Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 04 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(40)





“Banyak sekali,-Raden, ada simbukan, sirih, batang lumbu, bluluk, daun petai china, daun pace, dan lainnya lagi. Semua itu bisa menyembuhkan luka,” jawab Rekajaya.
“Dari mana Kakang tahu  tumbuh-tumbuhan penyembuah luka itu?”
“Hehehe..., Kakak hamba Nyai Kertisara sebenarnya ahli membuat ramuan jamu. Dulu ketika Kakang Kertisara masih hidup, Mbakyu sering membuatnya dan hamba sering membantu meraciknya, Raden.”
“Kalau begitu coba Kakang carikan di sekitar sini, barang kali ada. Tapi bukakan dulu ikatan selendang sutra yang melilit pinggang ini. Simpulnya ada di sebelah kiri. Aku khawatir selendang sutra kuning terkena tetesan darah.”
Rekajaya segera membuka simpul ikatan selendang sutra kuning. Begitu selendang sutra kuning itu dibuka dan dipegangnya, Rekajaya menemukan sejumlah keganjilan. Selendang itu mengeluarkan aroma harum semerbak khas dari rempah-rempah untuk pengobatan yang tidak asing bagi Rekajaya. Dia memang dulu terbiasa membantu Nyai Kertisara membuat ramuan jamu.
“Hem, sebuah selendang sutra yang hebat dan punya khasiat, Raden. Dari aromanya, selendang ini pernah direndam dalam ramuan rempah-rempah sehingga aroma harumnya yang khas tidak akan hilang,” kata Rekajaya sambil meraba-raba selendang sutra yang halus itu. Ketika Rekajaya mencoba menerawangnya di bawah sinar matahari, Rekajaya terkejut karena dia menemukan di ujung-ujung selendang ada lipatan jahitan yang sangat rapi, dan berisi semacam serbuk yang sangat halus.
“Lho, Raden! Ada serbuk tepung halus diujung-ujung selendang kuning ini. Lihatlah, Raden! Hem, hamba tahu sekarang. Mudah-mudahan benar. Serbuk itu hamba duga ramuan penyembuh luka. Dari mana selendang sutra kuning ini, Raden?”
“Dari Dinda Dewi.  Aku yakin dugaan Kakang betul. Coba cari duri untuk melubangi lipatan ujung selendang sutra, ambil serbuk halus itu!”
Rekajaya segera bangkit untuk mencari duri. Kebetulan tidak jauh dari situ banyak rumput liar yang berduri tajam. Dalam waktu singkat duri yang dicari telah didapat. Dengan menggunakan duri, lipatan di ujung kain sutra berwarna kuning  itu ditusuk. Seketika butiran-butiran serbuk halus berwarna coklat kopi mengalir keluar ke atas telapak tangan Rekajaya. Rekajaya merasakan aroma harum semerbak serbuk yang berwarna coklat halus itu.
Tanpa membuang waktu Rekajaya segera mengoleskan serbuk itu pada luka lambung kanan Kamandaka. Ajaib, Kamandaka tiba-tiba merasa nyaman, rasa perih dari lukanya menghilang seketika, darah yang menetes berhenti dan lukanya mulai mengering.
“Sekarang ikat luka itu dengan melilitkan selendang sutra agak ke atas lingkaran pinggang dan ikat keras-keras seperti semula,  Kakang,”  perintah Kamandaka. Rekajaya segera melaksanakan perintah Kamandaka. Kini luka yang telah dilumuri serbuk penutup luka itu diikat dengan selendang sutra yang meliliti pinggang Kamandaka. Tiba-tiba Kamandak merasa sangat nyaman, luka tikaman kujang yang sangat mengganggu gerak geriknya kini lenyap seketika.
“Sungguh Kakang, aku tidak menduga sama sekali, begitu besar perhatian Dinda Dewi kepadaku, sampai-sampai dia memberikan selendang sutra yang berisi ramuan obat itu untuk menjaga keselamatanku dari kemungkinan terluka yang bisa saja terjadi setiap saat secara tidak disangka-sangka. Padahal luka akibat tikaman senjata rahasia biasanya mengandung racun yang mematikan dan sangat sulit disembuhkan.”
“Suatu bukti Sang Dewi sangat mencintai Raden. Selendang sutra kuning telah membantu proses penyembuhan luka akibat tikaman senjata rahasia.”
“Betul Kakang. Tetapi aku sebenarnya sedang gelisah. Aku mendengar kabar, Dinda Dewi akan dinikahkan dengan putra Adipati Dayeuhluhur yang masih saudara sepupunya. Kira-kira betul tidak berita tadi, Kakang?”
“Ah, hanya berita dari warung kopi yang belum tentu benar, Raden. Hamba tidak percaya sedikit pun. Hamba yakin Sang Dewi sangat mencintai Raden. Selendang kuning yang diberikan Sang Dewi itu sebenarnya simbol. Selendang kuning itu sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Dewi sebagai pengganti simbol janur kuning. Janur kuning itu dalam tradisi Pasirluhur, dipasang di depan rumah pengantin putri pada saat diadakan ritual pernikahan antara pengantin putra dan pengantin putri. Konon kata janur itu singkatan dari sajatine nur. Cahaya kebahagiaan hidup rumah tangga sejati, karena mendapat anugerah harta, tahta, dan wanita yang akan melahirkan keturunan,” kata Rekajaya mencoba menghibur Kamandaka.
“Hei, sejak kapan Kakang jadi  punya wawasan begitu bernilai?”
“Hehehe…, tentu saja sejak hamba mengikuti Raden,” jawab Rekajaya merendah sambil tertawa.
“Tapi ada simbol lain, Raden”
“Apa itu ?”
“Dengan memberikan selendang sutra kuning sebagai pengganti simbol janur kuning, hamba menebak sebenarnya Raden dan Sang Dewi malam itu sudah melakukan ritual pernikahan dan sudah sah sebagai sepasang suami istri. Sebagai seorang ksatria Raden punya hak untuk melakukan ritual pernikahan secara mandiri. Betul Raden?” tanya Rekajaya.
“Wah, tebakan Kakang Rekajaya tepat sekali. Tetapi percayalah Kakang, aku masih menjaga kesucian Dinda Dewi. Saat aku meninggalkannya, Dinda Dewi masih suci seperti sediakala. Memang malam itu aku sudah melamarnya secara pribadi. Tetapi lamaran secara pribadi, bisa dibatalkan jika tidak segera disusul dengan lamaran secara resmi lewat Kanjeng Adipati,” kata Kamandaka menjelaskan.
“Hamba sangat percaya, Raden. Karena itu kalau boleh hamba sarankan sebaiknya Raden cepat-cepat mengakhiri penyamaran Raden dan menjelaskan kepada Kanjeng Adipati identitas Raden yang sebenarnya sebagai putra Sri Baginda Raja Prabu Siliwangi. Hamba yakin Kanjeng Adipati dan Kanjeng Patih akan memaafkan Raden. Bukankah Sang Dewi sudah tahu identitas Raden yang sebenarnya?” Rekajaya berkata memberikan saran kepada Kamandaka. Kamandaka terdiam. Dalam hati membenarkan saran Rekajaya.
“Ya, rencana semula aku akan segera pulang ke Pajajaran meminta Ayahanda Sri Baginda untuk melamar secara resmi kepada Kanjeng Adipati Pasirluhur. Tetapi posisi menjadi sulit, karena prajurit jaga keburu mengetahui keberadaanku. Jika saat itu aku berterus terang siapa diriku, tentu aku akan sangat malu. Aku adalah seorang ksatria, tetapi telah bersikap pengecut masuk ke dalam kamar seorang gadis putri seorang adipati yang sedang dipingit. Kalau aku tertangkap hukumannya memang berat. Aku pasti akan dipancung, karena telah mempermalukan Kanjeng Adipati.”
“Menurut hamba sebenarnya sekarang posisinya sudah berubah. Kadipaten Pasirluhur kesulitan menangkap Raden. Raden bisa menyampaikan pesan kepada Sang Dewi, agar Sang Dewi menjelaskan kepada Kanjeng Adipati Kandhadaha, siapakah Raden sebenarnya. Hamba yakin sikap Kanjeng Adipati Kandhadaha akan berubah dan bersedia mengampuni Raden. Apalagi Raden mendatangi kamar Sang Dewi, bukan atas kemauan sendiri, tetapi karena memenuhi undangan Sang Dewi. Hamba yakin Sang Dewi cukup cerdas untuk memberikan penjelasan kepada Kanjeng Adipati.”
“Saran yang bagus, Kakang. Wah, luar biasa analisa Kakang. Dengan tingkat kecerdasan seperti yang aku saksikan sekarang ini, sangat pantas Kakang menjadi pendamping Khandegwilis. Pasti Khandegwilis akan menerima lamaran Kakang. Aku setuju,”  kata Kamandaka sambil tertawa.
“Ah, Raden bisa saja,” kata Rekajaya sambil menundukan wajahnya yang memerah karena malu. ”Maksud Raden, setuju yang mana?”
“Hehehe…, tentu saja keduanya, Kakang. Pertama, Aku setuju Kakang Rekajaya secepatnya menemui Khandegwilis dan sampaikan pesanku kepada Dinda Dewi. Katakan agar Dinda Dewi menjelaskan siapa diriku yang sebenarnya kepada Kanjeng Adipati. Kakang Rakajaya dan Khandegwilis menjadi rantai penghubung aku dengan Dinda Dewi dan Kanjeng Adipati. Kedua, aku setuju Khandegwilis jadi istri Kakang.”
“Terima kasih, Raden,” kata Rekajaya.
“Kapan sebaiknya hamba berangkat ke Kadipaten Pasirluhur? Besok atau lusa?” Wajah Rekajaya tampak cerah dan gembira sekali, matanya berbinar-binar seakan-akan sudah tidak sabar lagi karena ingin segera menemui Khandegwilis.
“Ya, besok atau paling lambat lusa, kita lihat saja perkembangan  keadaan  dan akibatnya dari  perkelaihan di lapangan Pangebatan siang tadi. Nitipraja jelas tewas. Tetapi  Silihwarna? Masih tanda tanya.”
Tiba-tiba si Mercu yang berkeliaran kesana-kemari berlari-lari mendekat sambil berkokok beberapa kali, seolah-olah hendak memberitahu ada orang datang. Si Mercu tampak gelisah sekali.
“Hem, mereka mengejar kita, Kakang,” kata Kamandaka setelah membaca situasi dengan memperhatikan si Mercu yang tampak gelisah.
Dan benar saja, dari pinggir hutan terdengar suara Tumenggung Silihwarna berteriak-teriak memanggil Kamandaka. Rupanya Tumenggung Silihwarna sudah sadar dari pingsannya.
“Hai, Kamandaka! Ini aku Silihwarna. Ayo keluar jika berani. Lawanlah aku dalam duel satu lawan satu. Jika engkau bisa mengalahkan aku, seluruh prajurit yang mengepungmu, bersedia menyerah kepadamu,” teriak Tumenggung Silihwarna dari sebuah tanah lapang yang ada di pinggir hutan.
Tanpa membuang waktu, Kamandaka berjalan keluar dari dalam hutan, menemui Tumenggung Silihwarna. “Hem, Silihwarna. Lihatlah matahari sudah condong ke barat. Tidak lama lagi matahari akan memasuki senja. Aku sebenarnya sedang tidak kober melayani kamu sekarang ini. Bagaimana kalau besok pagi saja?  Kalau besok, aku pasti kober atau sempat melayani tantangan kamu dengan tawaran yang menarik itu,”.
Tumenggung Silihwarna yang cerdas itu, mengira Kamandaka masih terluka, sehingga dia menduga Kamandaka tidak siap bertanding saat itu juga. Karena itu, dia menolak tawaran Kamandaka untuk menundanya sampai besok.
“Kamandaka, kober atau tidak kober, sempat atau tidak sempat, hadapi aku sekarang saja. Ayolah, keluarkan seluruh jurus-jurus andalanmu!” tantang Tumenggung Silihwarna.
“Silihwarna, kamu memang tukang judi yang keras kepala. Sebelum nyawamu melayang, aku mau tanya dari mana kamu belajar jurus harimau putih? Siapa gurumu?” tanya Kamandaka. Mereka berdua kini sudah berhadap-hadapan. Pengiring Tumenggung Silihwarna yang belum sempat dipersenjatai itu berdiri berkerumun di tempat agak jauh.
“Bukannya terbalik? Hai, Kamandaka, seharusnya kamu lebih dulu yang menjelaskan siapa gurumu, karena kamulah yang akan tewas lebih dulu.”
“Hem, Tumenggung sombong. Istrimu akan segera menjadi janda. Sudah tidak usah banyak omong. Aku ingin tahu berapa banyak jurus harimau putih yang kamu kuasai,” kata Kamandaka, seraya langsung menyerang Tumenggung Silihwarna dengan melancarkan jurus pertama. Dengan mudah Silihwarna berkelit.
Setiap kali Kamandaka melancarkan serangan, selalu saja meleset. Tampaknya Tumenggung Silihwarna mampu menebak arah gerakan. Jurus pertama harimau putih berakhir tanpa hasil. Kini ganti Tumenggung Silihwarna yang mengambil inisiatif melancarkan jurus kedua harimau putih untuk melumpuhkan Kamandaka. Kamandaka dengan mudah melepaskan diri dari serangan jurus kedua. Demikianlah kedua ksatria itu terus berkelahai mengadu ketrampilan masing-masing dalam seni ilmu beladiri tingkat tinggi. Mereka saling menendang, saling memukul, saling menggunakan tenaga dalam. Jika yang satu meloncat untuk menerkam lawannya, yang diterkam dengan lincah mampu melepaskan diri dari terkaman.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar