Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 14 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(43)





Sementara itu, di dalam hutan Kamandaka berunding dengan Rekajaya untuk mencari jalan keluar dari pengepungan. Kamandaka sudah bertekad, bila memungkinkan menghindari adanya korban nyawa dari para prajurit Pasirluhur yang mengepung dirinya. Sebab mereka para prajurit itu sebenarnya hanyalah sekedar menjalankan perintah saja dari pimpinannya.
“Kakang Rekajaya, tahu rumah Tumenggung Maresi pemilik anjing pelacak ini?” tanya Kamandaka. Nama Tumenggung Maresi sudah beberapa kali didengar Kamandaka lewat mulut Ngabehi Nitipraja saat terjadi keributan di lapangan sabung ayam Desa Pangebatan kemarin siang.
“Tahu sekali, Raden. Tumenggung Maresi itu kakak Lurah Karangjati, mantan suami Mbakyu hamba. Ya, dia itulah yang hamba duga dulu membunuh Kakang Kertisara dengan cara yang licik. Kemudian mengambil kembali harta milik Lurah Karangjati. Dia itulah yang membuat Mbakyu hamba jatuh miskin.”
“Ya, sudahlah. Ada banyak tugas yang harus Kakang laksanakan besok. Pertama, pagi-pagi benar potong saja anjing pelacak itu. Ambil hatinya, jantungnya, darahnya, dan potong satu telinganya, bungkus dengan daun pisang atau daun jati muda yang rapih. Sisanya kuburkan,” Kamandaka memberi perintah.
“Kedua, Kakang harus keluar dari hutan ini lewat jalur selatan, sambil membawa si Mercu dan si Lutung. Jika ketemu prajurit pengepung, katakan bahwa Kakang adalah seorang pemburu yang akan menjual lutung dan ayam ke pasar Pangebatan,” kata Kamandaka pula.
“Ketiga, Kakang sambil pulang ke Kaliwedi, mampirlah ke rumah Tumenggung Maresi di Maresi. Berikan bungkusan hati, jantung, darah, dan potongan daun telinga anjing pelacak. Katakan saja ada titipan dari Tumenggung Maresi yang belum bisa pulang ke rumah,” Kamandaka melanjutkan memberikan perintahnya yang harus dilakukan Rekajaya besok pagi. Rekajaya mendengarkannya dengan tekun dan penuh perhatian.
“Tugas yang ke empat, pulang ke Kaliwedi, tinggalkan si Mercu disana, Kakang berhias yang baik, pakailah pakaian yang baik dan rapi. Kemudian berangkat ke Kadipaten Pasirluhur sambil membawa si Lutung,” kata Kamandaka pula.
“Temui penjaga, katakan bahwa Kakang ingin mempersembahkan si Lutung kepada Kanjeng Adipati Kandhadaha. Berusahalah untuk menghadap. Tunjukkan kepandaian si Lutung di hadapan Kanjeng Adipati Kandhadaha. Si Lutung akan menurut segala perintah Kakang dan siapa saja yang sudah bersalaman dengannya. Usahakan Kanjeng Adipati menerima Kakang sebagai abdi Kadipaten. Dapat dipastikan Kakang akan diterima dan dicarikan kamar untuk menginap. Di sana banyak kamar kosong,” kata Kamandaka sambil menatap wajah Rekajaya untuk memastikan bahwa perintah-perintahnya itu benar-benar dapat dipahami Rekajaya. 
“Terakhir, temui Khandegwilis dan katakan bahwa Kakang sebenarnya utusanku untuk bisa menemui Dinda Dewi. Khandegwilis pasti akan mengantarkan Kakang menghadapnya. Si Lutung juga akan aku beri kalung pita kuning dari selendang milik Dinda Dewi yang diberikan padaku. Aku yakin Dinda Dewi akan mengenalnya. Usahakan si Lutung bersalaman dengan Dinda Dewi, agar Si Lutung akrab dengan Dinda Dewi. Bisa Kakang mengingat-ingat semua perintahku?” 
Rekajaya mengangguk gembira sekali. Perintah yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk bisa bertemu dengan Khandegwilis akhirnya datang juga.
“Usahakan besok sore pesanku untuk Dinda Dewi sudah diterima, sehingga aku harapkan malam itu atau paling tidak pagi harinya Kanjeng Adipati Kandhadaha sudah mengetahui dari Dinda Dewi, siapa diriku yang sebenarnya. Lusa barulah aku akan keluar dari hutan  melayani tantangan Silihwarna yang sempat tertunda,” kata Kamandaka sambil melepas selendang sutra yang melilit pinggangnya. Luka akibat tikaman senjata Silihwarna telah berangsur-angsur pulih. 
Sore itu Rekajaya membuat pita kuning dari selendang sutra yang dipotongnya sedikit. Kemudian Kamandaka memanggil si Lutung yang segera mendekat. Pita kuning buatan Rekajaya dililitkan di leher si Lutung, sehingga membuatnya menjadi tampan. Si Lutung pun senang dengan pita kuning itu. Bisa jadi karena aromanya yang menyegarkan. Beberapa kali si Lutung meloncat-loncat, dan memutar-mutar karena gembira.
Pagi-pagi sekali, Rekajaya melaksanakan semua rencana yang diperintahkan Kamandaka. Anjing Pelacak dengan mudah dipotongnya dan langsung dikubur setelah diambil hati, jantung, daun telinga, dan darah yang semuanya berhasil dibungkus dengan daun jati.
Prajurit pengepung kebetulan pada subuh pagi itu tidak melakukan penjagaan yang ketat, sehingga Rekajaya dengan mudah bisa lolos dari pengawasan. Lagi pula prajurit pengepung sisi timur dan selatan adalah anak buah Tumenggung Maresi yang tidak sempat mengenal Rekajaya sehingga mudah dikecoh. Bungkusan berisi darah, jantung, hati, dan potongan daun telinga anjing berhasil diserahkan kepada seorang pembantu di rumah Tumenggung Maresi. Akhirnya Rekajaya selamat sampai di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi. Menjelang siang hari, Rekajaya sudah berangkat ke Pasirluhur dengan membawa si Lutung Kasarung.

****
Siang itu Adipati Kandhadaha tengah santap siang bersama Kanjeng Ayu Adipati, istri tercintanya, di beranda ruang makan. Sudah empat bulan lebih, sejak kejadian yang menghebohkan itu, Sang Dewi tidak pernah mau santap siang maupun santap malam bersama Ayahandanya. Padahal sebelum kejadian itu, setiap diminta datang untuk makan bersama, Sang Dewi tidak pernah menolak.
Jika dipanggil untuk santap bersama ada-ada saja alasan yang dicari-carinya, mulai dari sakit, tidak ada nafsu makan, masih kenyang, dan seribu alasan lainnya. Terpaksa makanan pagi, siang, dan malam diantar ke kamar Sang Dewi. Di samping itu, Sang Dewi juga mogok bicara dengan Ayahandanya. Tetapi dengan Ibundanya, Kanjeng Ayu Adipati, Sang Dewi lebih terbuka dan masih mau diajak bicara.
Tentu saja semua perubahan tingkah laku Sang Dewi itu, membuat pusing dan sedih Ayahandanya. Hanya satu yang membuat Kanjeng Adipati tetap bangga kepada putri kesayangannya, yaitu Sang Dewi masih terjaga kesuciannya, sekalipun Kamandaka sempat hampir semalam suntuk berada dalam kamar Sang Dewi. Kanjeng Adipati sendiri tidak tahu cara apakah yang harus dilakukan agar putri kesayangannya itu kembali lincah, ceria, dan tidak mengurung diri saja di dalam kamarnya. Satu-satunya teman bicara Sang Dewi hanyalah Emban kesayangannya, Khandegwilis.
Usai santap siang, tiba-tiba petugas jaga di gardu depan masuk dan memberitahu Kanjeng Adipati. Dilaporkannya bahwa ada seorang laki-laki yang ingin mempersembahkan seekor monyet yang lucu kepada Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati yang suka berburu dan penggemar binatang itu, mempersilahkan tamunya datang menghadap di beranda ruang makan.
“Siapa namamu?” tanya Kanjeng Adipati pada Rekajaya yang datang menghadap Kanjeng Adipati sambil membawa lutung yang berbulu bagus itu.
“Nama hamba Rekajaya, Kanjeng Adipati. Pekerjaan hamba menjual binatang buruan di pasar hewan Pangebatan. Hamba gemar berburu, kebetulan hamba berhasil menangkap seekor monyet lucu yang mau diperintah apa saja. Karena itu hamba menghadap Kanjeng Adipati untuk menyerahkan monyet ini.”
Kanjeng Adipati langsung tersenyum gembira mendengar maksud tamunya itu. Lebih-lebih saat melihat monyet yang besar, bulunya bersih dan halus, di lehernya melilit sebuah pita kuning.
“Kebetulan sekali. Kemarin aku baru saja berburu di hutan lereng Gunung Agung di hulu Sungai Logawa, ternyata hutan saat itu sepi. Bahkan tupai, apa lagi monyet, tak kelihatan satu pun. Padahal biasanya gampang sekali dilihat. Kemarin itu hari tersial dalam sejarah berburuku. Sebab sebelumnya belum pernah aku berburu tanpa hasil. Kamu kan juga pemburu, bisa kamu bayangkan betapa dongkolnya hatiku kemarin. Pulang berburu dengan tangan kosong. Hem, monyet yang bagus. Apa keistimewaannya?” tanya Kanjeng Adipati kepada Rekajaya yang duduk di lantai teras beranda ruang makan.
“Lutung, ayo salaman dengan Kanjeng Adipati,” kata Rekajaya kepada si Lutung sambil menurunkan monyet itu di atas lantai. Si Lutung segera mengangkat tangan kanannya ke dekat dahinya, menghormat Kanjeng Adipati, lalu berjalan mendekatinya dan mengajaknya salaman. Kanjeng Adipati menyambutnya dengan tertawa terkekeh-kekeh sambil bersalaman dengan si Lutung. Seumur hidup  Kanjeng Adipati belum pernah melihat monyet secerdas itu.
“Ayo, dengan Kanjeng Ayu Adipati!” perintah Rekajaya.
Si Lutung memandang Kanjeng Ayu Adipati yang duduk di atas kursi di seberang meja makan, memberi hormat lalu membungkuk sebentar.
“Monyet cerdas!” puji Kanjeng Ayu Adipati mulai tertarik juga kepada si Lutung. ”Namanya siapa?”
Ditanya nama, si Lutung menunjuk kepada Rekajaya supaya menjawab pertanyaan Kanjeng Ayu Adipati.
“Namanya Lutung Kasarung, Kanjeng Ayu Adipati,” kata Rekajaya menjelaskan nama si Lutung.
“Wah, nama yang bagus. Lutung Kasarung itu kera sakti lagi pintar, penjelmaan Guru Minda, seorang Dewa Sakti dari kahyangan, putra Sunan Ambu. Tahu, Diajeng, kisah legenda Lutung Kasarung?” tanya Kanjeng Adipati sambil berpaling pada Kanjeng Ayu Adipati yang duduk di sampingnya. Kanjeng Ayu Adipati hanya menggeleng.
“Ceritera legenda rakyat yang terkenal di Kerajaan Galuh,” kata Kanjeng Adipati, “Guru Minda adalah putra dari Sunan Ambu yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri yang cantik jelita, Sunan Ambu. Akibatnya Sunan Ambu marah, dan dikutuknya Guru Minda menjadi seekor lutung.  Sunan Ambu lalu mengusir putranya itu dari kahyangan sambil memberi petunjuk adanya seorang gadis yang wajahnya mirip dirinya yang bernama Purbasari, putri bungsu Prabu Tapa Agung dari Kerajaan Pasirbatang. Maka turunlah Guru Minda ke dunia tengah untuk menemui calon istrinya Purbasari di tengah hutan tidak jauh dari Kerajaan Pasirbatang.
“Saat itu Purbasari sedang terkena sihir jahat dari kakaknya Purbarangrang. Guru Minda dipesan oleh Sunan Ambu bahwa hanya Guru Minda yang bisa mengembalikan kecantikan Purbasari. Dia juga diberi tahu bahwa kutukan kepadanya akan lenyap, jika Purbasari  mengatakan, bersedia menjadikan Guru Minda yang berwujud lutung itu menjadi suaminya. Jika Purbasari mengatakan kata-kata itu, maka kutukan Sunan Ambu  akan hilang dan Guru Minda  akan kembali menjadi seorang ksatria jelmaan dewa yang gagah dan tampan.  Calon suami Purbasari itu diberi nama oleh Sunan Ambu, Lutung Kasarung.”
Ketika Kanjeng Adipati menceriterakan kisah legenda rakyat Galuh itu, Kanjeng Ayu Adipati mendengarkannya dengan penuh perhatian.
“Bagaimana Lutung Kasarung kembali menjadi Guru Minda yang tampan?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Ya, Lutung Kasarung akhirnya bisa menemukan Purbasari di hutan dan menjalin persahabatan yang akrab. Purbasari, walaupun putri bungsu, karena budi pekertinya baik, telah ditunjuk ayahnya Raja Tapa Agung menjadi calon penggantinya,” kata Kanjeng Adipati melanjutkan.
“Lutung Kasarung yang sakti itu suatu saat membuatkan bak mandi yang diisi dengan air yang diberi mantra. Ketika Purbasari mandi, seketika lenyaplah sihir yang ada padanya. Kulitnya dan wajahnya yang hitam akibat sihir kakaknya, Purbarangrang, langsung lenyap. Purbasari kembali menjelma menjadi gadis cantik jelita yang mengalahkan kecantikan Purbarangrang.
“Ketika Purbarangrang tahu adiknya telah kembali menjadi gadis yang cantik jelita, diutusnya Uwak Lengser untuk menjemput Purbasari kembali ke istana. Purbarangrang bersedia menyerahkan tahta Kerajaan Pasirbatang kepada Purbasari, bilamana Purbasari mampu memenangkan sejumlah perlombaan dengan dirinya. Akhirnya Purbasari datang ke istana di dampingi Lutung Kasarung dan Uwak Lengser,” kata Kanjeng Adipati pula.
“Dari semua perlombaan yang diadakan  di hadapan semua pejabat Kerajaan Pasirbatang, Purbasari selalu memenangkan setiap perlombaan. Akhirnya Purbarangrang menantang Purbasari untuk membandingkan siapa di antara mereka berdua yang punya calon suami paling tampan.
“Dalam perlombaan ketampanan, Purbarangrang memamerkan ketampanan calon suaminya sambil menunjuk kepada Indrajaya yang berdiri di sampingnya. Purbarangrang minta Purbasari menunjukkan yang manakah calon suaminya. Jika calon suami Purbasari lebih tampan dari Indrajaya, maka calon suami Purbasari  boleh mendampingi Purbasari menjadi Raja Kerajaan Pasirbatang, menggantikan Ayahanda Prabu Tapa Agung. Purbarangrang menantang Purbasari sambil melirik Lutung Kasarung yang berdiri di samping Purbasari.
“Tentu saja Purbasari kebingungan, karena dia memang belum punya calon suami. Tetapi Uwa Lengser yang berdiri mendampingi Purbasari, membisiki Purbasari agar jangan ragu-ragu mengatakan bahwa Lutung Kasarung yang telah menolongnya dari pengaruh sihir jahat Purbarangrang adalah calon suaminya. Maka sambil tersenyum Purbasari mengatakan bahwa memang Lutung Kasarung yang berdiri di sampingnya itulah calon suaminya. Purbasari berkata sambil memegang tangan Lutung Kasarung.”
“Mendengar ucapan itu, Purbarangrang langsung tertawa terbahak-bahak seraya memeluk Indrajaya, karena merasa telah menang dalam perlombaan. Tetapi betapa terkejutnya semua yang hadir, karena tiba-tiba Lutung Kasarung telah berubah menjadi Guru Minda, seorang pria jelmaan dewa yang tampan luar biasa. Purbarangrang langsung menyerah dengan berurai air mata kesedihan. Upacara prosesi pernikahan Guru Minda dengan Purbasari pun dilaksanakan tak lama kemudian. Akhirnya Guru Minda dan Purbasari dinobatkan menjadi Raja dan Permaisuri Kerajaan Pasirbatang”, kata Kanjeng Adipati Kandhadaha mengakhiri kisah lutung Kasarung.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar