Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 16 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(44)




”Itulah sebabnya, dalam adat pernikahan di Kerajaan Galuh dan Pajajaran, setiap calon pengantin putri yang akan menjalani ritual pernikahan, selalu didampingi seorang tokoh yang berperan sebagai Uwak Lengser yang akan menjemput calon penangantin pria. Semua itu menggambarkan kembali kisah prosesi pernikahan antara Purbasari-Guru Minda yang hidup berbahagia, berkelimpahan harta, menduduki tahta, dan disukai rakyatnya yang senang dipimpin sepasangan pengantin  berbudi pekerti luhur, lemah lembut, dan merakyat. Apalagi mempelai putri cantik jelitabagaikan Dewi Ratih, dan mempelai pria tampan bagaikan Kamajaya.”

Kanjeng Ayu Adipati dan Rekajaya terdiam merenungkan kisah Lutung Kasarung yang menarik itu. Kanjeng Ayu Adipati membayangkan kapan putri tercintanya Sang Dewi menemukan kebahagian karena dipersunting seorang pria idamannya, seperti Guru Minda. Sedangkan Rekajaya, membayangkan Khandegwilis menjalani prosesi pernikahan dengan dirinya, sepeti halnya Purbasari dengan Guru Minda. Impian untuk hidup bahagia memang bisa menjadi milik siapa saja.

“Hei, kok melamun?” kata Kanjeng Adipati Kandhadaha pada istrinya, ”Pasti melamunkan anakmu Dewi.”

Kanjeng Ayu Adipati hanya tersenyum mendapat teguran suaminya itu. Lamunannya tentang prosesi pernikahan Dyah Ayu Ciptarasa dalam kepalanya, lenyap seketika.

“Sebaiknya si Lutung di tempatkan dekat Taman Kaputren agar Nduk Dewi punya hiburan,” usul Kanjeng Ayu Adipati yang langsung disetujui Kanjeng Adipati. Seorang bujang pun disuruh untuk mengundang Khandegwilis dan Sang Dewi di Taman Kaputren.

“Hei, Lutung Kasarung, ayo salaman dan beri hormat pada Ndara Putrimu dan emban pengasuhnya,” perintah Kanjeng Adipati ketika melihat Sang Dewi dan Khandegwilis tiba.

Wajah Sang Dewi yang biasa muram, langsung ceria dan seyumnya mengembang begitu melihat monyet yang berkulit bersih, halus lagi pula cerdas dan lucu itu. Si Lutung langsung memberi hormat kepada Sang Dewi dan mengajak salaman. Demikian pula kepada Khandegwilis.

“Kanjeng Rama, cakap banget monyet ini! Untuk aku, Kanjeng Rama?” kata Sang Dewi setengah berteriak. Tanpa ragu-ragu diangkatnya si Lutung dan didekapnya bagaikan sebuah boneka mainan. Ketika melihat pita kuning yang melilih di leher si Lutung, tiba-tiba Sang Dewi ingat sesuatu.

Tanpa ragu-ragu lagi Sang Dewi yang memang cerdas itu, langsung tahu bahwa pita kuning di leher si Lutung itu berasal dari selendang sutra kuning yang pernah diberikan kepada Kamandaka. Sang Dewi langsung bisa menebak bahwa lelaki yang membawa si Lutung itu pastilah abdi kepercayaan Kamandaka.

“Siapa namamu?” tanya Sang Dewi langsung menatap wajah Rekajaya yang duduk di lantai.

“Hamba Rekajaya, Ndara Putri.”

“Kanjeng Rama, juru taman Dalem Kadipaten masih kurang. Bagaimana kalau Rekajaya diangkat jadi juru taman Dalem Kadipaten agar pohon-pohon, tanaman bunga, dan rumput-rumput yang tumbuh di taman ada tambahan tenaga yang mengurus dan merawatnya?” kata Sang Dewi mengajukan usul kepada Kanjeng Adipati. Seakan-akan Sang Dewi langsung tahu apa isi hati Rekajaya yang sebenarnya.

“Hei, Rekajaya, aku ucapkan terimaksih atas persembahanmu si Lutung Kasarung yang cerdas dan lucu itu. Berapa aku harus membayarmu? Dan apa pula permintaanmu kepadaku?” tanya Kanjeng Adipati kepada Rekajaya setelah mendengarkan usul dari Sang Dewi.

“Hamba tidak minta bayaran apa pun dari Kanjeng Adipati. Hamba sudah senang, bila Kanjeng Adipati berkenan menerima usul Ndara Putri. Hamba memang berniat menjadi salah seorang abdi dalem Kadipaten. Kebetulan hamba tidak punya pekerjaan tetap. Menjadi juru taman  hamba pun bersedia,” jawab Rekajaya yang membuat  Sang Dewi puas dan yakin terhadap apa yang diduganya.

“Baik sekali budi pekertimu, Rekajaya. Aku terima pengabdianmu yang tulus. Khandegwilis, carikan kamar untuk Rekajaya di gandok belakang. Masih banyak kamar, bukan?”

“Ada Ndara Kanjeng Adipati,” Khandeg Wilis langsung menjawab perintah Kanjeng Adipati. “Hanya tidak mungkin bisa beres sekarang. Bagaimana kalau sementara malam ini dia ditempatkan di kamar paling timur Taman Kaputren. Ada kamar kosong juga, Ndara Kanjeng Adipati?”

“Kamar paling timur? Awas kalau dekat-dekat kamarmu!” kata Kanjeng Adipati mengingatkan Khandeg Wilis. Entah mengapa, tiba-tiba Khandegwilis langsung merah wajahnya. Rekajaya pun melirik Khandegwilis, emban pengasuh Sang Dewi yang memang cantik itu. Hati Rekajaya langsung berbunga-bunga. Nampaknya Sang Dewi memang sudah tahu, siapa Rekajaya itu sebenarnya.

“Tidak Kanjeng Rama, kamar Biyung Emban dekat kamar Dewi, kamar paling barat. Lagi pula Biyung Emban kalau malam lebih sering tidur di kamar Dewi,” kata Sang Dewi membela usul emban pengasuhnya. “Kanjeng Rama, Dewi nanti yang akan mengawasi,” kata Sang Dewi melanjutkan. Tentu saja Kanjeng Adipati tidak bisa menolak kehendak putri kesayangannya itu. Apalagi baru siang hari itulah Sang Dewi kembali mau bercakap-cakap dengan ayahandanya setelah lebih empat bulan mogok bicara.

Sebelum meninggalkan beranda ruang makan, Sang Dewi memeluk Kanjeng Adipati Kandhadaha yang membuat mata Kanjeng Adipati berkaca-kaca. Lalu Sang Dewi memeluk Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati.  Betapa rindunya dan tersiksanya Kanjeng Adipati sesudah hampir empat bulan diacuhkan oleh Putri yang sangat disayanginya itu. Hadiah Lutung  Kasarung dari Rekajaya, benar-benar dirasakan oleh Kanjeng Adipati sebagai hadiah yang sangat luar biasa. Suatu hadiah yang langsung bisa mencairkan hubungan dengan putri kesayangannya yang selama ini tersendat-sendat.

“Hem, mudah-mudahan dengan hadirnya si Lutung Kasarung bisa menjadi hiburan Anakmu, Dewi. Dan lama-lama Dewi bisa melupakan Si Keparat Kamandaka!” kata Kanjeng Adipati kepada Kanjeng Ayu Adipati, setelah  Sang Dewi, Emban Kandheg Wilis, dan Rekajaya yang membawa si Lutung meninggalkan beranda ruang makan menuju Taman Kaputren. Kanjeng Ayu Adipati tidak menanggapi kata-kata suaminya. Tetapi dia merasa gembira hubungan dengan putri kesayangannya telah pulih kembali. Soal calon suami Sang Dewi, Kanjeng Ayu Adipati sebenarnya hanya menyerahkan saja pada takdir kehidupan.

Sementara itu, setelah tiba di Taman Kaputren, Rekajaya cepat-cepat menjelaskan siapa dirinya yang membuat Sang Dewi gembira bukan main. “Aku sebenarnya sudah menduga, pastilah si Lutung ini monyet peliharaan Kanda Kamandaka. Aku bisa mengenalinya dari  kalung  pita sutra kuning si Lutung. Aku dapat memastikan dibuat dari selendang sutra kuning yang aku berikan pada Kanda Kamandaka malam itu,” kata Sang Dewi yang duduk di atas kursi di teras depan kamar Sang Dewi. Si Lutung duduk manis dipangkuan Sang Dewi, sedangkan Khandegwilis dan Rekajaya duduk di lantai di depan Sang Dewi.

“Hambalah,  Ndara Putri, yang membuat pita kuning itu atas perintah Ndara Kamandaka.”

“Biyung Emban, Rekajaya pandai membuat pita lho,” kata Sang Dewi tiba-tiba, sambil mengusap-usap si Lutung yang duduk di pangkuannya.

Rekajaya yang duduk di lantai teras kamar berdekatan dengan Khandegwilis, langsung tertunduk tersipu-sipu. Tetapi hatinya merasa senang dipuji di depan Khandegwilis. Sedangkan Khandegwilis hanya tersenyum saja.

“Biyung Emban, cepat bereskan kamar untuk bermalam Rekajaya,” kata Sang Dewi. Khandegwilis segera bangkit untuk membereskan sebuah kamar kosong yang ada di ujung paling timur komplek Taman Kaputren.

Pada saat hanya berdua itulah Rekajaya menyampaikan pesan Kamandaka kepada Sang Dewi. Sang Dewi menyampaikan terimakasih kepada Rekajaya yang telah bersusah payah untuk menemuinya agar dapat menyampaikan pesan Kamandaka. Lewat Rekajaya pula Sang Dewi mengetahui apa saja yang dilakukan Kamandaka sejak berpisah dengan Sang Dewi kurang lebih empat bulan yang lalu.

“Ndara Putri, kasihan Emban Khandegwilis bekerja sendirian membereskan kamar. Boleh hamba membantunya?” tanya Rekajaya. Sang Dewi tersenyum mendengar permintaan Rekajaya. Sang Dewi pun langsung mengijinkannya.

”Tentu saja boleh. Si Lutung disini saja ya?” Si Lutung mengangguk mengiyakan. Rekajaya cepat bangkit menyusul Khandegwilis.

“Agaknya, Kanda Kamandaka sedang menghadapi kesulitan. Baiklah, kalau begitu. Nanti malam Aku akan sampaikan pesan Kanda Kamandaka kepada Kanjeng Rama. Sebenarnya, malam itu aku sudah bilang pada Kanda Kamandaka, aku akan menjelaskan kepada Kanjeng Rama siapa sebenarnya Kanda Kamandaka yang sedang menyamar menjadi anak angkat Ki Patih Reksanata. Hanya saja saat itu Kanda Kamandaka melarangnya. Coba kalau saat itu menyetujui usulku, tentu tidak akan rumit begini. Yah, bisa saja semuanya karena kehendak dewa,” kata Sang Dewi dalam benaknya setelah mendengarkan pesan-pesan Kamandaka yang disampaikan Rekajaya.

***

Kanjeng Ayu Adipati mengisi kembali cangkir di depan Kanjeng Adipati yang telah kosong. Diisinya kembali dengan wedang jahe kesukaan Kanjeng Adipati. Tidak seperti biasanya usai santap malam di beranda ruang makan Dalem Kadipaten, Kanjeng Adipati nampak gelisah. Padahal biasanya banyak hal yang diceriterakan kepada Kanjeng Ayu Adipati. Malam baru saja menggantikan senja yang hilang ditelan kegelapan malam. Angin dingin menggoyang-goyang daun-daun pohon yang banyak tumbuh di Dalem Kadipaten.

“Tadi siang ada dua tamu utusan dari Kerajaan Nusakambangan dan sekarang keduanya menginap di kamar tamu Kadipaten, bukan?”  tanya Kanjeng Ayu Adipati sambil menaruh cangkir berisi wedang jahe dengan pemanis gula aren yang masih hangat di depannya. Kanjeng Ayu Adipati kembali duduk di samping Kanjeng Adipati. Mereka hanya berdua menikmati santap malam.

“Ya, itulah Diajeng. Di satu sisi aku gembira, di sisi lain aku masih ragu-ragu,” kata Kanjeng Adipati.

“Gembira karena Dewi dilamar seorang raja?  Menurut Kanda Adipati, Raja Nusakambangan itu raja agung dan perkasa? Kanda bangga punya menantu seorang raja. Benar, bukan? Lalu Kanda takut Dewi akan menolaknya. Benar, bukan? Aku jamin Dewi akan menolaknya, karena Dewi tidak suka pada orang yang sombong. Apalagi kalau yang sombong itu seorang raja.”

Kanjeng Adipati diam saja. Dia hanya menarik nafas panjang. Entah mengapa dia merasa setiap membicarakan suatu permasalahan dengan istrinya itu, selalu saja kehabisan kata-kata. “Pasti Diajeng sudah membaca surat lamaran dari Raja Nusakambangan,”  kata Kanjeng Adipati sedikit mengeluh.

“Memangnya surat lamaran itu surat rahasia? Salah siapa membawa surat lamaran ke kamar tidur? Semua yang ada di kamar tidur tidak ada yang rahasia, bukan?  Surat lamaran macam apa jika disertai ancaman seperti itu? Itu surat lamaran yang kurang ajar!” kata Kanjeng Ayu Adipati dengan nada agak meninggi. Kanjeng Adipati tidak bisa berkutik mendapat serangan dari  istrinya. Memang surat lamaran dari Raja Nusakambangan yang dibungkus dengan kain kuning dan diikat dengan benang sutra hijau itu disimpan di meja kerja di kamar tidur Kanjeng Ayu Adipati. Rupanya Kanjeng Ayu Adipati tanpa sepengetahuan suaminya, telah membacanya.

“Diajeng ini aneh. Dewi dilamar seorang raja, malah marah-marah. Dewi dilamar keponakan Diajeng sendiri, Wirapati dari Dayeuhluhur, menolak. Lalu pria macam apa yang harus jadi suami Dewi? Apa  Si Keparat Kamandaka yang dikehendaki Diajeng? Apa Diajeng bangga punya menantu seorang penjala ikan?”

Mendengar kata-kata Kanjeng Adipati itu, Kanjeng Ayu Adipati tambah emosional. “Kanda Adipati, Kanda Adipati! Sejak kapan Kanda kehilangan kecerdasan Kanda? Surat lamaran yang disertai ancaman itu bukan surat lamaran. Itu surat untuk menaklukan Kadipaten Pasirluhur secara halus. Penaklukan itu tidak melalui peperangan memang. Tetapi jika Kanda Adipati menerima lamaran Raja Nusakambangan, bukankah itu sama saja artinya dengan Kadipaten Pasirluhur harus tunduk kepada Kerajaan Nusakambangan? “ Kanjeng Ayu Adipati terus menemprotkan kata-katanya. “Kalau Wirapati, Anakmu Dewi yang tidak mau. Orang tidak mau masa harus dipaksa?  Biarkan Dewi menentukan masa depannya sendiri. Orang tua cukup tut wuri handayani. Kita sebagai orang tua baru turun tangan memberikan bantuan, saran, pendapat dan pertimbangan bila diminta dan diperlukan.”

Kembali Kanjeng Adipati tidak bisa berkutik diserang habis-habisan oleh istrinya. Sekalipun begitu, dalam hati, Kanjeng Adipati membenarkan pendapat istrinya itu. “Baiklah, sekarang Aku sepakat dengan Diajeng. Lamaran dari Raja Nusakambangan harus ditolak, begitu kehendak Diajeng, bukan?”

“Betul sekali!” kata Kanjeng Ayu Adipati tanpa ragu-ragu sedikitpun. ”Sekarang Kanda Adipati bingung bagaimana menghadapi akibat dari penolakan itu, bukan? Memangnya Kadipaten Pasirluhur sudah tidak punya pasukan yang kuat untuk mempertahankan diri dari ancaman Nusakambangan? Apakah mungkin Sri Baginda Prabu Siliwangi akan membiarkan saja, jika Sri Baginda tahu Kadipaten Pasirluhur benar-benar akan diserang Kerajaan Nusakambangan?”

Kali ini Kanjeng Adipati benar-benar terpojok. Dia sungguh tidak mengira bila istrinya itu mengetahui persoalan rumit yang tengah dihadapinya. “Itulah masalahnya Diajeng. Menurut Diajeng, haruskah Kadipaten Pasirluhur berperang melawan Kerajaan Nusakambangan?  Tolong Aku dibantu memikirkan soal yang rumit ini,” kata Kanjeng Adipati menyerah kalah kepada istri tercintanya itu. Kanjeng Ayu Adipati tersenyum.

“Coba kalau Kanda bilang dari tadi, tentu tidak harus bersitegang leher dulu,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil meraih cangkir wedang jahe yang ada di depannya dan diberikan kepada Kanjeng Adipati agar meminumnya agar pikirannya menjadi tenang. Kanjeng Adipati meminumnya beberapa teguk.

“Kanda  Adipati, soal ancaman Raja Nusakambangan sebenarnya soal yang mudah sekali. Kanda bisa menyelenggarakan semacam sayembara, barang siapa yang bisa mengalahkan Raja Nusakambangan, dia berhak mempersunting Dewi. Dapat dipastikan Kamandaka yang Kanda kejar-kejar berbulan-bulan tetapi tidak akan pernah bisa tertangkap itu, akan mengikuti sayembara,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil meletakkan tangan kanannya di atas pangkuan Kanjeng Adipati yang duduk di sampingnya.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar