Malam terus
beranjak dalam sepi. Kabut malam yang dingin pelan-pelan mulai turun
menyelimuti Kadipaten Pasirluhur. Bintang-bintang di langit makin banyak
bermunculan. Tetapi di ruang makan Dalem Kadipaten itu, udara dingin sama sekali tidak dirasakan
Kanjeng Adipati, istrinya, dan putri tercintanya. Sebab, mereka bertiga memang
sedang terlibat membicarakan soal lamaran dari Kerajaan Nusakambangan yang tidak
mudah untuk dipecahkan. Kanjeng Ayu Adipati telah memberikan jalan keluar.
Saran dari Kanjeng Ayu Adipati, Kamandaka hendaklah dilibatkan dalam memecahkan
soal lamaran dari Nusakambangan. Kini Kanjeng Adipati ingin mendengar pendapat
Sang Dewi juga.
“Oh, kebetulan sekali kalau Nduk Dewi sudah
tahu masalah lamaran dari Nusakambangan, sehingga Kanjeng Ramamu tak perlu
menjelaskan lagi. Justru lamaran dari Kerajaan Nusakambangan itulah yang sangat
membebani pikiran Kanjeng Ramamu. Apa saran Nduk Dewi Cah Ayu untuk memecahkan soal lamaran
itu? Dua orang utusan malam ini tidur di
kamar tamu, karena menunggu jawaban dari aku yang sudah harus bisa disampaikan
besok pagi,” kata Kanjeng Adipati minta saran Sang Dewi.
“Kanjeng Rama, biarlah Dewi yang membuat surat
balasan,” kata Sang Dewi memberikan saran. Wajahnya tampak tenang-tenang saja,
seakan-akan persolalan lamaran itu bukan masalah yang rumit. “Besok pagi
Kanjeng Rama bisa membacanya. Kurang lebih isi pokok-pokok surat balasan yang
akan Dewi buat atas nama Kanjeng Rama yaitu, Kanjeng Rama atas nama Dewi harus
menerima sepenuhnya lamaran Raja Nusakambangan,” kata Sang Dewi.
“Tetapi calon mempelai putri mempunyai
sejumlah permintaan yang harus dipenuhi calon mempelai pria. Pertama, calon
mempelai pria harus menyediakan mas kawin
berupa 1000 kodi kain mori putih bersih. Ke dua, harus menyediakan 40 gadis
perawan suci yang semuanya kembar sebagai calon pengiring kedua calon
pengantin. Ke tiga, ritual dan pesta pernikahan dilaksanakan 120 hari setelah
tanggal lamaran diterima.” Sang Dewi diam sebentar. Kemudian melanjutkan.
“Ke empat, calon mempelai pria kelak harus
menjemput calon mempelai wanita di luar kota Kadipaten Pasirluhur. Tempat
penjemputan calon mempelai putri yakni
di persimpangan jalan yang melintang dari selatan ke utara yang menghubungkan
Nusakambangan dengan Gunung Agung dengan jalan yang melintang dari timur ke
barat yang menghubungkan Rawalo dengan Dayeuhluhur. Ke lima, di tempat
penjemputan, calon mempelai pria harus turun dari tandu untuk menjemput sendiri
calon mempelai putri. Calon mempelai putra harus menjemput calon mempelai
putri yang ada dalam tandu calon
mempelai putri lalu membawanya ke tandu
calon mempelai pria. Ke enam, tempat prosesi ritual pernikahan dan
penyelenggaraan pesta kedua mempelai akan di laksanakan di Pendapa Kadipaten
Pasirluhur. Dan Ke tujuh, pengiring calon mempelai putra tidak diperkenankan
membawa senjata dalam bentuk apa pun. Demikian Kanjeng Rama kurang lebih konsep
isi surat dengan tujuh buah permintaan calon mempelai putri yang akan Dewi
siapkan malam ini juga. Apakah dari Kanjeng Rama ada tambahan?”
Mendengar penjelasan dari Sang Dewi, Kanjeng
Adipati mengernyitkan dahinya. Dia mencoba memahami rencana yang dibuat Sang
Dewi. Namun sekalipun Kanjeng Adipati belum sepenuhnya memahami konsep putrinya
itu, penyelesaian yang diusulkan Sang Dewi itu telah membuat pikiran Kanjeng Adipati menjadi sedikit
dingin, tenang, ringan, dan sejuk. Itu sebabnya, Kanjeng Adipati lama terdiam.
Tetapi sikap diam Kanjeng Adipati membuat Kanjeng Ayu Adipati tidak sabar.
“Ya, sudah. Bagus sekali. Kanjeng Ibu setuju.
Segera dibuat, besok pagi antarkan ke kamar tidur Ibu. Kalau tidak setuju
dengan usul Nduk Dewi, biarkan saja Kanjeng Ramamu pusing tujuh keliling sendiri. Kalau Kanjeng Ramamu
besok masih juga tidak berani menyampaikan surat balasan, Kanjeng Ibu sendiri
besok yang akan menyampaikan surat
balasan itu. Nduk Dewi, sekarang sudah malam. Kamu masih ada tugas
menyiapkan surat balasan, bukan? Kanjeng Ibu sudah mengantuk. Kanda Adipati,
mau sendirian saja di meja makan? Diajeng tunggu di kamar tidur. Pokoknya kalau
Kanjeng Ramamu tidak segera menyusul Ibumu, pintu kamar tidur akan Ibu kunci
dari dalam,” kata Kanjeng Ayu Adipati mengancam suaminya sambil mau bangkit
dari tempat duduknya. Tetapi Sang Dewi masih menahannya.
“Sebentar Kanjeng Ibu, masih ada yang ingin
Dewi sampaikan. Kanjeng Ibu, benar akan merestuti Kanda Kamandaka dengan aku,
sebagai pasangan suami istri?”
“Tidak usah kamu tanya, Ibumu selalu setuju
pada pilihanmu, Nduk Dewi Cah Ayu, Putri Kanjeng Ibu,” jawab Kanjeng Ayu
Adipati.
“Kanjeng Rama, Kanjeng Rama juga benar akan
merestui Kanda Kamandaka dengan aku sebagai pasangan suami istri?” tanya Sang Dewi sambil berpaling kepada
Kanjeng Adipati.
“Aku ikut Ibumu. Merestui Nduk Dewi dengan
Raden Banyakcatra sebagai pasangan suami istri. Aku juga sependapat dengan
Ibumu, rencana isi balasan surat lamaran dari Nusakambangan tadi. Aku malah kagum dengan
rencana-rencanamu mengatasi lamaran dan tantangan dari Nusakambangan. Kelak
tentu harus dibicarakan masak-masak dengan calon suamimu dan adik iparmu itu.”
“Terimakasih Kanjeng Rama, terimakasih Kanjeng
Ibu. Satu permohonan lagi, jika besok malam Kanda Kamandaka dan Dinda
Silihwarna bermalam di Dalem Kadipaten, mohon bisa ditempatkan di kamar khusus
tamu Kadipaten yang kini ditempati utusan dari Nusakambangan. Selama ini Dinda
Silihwarna mondok di kamar tamu Dalem Kepatihan. Boleh Kanjeng Rama?”
“Dewi…, Dewi…, Nduk Cah Ayu, kamu ini
macam-macam saja. Seolah-olah masih tidak percaya padaku. Ananda Kamandaka
bukankah dia calon menantuku dan Ananda Silihwarna itu calon Adik iparmu?
Mereka berdua juga Putra Sri Baginda Siliwangi, calon besanku. Tentu aku akan
mengijinkan kedua putra Pajajaran itu bermalam di Dalem Kadipaten,” jawab
Kanjeng Adipati meyakinkan Sang Dewi.
“Karena Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu sudah
merestui aku menjadi istri Kanda Kamandaka, yang berarti Kanjeng Rama dan
Kanjeng Ibu merestui Kanda Kamandaka menjadi suami Dewi. Dewi mohon selama Kanda Kamandaka bermalam di
Dalem Kadipaten, diperkenankan tidur di kamar aku di kaputren. Dewi berjanji
akan tetap menjaga kesucian Dewi, sampai pesta pernikahan Dewi dengan Kanda
Kamandaka dilaksanakan.”
Mendengar permintaan seperti itu, Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kembali saling berpandang-pandangan. Mereka
berdua mencoba memahami apa maksud dari permintaan yang aneh itu. Tetapi
Kanjeng Ayu Adipati, seperti biasanya cepat mengambil keputusan.
“Kanjeng Ibu percaya kepada janji itu, Nduk
Dewi Cah Ayu. Kanjeng Ibu juga percaya kepada Ananda Kamandaka. Kalau kepada
Kanjeng Ramamu, Ibumu tidak pernah percaya. Satu malam saja Kanjeng Ramamu tidur dengan seorang gadis, besok paginya si
gadis langsung hamil!” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil menyindir Kanjeng
Adipati. Kanjeng Adipati hanya tersenyum mendengar sindiran Kanjeng Ayu
Adipati.
”Soalnya bukan boleh atau tidak boleh. Memang
kalau menurut tuntunan kitab suci, sepanjang Ananda Kamandaka dan Nduk Dewi
sudah saling setia, apalagi sudah mendapat restu dari kedua orang tua gadis,
sebagai keturunan para ksatria, diperkenankan melakukan ritual pernikahan
secara mandiri,” kata Kanjeng Adipati menanggapi permintaan Sang Dewi. “Dan itu
sudah sah sebagai sepasang suami istri. Tetapi tentu lebih utama apabila
kesucian tetap dijaga sampai tibanya pengesahan ritual pernikahan yang
disaksikan seorang brahmana yang memiliki tugas mengesahkan pernikahan. Tetapi
masalahnya, dimana harga diri Kanjeng Ramamu? Ananda Kamandaka belum melakukan
lamaran secara resmi padaku. Lain halnya kalau dia sudah melakukan lamaran
resmi.”
“Percayalah kepada Dewi, Kanjeng Rama dan
Kanjeng Ibu. Kanda Kamandaka pasti akan melakukan lamaran secara resmi pada
saat yang dianggapnya tepat. Besok soal ini bisa dibicarakan. Termasuk sikap
Dewi menerima lamaran dari Nusakambangan. Tujuannya selain agar Kanda Kamandaka
menyadari kelalaiannya selama ini, sekaligus agar Kanda Kamandaka punya tanggung
jawab menyelesaikan lamaran Raja Nusakambangan yang disertai ancaman. Bukankah
kalau lamaran dari Nusakambangan itu langsung ditolak, situasi akan berkembang
menjadi gawat. Toh masih ada celah untuk membatalkan lamaran dari
Nusakambangan,” kata Sang Dewi.
“Tujuan yang lainnya adalah Dewi ingin menguji
Kanda Kamandaka agar kelak hanya menjadi seorang suami yang setia kepada Dewi
seorang diri. Kanda Kamandaka harus menjadikan aku hanya sebagai satu-satunya
istri sampai akhir hayat,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Yaitu sampai suatu saat
ketika salah satu diantara kami dijemput oleh maut. Tujuan yang berikutnya, aku
memang ingin menghukum Kanda Kamandaka, karena telah berbohong kepada aku dan
tidak jujur. Bukankah menurut ajaran Kanjeng Ibu, suami yang tidak jujur harus
dihukum?”
“Pokoknya soal satu suami satu istri itu,
Kanjeng Ibu setuju banget. Jangan seperti Kanjeng Ramamu, tidak tahan lihat
wanita cantik. Sampai-sampai Kanjeng Ibu tidak hapal semua nama-nama mbakyu
tirimu. Apalagi cucu-cucu tiriku. Tetapi, ya sudahlah, adat memang demikian.
Tidak bisa Ibu bayangkan jika banyak istri dan banyak anak dilakukan oleh orang
kebanyakan. Mereka ini untuk memenuhi kebutuhan satu istri saja susahnya bukan
main. Tetapi jika Nduk Dewi dan Suamimu Kamandaka kelak bisa menjadi suri
tauladan, tentu akan banyak punggawa yang mengikutinya. Lama-kelamaan rakyat
biasa juga akan mengikutinya. Lebih baik satu istri, tapi bahagia karena bisa
mewujudkan rumah tangga yang salam bahagia dan sejahtera, ketimbang rumah
tangga banyak istri dan banyak anak, tetapi tiap saat dibelit oleh seribu macam
persoalan rumah tangga,” kata Kanjeng Ayu Adipati menanggapi permohonan Sang
Dewi.
“Nah, kalau soal menghukum suami yang tidak
jujur, asal seimbang dan jangan terlalu sering, boleh kok, Nduk Dewi,” kata Kanjeng Ayu Adipati pula, tentu
saja sambil menyindir Kanjeng Adipati.
Kanjeng Adipati hanya senyum-senyum saja
mendengar sindiran istrinya. Soalnya bertengkar melawan istrinya, apalagi di
depan putri kesayangannya yang selalu kompak dengan ibunya, tentu saja hanya
membuang-buang tenaga saja. Sementara Kanjeng Adipati sendiri sudah rindu
kepada belaian Kanjeng Ayu Adipati yang sesungguhnya pandai menggembirakan
suami di atas ranjang peraduannya.
“Nduk
Dewi, kamu masih ada tugas malam ini membuat balasan surat lamaran,
bukan?,” kata Kanjeng Ayu Adipati melanjutkan. “Kanjeng Ibu pun sudah ngantuk.
Kasihan Biyung Emban yang harus membereskan meja makan, mereka sudah dari tadi
menunggu kita. Kanda Adipati, masih
betah di meja makan? Diajeng tunggu di
kamar tidur. Jika Kanda Adipati tidak segera menyusul pintu kamar akan aku tutup
dari dalam,” kata Kanjeng Ayu Adipati mengancam suaminya sambil bangkit dari
tempat duduknya. Sebelum berpisah, Sang Dewi memeluk ibundanya dan ayahandanya.
Mereka berdua, ibu dan anak itu kembali
ke kamarnya masing-masing. Kanjeng Adipati bergegas bangkit meninggalkan meja
makan cepat-cepat menyusul Kanjeng Ayu Adipati yang sudah mendahului menuju
kamar peraduan.
Malam itu, Sang Dewi membuat surat balasan
lamaran kepada Raja Nusakambangan
ditemani Khandegwilis dan si Lutung yang duduk manis di atas kursi di dalam kamar Sang Dewi.
“Biyung Emban, Rekajaya sudah makan malam?”
“Sudah, Ndara Putri.”
“Sudah dibuatkan minuman dan disediakan
makanan kecil teman minum? Wedang jae apa air nira?”
“Air nira katanya bosan, Ndara Putri. Jadi
Biyung Emban buatkan wedang jahe dengan pemanis gula aren. Makanan kecilnya cimplung
pepaya.”
“Sudah ngobrol apa saja dengan Rekajaya?”
tanya Sang Dewi sambil menulis di atas meja menyelesaikan surat balasan yang
besok pagi harus sudah siap.
“Ya, bercakap-cakap apa saja kian kemari,
Ndara Putri.”
“Berapa anak Rekajaya?”
“Hehehe…, masih bujangan, Ndara Putri.”
“Bujangan? Ada tiga puluh tahun usinya?”
“Sepertinya tiga puluh tahun lebih, tetapi
belum empat puluh tahun. Bisa jadi sebaya dengan Biyung Emban.”
“O, ya? Dengan Jigjayuda?”
“Ah, Ndara Putri ini ada-ada saja,” jawab Khandegwilis.
“Kakang Jigyayudha sudah punya istri dan
beberapa anak.”
“O, begitu ya?” kata Sang Dewi sambil
tersenyum.
Malam pun semakin larut, surat balasan sudah
selesai dibuat. Sang Dewi segera naik ke peraduan. Disusul Khandegwilis yang
tidur di atas tilam yang digelar di lantai dekat ranjang Sang Dewi. Si Lutung
terkantuk-kantuk di kursi tamu yang dulu pernah diduduki Kamandaka. Kandang
untuk si Lutung memang belum siap.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar