”Itulah sebabnya, dalam adat pernikahan di
Kerajaan Galuh dan Pajajaran, setiap calon pengantin putri yang akan menjalani
ritual pernikahan, selalu didampingi seorang tokoh yang berperan sebagai Uwak
Lengser yang akan menjemput calon penangantin pria. Semua itu menggambarkan
kembali kisah prosesi pernikahan antara Purbasari-Guru Minda yang hidup
berbahagia, berkelimpahan harta, menduduki tahta, dan disukai rakyatnya yang
senang dipimpin sepasangan pengantin
berbudi pekerti luhur, lemah lembut, dan merakyat. Apalagi mempelai
putri cantik jelitabagaikan Dewi Ratih, dan mempelai pria tampan bagaikan
Kamajaya.”
Kanjeng Ayu Adipati dan Rekajaya terdiam
merenungkan kisah Lutung Kasarung yang menarik itu. Kanjeng Ayu Adipati
membayangkan kapan putri tercintanya Sang Dewi menemukan kebahagian karena
dipersunting seorang pria idamannya, seperti Guru Minda. Sedangkan Rekajaya,
membayangkan Khandegwilis menjalani prosesi pernikahan dengan dirinya, sepeti
halnya Purbasari dengan Guru Minda. Impian untuk hidup bahagia memang bisa
menjadi milik siapa saja.
“Hei, kok melamun?” kata Kanjeng Adipati
Kandhadaha pada istrinya, ”Pasti melamunkan anakmu Dewi.”
Kanjeng Ayu Adipati hanya tersenyum mendapat
teguran suaminya itu. Lamunannya tentang prosesi pernikahan Dyah Ayu Ciptarasa
dalam kepalanya, lenyap seketika.
“Sebaiknya si Lutung di tempatkan dekat Taman
Kaputren agar Nduk Dewi punya hiburan,” usul Kanjeng Ayu Adipati yang langsung
disetujui Kanjeng Adipati. Seorang bujang pun disuruh untuk mengundang Khandegwilis
dan Sang Dewi di Taman Kaputren.
“Hei, Lutung
Kasarung, ayo salaman dan beri hormat pada Ndara Putrimu dan emban
pengasuhnya,” perintah Kanjeng Adipati ketika melihat Sang Dewi dan Khandegwilis
tiba.
Wajah Sang Dewi yang biasa muram, langsung
ceria dan seyumnya mengembang begitu melihat monyet yang berkulit bersih, halus
lagi pula cerdas dan lucu itu. Si Lutung langsung memberi hormat kepada Sang
Dewi dan mengajak salaman. Demikian pula kepada Khandegwilis.
“Kanjeng Rama, cakap banget monyet ini! Untuk
aku, Kanjeng Rama?” kata Sang Dewi setengah berteriak. Tanpa ragu-ragu
diangkatnya si Lutung dan didekapnya bagaikan sebuah boneka mainan. Ketika
melihat pita kuning yang melilih di leher si Lutung, tiba-tiba Sang Dewi ingat
sesuatu.
Tanpa ragu-ragu lagi Sang Dewi yang memang
cerdas itu, langsung tahu bahwa pita kuning di leher si Lutung itu berasal dari
selendang sutra kuning yang pernah diberikan kepada Kamandaka. Sang Dewi
langsung bisa menebak bahwa lelaki yang membawa si Lutung itu pastilah abdi
kepercayaan Kamandaka.
“Siapa namamu?” tanya Sang Dewi langsung
menatap wajah Rekajaya yang duduk di lantai.
“Hamba Rekajaya, Ndara Putri.”
“Kanjeng Rama, juru taman Dalem Kadipaten
masih kurang. Bagaimana kalau Rekajaya diangkat jadi juru taman Dalem Kadipaten
agar pohon-pohon, tanaman bunga, dan rumput-rumput yang tumbuh di taman ada
tambahan tenaga yang mengurus dan merawatnya?” kata Sang Dewi mengajukan usul
kepada Kanjeng Adipati. Seakan-akan Sang Dewi langsung tahu apa isi hati
Rekajaya yang sebenarnya.
“Hei, Rekajaya, aku ucapkan terimaksih atas
persembahanmu si Lutung Kasarung yang cerdas dan lucu itu. Berapa aku harus
membayarmu? Dan apa pula permintaanmu kepadaku?” tanya Kanjeng Adipati kepada
Rekajaya setelah mendengarkan usul dari Sang Dewi.
“Hamba tidak minta bayaran apa pun dari
Kanjeng Adipati. Hamba sudah senang, bila Kanjeng Adipati berkenan menerima
usul Ndara Putri. Hamba memang berniat menjadi salah seorang abdi dalem
Kadipaten. Kebetulan hamba tidak punya pekerjaan tetap. Menjadi juru taman hamba pun bersedia,” jawab Rekajaya yang
membuat Sang Dewi puas dan yakin
terhadap apa yang diduganya.
“Baik sekali budi pekertimu, Rekajaya. Aku
terima pengabdianmu yang tulus. Khandegwilis, carikan kamar untuk Rekajaya di
gandok belakang. Masih banyak kamar, bukan?”
“Ada Ndara Kanjeng Adipati,” Khandeg Wilis
langsung menjawab perintah Kanjeng Adipati. “Hanya tidak mungkin bisa beres
sekarang. Bagaimana kalau sementara malam ini dia ditempatkan di kamar paling
timur Taman Kaputren. Ada kamar kosong juga, Ndara Kanjeng Adipati?”
“Kamar paling timur? Awas kalau dekat-dekat
kamarmu!” kata Kanjeng Adipati mengingatkan Khandeg Wilis. Entah mengapa,
tiba-tiba Khandegwilis langsung merah wajahnya. Rekajaya pun melirik
Khandegwilis, emban pengasuh Sang Dewi yang memang cantik itu. Hati Rekajaya
langsung berbunga-bunga. Nampaknya Sang Dewi memang sudah tahu, siapa Rekajaya
itu sebenarnya.
“Tidak Kanjeng Rama, kamar Biyung Emban dekat kamar
Dewi, kamar paling barat. Lagi pula Biyung Emban kalau malam lebih sering tidur
di kamar Dewi,” kata Sang Dewi membela usul emban pengasuhnya. “Kanjeng Rama,
Dewi nanti yang akan mengawasi,” kata Sang Dewi melanjutkan. Tentu saja Kanjeng
Adipati tidak bisa menolak kehendak putri kesayangannya itu. Apalagi baru siang
hari itulah Sang Dewi kembali mau bercakap-cakap dengan ayahandanya setelah
lebih empat bulan mogok bicara.
Sebelum meninggalkan beranda ruang makan, Sang
Dewi memeluk Kanjeng Adipati Kandhadaha yang membuat mata Kanjeng Adipati
berkaca-kaca. Lalu Sang Dewi memeluk Ibunya, Kanjeng Ayu Adipati. Betapa rindunya dan tersiksanya Kanjeng
Adipati sesudah hampir empat bulan diacuhkan oleh Putri yang sangat
disayanginya itu. Hadiah Lutung Kasarung
dari Rekajaya, benar-benar dirasakan oleh Kanjeng Adipati sebagai hadiah yang
sangat luar biasa. Suatu hadiah yang langsung bisa mencairkan hubungan dengan
putri kesayangannya yang selama ini tersendat-sendat.
“Hem, mudah-mudahan dengan hadirnya si Lutung
Kasarung bisa menjadi hiburan Anakmu, Dewi. Dan lama-lama Dewi bisa melupakan
Si Keparat Kamandaka!” kata Kanjeng Adipati kepada Kanjeng Ayu Adipati,
setelah Sang Dewi, Emban Kandheg Wilis,
dan Rekajaya yang membawa si Lutung meninggalkan beranda ruang makan menuju
Taman Kaputren. Kanjeng Ayu Adipati tidak menanggapi kata-kata suaminya. Tetapi
dia merasa gembira hubungan dengan putri kesayangannya telah pulih kembali.
Soal calon suami Sang Dewi, Kanjeng Ayu Adipati sebenarnya hanya menyerahkan
saja pada takdir kehidupan.
Sementara itu, setelah tiba di Taman Kaputren,
Rekajaya cepat-cepat menjelaskan siapa dirinya yang membuat Sang Dewi gembira
bukan main. “Aku sebenarnya sudah menduga, pastilah si Lutung ini monyet
peliharaan Kanda Kamandaka. Aku bisa mengenalinya dari kalung
pita sutra kuning si Lutung. Aku dapat memastikan dibuat dari selendang
sutra kuning yang aku berikan pada Kanda Kamandaka malam itu,” kata Sang Dewi
yang duduk di atas kursi di teras depan kamar Sang Dewi. Si Lutung duduk manis
dipangkuan Sang Dewi, sedangkan Khandegwilis dan Rekajaya duduk di lantai di
depan Sang Dewi.
“Hambalah,
Ndara Putri, yang membuat pita kuning itu atas perintah Ndara
Kamandaka.”
“Biyung Emban, Rekajaya pandai membuat pita
lho,” kata Sang Dewi tiba-tiba, sambil mengusap-usap si Lutung yang duduk di
pangkuannya.
