Sementara itu, di dalam hutan Kamandaka
berunding dengan Rekajaya untuk mencari jalan keluar dari pengepungan.
Kamandaka sudah bertekad, bila memungkinkan menghindari adanya korban nyawa
dari para prajurit Pasirluhur yang mengepung dirinya. Sebab mereka para
prajurit itu sebenarnya hanyalah sekedar menjalankan perintah saja dari
pimpinannya.
“Kakang Rekajaya, tahu rumah Tumenggung Maresi
pemilik anjing pelacak ini?” tanya Kamandaka. Nama Tumenggung Maresi sudah
beberapa kali didengar Kamandaka lewat mulut Ngabehi Nitipraja saat terjadi
keributan di lapangan sabung ayam Desa Pangebatan kemarin siang.
“Tahu sekali, Raden. Tumenggung Maresi itu
kakak Lurah Karangjati, mantan suami Mbakyu hamba. Ya, dia itulah yang hamba
duga dulu membunuh Kakang Kertisara dengan cara yang licik. Kemudian mengambil
kembali harta milik Lurah Karangjati. Dia itulah yang membuat Mbakyu hamba
jatuh miskin.”
“Ya, sudahlah. Ada banyak tugas yang harus
Kakang laksanakan besok. Pertama, pagi-pagi benar potong saja anjing pelacak
itu. Ambil hatinya, jantungnya, darahnya, dan potong satu telinganya, bungkus
dengan daun pisang atau daun jati muda yang rapih. Sisanya kuburkan,” Kamandaka
memberi perintah.
“Kedua, Kakang harus keluar dari hutan ini
lewat jalur selatan, sambil membawa si Mercu dan si Lutung. Jika ketemu
prajurit pengepung, katakan bahwa Kakang adalah seorang pemburu yang akan
menjual lutung dan ayam ke pasar Pangebatan,” kata Kamandaka pula.
“Ketiga, Kakang sambil pulang ke Kaliwedi,
mampirlah ke rumah Tumenggung Maresi di Maresi. Berikan bungkusan hati,
jantung, darah, dan potongan daun telinga anjing pelacak. Katakan saja ada
titipan dari Tumenggung Maresi yang belum bisa pulang ke rumah,” Kamandaka
melanjutkan memberikan perintahnya yang harus dilakukan Rekajaya besok pagi.
Rekajaya mendengarkannya dengan tekun dan penuh perhatian.
“Tugas yang ke empat, pulang ke Kaliwedi,
tinggalkan si Mercu disana, Kakang berhias yang baik, pakailah pakaian yang
baik dan rapi. Kemudian berangkat ke Kadipaten Pasirluhur sambil membawa si
Lutung,” kata Kamandaka pula.
“Temui penjaga, katakan bahwa Kakang ingin
mempersembahkan si Lutung kepada Kanjeng Adipati Kandhadaha. Berusahalah untuk
menghadap. Tunjukkan kepandaian si Lutung di hadapan Kanjeng Adipati
Kandhadaha. Si Lutung akan menurut segala perintah Kakang dan siapa saja yang
sudah bersalaman dengannya. Usahakan Kanjeng Adipati menerima Kakang sebagai
abdi Kadipaten. Dapat dipastikan Kakang akan diterima dan dicarikan kamar untuk
menginap. Di sana banyak kamar kosong,” kata Kamandaka sambil menatap wajah
Rekajaya untuk memastikan bahwa perintah-perintahnya itu benar-benar dapat
dipahami Rekajaya.
“Terakhir, temui Khandegwilis dan katakan
bahwa Kakang sebenarnya utusanku untuk bisa menemui Dinda Dewi. Khandegwilis
pasti akan mengantarkan Kakang menghadapnya. Si Lutung juga akan aku beri
kalung pita kuning dari selendang milik Dinda Dewi yang diberikan padaku. Aku
yakin Dinda Dewi akan mengenalnya. Usahakan si Lutung bersalaman dengan Dinda
Dewi, agar Si Lutung akrab dengan Dinda Dewi. Bisa Kakang mengingat-ingat semua
perintahku?”
Rekajaya
mengangguk gembira sekali. Perintah yang sudah lama ditunggu-tunggu untuk bisa
bertemu dengan Khandegwilis akhirnya datang juga.
“Usahakan besok sore pesanku untuk Dinda Dewi
sudah diterima, sehingga aku harapkan malam itu atau paling tidak pagi harinya
Kanjeng Adipati Kandhadaha sudah mengetahui dari Dinda Dewi, siapa diriku yang
sebenarnya. Lusa barulah aku akan keluar dari hutan melayani tantangan Silihwarna yang sempat
tertunda,” kata Kamandaka sambil melepas selendang sutra yang melilit pinggangnya.
Luka akibat tikaman senjata Silihwarna telah berangsur-angsur pulih.
Sore itu Rekajaya
membuat pita kuning dari selendang sutra yang dipotongnya sedikit. Kemudian
Kamandaka memanggil si Lutung yang segera mendekat. Pita kuning buatan Rekajaya
dililitkan di leher si Lutung, sehingga membuatnya menjadi tampan. Si Lutung
pun senang dengan pita kuning itu. Bisa jadi karena aromanya yang menyegarkan.
Beberapa kali si Lutung meloncat-loncat, dan memutar-mutar karena gembira.
Pagi-pagi sekali, Rekajaya melaksanakan semua
rencana yang diperintahkan Kamandaka. Anjing Pelacak dengan mudah dipotongnya
dan langsung dikubur setelah diambil hati, jantung, daun telinga, dan darah
yang semuanya berhasil dibungkus dengan daun jati.
Prajurit pengepung kebetulan pada subuh pagi
itu tidak melakukan penjagaan yang ketat, sehingga Rekajaya dengan mudah bisa
lolos dari pengawasan. Lagi pula prajurit pengepung sisi timur dan selatan
adalah anak buah Tumenggung Maresi yang tidak sempat mengenal Rekajaya sehingga
mudah dikecoh. Bungkusan berisi darah, jantung, hati, dan potongan daun telinga
anjing berhasil diserahkan kepada seorang pembantu di rumah Tumenggung Maresi.
Akhirnya Rekajaya selamat sampai di rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi. Menjelang
siang hari, Rekajaya sudah berangkat ke Pasirluhur dengan membawa si Lutung
Kasarung.
****
Siang itu Adipati
Kandhadaha tengah santap siang bersama Kanjeng Ayu Adipati, istri tercintanya,
di beranda ruang makan. Sudah empat bulan lebih, sejak kejadian yang menghebohkan
itu, Sang Dewi tidak pernah mau santap siang maupun santap malam bersama Ayahandanya.
Padahal sebelum kejadian itu, setiap diminta datang untuk makan bersama, Sang
Dewi tidak pernah menolak.
Jika dipanggil untuk santap bersama ada-ada
saja alasan yang dicari-carinya, mulai dari sakit, tidak ada nafsu makan, masih
kenyang, dan seribu alasan lainnya. Terpaksa makanan pagi, siang, dan malam
diantar ke kamar Sang Dewi. Di samping itu, Sang Dewi juga mogok bicara dengan
Ayahandanya. Tetapi dengan Ibundanya, Kanjeng Ayu Adipati, Sang Dewi lebih
terbuka dan masih mau diajak bicara.
Tentu saja semua perubahan tingkah laku Sang
Dewi itu, membuat pusing dan sedih Ayahandanya. Hanya satu yang membuat Kanjeng
Adipati tetap bangga kepada putri kesayangannya, yaitu Sang Dewi masih terjaga
kesuciannya, sekalipun Kamandaka sempat hampir semalam suntuk berada dalam
kamar Sang Dewi. Kanjeng Adipati sendiri tidak tahu cara apakah yang harus
dilakukan agar putri kesayangannya itu kembali lincah, ceria, dan tidak
mengurung diri saja di dalam kamarnya. Satu-satunya teman bicara Sang Dewi hanyalah
Emban kesayangannya, Khandegwilis.
Usai santap siang, tiba-tiba petugas jaga di
gardu depan masuk dan memberitahu Kanjeng Adipati. Dilaporkannya bahwa ada
seorang laki-laki yang ingin mempersembahkan seekor monyet yang lucu kepada
Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati yang suka berburu dan penggemar binatang itu,
mempersilahkan tamunya datang menghadap di beranda ruang makan.
“Siapa namamu?” tanya Kanjeng Adipati pada
Rekajaya yang datang menghadap Kanjeng Adipati sambil membawa lutung yang
berbulu bagus itu.
“Nama hamba
Rekajaya, Kanjeng Adipati. Pekerjaan hamba menjual binatang buruan di pasar
hewan Pangebatan. Hamba gemar berburu, kebetulan hamba berhasil menangkap
seekor monyet lucu yang mau diperintah apa saja. Karena itu hamba menghadap
Kanjeng Adipati untuk menyerahkan monyet ini.”
Kanjeng Adipati langsung tersenyum gembira
mendengar maksud tamunya itu. Lebih-lebih saat melihat monyet yang besar,
bulunya bersih dan halus, di lehernya melilit sebuah pita kuning.
“Kebetulan sekali. Kemarin aku baru saja
berburu di hutan lereng Gunung Agung di hulu Sungai Logawa, ternyata hutan saat
itu sepi. Bahkan tupai, apa lagi monyet, tak kelihatan satu pun. Padahal
biasanya gampang sekali dilihat. Kemarin itu hari tersial dalam sejarah
berburuku. Sebab sebelumnya belum pernah aku berburu tanpa hasil. Kamu kan juga
pemburu, bisa kamu bayangkan betapa dongkolnya hatiku kemarin. Pulang berburu
dengan tangan kosong. Hem, monyet yang bagus. Apa keistimewaannya?” tanya
Kanjeng Adipati kepada Rekajaya yang duduk di lantai teras beranda ruang makan.
“Lutung, ayo salaman dengan Kanjeng Adipati,”
kata Rekajaya kepada si Lutung sambil menurunkan monyet itu di atas lantai. Si
Lutung segera mengangkat tangan kanannya ke dekat dahinya, menghormat Kanjeng
Adipati, lalu berjalan mendekatinya dan mengajaknya salaman. Kanjeng Adipati
menyambutnya dengan tertawa terkekeh-kekeh sambil bersalaman dengan si Lutung.
Seumur hidup Kanjeng Adipati belum
pernah melihat monyet secerdas itu.
“Ayo, dengan Kanjeng Ayu Adipati!” perintah
Rekajaya.
Si Lutung memandang Kanjeng Ayu Adipati yang
duduk di atas kursi di seberang meja makan, memberi hormat lalu membungkuk
sebentar.
“Monyet
cerdas!” puji Kanjeng Ayu Adipati mulai tertarik juga kepada si Lutung.
”Namanya siapa?”
Ditanya nama, si Lutung menunjuk kepada
Rekajaya supaya menjawab pertanyaan Kanjeng Ayu Adipati.
“Namanya Lutung Kasarung, Kanjeng Ayu
Adipati,” kata Rekajaya menjelaskan nama si Lutung.
“Wah, nama yang
bagus. Lutung Kasarung itu kera sakti lagi pintar, penjelmaan Guru Minda,
seorang Dewa Sakti dari kahyangan, putra Sunan Ambu. Tahu, Diajeng, kisah
legenda Lutung Kasarung?” tanya Kanjeng Adipati sambil berpaling pada Kanjeng
Ayu Adipati yang duduk di sampingnya. Kanjeng Ayu Adipati hanya menggeleng.
“Ceritera legenda rakyat yang terkenal di
Kerajaan Galuh,” kata Kanjeng Adipati, “Guru Minda adalah putra dari Sunan Ambu
yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri yang cantik jelita, Sunan Ambu. Akibatnya
Sunan Ambu marah, dan dikutuknya Guru Minda menjadi seekor lutung. Sunan Ambu lalu mengusir putranya itu dari
kahyangan sambil memberi petunjuk adanya seorang gadis yang wajahnya mirip
dirinya yang bernama Purbasari, putri bungsu Prabu Tapa Agung dari Kerajaan
Pasirbatang. Maka turunlah Guru Minda ke dunia tengah untuk menemui calon
istrinya Purbasari di tengah hutan tidak jauh dari Kerajaan Pasirbatang.
“Saat itu Purbasari sedang terkena sihir jahat
dari kakaknya Purbarangrang. Guru Minda dipesan oleh Sunan Ambu bahwa hanya
Guru Minda yang bisa mengembalikan kecantikan Purbasari. Dia juga diberi tahu
bahwa kutukan kepadanya akan lenyap, jika Purbasari mengatakan, bersedia menjadikan Guru Minda
yang berwujud lutung itu menjadi suaminya. Jika Purbasari mengatakan kata-kata
itu, maka kutukan Sunan Ambu akan hilang
dan Guru Minda akan kembali menjadi
seorang ksatria jelmaan dewa yang gagah dan tampan. Calon suami Purbasari itu diberi nama oleh
Sunan Ambu, Lutung Kasarung.”
Ketika Kanjeng Adipati menceriterakan kisah
legenda rakyat Galuh itu, Kanjeng Ayu Adipati mendengarkannya dengan penuh
perhatian.
“Bagaimana Lutung Kasarung kembali menjadi
Guru Minda yang tampan?” tanya Kanjeng Ayu Adipati.
“Ya, Lutung Kasarung akhirnya bisa menemukan
Purbasari di hutan dan menjalin persahabatan yang akrab. Purbasari, walaupun
putri bungsu, karena budi pekertinya baik, telah ditunjuk ayahnya Raja Tapa
Agung menjadi calon penggantinya,” kata Kanjeng Adipati melanjutkan.
“Lutung Kasarung yang sakti itu suatu saat membuatkan
bak mandi yang diisi dengan air yang diberi mantra. Ketika Purbasari mandi,
seketika lenyaplah sihir yang ada padanya. Kulitnya dan wajahnya yang hitam
akibat sihir kakaknya, Purbarangrang, langsung lenyap. Purbasari kembali
menjelma menjadi gadis cantik jelita yang mengalahkan kecantikan Purbarangrang.
“Ketika Purbarangrang tahu adiknya telah
kembali menjadi gadis yang cantik jelita, diutusnya Uwak Lengser untuk
menjemput Purbasari kembali ke istana. Purbarangrang bersedia menyerahkan tahta
Kerajaan Pasirbatang kepada Purbasari, bilamana Purbasari mampu memenangkan
sejumlah perlombaan dengan dirinya. Akhirnya Purbasari datang ke istana di
dampingi Lutung Kasarung dan Uwak Lengser,” kata Kanjeng Adipati pula.
“Dari semua perlombaan yang diadakan di hadapan semua pejabat Kerajaan Pasirbatang,
Purbasari selalu memenangkan setiap perlombaan. Akhirnya Purbarangrang
menantang Purbasari untuk membandingkan siapa di antara mereka berdua yang
punya calon suami paling tampan.
“Dalam perlombaan ketampanan, Purbarangrang
memamerkan ketampanan calon suaminya sambil menunjuk kepada Indrajaya yang
berdiri di sampingnya. Purbarangrang minta Purbasari menunjukkan yang manakah calon
suaminya. Jika calon suami Purbasari lebih tampan dari Indrajaya, maka calon
suami Purbasari boleh mendampingi
Purbasari menjadi Raja Kerajaan Pasirbatang, menggantikan Ayahanda Prabu Tapa
Agung. Purbarangrang menantang Purbasari sambil melirik Lutung Kasarung yang
berdiri di samping Purbasari.
“Tentu saja Purbasari kebingungan, karena dia
memang belum punya calon suami. Tetapi Uwa Lengser yang berdiri mendampingi
Purbasari, membisiki Purbasari agar jangan ragu-ragu mengatakan bahwa Lutung
Kasarung yang telah menolongnya dari pengaruh sihir jahat Purbarangrang adalah
calon suaminya. Maka sambil tersenyum Purbasari mengatakan bahwa memang Lutung
Kasarung yang berdiri di sampingnya itulah calon suaminya. Purbasari berkata
sambil memegang tangan Lutung Kasarung.”
“Mendengar ucapan itu, Purbarangrang langsung
tertawa terbahak-bahak seraya memeluk Indrajaya, karena merasa telah menang
dalam perlombaan. Tetapi betapa terkejutnya semua yang hadir, karena tiba-tiba
Lutung Kasarung telah berubah menjadi Guru Minda, seorang pria jelmaan dewa
yang tampan luar biasa. Purbarangrang langsung menyerah dengan berurai air mata
kesedihan. Upacara prosesi pernikahan Guru Minda dengan Purbasari pun
dilaksanakan tak lama kemudian. Akhirnya Guru Minda dan Purbasari dinobatkan
menjadi Raja dan Permaisuri Kerajaan Pasirbatang”, kata Kanjeng Adipati
Kandhadaha mengakhiri kisah lutung Kasarung.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar