Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 25 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(46)




Malam terus beranjak dalam sepi. Kabut malam yang dingin pelan-pelan mulai turun menyelimuti Kadipaten Pasirluhur. Bintang-bintang di langit makin banyak bermunculan. Tetapi di ruang makan Dalem Kadipaten itu,  udara dingin sama sekali tidak dirasakan Kanjeng Adipati, istrinya, dan putri tercintanya. Sebab, mereka bertiga memang sedang terlibat membicarakan soal lamaran dari Kerajaan Nusakambangan yang tidak mudah untuk dipecahkan. Kanjeng Ayu Adipati telah memberikan jalan keluar. Saran dari Kanjeng Ayu Adipati, Kamandaka hendaklah dilibatkan dalam memecahkan soal lamaran dari Nusakambangan. Kini Kanjeng Adipati ingin mendengar pendapat Sang Dewi juga.
“Oh, kebetulan sekali kalau Nduk Dewi sudah tahu masalah lamaran dari Nusakambangan, sehingga Kanjeng Ramamu tak perlu menjelaskan lagi. Justru lamaran dari Kerajaan Nusakambangan itulah yang sangat membebani pikiran Kanjeng Ramamu. Apa saran Nduk  Dewi Cah Ayu untuk memecahkan soal lamaran itu?  Dua orang utusan malam ini tidur di kamar tamu, karena menunggu jawaban dari aku yang sudah harus bisa disampaikan besok pagi,” kata Kanjeng Adipati minta saran Sang Dewi.
“Kanjeng Rama, biarlah Dewi yang membuat surat balasan,” kata Sang Dewi memberikan saran. Wajahnya tampak tenang-tenang saja, seakan-akan persolalan lamaran itu bukan masalah yang rumit. “Besok pagi Kanjeng Rama bisa membacanya. Kurang lebih isi pokok-pokok surat balasan yang akan Dewi buat atas nama Kanjeng Rama yaitu, Kanjeng Rama atas nama Dewi harus menerima sepenuhnya lamaran Raja Nusakambangan,” kata Sang Dewi.
“Tetapi calon mempelai putri mempunyai sejumlah permintaan yang harus dipenuhi calon mempelai pria. Pertama, calon mempelai pria harus  menyediakan mas kawin berupa 1000 kodi kain mori putih bersih. Ke dua, harus menyediakan 40 gadis perawan suci yang semuanya kembar sebagai calon pengiring kedua calon pengantin. Ke tiga, ritual dan pesta pernikahan dilaksanakan 120 hari setelah tanggal lamaran diterima.” Sang Dewi diam sebentar. Kemudian melanjutkan.
“Ke empat, calon mempelai pria kelak harus menjemput calon mempelai wanita di luar kota Kadipaten Pasirluhur. Tempat penjemputan calon mempelai putri  yakni di persimpangan jalan yang melintang dari selatan ke utara yang menghubungkan Nusakambangan dengan Gunung Agung dengan jalan yang melintang dari timur ke barat yang menghubungkan Rawalo dengan Dayeuhluhur. Ke lima, di tempat penjemputan, calon mempelai pria harus turun dari tandu untuk menjemput sendiri calon mempelai putri. Calon mempelai putra harus menjemput calon mempelai putri  yang ada dalam tandu calon mempelai putri lalu membawanya  ke tandu calon mempelai pria. Ke enam, tempat prosesi ritual pernikahan dan penyelenggaraan pesta kedua mempelai akan di laksanakan di Pendapa Kadipaten Pasirluhur. Dan Ke tujuh, pengiring calon mempelai putra tidak diperkenankan membawa senjata dalam bentuk apa pun. Demikian Kanjeng Rama kurang lebih konsep isi surat dengan tujuh buah permintaan calon mempelai putri yang akan Dewi siapkan malam ini juga. Apakah dari Kanjeng Rama ada tambahan?”
Mendengar penjelasan dari Sang Dewi, Kanjeng Adipati mengernyitkan dahinya. Dia mencoba memahami rencana yang dibuat Sang Dewi. Namun sekalipun Kanjeng Adipati belum sepenuhnya memahami konsep putrinya itu, penyelesaian yang diusulkan Sang Dewi itu telah  membuat pikiran Kanjeng Adipati menjadi sedikit dingin, tenang, ringan, dan sejuk. Itu sebabnya, Kanjeng Adipati lama terdiam. Tetapi sikap diam Kanjeng Adipati membuat Kanjeng Ayu Adipati tidak sabar.
“Ya, sudah. Bagus sekali. Kanjeng Ibu setuju. Segera dibuat, besok pagi antarkan ke kamar tidur Ibu. Kalau tidak setuju dengan usul Nduk Dewi, biarkan saja Kanjeng Ramamu  pusing tujuh keliling sendiri. Kalau Kanjeng Ramamu besok masih juga tidak berani menyampaikan surat balasan, Kanjeng Ibu sendiri besok yang akan menyampaikan surat  balasan itu. Nduk Dewi, sekarang sudah malam. Kamu masih ada tugas menyiapkan surat balasan, bukan? Kanjeng Ibu sudah mengantuk. Kanda Adipati, mau sendirian saja di meja makan? Diajeng tunggu di kamar tidur. Pokoknya kalau Kanjeng Ramamu tidak segera menyusul Ibumu, pintu kamar tidur akan Ibu kunci dari dalam,” kata Kanjeng Ayu Adipati mengancam suaminya sambil mau bangkit dari tempat duduknya. Tetapi Sang Dewi masih menahannya.
“Sebentar Kanjeng Ibu, masih ada yang ingin Dewi sampaikan. Kanjeng Ibu, benar akan merestuti Kanda Kamandaka dengan aku, sebagai pasangan suami istri?”
“Tidak usah kamu tanya, Ibumu selalu setuju pada pilihanmu, Nduk Dewi Cah Ayu, Putri Kanjeng Ibu,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Rama, Kanjeng Rama juga benar akan merestui Kanda Kamandaka dengan aku sebagai pasangan suami istri?”  tanya Sang Dewi sambil berpaling kepada Kanjeng Adipati.
“Aku ikut Ibumu. Merestui Nduk Dewi dengan Raden Banyakcatra sebagai pasangan suami istri. Aku juga sependapat dengan Ibumu, rencana isi balasan surat lamaran dari Nusakambangan  tadi. Aku malah kagum dengan rencana-rencanamu mengatasi lamaran dan tantangan dari Nusakambangan. Kelak tentu harus dibicarakan masak-masak dengan calon suamimu dan adik iparmu itu.”
“Terimakasih Kanjeng Rama, terimakasih Kanjeng Ibu. Satu permohonan lagi, jika besok malam Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna bermalam di Dalem Kadipaten, mohon bisa ditempatkan di kamar khusus tamu Kadipaten yang kini ditempati utusan dari Nusakambangan. Selama ini Dinda Silihwarna mondok di kamar tamu Dalem Kepatihan. Boleh Kanjeng Rama?”
“Dewi…, Dewi…, Nduk Cah Ayu, kamu ini macam-macam saja. Seolah-olah masih tidak percaya padaku. Ananda Kamandaka bukankah dia calon menantuku dan Ananda Silihwarna itu calon Adik iparmu? Mereka berdua juga Putra Sri Baginda Siliwangi, calon besanku. Tentu aku akan mengijinkan kedua putra Pajajaran itu bermalam di Dalem Kadipaten,” jawab Kanjeng Adipati meyakinkan Sang Dewi.
“Karena Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu sudah merestui aku menjadi istri Kanda Kamandaka, yang berarti Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu merestui Kanda Kamandaka menjadi suami Dewi.  Dewi mohon selama Kanda Kamandaka bermalam di Dalem Kadipaten, diperkenankan tidur di kamar aku di kaputren. Dewi berjanji akan tetap menjaga kesucian Dewi, sampai pesta pernikahan Dewi dengan Kanda Kamandaka dilaksanakan.”
Mendengar permintaan seperti itu, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati kembali saling berpandang-pandangan. Mereka berdua mencoba memahami apa maksud dari permintaan yang aneh itu. Tetapi Kanjeng Ayu Adipati, seperti biasanya cepat mengambil keputusan.
“Kanjeng Ibu percaya kepada janji itu, Nduk Dewi Cah Ayu. Kanjeng Ibu juga percaya kepada Ananda Kamandaka. Kalau kepada Kanjeng Ramamu, Ibumu tidak pernah percaya. Satu malam saja Kanjeng Ramamu  tidur dengan seorang gadis, besok paginya si gadis langsung hamil!” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil menyindir Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati hanya tersenyum mendengar sindiran Kanjeng Ayu Adipati.
”Soalnya bukan boleh atau tidak boleh. Memang kalau menurut tuntunan kitab suci, sepanjang Ananda Kamandaka dan Nduk Dewi sudah saling setia, apalagi sudah mendapat restu dari kedua orang tua gadis, sebagai keturunan para ksatria, diperkenankan melakukan ritual pernikahan secara mandiri,” kata Kanjeng Adipati menanggapi permintaan Sang Dewi. “Dan itu sudah sah sebagai sepasang suami istri. Tetapi tentu lebih utama apabila kesucian tetap dijaga sampai tibanya pengesahan ritual pernikahan yang disaksikan seorang brahmana yang memiliki tugas mengesahkan pernikahan. Tetapi masalahnya, dimana harga diri Kanjeng Ramamu? Ananda Kamandaka belum melakukan lamaran secara resmi padaku. Lain halnya kalau dia sudah melakukan lamaran resmi.”
“Percayalah kepada Dewi, Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Kanda Kamandaka pasti akan melakukan lamaran secara resmi pada saat yang dianggapnya tepat. Besok soal ini bisa dibicarakan. Termasuk sikap Dewi menerima lamaran dari Nusakambangan. Tujuannya selain agar Kanda Kamandaka menyadari kelalaiannya selama ini, sekaligus agar Kanda Kamandaka punya tanggung jawab menyelesaikan lamaran Raja Nusakambangan yang disertai ancaman. Bukankah kalau lamaran dari Nusakambangan itu langsung ditolak, situasi akan berkembang menjadi gawat. Toh masih ada celah untuk membatalkan lamaran dari Nusakambangan,” kata Sang Dewi.
“Tujuan yang lainnya adalah Dewi ingin menguji Kanda Kamandaka agar kelak hanya menjadi seorang suami yang setia kepada Dewi seorang diri. Kanda Kamandaka harus menjadikan aku hanya sebagai satu-satunya istri sampai akhir hayat,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Yaitu sampai suatu saat ketika salah satu diantara kami dijemput oleh maut. Tujuan yang berikutnya, aku memang ingin menghukum Kanda Kamandaka, karena telah berbohong kepada aku dan tidak jujur. Bukankah menurut ajaran Kanjeng Ibu, suami yang tidak jujur harus dihukum?”
“Pokoknya soal satu suami satu istri itu, Kanjeng Ibu setuju banget. Jangan seperti Kanjeng Ramamu, tidak tahan lihat wanita cantik. Sampai-sampai Kanjeng Ibu tidak hapal semua nama-nama mbakyu tirimu. Apalagi cucu-cucu tiriku. Tetapi, ya sudahlah, adat memang demikian. Tidak bisa Ibu bayangkan jika banyak istri dan banyak anak dilakukan oleh orang kebanyakan. Mereka ini untuk memenuhi kebutuhan satu istri saja susahnya bukan main. Tetapi jika Nduk Dewi dan Suamimu Kamandaka kelak bisa menjadi suri tauladan, tentu akan banyak punggawa yang mengikutinya. Lama-kelamaan rakyat biasa juga akan mengikutinya. Lebih baik satu istri, tapi bahagia karena bisa mewujudkan rumah tangga yang salam bahagia dan sejahtera, ketimbang rumah tangga banyak istri dan banyak anak, tetapi tiap saat dibelit oleh seribu macam persoalan rumah tangga,” kata Kanjeng Ayu Adipati menanggapi permohonan Sang Dewi.
“Nah, kalau soal menghukum suami yang tidak jujur, asal seimbang dan jangan terlalu sering, boleh kok, Nduk  Dewi,” kata Kanjeng Ayu Adipati pula, tentu saja sambil menyindir Kanjeng Adipati.
Kanjeng Adipati hanya senyum-senyum saja mendengar sindiran istrinya. Soalnya bertengkar melawan istrinya, apalagi di depan putri kesayangannya yang selalu kompak dengan ibunya, tentu saja hanya membuang-buang tenaga saja. Sementara Kanjeng Adipati sendiri sudah rindu kepada belaian Kanjeng Ayu Adipati yang sesungguhnya pandai menggembirakan suami di atas ranjang peraduannya.
“Nduk  Dewi, kamu masih ada tugas malam ini membuat balasan surat lamaran, bukan?,” kata Kanjeng Ayu Adipati melanjutkan. “Kanjeng Ibu pun sudah ngantuk. Kasihan Biyung Emban yang harus membereskan meja makan, mereka sudah dari tadi menunggu kita. Kanda Adipati,  masih betah di meja makan?  Diajeng tunggu di kamar tidur. Jika Kanda Adipati tidak segera menyusul pintu kamar akan aku tutup dari dalam,” kata Kanjeng Ayu Adipati mengancam suaminya sambil bangkit dari tempat duduknya. Sebelum berpisah, Sang Dewi memeluk ibundanya dan ayahandanya. Mereka berdua, ibu dan anak itu  kembali ke kamarnya masing-masing. Kanjeng Adipati bergegas bangkit meninggalkan meja makan cepat-cepat menyusul Kanjeng Ayu Adipati yang sudah mendahului menuju kamar peraduan.
Malam itu, Sang Dewi membuat surat balasan lamaran kepada  Raja Nusakambangan ditemani Khandegwilis dan si Lutung yang duduk manis  di atas kursi di dalam kamar Sang Dewi.
“Biyung Emban, Rekajaya sudah makan malam?”
“Sudah, Ndara Putri.”
“Sudah dibuatkan minuman dan disediakan makanan kecil teman minum? Wedang jae apa air nira?”
“Air nira katanya bosan, Ndara Putri. Jadi Biyung Emban buatkan wedang jahe dengan pemanis gula aren. Makanan kecilnya cimplung pepaya.”
“Sudah ngobrol apa saja dengan Rekajaya?” tanya Sang Dewi sambil menulis di atas meja menyelesaikan surat balasan yang besok pagi harus sudah siap.
“Ya, bercakap-cakap apa saja kian kemari, Ndara Putri.”
“Berapa anak Rekajaya?”
“Hehehe…, masih bujangan, Ndara Putri.”
“Bujangan? Ada tiga puluh tahun usinya?”
“Sepertinya tiga puluh tahun lebih, tetapi belum empat puluh tahun. Bisa jadi sebaya dengan Biyung Emban.”
“O, ya?  Dengan Jigjayuda?”
“Ah, Ndara Putri ini ada-ada saja,” jawab Khandegwilis.
“Kakang Jigyayudha sudah punya istri dan beberapa anak.”
“O, begitu ya?” kata Sang Dewi sambil tersenyum.
Malam pun semakin larut, surat balasan sudah selesai dibuat. Sang Dewi segera naik ke peraduan. Disusul Khandegwilis yang tidur di atas tilam yang digelar di lantai dekat ranjang Sang Dewi. Si Lutung terkantuk-kantuk di kursi tamu yang dulu pernah diduduki Kamandaka. Kandang untuk si Lutung memang belum siap.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar