Para prajurit yang menyaksikan duel tingkat
tinggi itu kagum bukan main melihat
keahlian mereka berdua dalam seni berkelahai. Mereka nampak seimbang dan
belum ada satu pun yang berhasil melukai lawannya. Apa lagi mampu
melumpuhkannya satu sama lain. Sementara itu, waktu pun terus berlalu. Matahari
berjalan menuruni kaki langit menukik menuju tempatnya terbenam. Menyaksikan
gerakan Kamandaka yang sangat gesit itu, Tumenggung Silihwarna merasa takjub.
Ternyata Kamandaka bisa berktanding dengan tenaga yang luar biasa, seakan-akan
luka tikaman senjata pusaka kujang tidak berbekas sama sekali.
“Ksatria dari mana Kamandaka ini? Tidak mempan
tikaman senjata Kujang Kancana Shakti Pajajaran? Padahal darah merah sempat
mengucur dari lambungnya?” tanya Tumenggung Silihwarna dalam hati
terheran-heran. ”Dari Majapahitkah? Tidak mungkin. Jurus harimau putih jurus
andalan Padepokan Sangkuriang!”.
Kini matahari sudah hampir menyentuh kaki
langit. Kedua ksatria yang belum saling tahu siapa lawannya yang sebenarnya
itu, sudah bertanding dengan menggelar jurus harimau putih sampai jurus
pamungkas, jurus ke-45. Tetapi keduanya belum juga ada yang mampu merobohkan
lawannya masing-masing. Padahal keringat sudah menganak sungai membasahi
sekujur tubuh mereka berdua. Semburat warna senja sudah mulai menghiasi kaki
langit tempat matahari akan terbenam.
“Berhenti!” kata Tumenggung Silihwarna.” Hai
Kamandaka, aku tadi siang menyaksikan
kamu menggunakan jurus monyet putih yang berhasil membuatku pingsan.
Kalau sekarang aku juga menggunakan jurus monyet putih, pasti tidak akan
selesai karena malam segera tiba. Para ksatria dilarang oleh dewa bertanding
pada waktu malam hari. Karena itu kita tunda sampai besok, sesuai dengan
permintaanmu tadi. Sebelum berpisah, aku bertanya, pernahkah kamu berguru di
Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede?”.
“Silihwarna, kamu ini aneh, kapan mertuamu
Adipati Dayeuhluhur pernah mengirim kamu ke Padepokan Megamendung?”
Tumenggung Silihwarna tertawa, karena
Kamandaka tidak tahu bahwa sesungguhnya dirinya belum pernah bertemu dengan
Adipati Dayeuhluhur. Apalagi menjadi menantunya. Itu hanyalah akal-akalan
Kanjeng Adipati Pasirluhur agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung karena
tugas untuk menangkap Kamandaka dialihkan kepadanya. Melihat Silihwarna
tertawa, Kamandaka langsung tersinggung, karena dia menganggap Silihwarna
tengah mentertawakan dirinya.
“Sudahlah tidak usah tertawa. Kita lanjutkan
saja besok. Sebentar lagi malam tiba,”
kata Kamandaka yang langsung berbalik kembali masuk ke dalam hutan. Sedangkan
Tumenggung Silihwarna bersama anak buahnya memilih membangun perkemahan di
tanah lapang tidak jauh dari hutan di tepi Sungai Banjaran itu. Maksud mereka
sebenarnya adalah untuk mengurung Kamandaka di dalam hutan.
Fajar baru saja menyingsing, tetapi Kamandaka
dan Rekajaya sudah berdiri di tepi Sungai Banjaran. Mereka melihat kabut putih
bergulung-gulung melayang-layang di atas sungai, semakin lama semakin menipis, hingga
permukaan air sungai yang semula remang-remang itu semakin jelas kelihatan.
Kamandaka memandangi air sungai yang jernih
itu sedang mengalir berebut cepat ke hilir setiap melewati sela-sela batu yang
muncul dari dasar sungai. Maklumah musim kemarau, sehingga Kamandaka dengan
mudah menemukan batu-batu untuk meyeberang. Di bagian hilir yang agak dalam,
permukaan air sungai itu nampak bagaikan cermin datar menghadap langit yang
memanjang, akhirnya melengkung dan
lenyap di sebuah kelokan.
“Silihwarna dan pengiringnya pasti masih mimpi
di tendanya. Nanti siang baru mengejar kita. Cukup waktu bagi kita untuk
membersihkan badan, sebelum kita menemukan tempat berlindung yang nyaman,” kata
Kamandaka sambil duduk di atas batu datar setelah berhasil menyeberangi sungai.
Mereka berdua menyempatkan diri mandi. Rekajaya bahkan berani merendam dirinya
dan beberapa kali menyelam. Padahal pagi itu air sungai dinginnya bukan main.
“Raden, masuk saja berendam sebentar. Ikatan
selendang sutra tidak usah dilepas. Justru jika kena air, ramuan di dalam
selendang sutra itu akan cepat meresap ke dalam tubuh Raden lewat kulit. Bukan
saja luka Raden akan cepat sembuh, tetapi stamina Raden pun akan diperbaharui
berkat ramuan yang ada pada selendang sutra itu,” kata Rekajaya ketika melihat
Kamandaka ragu-ragu untuk terjun ke dalam sungai. Kamandaka segera mengikuti
saran Rekajaya dan langsung terjun ke sungai.
“Hem, benar Kakang Rekajaya, Putra Sungai
tidak pernah takut air. Ah, alangkah segarnya. Kemarin sore mandi keringat,
sekarang semua sisa-sisa keringat pergi semua. Semoga pergi juga semua racun
yang ada dalam tubuhku,” kata Kamandaka tanpa ragu-ragu lagi mengikuti jejak
Rekajaya terjun ke dalam sungai yang jernih itu dan menyelam beberapa kali.
Usai mandi, mereka berdua menggigil kedinginan. Rekajaya merasa segar badannya.
Sedang Kamandaka, merasakan tenaga dan semangatnya pulih kembali.
“Hebat benar Dinda Dewi. Selendang sutra
kuning ini mengeluarkan bau harum yang melumuri seluruh tubuhku, Kakang
Rakajaya.”
“Hehehe…, siapa dulu Sang Dewi? Calon
permaisuri putra mahkota Kerajaan Pajajaran!” puji Rekajaya sambil tertawa.
Kamandaka pun ikut tertawa karena Sang Dewi dipuji Rekajaya.
“Ayohlah Kakang, kita lanjutkan perjalanan
kita dengan berjalan agak cepat agar tubuh kita menjadi hangat,” ajak Kamandaka
sambil melangkah menaiki tebing beranjak
meninggalkan sungai.
Kini mereka tiba di sebuah jalan panjang yang
mengikuti aliran Sungai Banjaran dari arah hulu menuju hilir. Di sebelah timur jalan
itu membentang padang rumput dan ilalang yang terhampar ke arah matahari terbit
dan berakhir di sebuah hutan yang sangat lebat. Kamandaka dan Rekajaya berdiri
di bawah pohon jati yang secara
kebetulan tumbuh di tepi jalan itu sambil
memandang ke arah timur.
Mereka berdua menyaksikan panorama indah
sekali saat alam yang semula diam dicekam sepi itu, tiba-tiba mulai berdenyut
dan menggeliat. Aneka macam burung hutan mulai kelihatan keluar satu demi satu
mengarungi langit dan membentuk titik-titik hitam yang makin lama makin banyak.
Mereka berbondong-bondong keluar dari sarangnya untuk mencari mangsa di tempat
yang jauh entah di mana. Burung-burung itu bermunculan dari pohon-pohon raksasa
yang tumbuh di hutan itu, seakan-akan bergembira ria mengiringi munculnya
semburat warna merah jingga di kaki langit sebelah timur.
Kemudian pada jalan yang membentang dari utara
ke selatan itu, satu persatu mulai muncul pula para pejalan kaki laki-laki
maupun perempuan bagaikan mahluk-mahluk yang tiba-tiba saja bermunculan dari
perut bumi. Mereka adalah para petani
yang tinggal berjauhan di sepanjang Sungai Banjaran. Sepagi itu mereka
sudah menggendong dan memikul barang
hasil ladang dan ternaknya untuk dibawa ke pasar. Tidak lama lagi memang
matahari akan segera terbit.
“Kakang Rekajaya, lihatlah hutan yang lebat
itu. Kita akan berlindung di sana. Aku pikir akan lebih aman di sana, jika
kelak prajurit Pasirluhur yang mengejarku membawa senjata. Tahukah Kakang,
hutan apakah itu?” tanya Kamandaka sambil menunjuk hutan di timur laut yang ada
di seberang padang ilalang yang luas itu.
“Hamba tidak
tahu namanya, Raden. Yang hamba tahu, di situ banyak aneka macam satwa termasuk
binatang buas. Ada harimau, banteng, serigala, kijang, rusa, babi hutan,
monyet, lutung, serigala, ular, dan kentus. “
“Apa itu kentus?”
“Pelanduk bertanduk, Raden,”
“Oh, iya? Aku belum pernah melihat kentus.”
“Kalau sedang mujur, Raden bisa menangkapnya.
Biasanya orang-orang menangkap kentus dengan memasang alat perangkap.
Sebenarnya di pasar hewan Pangebatan ada juga yang menjualnya, Raden,”
“Ada yang sudah mencoba beternak?”
“Sepertinya belum ada.”
“Wah, sayang sekali. Jika terus-menerus
ditangkap lama-lama pasti punah.”
“Ya, itulah. Sayangnya Kanjeng Adipati sendiri
gemar berburu. Hutan itu adalah salah satu hutan yang menjadi kegemaran Kanjeng
Adipati untuk berburu binatang buas,” kata Rekajaya menyesalkan Kanjeng Adipati
Kandhadaha yang memiliki kebiasaan berburu. ”Tentu saja rakyatnya lalu
ikut-ikutan.”
“Kalau begitu, adakah jalan menuju hutan itu?”
“Ada, Raden. Tapi kita harus memutar ke
selatan sana mengikuti jalan ini, nanti ada jalan ke kiri menuju hutan itu.”
“Apakah Jalan memutar tidak terlalu jauh dari sini? Untuk mempercepat
menuju hutan itu, kita sebaiknya membuat jalan terobosan melewati padang
ilalang lurus ke arah hutan di timur laut itu, Kakang.”
“Liwat tengah-tengah padang ilalang, Raden?
Bagaimana kalau di tengah sana ada lumpur, ada ular, ada harimau? Kita akan
mudah diterkam jika ada harimau hutan yang melihatnya,” kata Rekajaya setengah keberatan, bila harus
menerobos padang ilalang yang sangat luas itu.
“Putra Sungai tak pernah takut membuat jalan
terobosan. Jangan takut dengan binatang buas, Kakang. Aku punya mantra Ciung
Wanara yang bisa menjinakkan binatang apa saja, termasuk binatang buas,” kata
Kamandaka meyakinkan.
“Oh, iya. Hamba lupa, Raden. Kapan hamba
diajari mantra itu? Bukankah dahulu
Raden pernah berjanji akan mengajari hamba mantra penjinak bintang?”
Kamandaka tertawa mendengar Rekajaya menagih
janjinya untuk mengajari mantra penjinak binatang buas.
”Masalahnya sebenarnya begini, Kakang.
Pertama, aku belum mendapat ijin dari guruku untuk mengajarkan mantra tadi
kepada orang lain. Kedua, usia Kakang sudah lewat 30 tahun, tidak mudah untuk
mempelajari jurus-jurus moyet putih. Padahal mantra tadi bagian dari padanya.
Ketiga, Kakang sebaiknya kelak memusatkan diri mengembangkan bisnis Nyai
Kertisara saja. Lagi pula jika dewa mengijinkan, dan Kakang jadi memperistri Khandegwilis,
toh tidak diperlukan mantra untuk menjinakkan Khandegwilis, bukan?” kata Kamandaka, memberi alasan sambil
tersenyum. Di ujung kalimat, dia
menggoda Rekajaya.
“Ah, Raden ada-ada saja. Soalnya bukan itu
Raden. Alangkah baiknya kalau ilmu tadi bisa di sebarkan dan diwariskan kepada
penduduk Kadipaten Pasirluhur. Pasti akan banyak manfaatnya.”
“Ya, kalau itu, diam-diam aku sudah
memikirkannya. Selama ini Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi dan dulu Kakek
Rahyang Dewa Niskala, banyak membangun mandala-mandala dan padepokan pusat seni
beladiri. Yang terkenal antara lain Padepokan Sampakwaja di kaki Gunung Galunggung,
Padepokan Sangkuriang di lereng Gunung Tangkubanperahu dan Padepokan
Megamendung di lereng Gunung Gede. Jika kelak takdirku bisa selamat menyunting
Dinda Dewi, aku akan usulkan kepada Ayahanda Prabu Siliwangi agar di sebelah
timur Sungai Citanduy bisa didirikan paling tidak tiga buah mandala dan padepokan
yang besar dan berkualitas”
“Suatu gagasan yang mulia, Raden. Di daerah
mana saja kira-kira padepokan ilmu beladiri itu akan didirikan?”
“Ya, pertama daerah Dayeuhluhur, kedua di
lereng Gunung Agung, dan yang ketiga, aku tidak mungkin melupakan Desa Kaliwedi.
Aku lihat daerah di sebelah timur Gunung Tugel memanjang ke arah timur, ada
perbukitan kecil yang sangat cocok dijadikan mandala padepokan untuk pendidikan
dan pengembangan ilmu beladiri. Apalagi daerah itu tidak jauh dengan wilayah
segitiga pertemuan Sungai Ciserayu dan Sungai Cingcinggoling.
“Oh, alangkah
gembiranya hamba, bila gagasan Raden itu kelak menjadi kenyataan. Hamba dan
Nyai Kertisara akan membantu dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan gagasan
Raden. Kira-kira bila boleh tahu, apa nama padepokan di daerah hamba itu,
Raden?”
“Padepokan di Dayeuhluhur, akan mengajarkan
jurus harimau putih. Padepokan di lereng Gunung Agung, akan mengajarkan jurus
bangau putih. Padepokan di sebelah timur Gunung Tugel akan mengajarkan jurus
monyet putih.”
“Kalau
boleh hamba akan usul, Raden?”
“Usul Apa?”
“Jika kelak benar di desa hamba Kaliwedi akan
didirikan padepokan yang akan mengajarkan jurus monyet putih, bagaimana
kalau padepokan itu diberi nama
padepokan Kendalisada? “
‘’Wah, luar biasa, Kakang Rekajaya. Tahu ya,
siapa monyet putih dalam kisah Ramayana. Itulah Sang Hanoman, putra Sang Hyang
Syiwa dengan Dewi Anjani, pahlawan yang gagah berani dalam perang besar antara
Prabu Rama Wijaya melawan Rahwana dari Alengka. Baiklah usul Kakang aku terima,”
katanya. Kamandaka sendiri di kalangan pendekar Ksatria Pajajaran mendapat
gelar kehormatan sebagai Pendekar Monyet
Putih.
“Menurut ceritera orang tua, memang dahulu di
sebelah timur Gunung Tugel pernah ada sebuah padepokan yang bernama Padepokan Kendalisada.
Entah mengapa padepokan itu kemudian tutup,” kata Rekajaya.
“Ya, soal itu nanti kita pikirkan lagi. Ayo,
selagi masih pagi kita membuat terobosan melewati padang ilalang lurus menuju
timur laut sampai kita mencapai hutan yang lebat itu,” kata Kamandaka langsung
meloncat ketengah padang ilalang yang segera diikuti Rekajaya.Keduanya
meninggalkan pohon jati yang tumbuh sendirian di tepi jalan itu. (Bersambung}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar