“Huss!
Ntar didengar Tumenggung Silihwarna, lho. Dia kan adik ipar sepupu Sang Dewi
juga, bukan? Eh, tapi bisa jadi, ya. Bukankah
kejadiannya lebih empat bulan yang lalu ?” kata lelaki kurus temannya itu.
“Kasihan juga kalau benar hamil, ya?”
“Ya, tapi salah Sang Dewi juga sih. Entah
sudah berapa malam waktu itu Si Kamandaka berhasil menidurinya di taman
keputren yang sepi itu,” kata Si Kurus pula.
“Apa kira-kira langkah yang akan diambil
Kanjeng Adipati, bila benar Sang Dewi hamil dengan paleka itu?” tanya Si Gemuk
penasaran.
“Ya, bisa saja Sang Dewi diusir dari
Kadipaten, seperti kisah Gadis Kutaliman,” jawab Si Kurus.
“Ah, kukira Kanjeng Ayu Adipati akan
menghalang-halangi pengusiran dari Kadipaten. Lagi pula Kanjeng Adipati takut
sama Kanjeng Ayu Adipati. Kalau sudah begitu, bagaimana cara menutup aib
kadipaten, ya ?” tanya Si Gemuk.
“Kamu ini senangnya beranda-andai. Hamil atau
tidak hamil, yang jelas Raden Wirapati akhir-akhir ini sering berkunjung ke
Kadipaten Pasirluhur. Bisa jadi tidak lama lagi akan ada pesta pernikahan Raden
Wirapati dengan Sang Dewi,” tukas Si
Kurus.
“Oh, iya? Maksudmu Raden Wirapati gigih mengejar cinta Sang
Dewi? Wah, asyik kalau begitu. Banyak tontonan dan rakyat akan terhibur juga,
ya?”
“Ya, kita tunggu saja berita yang
menggembirakan itu, ” kata Si Kurus dengan wajah berseri-seri, sekan-akan yakin
benar dengan apa yang diketahuinya itu.
Mendengar semua pembicaraan tadi, tiba-tiba Ki
Sulap Pangebatan langsung pucat pasi wajahnya. Dia menjadi gelisah mendengar
berita gosip Sang Dewi yang belum tentu benar itu.
Untunglah
kentongan ke dua dibunyikan dan wasit pertandingan
sudah berdiri lagi. Kembali tepuk tangan terdengar mengawali babak pertama
pertandingan antara kedua jawara ayam jago aduan itu. Untuk sesaat Kamandaka
melupakan berita gosip Sang Dewi yang baru saja didengarnya.
“Silahkan Ki Sulap Pangebatan menurunkan si
Mercu ke tengah gelanggang!” perintah Si Wasit pada Ki Sulap Pangebatan.
Rekajaya menyerahkan si Mercu kepada Ki Sulap
Pangebatan untuk dilepaskan ke tengah gelanggang. Ki Sulap Pangebatan berdiri
kemudian memegang si Mercu yang terus menerus berkokok, karena melihat si
Gelapngampar.
“Inilah si Mercu, jawara tak terkalahkan.
Pikirkanlah, permainan judi sabung ayam adalah permainan yang tidak sehat.
Lawanlah si Mercu jika berani. Tetapi jangan menyesal kalau dua bau sawah akan
berganti pemilik begitu si Mercu menang. Hai, Mercu lumpuhkan musuhmu secepatnya, ya!” pesan Ki
Sulap Pangebatan pada si Mercu sambil melepaskannya ke tengah gelanggang. Begitu
tiba di tengah gelanggang si Mercu langsung berputar-putar, lalu mengembangkan
sayapnya dan berkokok dengan gagahnya.
“Silahkan Ndara Tumenggung Silihwarna,
lepaskan si Gelapngampar ke tengah gelanggang!” pinta Si Wasit pada Tumenggung
Silihwarna.
Tanpa banyak bicara, Tumenggung Silihwarna
menerima si Gelapngampar dari Ngabehi Nitipraja. Kemudin si Gelapngampar yang
terus menggelinjang karena ingin secepatnya turun ke gelanggang segera dilepaskan
Tumenggung Silihwarna.
Kini kedua jawara itu berhadap-hadapan di
tengah gelanggang. Paruh mereka saling berhadap-hadapan, mata keduanya melotot
sebesar-besarnya seakan-akan mau meloncat keluar dan bulu-bulu di leher mereka
mengembang sangat indah. Si Gelapngampar mendahului menyerang dengan cara meloncat
ke udara. Tetapi si Mercu tak mau mengalah, menyusul meloncat tetapi dengan
tenaga yang lebih keras. Akibatnya keduanya bertabrakan di udara. Karena tenaga
loncatan si Mercu lebih keras, si Gelap Ngampar terdorong ke belakang dan tiba
di tanah sedikit limbung. Sedang si Mercu tiba di tanah dengan kaki tegak.
Melihat lawannya sedikit limbung, si Mercu tak
mau melepaskan kesempatan yang ada. Dia cepat meloncat dan memukulkan taji kaki
kanannya mengarah ke kepala si Gelapngampar yang baru saja mau berdiri tegak.
Si Gelapngampar terlambat sepersekian detik untuk menundukkan kepalanya. Taji
kaki kanan si Mercu yang tajam dan sudah sering memakan korban itu, kali ini
menemui lagi korbanya. Taji itu langsung menusuk mata kiri si Gelapngampar.
Akibatnya si Gelapngampar jatuh terhuyung-huyung. Pandangan matanya sudah tidak
awas lagi.
Seakan-akan tidak mau kehilangan kesempatan,
kembali si Mercu meloncat dengan menggunakan taji kaki kirinya untuk memukul
sisi kanan kepala si Gelapngampar. Si Gelapngampar yang sudah terluka pada
ronde pertama itu, tak punya kesempatan untuk menghindar. Kembali taji kaki
kiri si Mercu mengenai korbannya. Taji yang tajam dan rucing itu bukan hanya
menusuk mata kanan. Tetapi juga merobek kepala si Gelapngampar. Badan si
Gelapngampar langsung tumbang mencium tanah. Setelah menggelepar-gelepar sebentar,
kemudian diam untuk selama-lamanya. Si Gelapngampar
tewas pada ronde pertama.
Si Mercu berdiri dengan gagah di tengah
gelanggang sambil berkokok berulang-ulang mengajak penonton ikut merayakan
kemenangannya. Penonton tertegun dan terkagum-kagum, sampai-sampai terlambat
memberikan tepuk tangan untuk merayakan kemengangan si Mercu, jawara gelanggang
sabung ayam yang tak terkalahkan itu.
Karena gembira si Mercu berhasil menaklukan
lawannya dalam waktu begitu cepat, Ki Sulap Pangebatan meluapkan kegembiraannya
dengan meloncat ke tengah gelanggang untuk menangkap si Mercu. Diangkatnya
tinggi-tinggi si Mercu dengan ke dua tangannya sebagai suatu ungkapan
kegembiraan, sampai-sampai Ki Sulap Pangebatan lupa. Dia lupa dan tidak sadar
ketika kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi itu, lambung kanannya terbuka dan selendang sutra kuning yang melilit
pinggangnya terlihat oleh Tumenggung Silihwarna.
Seakan tidak ingin melewatkan kesempatan yang
sesungguhnya sangat ditunggu-tunggu itu, ketika melihat lambung kanan Kamandaka
terbuka, Tumenggung Silihwarna langsung mencabut senjata Kujang Kancana Shakti
yang terselip di pinggang kirinya. Kemudian secepat kilat dia melakukan
loncatan harimau ke arah Kamandaka. Tumenggung Silihwarna berusaha menikam
lambung Kamandaka yang terbuka itu dengan menggunakan senjata kujang yang ada
dalam genggaman tangan kanannya.
Untunglah Kamandaka cepat menyadari bahaya
yang mengancam dirinya. Dia sadar adanya serangan jurus loncatan harimau yang
sudah dikenalnya itu, sehingga memudahkan Kamandaka meloloskan diri dari maut
yang mengintainya. Kamandaka secepatnya
melemparkan dirinya ke arah kiri dengan menggunakan loncatan jurus harimau
juga, sehingga si Mercu yang ada ditangannya terlepas, dan kaki kanannya
menendang secara tidak sengaja tempat duduknya yang lansung terlempar jatuh ke
arah kanan.
Sayang sekali Ujung senjata kujang Tumenggung
Silihwarna sempat merobek lambung kanan Kamandaka. Darah pun menetes sehingga lambung kanannya yang terluka itu terasa perih. Kamandaka cepat
berdiri tegak di atas kuda-kudanya mendahului Tumenggung Silihwarna yang baru
saja mau berdiri akibat loncatan salto yang dilakukannya. Menyadari dirinya
terluka, Kamandaka cepat merubah jurus pilihannya untuk melawan jurus harimau.
Pilihannya adalah jurus monyet menari yang hanya mengandalkan dua kaki dan satu
tangan, sehingga tangan yang lain dapat digunakan untuk menekan luka yang
terjadi di lambung kanan Kamandaka.
Secepat kilat Kamandaka membuat loncatan
dengan membuat putaran yang indah bagaikan monyet yang tengah menari di udara melewati
Tumenggung Silihwarna yang belum sempat menyelesaikan posisi kuda-kuda kedua
kakinya. Tahu-tahu Kamandaka sudah berdiri di belakangnya. Kamandaka sempat melihat
tengkuk Tumenggung Silahwarna yang terbuka. Tanpa membuang kesempatan Kamandaka
melepaskan pukulan tapak tangan kanannya secepat kilat dibarengi dengan melepaskan
tenaga dalam yang berhasil dihimpunnya. Sisi tapak tangan Kamandaka tanpa ampun
tepat menghajar tengkuk Tumenggung Silihwarna yang dirasakannya bagaikan
sambaran petir yang memecahkan kepalanya. Tumenggung Silihwarna langsung terjatuh
ke tanah, pingsan seketika, dan tak berkutik sama sekali. Senjata kujang yang
ada ditangannya terlempar sampai beberapa meter. Sayang sekali Kamandaka tidak
sempat melihat arah jatuhnya senjata kujang yang sesungguhnya mirip benar
dengan pusaka Kujang Kancana Shakti yang juga terselip di pinggangnya.
Dalam waktu singkat gelanggang adu ayam itu
kacau balau, karena dari gelanggang sabung ayam berubah menjadi gelanggang ajang
perkelahian antara dua kstaria yang sesungguhnya nyaris kembar itu. Penonton
yang semula tidak tahu, siapa sebenarnya Ki Sulap Pangebatan, langsung menjadi
tahu. Mereka tahu, karena Ngabehi Nitipraja memberi perintah kepada prajurit
Kadipaten Pasirluhur. Sebagian diperintah mengepung Kamandaka, sebagian yang
lain diperintah melaporkan peristiwa itu kepada Tumenggung Maresi yang sedang
bertugas jaga di Kadipaten Pasirluhur.
Penonton yang ketakutan terheran-heran. Mereka
baru tahu siapa Ki Sulap Pangebatan. Ternyata Ki Sulap adalah Kamandaka yang sedang menyamar. Para
penonton segera bubar berlari-larian kian kemari. Sebagian besar menjauhi
tempat perkelahaian. Apa lagi Ngabehi Nitipraja menyuruh penonton menjauhi dua
orang yang sedang duel mengadu nyawa itu.
Ngabehi Nitipraja sangat terkejut saat menyaksikan
Tumenggung Silihwarna terkapar tak bergerak di atas tanah hanya dalam satu kali
serangan saja. Ngabehi Nitipraja menduga Tumenggung Silihwarna tewas. Sejumlah
prajurit Kadipaten Pasirluhur yang menyamar sebagai penonton segera memberikan
pertolongan kepada Tumenggung Silihwarna yang tengah pingsan itu. Sedangkan
prajurit lainnya lagi mengiringi Ngabehi Nitipraja bergerak mendekati Kamandaka
untuk menangkapnya.
Sadar akan bahaya dikeroyok ramai-rami,
Kamandaka secepat kilat mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di
pinggang kirinya. Melihat Kamandaka mengeluarkan senjatanya, nyali Ngabehi
Nitipraja langsung ciut. Dia tidak mengira Kamandaka datang ke tempat
gelanggang sabung ayam dengan membawa senjata yang disembunyikannya di balik
baju surjannya. Tetapi segalanya sudah terlambat. Ngabehi Nitipraja sudah
terlanjur maju mendekati Kamandaka yang sudah menghunus pusaka kujang.
Ngabehi Nitipraja tidak mungkin mundur dan
melarikan diri. Jika itu terjadi, pastilah tingkah Ngabehi Nitipraja bisa jadi
bahan tertawaan sebagian penduduk yang masih berkerumun menyaksikan duel maut
itu. Ngabehi Nitipraja terpaksa berdiri
diam sambil memasang kuda-kuda dengan tangan kosong hendak melawan
Kamandaka. Bagi Kamandaka tak ada jalan lain, kecuali menyerang Ngabehi
Nitipraja hingga tewas. Sebab, hanya dengan menewaskan Ngabehi Nitipraja maka
puluhan prajurit yang mengepungnya itu akan takut menyerang dirinya. Kamandaka
ingin menyelesaikan pertarungan itu secepatnya, ketika luka di lambung kanannya
terus meneteskan darah merah.
Tanpa berpikir panjang, Kamandaka meloncat
mendekat Ngabehi Nitipraja yang hanya berdiri beberapa langkah di depannya.
Dengan gerakan secepat kilat Kamandaka menikamkan kujangnya ke arah ulu hati
Ngabehi Nitipraja yang gagal dilindungi dengan kedua tangannya. Senjata kujang
lolos menerobos kedua tangan Ngabehi Nitipraja yang berusaha melindungi dan
menangkisnya. Ujung kujang tepat bersarang di ulu hati Ngabehi Nitipraja yang
memiliki dada bidang itu
“Uh!!!”
terdengar suara Ngabehi Nitipraja mendesis. Kemudian tubuh yang tinggi
besar itu terhuyung-huyung jatuh ke tanah dan tewas seketika. Dadanya bersimbah
darah merah yang keluar dari bekas tikaman kujang.
Kini Kamandaka berdiri dengan memutar-mutarkan
senjata kujang di tangannya sehingga bagaikan baling-baling yang berkilat-kilat
jika tertimpa cahaya matahari. Tentu saja tak ada seorang pun yang berani
mendekat. Kamandaka lalu mengeluarkan ancaman kepada para prajurit yang
mengepungnya.
“Beri aku jalan keluar meninggalkan tempat
ini! Atau aku bunuh kalian semua?” kata Kamandaka seraya menunjukkan jalan yang
harus ditinggalkan oleh para pengepungnya. Prajurit pengepung yang ditunjuk tanpa
banyak bicara cepat-cepat menyingkir ketakutan sambil membukakan jalan bagi
Kamandaka keluar dari kepungan.
Kamandaka bergegas meninggalkan tanah lapang
Desa Pangebatan diiringi Rekajaya yang berjalan mengikutinya sambil membawa si
Mercu. Kamandaka berjalan ke arah hulu Sungai Logawa menuju timur laut. Dari
kejauhan tampak sejumlah prajurit Kadipaten Pasirluhur mengikutinya sekedar
untuk mengetahui kemana Kamandaka akan pergi sambil menunggu bantuan tambahan
prajurit dari Kadipaten Pasirluhur yang bersenjata lengkap.
Kamandaka berpikir tidak akan pulang ke
Kaliwedi, sebab khawatir akan terjadi bentrok antara penduduk Kaliwedi yang
setia kepada dirinya dengan prajurit Kadipaten Pasirluhur yang akan
menangkapnya. Matahari sudah bergerak menuruni puncak langit, ketika Kamandaka
dan Rekajaya sampai di sebuah hutan kecil yang ada di sisi barat Sungai
Banjaran. Mereka berdua cepat masuk ke
dalam hutan, mencari tempat yang rindang dan teduh, lalu beristirahat untuk
mengobati lambung kanan Kamandaka yang terluka dan masih mengeluarkan darah. Si
Mercu dilepaskan di padang rumput untuk mencari sendiri makanan di sela-sela
tanaman perdu yang banyak tumbuh di situ.
“Kakang Rekajaya, tahu tidak tentang daun-daun
atau batang tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengobati luka?” tanya
Kamandaka sambil menekan luka di lambung kanannya agar darah tidak terus
menetes. Mereka berdua duduk di atas rumput hijau yang tumbuh di bawah pohon
pinus.(bersambung)
Silakan Kunjungi Artikel Tajen Online
BalasHapusKehebatan Buah Pisang Untuk Ayam Bangkok Aduan
Manfaat Tomat Untuk Ayam Bangkok
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995