Rekajaya yang duduk di lantai teras kamar berdekatan
dengan Khandegwilis, langsung tertunduk tersipu-sipu. Tetapi hatinya merasa senang
dipuji di depan Khandegwilis. Sedangkan Khandegwilis hanya tersenyum saja.
“Biyung Emban, cepat bereskan kamar untuk
bermalam Rekajaya,” kata Sang Dewi. Khandegwilis segera bangkit untuk
membereskan sebuah kamar kosong yang ada di ujung paling timur komplek Taman Kaputren.
Pada saat hanya
berdua itulah Rekajaya menyampaikan pesan Kamandaka kepada Sang Dewi. Sang Dewi
menyampaikan terimakasih kepada Rekajaya yang telah bersusah payah untuk
menemuinya agar dapat menyampaikan pesan Kamandaka. Lewat Rekajaya pula Sang
Dewi mengetahui apa saja yang dilakukan Kamandaka sejak berpisah dengan Sang
Dewi kurang lebih empat bulan yang lalu.
“Ndara Putri, kasihan Emban Khandegwilis
bekerja sendirian membereskan kamar. Boleh hamba membantunya?” tanya Rekajaya.
Sang Dewi tersenyum mendengar permintaan Rekajaya. Sang Dewi pun langsung
mengijinkannya.
”Tentu saja boleh. Si Lutung disini saja ya?”
Si Lutung mengangguk mengiyakan. Rekajaya cepat bangkit menyusul Khandegwilis.
“Agaknya, Kanda Kamandaka sedang menghadapi kesulitan.
Baiklah, kalau begitu. Nanti malam Aku akan sampaikan pesan Kanda Kamandaka
kepada Kanjeng Rama. Sebenarnya, malam itu aku sudah bilang pada Kanda
Kamandaka, aku akan menjelaskan kepada Kanjeng Rama siapa sebenarnya Kanda
Kamandaka yang sedang menyamar menjadi anak angkat Ki Patih Reksanata. Hanya
saja saat itu Kanda Kamandaka melarangnya. Coba kalau saat itu menyetujui
usulku, tentu tidak akan rumit begini. Yah, bisa saja semuanya karena kehendak
dewa,” kata Sang Dewi dalam benaknya setelah mendengarkan pesan-pesan Kamandaka
yang disampaikan Rekajaya.
***
Kanjeng Ayu
Adipati mengisi kembali cangkir di depan Kanjeng Adipati yang telah kosong.
Diisinya kembali dengan wedang jahe kesukaan Kanjeng Adipati. Tidak seperti
biasanya usai santap malam di beranda ruang makan Dalem Kadipaten, Kanjeng
Adipati nampak gelisah. Padahal biasanya banyak hal yang diceriterakan kepada
Kanjeng Ayu Adipati. Malam baru saja menggantikan senja yang hilang ditelan
kegelapan malam. Angin dingin menggoyang-goyang daun-daun pohon yang banyak
tumbuh di Dalem Kadipaten.
“Tadi siang ada dua tamu utusan dari Kerajaan
Nusakambangan dan sekarang keduanya menginap di kamar tamu Kadipaten,
bukan?” tanya Kanjeng Ayu Adipati sambil
menaruh cangkir berisi wedang jahe dengan pemanis gula aren yang masih hangat
di depannya. Kanjeng Ayu Adipati kembali duduk di samping Kanjeng Adipati.
Mereka hanya berdua menikmati santap malam.
“Ya, itulah Diajeng. Di satu sisi aku gembira,
di sisi lain aku masih ragu-ragu,” kata Kanjeng Adipati.
“Gembira karena Dewi dilamar seorang
raja? Menurut Kanda Adipati, Raja
Nusakambangan itu raja agung dan perkasa? Kanda bangga punya menantu seorang
raja. Benar, bukan? Lalu Kanda takut Dewi akan menolaknya. Benar, bukan? Aku
jamin Dewi akan menolaknya, karena Dewi tidak suka pada orang yang sombong.
Apalagi kalau yang sombong itu seorang raja.”
Kanjeng Adipati diam saja. Dia hanya menarik
nafas panjang. Entah mengapa dia merasa setiap membicarakan suatu permasalahan
dengan istrinya itu, selalu saja kehabisan kata-kata. “Pasti Diajeng sudah
membaca surat lamaran dari Raja Nusakambangan,”
kata Kanjeng Adipati sedikit mengeluh.
“Memangnya surat lamaran itu surat rahasia?
Salah siapa membawa surat lamaran ke kamar tidur? Semua yang ada di kamar tidur
tidak ada yang rahasia, bukan? Surat
lamaran macam apa jika disertai ancaman seperti itu? Itu surat lamaran yang
kurang ajar!” kata Kanjeng Ayu Adipati dengan nada agak meninggi. Kanjeng
Adipati tidak bisa berkutik mendapat serangan dari istrinya. Memang surat lamaran dari Raja
Nusakambangan yang dibungkus dengan kain kuning dan diikat dengan benang sutra
hijau itu disimpan di meja kerja di kamar tidur Kanjeng Ayu Adipati. Rupanya
Kanjeng Ayu Adipati tanpa sepengetahuan suaminya, telah membacanya.
“Diajeng ini aneh. Dewi dilamar seorang raja,
malah marah-marah. Dewi dilamar keponakan Diajeng sendiri, Wirapati dari
Dayeuhluhur, menolak. Lalu pria macam apa yang harus jadi suami Dewi? Apa Si Keparat Kamandaka yang dikehendaki
Diajeng? Apa Diajeng bangga punya menantu seorang penjala ikan?”
Mendengar kata-kata Kanjeng Adipati itu,
Kanjeng Ayu Adipati tambah emosional. “Kanda Adipati, Kanda Adipati! Sejak
kapan Kanda kehilangan kecerdasan Kanda? Surat lamaran yang disertai ancaman
itu bukan surat lamaran. Itu surat untuk menaklukan Kadipaten Pasirluhur secara
halus. Penaklukan itu tidak melalui peperangan memang. Tetapi jika Kanda Adipati
menerima lamaran Raja Nusakambangan, bukankah itu sama saja artinya dengan
Kadipaten Pasirluhur harus tunduk kepada Kerajaan Nusakambangan? “ Kanjeng Ayu
Adipati terus menemprotkan kata-katanya. “Kalau Wirapati, Anakmu Dewi yang
tidak mau. Orang tidak mau masa harus dipaksa?
Biarkan Dewi menentukan masa depannya sendiri. Orang tua cukup tut wuri
handayani. Kita sebagai orang tua baru turun tangan memberikan bantuan, saran,
pendapat dan pertimbangan bila diminta dan diperlukan.”
Kembali Kanjeng Adipati tidak bisa berkutik
diserang habis-habisan oleh istrinya. Sekalipun begitu, dalam hati, Kanjeng
Adipati membenarkan pendapat istrinya itu. “Baiklah, sekarang Aku sepakat
dengan Diajeng. Lamaran dari Raja Nusakambangan harus ditolak, begitu kehendak
Diajeng, bukan?”
“Betul sekali!” kata Kanjeng Ayu Adipati tanpa
ragu-ragu sedikitpun. ”Sekarang Kanda Adipati bingung bagaimana menghadapi
akibat dari penolakan itu, bukan? Memangnya Kadipaten Pasirluhur sudah tidak
punya pasukan yang kuat untuk mempertahankan diri dari ancaman Nusakambangan?
Apakah mungkin Sri Baginda Prabu Siliwangi akan membiarkan saja, jika Sri
Baginda tahu Kadipaten Pasirluhur benar-benar akan diserang Kerajaan
Nusakambangan?”
Kali ini Kanjeng Adipati benar-benar terpojok.
Dia sungguh tidak mengira bila istrinya itu mengetahui persoalan rumit yang
tengah dihadapinya. “Itulah masalahnya Diajeng. Menurut Diajeng, haruskah
Kadipaten Pasirluhur berperang melawan Kerajaan Nusakambangan? Tolong Aku dibantu memikirkan soal yang rumit
ini,” kata Kanjeng Adipati menyerah kalah kepada istri tercintanya itu. Kanjeng
Ayu Adipati tersenyum.
“Coba kalau Kanda bilang dari tadi, tentu
tidak harus bersitegang leher dulu,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil meraih
cangkir wedang jahe yang ada di depannya dan diberikan kepada Kanjeng Adipati
agar meminumnya agar pikirannya menjadi tenang. Kanjeng Adipati meminumnya
beberapa teguk.
“Kanda
Adipati, soal ancaman Raja Nusakambangan sebenarnya soal yang mudah
sekali. Kanda bisa menyelenggarakan semacam sayembara, barang siapa yang bisa
mengalahkan Raja Nusakambangan, dia berhak mempersunting Dewi. Dapat dipastikan
Kamandaka yang Kanda kejar-kejar berbulan-bulan tetapi tidak akan pernah bisa
tertangkap itu, akan mengikuti sayembara,” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil
meletakkan tangan kanannya di atas pangkuan Kanjeng Adipati yang duduk di
sampingnya.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar