Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 10 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(41)





Para prajurit yang menyaksikan duel tingkat tinggi itu kagum bukan main melihat  keahlian mereka berdua dalam seni berkelahai. Mereka nampak seimbang dan belum ada satu pun yang berhasil melukai lawannya. Apa lagi mampu melumpuhkannya satu sama lain. Sementara itu, waktu pun terus berlalu. Matahari berjalan menuruni kaki langit menukik menuju tempatnya terbenam. Menyaksikan gerakan Kamandaka yang sangat gesit itu, Tumenggung Silihwarna merasa takjub. Ternyata Kamandaka bisa berktanding dengan tenaga yang luar biasa, seakan-akan luka tikaman senjata pusaka kujang tidak berbekas sama sekali.
“Ksatria dari mana Kamandaka ini? Tidak mempan tikaman senjata Kujang Kancana Shakti Pajajaran? Padahal darah merah sempat mengucur dari lambungnya?” tanya Tumenggung Silihwarna dalam hati terheran-heran. ”Dari Majapahitkah? Tidak mungkin. Jurus harimau putih jurus andalan Padepokan Sangkuriang!”.
Kini matahari sudah hampir menyentuh kaki langit. Kedua ksatria yang belum saling tahu siapa lawannya yang sebenarnya itu, sudah bertanding dengan menggelar jurus harimau putih sampai jurus pamungkas, jurus ke-45. Tetapi keduanya belum juga ada yang mampu merobohkan lawannya masing-masing. Padahal keringat sudah menganak sungai membasahi sekujur tubuh mereka berdua. Semburat warna senja sudah mulai menghiasi kaki langit tempat matahari akan terbenam.
“Berhenti!” kata Tumenggung Silihwarna.” Hai Kamandaka, aku tadi siang menyaksikan  kamu menggunakan jurus monyet putih yang berhasil membuatku pingsan. Kalau sekarang aku juga menggunakan jurus monyet putih, pasti tidak akan selesai karena malam segera tiba. Para ksatria dilarang oleh dewa bertanding pada waktu malam hari. Karena itu kita tunda sampai besok, sesuai dengan permintaanmu tadi. Sebelum berpisah, aku bertanya, pernahkah kamu berguru di Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede?”.
“Silihwarna, kamu ini aneh, kapan mertuamu Adipati Dayeuhluhur pernah mengirim kamu ke Padepokan Megamendung?”
Tumenggung Silihwarna tertawa, karena Kamandaka tidak tahu bahwa sesungguhnya dirinya belum pernah bertemu dengan Adipati Dayeuhluhur. Apalagi menjadi menantunya. Itu hanyalah akal-akalan Kanjeng Adipati Pasirluhur agar Tumenggung Maresi tidak tersinggung karena tugas untuk menangkap Kamandaka dialihkan kepadanya. Melihat Silihwarna tertawa, Kamandaka langsung tersinggung, karena dia menganggap Silihwarna tengah mentertawakan dirinya.
“Sudahlah tidak usah tertawa. Kita lanjutkan saja  besok. Sebentar lagi malam tiba,” kata Kamandaka yang langsung berbalik kembali masuk ke dalam hutan. Sedangkan Tumenggung Silihwarna bersama anak buahnya memilih membangun perkemahan di tanah lapang tidak jauh dari hutan di tepi Sungai Banjaran itu. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk mengurung Kamandaka di dalam hutan.
Fajar baru saja menyingsing, tetapi Kamandaka dan Rekajaya sudah berdiri di tepi Sungai Banjaran. Mereka melihat kabut putih bergulung-gulung melayang-layang di atas sungai,  semakin lama semakin menipis, hingga permukaan air sungai yang semula remang-remang itu semakin jelas kelihatan.
Kamandaka memandangi air sungai yang jernih itu sedang mengalir berebut cepat ke hilir setiap melewati sela-sela batu yang muncul dari dasar sungai. Maklumah musim kemarau, sehingga Kamandaka dengan mudah menemukan batu-batu untuk meyeberang. Di bagian hilir yang agak dalam, permukaan air sungai itu nampak bagaikan cermin datar menghadap langit yang memanjang, akhirnya melengkung dan  lenyap di sebuah kelokan.
“Silihwarna dan pengiringnya pasti masih mimpi di tendanya. Nanti siang baru mengejar kita. Cukup waktu bagi kita untuk membersihkan badan, sebelum kita menemukan tempat berlindung yang nyaman,” kata Kamandaka sambil duduk di atas batu datar setelah berhasil menyeberangi sungai. Mereka berdua menyempatkan diri mandi. Rekajaya bahkan berani merendam dirinya dan beberapa kali menyelam. Padahal pagi itu air sungai dinginnya bukan main.
“Raden, masuk saja berendam sebentar. Ikatan selendang sutra tidak usah dilepas. Justru jika kena air, ramuan di dalam selendang sutra itu akan cepat meresap ke dalam tubuh Raden lewat kulit. Bukan saja luka Raden akan cepat sembuh, tetapi stamina Raden pun akan diperbaharui berkat ramuan yang ada pada selendang sutra itu,” kata Rekajaya ketika melihat Kamandaka ragu-ragu untuk terjun ke dalam sungai. Kamandaka segera mengikuti saran Rekajaya dan langsung terjun ke sungai.
“Hem, benar Kakang Rekajaya, Putra Sungai tidak pernah takut air. Ah, alangkah segarnya. Kemarin sore mandi keringat, sekarang semua sisa-sisa keringat pergi semua. Semoga pergi juga semua racun yang ada dalam tubuhku,” kata Kamandaka tanpa ragu-ragu lagi mengikuti jejak Rekajaya terjun ke dalam sungai yang jernih itu dan menyelam beberapa kali. Usai mandi, mereka berdua menggigil kedinginan. Rekajaya merasa segar badannya. Sedang Kamandaka, merasakan tenaga dan semangatnya pulih kembali.
“Hebat benar Dinda Dewi. Selendang sutra kuning ini mengeluarkan bau harum yang melumuri seluruh tubuhku, Kakang Rakajaya.”
“Hehehe…, siapa dulu Sang Dewi? Calon permaisuri putra mahkota Kerajaan Pajajaran!” puji Rekajaya sambil tertawa. Kamandaka pun ikut tertawa karena Sang Dewi dipuji Rekajaya.
“Ayohlah Kakang, kita lanjutkan perjalanan kita dengan berjalan agak cepat agar tubuh kita menjadi hangat,” ajak Kamandaka sambil melangkah menaiki tebing  beranjak meninggalkan sungai.
Kini mereka tiba di sebuah jalan panjang yang mengikuti aliran Sungai Banjaran dari arah hulu menuju hilir. Di sebelah timur jalan itu membentang padang rumput dan ilalang yang terhampar ke arah matahari terbit dan berakhir di sebuah hutan yang sangat lebat. Kamandaka dan Rekajaya berdiri di bawah pohon jati yang  secara kebetulan tumbuh di tepi jalan itu sambil  memandang ke arah timur.
Mereka berdua menyaksikan panorama indah sekali saat alam yang semula diam dicekam sepi itu, tiba-tiba mulai berdenyut dan menggeliat. Aneka macam burung hutan mulai kelihatan keluar satu demi satu mengarungi langit dan membentuk titik-titik hitam yang makin lama makin banyak. Mereka berbondong-bondong keluar dari sarangnya untuk mencari mangsa di tempat yang jauh entah di mana. Burung-burung itu bermunculan dari pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan itu, seakan-akan bergembira ria mengiringi munculnya semburat warna merah jingga di kaki langit sebelah timur.
Kemudian pada jalan yang membentang dari utara ke selatan itu, satu persatu mulai muncul pula para pejalan kaki laki-laki maupun perempuan bagaikan mahluk-mahluk yang tiba-tiba saja bermunculan dari perut  bumi. Mereka adalah para petani yang tinggal berjauhan di sepanjang Sungai Banjaran. Sepagi itu mereka sudah  menggendong dan memikul barang hasil ladang dan ternaknya untuk dibawa ke pasar. Tidak lama lagi memang matahari akan segera terbit.
“Kakang Rekajaya, lihatlah hutan yang lebat itu. Kita akan berlindung di sana. Aku pikir akan lebih aman di sana, jika kelak prajurit Pasirluhur yang mengejarku membawa senjata. Tahukah Kakang, hutan apakah itu?” tanya Kamandaka sambil menunjuk hutan di timur laut yang ada di seberang padang ilalang yang luas itu.
“Hamba tidak tahu namanya, Raden. Yang hamba tahu, di situ banyak aneka macam satwa termasuk binatang buas. Ada harimau, banteng, serigala, kijang, rusa, babi hutan, monyet, lutung, serigala, ular, dan kentus. “
“Apa itu kentus?”
“Pelanduk bertanduk, Raden,”
“Oh, iya? Aku belum pernah melihat kentus.”
“Kalau sedang mujur, Raden bisa menangkapnya. Biasanya orang-orang menangkap kentus dengan memasang alat perangkap. Sebenarnya di pasar hewan Pangebatan ada juga yang menjualnya, Raden,”
“Ada yang sudah mencoba beternak?”
“Sepertinya belum ada.”
“Wah, sayang sekali. Jika terus-menerus ditangkap lama-lama pasti punah.”
“Ya, itulah. Sayangnya Kanjeng Adipati sendiri gemar berburu. Hutan itu adalah salah satu hutan yang menjadi kegemaran Kanjeng Adipati untuk berburu binatang buas,” kata Rekajaya menyesalkan Kanjeng Adipati Kandhadaha yang memiliki kebiasaan berburu. ”Tentu saja rakyatnya lalu ikut-ikutan.”
“Kalau begitu, adakah jalan menuju hutan itu?”
“Ada, Raden. Tapi kita harus memutar ke selatan sana mengikuti jalan ini, nanti ada jalan ke kiri menuju hutan itu.”
“Apakah Jalan memutar tidak  terlalu jauh dari sini? Untuk mempercepat menuju hutan itu, kita sebaiknya membuat jalan terobosan melewati padang ilalang lurus ke arah hutan di timur laut itu, Kakang.”
“Liwat tengah-tengah padang ilalang, Raden? Bagaimana kalau di tengah sana ada lumpur, ada ular, ada harimau? Kita akan mudah diterkam jika ada harimau hutan yang melihatnya,”  kata Rekajaya setengah keberatan, bila harus menerobos padang ilalang yang sangat luas itu.
“Putra Sungai tak pernah takut membuat jalan terobosan. Jangan takut dengan binatang buas, Kakang. Aku punya mantra Ciung Wanara yang bisa menjinakkan binatang apa saja, termasuk binatang buas,” kata Kamandaka meyakinkan.
“Oh, iya. Hamba lupa, Raden. Kapan hamba diajari mantra itu?  Bukankah dahulu Raden pernah berjanji akan mengajari hamba mantra penjinak bintang?”
Kamandaka tertawa mendengar Rekajaya menagih janjinya untuk mengajari mantra penjinak binatang buas.
”Masalahnya sebenarnya begini, Kakang. Pertama, aku belum mendapat ijin dari guruku untuk mengajarkan mantra tadi kepada orang lain. Kedua, usia Kakang sudah lewat 30 tahun, tidak mudah untuk mempelajari jurus-jurus moyet putih. Padahal mantra tadi bagian dari padanya. Ketiga, Kakang sebaiknya kelak memusatkan diri mengembangkan bisnis Nyai Kertisara saja. Lagi pula jika dewa mengijinkan, dan Kakang jadi memperistri Khandegwilis, toh tidak diperlukan mantra untuk menjinakkan Khandegwilis, bukan?”  kata Kamandaka, memberi alasan sambil tersenyum.  Di ujung kalimat,  dia  menggoda Rekajaya.
“Ah, Raden ada-ada saja. Soalnya bukan itu Raden. Alangkah baiknya kalau ilmu tadi bisa di sebarkan dan diwariskan kepada penduduk Kadipaten Pasirluhur. Pasti akan banyak manfaatnya.”
“Ya, kalau itu, diam-diam aku sudah memikirkannya. Selama ini Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi dan dulu Kakek Rahyang Dewa Niskala, banyak membangun mandala-mandala dan padepokan pusat seni beladiri. Yang terkenal antara lain Padepokan Sampakwaja di kaki Gunung Galunggung, Padepokan Sangkuriang di lereng Gunung Tangkubanperahu dan Padepokan Megamendung di lereng Gunung Gede. Jika kelak takdirku bisa selamat menyunting Dinda Dewi, aku akan usulkan kepada Ayahanda Prabu Siliwangi agar di sebelah timur Sungai Citanduy bisa didirikan paling tidak tiga buah mandala dan padepokan yang besar dan berkualitas”
“Suatu gagasan yang mulia, Raden. Di daerah mana saja kira-kira padepokan ilmu beladiri itu akan didirikan?”
“Ya, pertama daerah Dayeuhluhur, kedua di lereng Gunung Agung, dan yang ketiga, aku tidak mungkin melupakan Desa Kaliwedi. Aku lihat daerah di sebelah timur Gunung Tugel memanjang ke arah timur, ada perbukitan kecil yang sangat cocok dijadikan mandala padepokan untuk pendidikan dan pengembangan ilmu beladiri. Apalagi daerah itu tidak jauh dengan wilayah segitiga pertemuan Sungai Ciserayu dan Sungai Cingcinggoling.
“Oh, alangkah gembiranya hamba, bila gagasan Raden itu kelak menjadi kenyataan. Hamba dan Nyai Kertisara akan membantu dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan gagasan Raden. Kira-kira bila boleh tahu, apa nama padepokan di daerah hamba itu, Raden?”
“Padepokan di Dayeuhluhur, akan mengajarkan jurus harimau putih. Padepokan di lereng Gunung Agung, akan mengajarkan jurus bangau putih. Padepokan di sebelah timur Gunung Tugel akan mengajarkan jurus monyet putih.”
“Kalau  boleh hamba akan  usul, Raden?”
“Usul Apa?”
“Jika kelak benar di desa hamba Kaliwedi akan didirikan padepokan yang akan mengajarkan jurus monyet putih, bagaimana kalau  padepokan itu diberi nama padepokan Kendalisada? “
‘’Wah, luar biasa, Kakang Rekajaya. Tahu ya, siapa monyet putih dalam kisah Ramayana. Itulah Sang Hanoman, putra Sang Hyang Syiwa dengan Dewi Anjani, pahlawan yang gagah berani dalam perang besar antara Prabu Rama Wijaya melawan Rahwana dari Alengka. Baiklah usul Kakang aku terima,” katanya. Kamandaka sendiri di kalangan pendekar Ksatria Pajajaran mendapat gelar kehormatan sebagai  Pendekar Monyet Putih.
“Menurut ceritera orang tua, memang dahulu di sebelah timur Gunung Tugel pernah ada sebuah padepokan yang bernama Padepokan Kendalisada. Entah mengapa padepokan itu kemudian tutup,” kata Rekajaya.
“Ya, soal itu nanti kita pikirkan lagi. Ayo, selagi masih pagi kita membuat terobosan melewati padang ilalang lurus menuju timur laut sampai kita mencapai hutan yang lebat itu,” kata Kamandaka langsung meloncat ketengah padang ilalang yang segera diikuti Rekajaya.Keduanya meninggalkan pohon jati yang tumbuh sendirian di tepi jalan itu. (Bersambung}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar