“Banyak sekali,-Raden, ada simbukan, sirih,
batang lumbu, bluluk, daun petai china, daun pace, dan lainnya lagi. Semua itu
bisa menyembuhkan luka,” jawab Rekajaya.
“Dari mana Kakang tahu tumbuh-tumbuhan penyembuah luka itu?”
“Hehehe..., Kakak hamba Nyai Kertisara
sebenarnya ahli membuat ramuan jamu. Dulu ketika Kakang Kertisara masih hidup,
Mbakyu sering membuatnya dan hamba sering membantu meraciknya, Raden.”
“Kalau begitu coba Kakang carikan di sekitar
sini, barang kali ada. Tapi bukakan dulu ikatan selendang sutra yang melilit
pinggang ini. Simpulnya ada di sebelah kiri. Aku khawatir selendang sutra
kuning terkena tetesan darah.”
Rekajaya segera membuka simpul ikatan selendang
sutra kuning. Begitu selendang sutra kuning itu dibuka dan dipegangnya,
Rekajaya menemukan sejumlah keganjilan. Selendang itu mengeluarkan aroma harum
semerbak khas dari rempah-rempah untuk pengobatan yang tidak asing bagi
Rekajaya. Dia memang dulu terbiasa membantu Nyai Kertisara membuat ramuan jamu.
“Hem, sebuah selendang sutra yang hebat dan
punya khasiat, Raden. Dari aromanya, selendang ini pernah direndam dalam ramuan
rempah-rempah sehingga aroma harumnya yang khas tidak akan hilang,” kata Rekajaya
sambil meraba-raba selendang sutra yang halus itu. Ketika Rekajaya mencoba
menerawangnya di bawah sinar matahari, Rekajaya terkejut karena dia menemukan
di ujung-ujung selendang ada lipatan jahitan yang sangat rapi, dan berisi
semacam serbuk yang sangat halus.
“Lho, Raden! Ada serbuk tepung halus
diujung-ujung selendang kuning ini. Lihatlah, Raden! Hem, hamba tahu sekarang.
Mudah-mudahan benar. Serbuk itu hamba duga ramuan penyembuh luka. Dari mana
selendang sutra kuning ini, Raden?”
“Dari Dinda Dewi. Aku yakin dugaan Kakang betul. Coba cari duri
untuk melubangi lipatan ujung selendang sutra, ambil serbuk halus itu!”
Rekajaya segera bangkit untuk mencari duri.
Kebetulan tidak jauh dari situ banyak rumput liar yang berduri tajam. Dalam
waktu singkat duri yang dicari telah didapat. Dengan menggunakan duri, lipatan
di ujung kain sutra berwarna kuning itu
ditusuk. Seketika butiran-butiran serbuk halus berwarna coklat kopi mengalir
keluar ke atas telapak tangan Rekajaya. Rekajaya merasakan aroma harum semerbak
serbuk yang berwarna coklat halus itu.
Tanpa membuang waktu Rekajaya segera
mengoleskan serbuk itu pada luka lambung kanan Kamandaka. Ajaib, Kamandaka
tiba-tiba merasa nyaman, rasa perih dari lukanya menghilang seketika, darah
yang menetes berhenti dan lukanya mulai mengering.
“Sekarang ikat luka itu dengan melilitkan selendang
sutra agak ke atas lingkaran pinggang dan ikat keras-keras seperti semula, Kakang,”
perintah Kamandaka. Rekajaya segera melaksanakan perintah Kamandaka.
Kini luka yang telah dilumuri serbuk penutup luka itu diikat dengan selendang
sutra yang meliliti pinggang Kamandaka. Tiba-tiba Kamandak merasa sangat
nyaman, luka tikaman kujang yang sangat mengganggu gerak geriknya kini lenyap
seketika.
“Sungguh Kakang, aku tidak menduga sama
sekali, begitu besar perhatian Dinda Dewi kepadaku, sampai-sampai dia
memberikan selendang sutra yang berisi ramuan obat itu untuk menjaga
keselamatanku dari kemungkinan terluka yang bisa saja terjadi setiap saat
secara tidak disangka-sangka. Padahal luka akibat tikaman senjata rahasia
biasanya mengandung racun yang mematikan dan sangat sulit disembuhkan.”
“Suatu bukti Sang Dewi sangat mencintai Raden.
Selendang sutra kuning telah membantu proses penyembuhan luka akibat tikaman
senjata rahasia.”
“Betul Kakang. Tetapi aku sebenarnya sedang
gelisah. Aku mendengar kabar, Dinda Dewi akan dinikahkan dengan putra Adipati
Dayeuhluhur yang masih saudara sepupunya. Kira-kira betul tidak berita tadi,
Kakang?”
“Ah, hanya berita dari warung kopi yang belum tentu
benar, Raden. Hamba tidak percaya sedikit pun. Hamba yakin Sang Dewi sangat
mencintai Raden. Selendang kuning yang diberikan Sang Dewi itu sebenarnya
simbol. Selendang kuning itu sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Dewi sebagai
pengganti simbol janur kuning. Janur kuning itu dalam tradisi Pasirluhur,
dipasang di depan rumah pengantin putri pada saat diadakan ritual pernikahan
antara pengantin putra dan pengantin putri. Konon kata janur itu singkatan dari
sajatine nur. Cahaya kebahagiaan hidup rumah tangga sejati, karena mendapat
anugerah harta, tahta, dan wanita yang akan melahirkan keturunan,” kata
Rekajaya mencoba menghibur Kamandaka.
“Hei, sejak kapan Kakang jadi punya wawasan begitu bernilai?”
“Hehehe…, tentu saja sejak hamba mengikuti
Raden,” jawab Rekajaya merendah sambil tertawa.
“Tapi ada simbol lain, Raden”
“Apa itu ?”
“Dengan memberikan selendang sutra kuning
sebagai pengganti simbol janur kuning, hamba menebak sebenarnya Raden dan Sang
Dewi malam itu sudah melakukan ritual pernikahan dan sudah sah sebagai sepasang
suami istri. Sebagai seorang ksatria Raden punya hak untuk melakukan ritual pernikahan
secara mandiri. Betul Raden?” tanya Rekajaya.
“Wah, tebakan Kakang Rekajaya tepat sekali.
Tetapi percayalah Kakang, aku masih menjaga kesucian Dinda Dewi. Saat aku
meninggalkannya, Dinda Dewi masih suci seperti sediakala. Memang malam itu aku
sudah melamarnya secara pribadi. Tetapi lamaran secara pribadi, bisa dibatalkan
jika tidak segera disusul dengan lamaran secara resmi lewat Kanjeng Adipati,”
kata Kamandaka menjelaskan.
“Hamba sangat percaya, Raden. Karena itu kalau
boleh hamba sarankan sebaiknya Raden cepat-cepat mengakhiri penyamaran Raden
dan menjelaskan kepada Kanjeng Adipati identitas Raden yang sebenarnya sebagai
putra Sri Baginda Raja Prabu Siliwangi. Hamba yakin Kanjeng Adipati dan Kanjeng
Patih akan memaafkan Raden. Bukankah Sang Dewi sudah tahu identitas Raden yang
sebenarnya?” Rekajaya berkata memberikan saran kepada Kamandaka. Kamandaka
terdiam. Dalam hati membenarkan saran Rekajaya.
“Ya, rencana semula aku akan segera pulang ke
Pajajaran meminta Ayahanda Sri Baginda untuk melamar secara resmi kepada
Kanjeng Adipati Pasirluhur. Tetapi posisi menjadi sulit, karena prajurit jaga
keburu mengetahui keberadaanku. Jika saat itu aku berterus terang siapa diriku,
tentu aku akan sangat malu. Aku adalah seorang ksatria, tetapi telah bersikap
pengecut masuk ke dalam kamar seorang gadis putri seorang adipati yang sedang
dipingit. Kalau aku tertangkap hukumannya memang berat. Aku pasti akan dipancung,
karena telah mempermalukan Kanjeng Adipati.”
“Menurut hamba sebenarnya sekarang posisinya
sudah berubah. Kadipaten Pasirluhur kesulitan menangkap Raden. Raden bisa
menyampaikan pesan kepada Sang Dewi, agar Sang Dewi menjelaskan kepada Kanjeng
Adipati Kandhadaha, siapakah Raden sebenarnya. Hamba yakin sikap Kanjeng
Adipati Kandhadaha akan berubah dan bersedia mengampuni Raden. Apalagi Raden
mendatangi kamar Sang Dewi, bukan atas kemauan sendiri, tetapi karena memenuhi
undangan Sang Dewi. Hamba yakin Sang Dewi cukup cerdas untuk memberikan
penjelasan kepada Kanjeng Adipati.”
“Saran yang bagus, Kakang. Wah, luar biasa
analisa Kakang. Dengan tingkat kecerdasan seperti yang aku saksikan sekarang
ini, sangat pantas Kakang menjadi pendamping Khandegwilis. Pasti Khandegwilis
akan menerima lamaran Kakang. Aku setuju,”
kata Kamandaka sambil tertawa.
“Ah, Raden bisa saja,” kata Rekajaya sambil
menundukan wajahnya yang memerah karena malu. ”Maksud Raden, setuju yang mana?”
“Hehehe…, tentu saja keduanya, Kakang.
Pertama, Aku setuju Kakang Rekajaya secepatnya menemui Khandegwilis dan
sampaikan pesanku kepada Dinda Dewi. Katakan agar Dinda Dewi menjelaskan siapa
diriku yang sebenarnya kepada Kanjeng Adipati. Kakang Rakajaya dan Khandegwilis
menjadi rantai penghubung aku dengan Dinda Dewi dan Kanjeng Adipati. Kedua, aku
setuju Khandegwilis jadi istri Kakang.”
“Terima kasih, Raden,” kata Rekajaya.
“Kapan sebaiknya hamba berangkat ke Kadipaten
Pasirluhur? Besok atau lusa?” Wajah Rekajaya tampak cerah dan gembira sekali,
matanya berbinar-binar seakan-akan sudah tidak sabar lagi karena ingin segera
menemui Khandegwilis.
“Ya, besok atau paling lambat lusa, kita lihat
saja perkembangan keadaan dan akibatnya dari perkelaihan di lapangan Pangebatan siang tadi.
Nitipraja jelas tewas. Tetapi
Silihwarna? Masih tanda tanya.”
Tiba-tiba si Mercu yang berkeliaran
kesana-kemari berlari-lari mendekat sambil berkokok beberapa kali, seolah-olah
hendak memberitahu ada orang datang. Si Mercu tampak gelisah sekali.
“Hem, mereka mengejar kita, Kakang,” kata
Kamandaka setelah membaca situasi dengan memperhatikan si Mercu yang tampak
gelisah.
Dan benar saja,
dari pinggir hutan terdengar suara Tumenggung Silihwarna berteriak-teriak
memanggil Kamandaka. Rupanya Tumenggung Silihwarna sudah sadar dari pingsannya.
“Hai, Kamandaka! Ini aku Silihwarna. Ayo
keluar jika berani. Lawanlah aku dalam duel satu lawan satu. Jika engkau bisa
mengalahkan aku, seluruh prajurit yang mengepungmu, bersedia menyerah
kepadamu,” teriak Tumenggung Silihwarna dari sebuah tanah lapang yang ada di
pinggir hutan.
Tanpa membuang waktu, Kamandaka berjalan
keluar dari dalam hutan, menemui Tumenggung Silihwarna. “Hem, Silihwarna.
Lihatlah matahari sudah condong ke barat. Tidak lama lagi matahari akan memasuki
senja. Aku sebenarnya sedang tidak kober melayani kamu sekarang ini. Bagaimana
kalau besok pagi saja? Kalau besok, aku
pasti kober atau sempat melayani tantangan kamu dengan tawaran yang menarik
itu,”.
Tumenggung Silihwarna yang cerdas itu, mengira
Kamandaka masih terluka, sehingga dia menduga Kamandaka tidak siap bertanding
saat itu juga. Karena itu, dia menolak tawaran Kamandaka untuk menundanya
sampai besok.
“Kamandaka, kober atau tidak kober, sempat
atau tidak sempat, hadapi aku sekarang saja. Ayolah, keluarkan seluruh
jurus-jurus andalanmu!” tantang Tumenggung Silihwarna.
“Silihwarna, kamu memang tukang judi yang
keras kepala. Sebelum nyawamu melayang, aku mau tanya dari mana kamu belajar
jurus harimau putih? Siapa gurumu?” tanya Kamandaka. Mereka berdua kini sudah
berhadap-hadapan. Pengiring Tumenggung Silihwarna yang belum sempat
dipersenjatai itu berdiri berkerumun di tempat agak jauh.
“Bukannya terbalik? Hai, Kamandaka, seharusnya
kamu lebih dulu yang menjelaskan siapa gurumu, karena kamulah yang akan tewas
lebih dulu.”
“Hem, Tumenggung sombong. Istrimu akan segera
menjadi janda. Sudah tidak usah banyak omong. Aku ingin tahu berapa banyak
jurus harimau putih yang kamu kuasai,” kata Kamandaka, seraya langsung
menyerang Tumenggung Silihwarna dengan melancarkan jurus pertama. Dengan mudah
Silihwarna berkelit.
Setiap kali Kamandaka melancarkan serangan,
selalu saja meleset. Tampaknya Tumenggung Silihwarna mampu menebak arah
gerakan. Jurus pertama harimau putih berakhir tanpa hasil. Kini ganti
Tumenggung Silihwarna yang mengambil inisiatif melancarkan jurus kedua harimau
putih untuk melumpuhkan Kamandaka. Kamandaka dengan mudah melepaskan diri dari
serangan jurus kedua. Demikianlah kedua ksatria itu terus berkelahai mengadu
ketrampilan masing-masing dalam seni ilmu beladiri tingkat tinggi. Mereka
saling menendang, saling memukul, saling menggunakan tenaga dalam. Jika yang
satu meloncat untuk menerkam lawannya, yang diterkam dengan lincah mampu
melepaskan diri dari terkaman.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar