“Ya, memang banyak keterangan salah yang
sampai ke tangan Kanjeng Adipati dan Ki Patih,” kata Kamandaka. “Padahal aku
dan Dimas Arya-Baribin justru banyak membicarakan hal-hal yang positip untuk memajukan
Kadipaten Pasirluhur. Aku melakukan usaha-usaha untuk memperbaiki dan
memperkuat kesejahteraan para petani dan rakyat lapisan bawah Kadipaten
Pasirluhur. Aku dan Dimas Arya-Baribin juga banyak mendiskusikan agama baru, yakni
Agama Islam,” kata Kamandaka.
“Jika kita ingin menghadapi Kerajaan Islam
Demak, mau tidak mau kita memang harus tahu seperti apa sebenarnya agama baru
ini? Apa sebabnya rakyat banyak yang
tertarik? Hal ini perlu diketahui oleh Kerajaan Pajajaran. Sebab konflik
Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajajaran sudah terjadi di sepanjang pantai utara
bagian barat Pulau Jawa. Bukan mustahil konflik Demak-Kediri, Demak-Pajajaran
atau Pajajaran-Kediri, akan sampai pula dampaknya ke Kadipaten Pasirluhur.”
“Hal-hal yang demikian penting ini, tak
dipahami Kanjeng Adipati, Ki Patih dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur
lainnya. Kalau toh ada yang tahu seperti Kanjeng Adipati dan Ki Patih, mereka
tak tahu cara mengatasinya,” kata Kamandaka pula sambil berganti-ganti
memandang Silihwarna dan Arya Baribin.
“Satu-satunya orang yang memahami persoalan
rumit yang dihadapi Kadipaten Pasirluhur dan tahu menemukan jalan keluarnya hanyalah
putri Kanjeng Adipati, Dinda Dewi” kata Kamandaka memuji Sang Dewi,gadis pujaannya
itu.
“Justru itulah Kanda Kamandaka,” kata Arya Baribin
setelah Kamandaka berhenti bebicara. “Dinda ke sini untuk memberitahu, besok Ki
Demang Kejawar akan kedatangan tamu dari Muara Jati. Dia seorang tokoh agama Islam bergelar Syekh yang
mengajak bertukar pikiran dan memperkenalkan apakah agama Islam itu. Tak ada
keharusan untuk memeluk agama baru ini. Syekh ini hanyalah ingin berbagi ilmu
saja. Kalau Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna besok bisa hadir di Kademangan
Kejawar, tentu dinda akan senang sekali. Demikian pula Ki Demang Kejawar, turut
mengundang Kanda berdua.”
‘‘Terimakasih sekali, Dimas Arya Baribin atas
undangannya yang sangat menarik itu,” kata Kamandaka menjawab undangan Arya
Baribin dan Ki Demang Kejawar. “Mungkin lain kali bila ada kesempatan lagi, aku
akan menyempatkan diri. Percayalah aku memang tertarik untuk mengetahui agama
baru itu dari sumber yang dapat dipercaya. Besok rencananya aku dan Dinda Silihwarna
akan pulang dulu ke Pakuan Pajajaran. Sudah satu tahun lebih, aku meninggalkan Ayahanda Sri Baginda Prabu
Siliwangi.”
“Oh, akan kembali ke Pakuan? Selamat jalan
kalau begitu. Salam dan sembah sujud untuk Sri Baginda Prabu Siliwangi. Salam
kenal untuk Kanda Banyakbelabur. Dan salam kenal pula untuk…..,” Arya Baribin
berhenti sejenak, seakan-akan mengingat-ingat sesuatu nama. Rupanya dia takut
salah mengeja. “Salam kenal untuk Adinda Ratna Pamekas.”
Arya Baribin yang masih muda remaja itu
bernafas lega setelah berhasil menyebutkan kalimat terakhir itu. Silihwarna
memandang Kamandaka, ketika Kamandaka berkata kepada Arya Baribin yang baru
saja dikenalnya itu dengan pandangan mata curiga.
“Terima-kasih Dimas Arya Baribin. Salam untuk
Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi akan aku sampaikan. Demikian pula salam
perkenalan untuk Dinda Banyakbelabur dan Dinda Ratna Pamekas. Aku masih akan kembali
ke Pasirluhur. Ke depannya Kerajaan Pajajaran dan Kadipaten Pasirluhur, sangat
memerlukan bantuan tenaga dan pemikiran Dimas Arya Baribin. Salamku juga untuk
Ki Demang Kejawar. Juga salam dari Dinda Silihwarna.”
“Baik, Kanda.
Dinda akan sampaikan salam untuk Ki Demang Kejawar. Dinda siap memberikan
bantuan. Beritahu segera, jika Kanda Kamandaka dan Kanda Silihwarna kelak tiba
kembali di Pasirluhur,” kata Arya Baribin sambil bangkit dan undur diri untuk
pulang kembali ke Kademangan Kejawar.
Setelah Arya Baribin pergi, Silihwarna yang
masih penasaran bertanya kepada Kamandaka, “Kanda, dari Kandakah Dimas Arya
Baribin tahu nama Dinda Ratna Pamekas?”
“Iya. Arya Baribin tampan, muda, cakap, trah
Majapahit, memiliki ilmu beladiri tinggi, lagi pula cerdas dan sopan. Engkau
jangan cemburu, kalau aku ingin menyambungkan dengan Dinda Ratna Pamekas.
Engkau setuju, bukan? Dia sudah bertekad ingin mengabdikan diri kepada Kerajaan
Pajajaran maupun Kadipaten Pasirluhur.” Silihwarna terdiam sesaat, tiba-tiba
wajah adik tirinya Ratna Pamekas muncul di pelupuk matanya. Kamandaka tahu
bahwa adiknya itu tengah membayangkan Ratna Pamekas.
“Adindaku Banyakngampar, dengarkan baik-baik
kata Kakandamu ini. Engkau boleh mencintai Dinda Ratna Pamekas. Tidak ada yang
bisa melarangmu. Tetapi ingat kata-kata Kakanndamu dahulu. Engkau boleh
mencintai adik tirimu itu, tetapi tidak boleh memilikinya. Adik tirimu itu
adalah milik calon suaminya. Dan calon suami Dinda Ratna Pamekas, pastilah
bukan aku dan bukan pula engkau. Agama dan Adat tidak mengijinkannya. Lagi pula
Dinda Ratna Pamekas memang sempat berpesan kepadaku pada waktu aku pamit kepadanya. Katanya,
jangan hanya aku yang mencari istri untuk diri sendiri, tetapi Dinda Ratna
minta tolong juga agar dicarikan calon suami. Tolong engkau pahami, bila aku
berusaha menyambungkan Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas.”
“Aku bukannya sedih, Kakanda. Apalagi cemburu.
Aku ikut bangga dan bahagia, karena Kanda akhirnya bisa menemukan gadis idaman
calon istri tercinta. Dinda Ratna Pamekas, mudah-mudahan bisa menemukan
jodohnya. Dimas Arya Baribin sepertinya tepat. Aku setuju sekali. Sama dengan pesannya kepadaku,
Dinda Ratna pun berpesan kepadaku agar dicarikan pula seorang suami. Dinda
Banyakbelabur bisa jadi juga sudah punya calon istri.”
Sebagai seorang yang berpengalaman, Kamandaka
segera tahu problem yang dihadapi adiknya itu. Lima tahun waktu yang dimiliki Banyakngampar
dihabiskan untuk melatih diri menjadi seorang brahmacharin. Mau tidak mau
kegiatan itu mempengaruhi ketrampilan Banyakcatra dalam bergaul dengan lawan
jenis. Satu-satunya wanita yang diakrabinya hanyalah adik tirinya itu, Ratna Pamekas.
“Apakah yang membuat Dinda bersedih? Apakah
karena engkau belum punya calon istri?” tanya Kamandaka yang sedikit banyak
memahami perubahan sikap adiknya yang tiba-tiba itu. Ternyata Silihwarna diam
saja dan menundukkan kepalanya.
“Jangan khawatir Adindaku. Di Lembah Ciserayu
banyak gadis cantik juga, tidak kalah dengan daerah Galuh dan Pakuan Pajajaran.
Nanti aku carikan. Dinda Dewi pasti bisa membantunya. Eh, bukannya engkau sudah
punya istri? Aku dengar engkau sudah jadi menantu Adipati Dayeuhluhur? Bukankah
beberapa waktu yang lalu Wasit sabung ayam mengenalkan status Dinda kepada para
penonton?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Silihwarna
langsung tertawa. “Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati saja, agar
Tumenggung Maresi tidak tersinggung. Dia lebih tua dan lebih senior, tetapi di
bawah komadoku.”
“Sering kali akal-akalan menjadi sungguhan,
lho Adindaku. Sudah tahu nama putri Adipati Dayeuhluhur?” Silihwarna tidak
menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Kamandaka langsung tertawa.
“Namanya Mayangsari. Masih adik sepupu Dinda Dewi.
Sudah serahkan saja soal itu padaku. Engkau tahu beres saja tidak usah cemas.
Dijamin putri Adipati Dayeuhluhur itu cantik. Cocoklah menjadi istri pendampingmu.
Tetapi buanglah jauh-jauh keinginan menjadi brahmacharin, agar engkau tidak
mengalami kesulitan bergaul dengan wanita.”
Seketika wajah Silihwarna kembali cerah dan
gembira. Dia langsung berkata, ”Terimakasih, Kanda, atas segala saran, bantuan,
dan nasehat Kanda.”
“Hal yang begini sesungguhnya sudah menjadi
kewajibanku. Jangankan adik sendiri. Rekajaya saja aku pikirkan jodohnya,” kata
Kamandaka.
Tiba-tiba Nyai Kertisara muncul di ruang tamu
sambil membawa seorang pembantu perempuan untuk menarik cangkir-cangkir minuman yang sudah kosong dan menggantinya
dengan yang baru. “Raden, hamba sudah pilihkan pakaian sutra halus paling
bagus, celana hitam, sabuk kulit berlapis benang emas, ikat kepala coklat, dan
alas kaki dari kulit lembut untuk Raden berdua. Hamba dengar, Raden besok akan
pulang ke Pakuan?” tanya Nyai Kertisara.
“Betul, Nyai. Aku akan minta Ayahanda melamar
Dinda Dewi,” jawab Kamandaka.
“Saran hamba, sebaiknya Raden membuat kejutan,”
kata Nyai Kertisara, “Sore ini langsung saja Sang Dewi dilamar secara resmi.
Raden Silihwarna bisa menjadi juru lamar mewakili Ayah Raden berdua, Sri
Baginda Prabu Siliwangi. Tunjukan kepada penduduk bahwa Raden memang putra Raja
Agung yang menghargai keutamaan seorang gadis yang akan menjadi istri Raden.
Apalagi gadis itu adalah gadis sangat dihargai di kawasan Lembah Ciserayu,
karena dia putri salah seorang penguasa Lembah Ciserayu yang sangat terhormat.”
“Maaf Raden, jika Raden melamar sekarang juga,
nistaya nama Raden akan kembali harum sesuai dengan martabat Raden sebagai
seorang putra Raja. Tetapi jika Raden pulang dulu, sementara Raden, maaf, sudah
sempat masuk kamar tidur Sang Dewi, tentu akan melukai rakyat kawula Kadipaten
Pasirluhur. Karena mereka tidak melihat kesungguhan Raden untuk mempersunting
Sang Dewi. Sekalipun hamba tahu, Raden masuk kamar karena diundang Sang Dewi.
Tetapi kawula Kadipaten tahunya Radenlah yang punya inisiatip masuk kamar tidur
Sang Dewi.” Nyai Kertisara memberi saran kepada Kamandaka.
Bagaimana pun juga, sekalipun Nyai Kertisara
berasal dari wong cilik, anak petani biasa, tetapi sempat menjadi istri seorang
priyayi yang memiliki posisi tinggi. Lurah Karangjati bekas suami pertamnya
sebelum bercerai, masih kerabat Tumenggung Maresi yang juga termasuk priyayi
papan atas. Oleh karena itu Nyai Kertisara sangat paham budaya, tradisi, dan
adat istiadat para priyayi.
“Bagus sekali saranmu, Nyai. Tetapi jika aku
harus melamar sekarang, tidak ada yang bisa aku berikan kepada Dinda Dewi.
Bukankah hal itu justru akan mempermalukan aku?”
“Jangan khawatir Raden,” kata Nyai Kertisara,
“Maksud Raden, belum ada barang bawaan sebagai pengikat Sang Dewi dalam
lamaran?”
“Ya,benar,”
“Kalau itu tidak usah khawatir. Hamba justru
sudah lama menunggu-nunggu saat berbahagia seperti ini, yaitu kapan Raden akan
melakukan lamaran. Hamba sudah sediakan dua pasang cincin emas, dua pasang
gelang kroncong mata berlian, dua kalung emas dengan liontin batu mulia jenis
shapir, dua pasang giwang bermata sembilan berlian. Sudah hamba siapkan di dalam kotak dan siap diserahkan
sore ini sebagai pengikat Sang Dewi,” kata Nyai Kertisara.
“Hem, Nyai! Aku tidak mengira besar sekali
perhatianmu kepadaku! Aku jadi ingat kepada Raja Muda Hayam Wuruk dulu ketika melamar Mawar Galuh, Dyah Ayu Pitaloka.
Terimakasih Nyai. Aku setuju saran Nyai. Dinda Silihwarna, engkau lama belajar
menjadi pendeta brahmacharin, bukan? Nanti sore, Dinda menjadi juru lamar
mewakili Ayahanda. Lamarlah Dinda Dewi untukku!”
“Baik, Kanda.”
“Raden mari hamba rias dulu, agar Raden berdua
tampil bak rembulan kembar,” kata Nyai Kertisara yang ternyata juga ahli merias wajah dan rambut. Kamandaka dan
Raden Silihwarna tentu saja senang
sekali. Sebab setelah tiga malam empat hari di tengah hutan, tentu saja raut
wajahnya dan rambutnya tampak hancur-hancuran, sekalipun sudah mandi.
Angin musim kemarau bertiup kencang,
merontokan daun-daun pohon yang sudah menguning. Daun-daun itu jatuh
melayang-layang di sepanjang jalan yang di lalui Kamandaka dan Silihwarna yang memacu
kudanya menuju Kadipaten Pasirluhur. Mereka akan mampir lebih dulu ke Dalem
Kepatihan.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar