seperti yang diterima para siswa yang
pernah berguru di Padepokan Sangkuriang asuhan Ki Ajar Wirangrong,” kata
Tumenggung Silihwarna di dalam hati. “Berarti Kamandaka pernah belajar dari
seorang guru didikan Padepokan Sangkuriang. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka?
Jurus monyet putih hampir saja membuat diriku tewas. Hem, itu berasal dari
Padepokan Sampakwaja asuhan para penerus
pendekar Sampakwaja. Kanda Banyakcatrakah, Kamandaka? Hanya ada satu jalan untuk menguji teka-teki
Kamandaka yang mencurigakan, yaitu melanjutkan duel satu-satu dengan
Kamandaka.”
“Ya, aku ingin kepastian, apakah Kamandaka
juga menguasai jurus bangau putih dari Megamendung? Jika Kamandaka benar adalah
Kanda Banyakcatra, untuk apa dia berpetualang begitu lama? Bukankah tujuan
semula untuk mencari gadis idamannya? Aku sendiri belum pernah melihat seperti
apa wajah Dyah Ayu Ciptarasa itu? Oh,
ada satu lagi kunci rahasia Kamandaka. Jika dia punya senjata rahasia Kujang
Kancana Shakti seperti yang aku miliki, tidak salah lagi, Kamandaka adalah
Kanda Banyakcatra yang sedang menyamar. Oh, Kanda Banyakcatra kelakuannmu
benar-benar membikin repot dan cemas Ayahanda Sri Baginda Prabu
Siliwangi.” Demikian sejumlah pikiran
yang berkecamuk di kepala Tumenggung Silihwarna, ketika pada pagi yang pekat
itu dia berdiri di depan tendanya. Pandangan matanya yang tajam mengamati
kemah-kemah prajurit yang sudah dua malam mengepung Kamandaka.
Sementara itu, sesuai dengan rencana semula,
Kamandaka juga penasaran dengan identitas Tumenggung Silihwarna. Dia ingin
melanjutkan duel berdua saja sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui
siapakah Tumenggung Silihwarna itu. Kamandaka segera berkemas-kemas keluar dari
tempat perlindungannya. Dia bergerak ke arah barat yang memang tidak dijaga.
Dengan mudah Kamandaka melintasi padang ilalang yang masih diselimuti kabut
pekat. Begitu pekatnya sehingga jarak pandang ke depan hanya beberapa meter.
Tentu saja para prajurit pengepung dan
pemantau tidak bisa melihat ketika Kamandaka diam-diam melintasi padang ilalang
dan terus bergerak ke arah barat. Akhirnya dia tiba di tepi Sungai Banjaran.
Kamandaka cepat bergerak menyeberangi sungai dan kini sudah ada di seberang
barat. Sementara itu, kemah-kemah pengepung di sisi utara maupun selatan sudah
bisa dilihat dengan jelas. Memang pelan-pelan cahaya matahari pagi mulai
berhasil mengusir kabut putih yang tebal itu.
Pada kesempatan itulah, Kamandak berteriak
keras-keras memanggil Tumenggung Silihwarna agar menyusulnya ke seberang sisi
barat sungai Banjaran.
“Hai, Silihwarna! Aku Kamandaka sudah berada
di sisi barat sungai. Jika engkau memang seorang ksatria sejati dan bukan
pengecut, kejarlah aku. Ayo, bertanding
satu lawan satu!” Tentu saja Tumenggung Silihwarna terkejut mendengar tantangan
dari Kamandaka yang tahu-tahu sudah berhasil meloloskan diri dari kepungan itu.
“Kakang Maresi! Aku akan kejar Kamandaka ke
seberang sungai! Pimpinan prajurit yang ada di padang ilalang seluruhnya aku
serahkan kepada Kakang Maresi. Susul aku, hanya jika aku lama tidak kembali.
Aku tidak ingin kehilangan jejak sehingga Kamandaka bisa menghilang dari
kejaranku,” kata Tumenggung Silihwarna menyampaikan pesan kepada Tumenggung
Maresi. Setelah menyampaikan pesan, Tumenggung Silihwarna segera mengejar
Kamandaka. Dengan mudah dia berhasil menyeberangi Sungai Banjaran. Dilihatnya Kamandaka berdiri sendirian di
kejauhan.
“Ayo, Silihwarna! Kejarlah aku, kita cari
tempat yang nyaman untuk mengadu ketrampilan kita berdua!” kata Kamandaka yang
segera berbalik lari ke arah barat. Tumenggung Silihwarna terus mengejarnya.
Agaknya Kamandaka memang ingin menghadapi Silihwarna di tempat yang sepi yang hanya
dihadiri oleh mereka berdua.
Tibalah Kamandaka di tepi sebuah sungai.
Kamandaka terus berbelok ke utara mengikuti arah hulu sungai sampai akhirnya
Kamandaka menemui sebuah batu besar yang rata permukaannya. Kamandaka berpikir,
di atas batu itulah tempat yang nyaman dan sepi untuk mengetahui siapakah
sebenarnya Tumenggung Silihwarna itu. Dengan gerakan yang lincah, Kamandaka
melentingkan dirinya meloncat ke atas batu dan tiba di sana dengan mudah.
Kamandaka berdiri dengan gagah sambil menunggu Tumenggung Silihwarna yang terus
berlari mengejarnya.
Kini Tumenggung
Silihwarna sudah tiba di kaki batu besar. Sebenarnya Tumenggung Silihwarna,
semakin yakin, Kamandaka adalah Banyakcatra, lebih-lebih saatdia melihat cara
Kamandaka melentingkan dirinya ke atas batu besar itu. “Hem, itu tadi jurus
bango putih”, pikir Silihwarna sambil tersenyum. Dia pun mulai paham, apa
maksud Kamandaka mengajak berduel di tempat sepi yang tidak bisa disaksikan
orang lain. Pastilah ada sesuatu yang ingin disampaikan Kamandaka kepadanya.
Dugaan Silihwarna tidak keliru, ketika
dia mendengar Kamandaka menantangnya dari atas batu.
“Heh, Silihwarna! Naiklah ke atas batu ini,
jika engkau memang ksatria perkasa. Aku tidak pernah takut kepada siapapun. Aku
juga tidak pernah takut kepadamu. Naiklah ke atas batu, jika engkau ingin tahu
siapakah aku sebenarnya. Aku adalah Banyakcatra, Putra Sri Baginda Prabu
Siliwangi dari Pajajaran. Inilah pusaka Kujang Kancana Shakti yang akan
mengantarkanmu ke lubang kubur,” kata Kamandaka sambil mencabut pusaka Kujang
Kancana Shakti dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan. Kujang
pusaka itu berkilat-kilat ditimpa cahaya pagi yang jatuh di atas batu besar
itu.
Ketika mendengar Kamandaka menyebutkan
identitas yang sebenarnya dengan
menunjukkan pusaka kujang Pajajaran, Silihwarna langsung berteriak dari
bawah.
“Hei! Kanda Banyakcatra! Ini aku adikmu,
Banyakngampar! Lihatlah kalau tidak percaya pusaka Kujang Kancana Shakti.
Inilah pusaka Pajajaran!” teriak Silihwarna dengan suka cita. Dia langsung
mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggang kiri dan
mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanan supaya dapat dilihat Kamandaka.
“Pusaka Kujang
Kancana Shakti hanya ada tiga buah. Yang ketiga ada pada Dinda Banyakbelabur!”
teriak Silihwarna pula.
Betapa terkejutnya Kamandaka setelah mendengar
pengakuan Silihwarna. Apalagi setelah Silihwarna bisa menunjukkan pusaka Kujang
Kancana Shakti dan menyebut nama adik tirinya, Banyakbelabur. Tak perlu
diragukan lagi, Silihwarna itu adalah adik kandungnya sendiri yang sangat
dicintainya. Dan adik kandungnya yang dikiranya telah menjadi pendeta gundul di
Megamendung. Kamandaka cepat meloncat turun ke bawah. Dan dipeluknya adiknya
itu dengan perasaan gembira yang sulit dilukiskan.
“Oh, Dinda Banyakngampar, kenapa engkau membuat bingung aku? Coba kalau engkau dari
awal tidak meyembunyikan namamu. Pastilah tidak akan ada kesalahpaham dan
kejadian yang berlarut-larut seperti ini!”
“Maafkan aku, Kanda. Aku memang ceroboh.
Karena kecerobohanku, hampir saja nyawa Kanda melayang terkena tikaman senjata
pusaka Pajajaran.”
“Yah, sudahlah. Engkau pun hampir tewas karena
pukulan maut jurus monyet putih yang mengenai tengkukmu. Hanya karena engkau
putra Pajajaran, maka dapat selamat. Kini tidak ada gunanya lagi kita
menyembunyikan identitas kita masing-masing. Katakan kepada
prajurit-prajuritmu, siapa sebenarnya kita ini. Mudah-mudahan Kanjeng Adipati
dan Ki Patih, juga sudah tahu siapa diriku. Aku sudah menyampaikan pesan lewat
Dinda Dewi,” kata Kamandaka.
Mereka berdua segera tiba di padang ilalang
tempat pasukan pengepung berkumpul. Silihwarna mencari Tumenggung Maresi.
Ternyata dia telah pulang. Tumenggung yang penakut itu beralasan sakit setelah
dua malam tidak tidur. Tanggung jawab komando diserahkan pada wakilnya,
Jigjayuda. Silihwarna kemudian memerintahkan agar semua prajurit dibubarkan.
Tugas pengejaran dinyatakan selesai. Tepuk tangan pun bergemuruh dari sekitar
600 prajurit yang berkumpul di padang ilalang itu. Mereka menyambutnya dengan
gembira karena tugas yang membosankan
itu telah berakhir. Mereka bisa segera kembali ke tengah keluarga mereka
masing-masing.
Ketika mereka berdua sedang berada di padang
ilalang itulah dua orang prajurit utusan
Ki Patih tiba dengan menunggang kuda. Mereka datang menemui Silihwarna dan
Kamandaka, dengan maksud menjemput kedua
Ksatria Pajajaran itu. Kemudian mereka berdua akan diantarkan menemui Ki Patih dan Kanjeng Adipati.
“Ayo, Dinda Silihwarna pinjam kuda, mumpung
ada. Sebelum menghadap Ki Patih dan Kanjeng Adipati, kita lebih dulu ke tempat
Nyai Kertisara di Kaliwedi. Sudah dua hari aku
tidak mandi. Aku malu bila nanti sore bertemu Dinda Dewi. Nanti aku
kenalkan dengan Nyai Kertisara yang selama ini mengurus keperluanku sehari-hari,” Kamandaka mengajak adiknya,
Silihwarna.
“Kanda Kamandaka, tidak hafal ya? Itu kan kuda
kita yang aku bawa dari Pajajaran dan
aku titipkan di kepatihan. Rupanya Ki Patih sudah mendapat perintah khusus dari
Kanjeng Adipati sehingga mengirimkan kuda untuk menjemput kita.”
Dengan menggunakan satu kuda, Silihwarna
membawa Kamandaka menuju tempat tinggal Nyai Kertisara di Kaliwedi. Nyai
Kertisara sangat gembira menerima kedatangan mereka. “Aduh Raden, hamba cemas
sekali, sudah tiga malam Raden tidak pulang. Rekajaya juga pulang hanya
sebentar mengantarkan si Mercu, lalu pergi lagi membawa seekor monyet yang lucu
sekali. Eh, Raden, kemarin teman Raden dari Kejawar mencari-cari Raden. Katanya
hari ini akan datang ke sini lagi,” kata Nyai Kertisara setelah dikenalkan oleh
Kamandaka dengan Silihwarna. Kamandaka memberikan penjelasan singkat kepada
Nyai Kertisara kemana saja dia dan Rekajaya
pergi, sehingga beberapa malam tidak pulang.
Selesai kedua ksatria Pajajaran itu mandi dan
santap siang, tiba-tiba Arya Baribin dari Kademangan Kejawar muncul di depan
pintu. Kamandaka langsung memeluk Arya Baribin dan mengenalkan kepada adiknya.
Arya Baribin langsung akrab dengan Silihwarna. Usia keduanya memang sebaya.
“Dinda Silihwarna, Dimas Arya Baribin ini
seorang ksatria dari Majapahit yang mencari perlindungan kepada Ki Demang
Kejawar, setelah Majapahit jatuh. Majapahit jatuh karena serangan Kerajaan
Keling yang kini telah pindah ke Kediri,” kata Kamandaka. Dimas Arya Baribin
ini ingin mengabdikan diri untuk kepentingan Kadipaten Pasirluhur dan Kerajaan
Pajajaran. Dia banyak mengetahui soal Kerajaan Islam Demak yang merupakan
saingan berat Kerajaan Hindu Kediri setelah runtuhnya Majapahit.”
Silihwarna sebenarnya sudah pernah mendengar
nama Arya Baribin yang sempat disebut-sebut pula oleh Kanjeng Adipati
Kandhadaha. “Senang sekali bertemu dengan Dimas Arya Baribin. Nama Dimas sudah
aku dengar dari Kanjeng Adipati dan Ki Patih. Bahkan Kanjeng Adipati dan Ki
Patih sudah tahu persahabatan yang erat antara Kanda Kamandaka dengan Dimas Arya
Baribin,” kata Silihwarna.
“Hahaha…, pasti kita dituduh bersekongkol mau
mengobarkan pemberontakan melawan Kadipaten Pasirluhur dan Pajajaran. Betul
begitu, Dinda Silihwarna?” Kamandaka berkata sambil tertawa saat mendengar
bahwa Kanjeng Adipati dan Ki Patih ternyata sudah tahu keberadaan Arya Baribin
di Kademangan Kejawar. “Itu laporan fitnah dari cecunguk Kadipaten Pasirluhur macam
Ngabehi Nitipraja dan Tumenggung Maresi. Pasti Ngabehi Nitipraja yang
menyebarkan mata-mata sampai Kaliwedi dan Kejawar.”
Silihwarna ikut tertawa ketika Kamandaka
menyebut Ngabehi Nitipraja. Ngabehi Nitipraja pernah menjadi kopoh Silihwarna
dalam permainan judi adu ayam di Pangebatan. ”Yah, aku pun ditipu oleh Ngabehi
Nitipraja. Akhirnya si Penipu itu tewas ditangan Kanda Kamandaka. Dia memetik
akibat dari hukum karma.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar