Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 29 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(48)




“Ya, memang banyak keterangan salah yang sampai ke tangan Kanjeng Adipati dan Ki Patih,” kata Kamandaka. “Padahal aku dan Dimas Arya-Baribin justru banyak membicarakan hal-hal yang positip untuk memajukan Kadipaten Pasirluhur. Aku melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki dan memperkuat kesejahteraan para petani dan rakyat lapisan bawah Kadipaten Pasirluhur. Aku dan Dimas Arya-Baribin juga banyak mendiskusikan agama baru, yakni Agama Islam,” kata Kamandaka.
“Jika kita ingin menghadapi Kerajaan Islam Demak, mau tidak mau kita memang harus tahu seperti apa sebenarnya agama baru ini?  Apa sebabnya rakyat banyak yang tertarik? Hal ini perlu diketahui oleh Kerajaan Pajajaran. Sebab konflik Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajajaran sudah terjadi di sepanjang pantai utara bagian barat Pulau Jawa. Bukan mustahil konflik Demak-Kediri, Demak-Pajajaran atau Pajajaran-Kediri, akan sampai pula dampaknya ke Kadipaten Pasirluhur.”
“Hal-hal yang demikian penting ini, tak dipahami Kanjeng Adipati, Ki Patih dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya. Kalau toh ada yang tahu seperti Kanjeng Adipati dan Ki Patih, mereka tak tahu cara mengatasinya,” kata Kamandaka pula sambil berganti-ganti memandang Silihwarna dan Arya Baribin.
“Satu-satunya orang yang memahami persoalan rumit yang dihadapi Kadipaten Pasirluhur dan tahu menemukan jalan keluarnya hanyalah putri Kanjeng Adipati, Dinda Dewi” kata Kamandaka memuji Sang Dewi,gadis pujaannya itu.
“Justru itulah Kanda Kamandaka,” kata Arya Baribin setelah Kamandaka berhenti bebicara. “Dinda ke sini untuk memberitahu, besok Ki Demang Kejawar akan kedatangan tamu dari Muara Jati. Dia  seorang tokoh agama Islam bergelar Syekh yang mengajak bertukar pikiran dan memperkenalkan apakah agama Islam itu. Tak ada keharusan untuk memeluk agama baru ini. Syekh ini hanyalah ingin berbagi ilmu saja. Kalau Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna besok bisa hadir di Kademangan Kejawar, tentu dinda akan senang sekali. Demikian pula Ki Demang Kejawar, turut mengundang  Kanda berdua.”
‘‘Terimakasih sekali, Dimas Arya Baribin atas undangannya yang sangat menarik itu,” kata Kamandaka menjawab undangan Arya Baribin dan Ki Demang Kejawar. “Mungkin lain kali bila ada kesempatan lagi, aku akan menyempatkan diri. Percayalah aku memang tertarik untuk mengetahui agama baru itu dari sumber yang dapat dipercaya. Besok rencananya aku dan Dinda Silihwarna akan pulang dulu ke Pakuan Pajajaran. Sudah satu tahun lebih, aku  meninggalkan Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Oh, akan kembali ke Pakuan? Selamat jalan kalau begitu. Salam dan sembah sujud untuk Sri Baginda Prabu Siliwangi. Salam kenal untuk Kanda Banyakbelabur. Dan salam kenal pula untuk…..,” Arya Baribin berhenti sejenak, seakan-akan mengingat-ingat sesuatu nama. Rupanya dia takut salah mengeja. “Salam kenal untuk Adinda Ratna Pamekas.”
Arya Baribin yang masih muda remaja itu bernafas lega setelah berhasil menyebutkan kalimat terakhir itu. Silihwarna memandang Kamandaka, ketika Kamandaka berkata kepada Arya Baribin yang baru saja dikenalnya itu dengan pandangan mata curiga.
“Terima-kasih Dimas Arya Baribin. Salam untuk Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi akan aku sampaikan. Demikian pula salam perkenalan untuk Dinda Banyakbelabur dan Dinda Ratna Pamekas. Aku masih akan kembali ke Pasirluhur. Ke depannya Kerajaan Pajajaran dan Kadipaten Pasirluhur, sangat memerlukan bantuan tenaga dan pemikiran Dimas Arya Baribin. Salamku juga untuk Ki Demang Kejawar. Juga salam dari Dinda Silihwarna.”
“Baik, Kanda. Dinda akan sampaikan salam untuk Ki Demang Kejawar. Dinda siap memberikan bantuan. Beritahu segera, jika Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna kelak tiba kembali di Pasirluhur,” kata Arya Baribin sambil bangkit dan undur diri untuk pulang kembali ke Kademangan Kejawar.
Setelah Arya Baribin pergi, Silihwarna yang masih penasaran bertanya kepada Kamandaka, “Kanda, dari Kandakah Dimas Arya Baribin tahu nama Dinda Ratna Pamekas?”
“Iya. Arya Baribin tampan, muda, cakap, trah Majapahit, memiliki ilmu beladiri tinggi, lagi pula cerdas dan sopan. Engkau jangan cemburu, kalau aku ingin menyambungkan dengan Dinda Ratna Pamekas. Engkau setuju, bukan? Dia sudah bertekad ingin mengabdikan diri kepada Kerajaan Pajajaran maupun Kadipaten Pasirluhur.” Silihwarna terdiam sesaat, tiba-tiba wajah adik tirinya Ratna Pamekas muncul di pelupuk matanya. Kamandaka tahu bahwa adiknya itu tengah membayangkan Ratna Pamekas.
“Adindaku Banyakngampar, dengarkan baik-baik kata Kakandamu ini. Engkau boleh mencintai Dinda Ratna Pamekas. Tidak ada yang bisa melarangmu. Tetapi ingat kata-kata Kakanndamu dahulu. Engkau boleh mencintai adik tirimu itu, tetapi tidak boleh memilikinya. Adik tirimu itu adalah milik calon suaminya. Dan calon suami Dinda Ratna Pamekas, pastilah bukan aku dan bukan pula engkau. Agama dan Adat tidak mengijinkannya. Lagi pula Dinda Ratna Pamekas memang sempat berpesan kepadaku  pada waktu aku pamit kepadanya. Katanya, jangan hanya aku yang mencari istri untuk diri sendiri, tetapi Dinda Ratna minta tolong juga agar dicarikan calon suami. Tolong engkau pahami, bila aku berusaha menyambungkan Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas.”
“Aku bukannya sedih, Kakanda. Apalagi cemburu. Aku ikut bangga dan bahagia, karena Kanda akhirnya bisa menemukan gadis idaman calon istri tercinta. Dinda Ratna Pamekas, mudah-mudahan bisa menemukan jodohnya. Dimas Arya Baribin sepertinya tepat. Aku  setuju sekali. Sama dengan pesannya kepadaku, Dinda Ratna pun berpesan kepadaku agar dicarikan pula seorang suami. Dinda Banyakbelabur bisa jadi juga sudah punya calon istri.”
Sebagai seorang yang berpengalaman, Kamandaka segera tahu problem yang dihadapi adiknya itu. Lima tahun waktu yang dimiliki Banyakngampar dihabiskan untuk melatih diri menjadi seorang brahmacharin. Mau tidak mau kegiatan itu mempengaruhi ketrampilan Banyakcatra dalam bergaul dengan lawan jenis. Satu-satunya wanita yang diakrabinya hanyalah  adik tirinya itu, Ratna Pamekas.
“Apakah yang membuat Dinda bersedih? Apakah karena engkau belum punya calon istri?” tanya Kamandaka yang sedikit banyak memahami perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu. Ternyata Silihwarna diam saja dan menundukkan kepalanya.
“Jangan khawatir Adindaku. Di Lembah Ciserayu banyak gadis cantik juga, tidak kalah dengan daerah Galuh dan Pakuan Pajajaran. Nanti aku carikan. Dinda Dewi pasti bisa membantunya. Eh, bukannya engkau sudah punya istri? Aku dengar engkau sudah jadi menantu Adipati Dayeuhluhur? Bukankah beberapa waktu yang lalu Wasit sabung ayam mengenalkan status Dinda kepada para penonton?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Silihwarna langsung tertawa. “Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati saja, agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung. Dia lebih tua dan lebih senior, tetapi di bawah komadoku.”
“Sering kali akal-akalan menjadi sungguhan, lho Adindaku. Sudah tahu nama putri Adipati Dayeuhluhur?” Silihwarna tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Kamandaka langsung tertawa.
“Namanya Mayangsari. Masih adik sepupu Dinda Dewi. Sudah serahkan saja soal itu padaku. Engkau tahu beres saja tidak usah cemas. Dijamin putri Adipati Dayeuhluhur itu cantik. Cocoklah menjadi istri pendampingmu. Tetapi buanglah jauh-jauh keinginan menjadi brahmacharin, agar engkau tidak mengalami kesulitan bergaul dengan wanita.”
Seketika wajah Silihwarna kembali cerah dan gembira. Dia langsung berkata, ”Terimakasih, Kanda, atas segala saran, bantuan, dan nasehat Kanda.”
“Hal yang begini sesungguhnya sudah menjadi kewajibanku. Jangankan adik sendiri. Rekajaya saja aku pikirkan jodohnya,” kata Kamandaka.
Tiba-tiba Nyai Kertisara muncul di ruang tamu sambil membawa seorang pembantu perempuan untuk menarik cangkir-cangkir  minuman yang sudah kosong dan menggantinya dengan yang baru. “Raden, hamba sudah pilihkan pakaian sutra halus paling bagus, celana hitam, sabuk kulit berlapis benang emas, ikat kepala coklat, dan alas kaki dari kulit lembut untuk Raden berdua. Hamba dengar, Raden besok akan pulang ke Pakuan?” tanya Nyai Kertisara.
“Betul, Nyai. Aku akan minta Ayahanda melamar Dinda  Dewi,” jawab Kamandaka.
“Saran hamba, sebaiknya Raden membuat kejutan,” kata Nyai Kertisara, “Sore ini langsung saja Sang Dewi dilamar secara resmi. Raden Silihwarna bisa menjadi juru lamar mewakili Ayah Raden berdua, Sri Baginda Prabu Siliwangi. Tunjukan kepada penduduk bahwa Raden memang putra Raja Agung yang menghargai keutamaan seorang gadis yang akan menjadi istri Raden. Apalagi gadis itu adalah gadis sangat dihargai di kawasan Lembah Ciserayu, karena dia putri salah seorang penguasa Lembah Ciserayu yang sangat terhormat.”
“Maaf Raden, jika Raden melamar sekarang juga, nistaya nama Raden akan kembali harum sesuai dengan martabat Raden sebagai seorang putra Raja. Tetapi jika Raden pulang dulu, sementara Raden, maaf, sudah sempat masuk kamar tidur Sang Dewi, tentu akan melukai rakyat kawula Kadipaten Pasirluhur. Karena mereka tidak melihat kesungguhan Raden untuk mempersunting Sang Dewi. Sekalipun hamba tahu, Raden masuk kamar karena diundang Sang Dewi. Tetapi kawula Kadipaten tahunya Radenlah yang punya inisiatip masuk kamar tidur Sang Dewi.” Nyai Kertisara memberi saran kepada Kamandaka.
Bagaimana pun juga, sekalipun Nyai Kertisara berasal dari wong cilik, anak petani biasa, tetapi sempat menjadi istri seorang priyayi yang memiliki posisi tinggi. Lurah Karangjati bekas suami pertamnya sebelum bercerai, masih kerabat Tumenggung Maresi yang juga termasuk priyayi papan atas. Oleh karena itu Nyai Kertisara sangat paham budaya, tradisi, dan adat istiadat para priyayi.
“Bagus sekali saranmu, Nyai. Tetapi jika aku harus melamar sekarang, tidak ada yang bisa aku berikan kepada Dinda Dewi. Bukankah hal itu justru akan mempermalukan aku?”
“Jangan khawatir Raden,” kata Nyai Kertisara, “Maksud Raden, belum ada barang bawaan sebagai pengikat Sang Dewi dalam lamaran?”
“Ya,benar,”
“Kalau itu tidak usah khawatir. Hamba justru sudah lama menunggu-nunggu saat berbahagia seperti ini, yaitu kapan Raden akan melakukan lamaran. Hamba sudah sediakan dua pasang cincin emas, dua pasang gelang kroncong mata berlian, dua kalung emas dengan liontin batu mulia jenis shapir, dua pasang giwang bermata sembilan berlian. Sudah hamba  siapkan di dalam kotak dan siap diserahkan sore ini sebagai pengikat Sang Dewi,” kata Nyai Kertisara.
“Hem, Nyai! Aku tidak mengira besar sekali perhatianmu kepadaku! Aku jadi ingat kepada Raja Muda Hayam Wuruk dulu ketika  melamar Mawar Galuh, Dyah Ayu Pitaloka. Terimakasih Nyai. Aku setuju saran Nyai. Dinda Silihwarna, engkau lama belajar menjadi pendeta brahmacharin, bukan? Nanti sore, Dinda menjadi juru lamar mewakili Ayahanda. Lamarlah Dinda Dewi untukku!”
“Baik, Kanda.”
“Raden mari hamba rias dulu, agar Raden berdua tampil bak rembulan kembar,” kata Nyai Kertisara yang ternyata juga  ahli merias wajah dan rambut. Kamandaka dan Raden  Silihwarna tentu saja senang sekali. Sebab setelah tiga malam empat hari di tengah hutan, tentu saja raut wajahnya dan rambutnya tampak hancur-hancuran, sekalipun sudah mandi.
Angin musim kemarau bertiup kencang, merontokan daun-daun pohon yang sudah menguning. Daun-daun itu jatuh melayang-layang di sepanjang jalan yang di lalui Kamandaka dan Silihwarna yang memacu kudanya menuju Kadipaten Pasirluhur. Mereka akan mampir lebih dulu ke Dalem Kepatihan.[Bersambung]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar