Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 03 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(39)





 “Huss! Ntar didengar Tumenggung Silihwarna, lho. Dia kan adik ipar sepupu Sang Dewi juga, bukan? Eh, tapi bisa jadi, ya. Bukankah  kejadiannya lebih empat bulan yang lalu ?” kata lelaki kurus  temannya itu.
“Kasihan juga kalau benar hamil, ya?”
“Ya, tapi salah Sang Dewi juga sih. Entah sudah berapa malam waktu itu Si Kamandaka berhasil menidurinya di taman keputren yang sepi itu,” kata Si Kurus pula.
“Apa kira-kira langkah yang akan diambil Kanjeng Adipati, bila benar Sang Dewi hamil dengan paleka itu?” tanya Si Gemuk penasaran.
“Ya, bisa saja Sang Dewi diusir dari Kadipaten, seperti kisah Gadis Kutaliman,” jawab Si Kurus.
“Ah, kukira Kanjeng Ayu Adipati akan menghalang-halangi pengusiran dari Kadipaten. Lagi pula Kanjeng Adipati takut sama Kanjeng Ayu Adipati. Kalau sudah begitu, bagaimana cara menutup aib kadipaten, ya ?” tanya Si Gemuk.
“Kamu ini senangnya beranda-andai. Hamil atau tidak hamil, yang jelas Raden Wirapati akhir-akhir ini sering berkunjung ke Kadipaten Pasirluhur. Bisa jadi tidak lama lagi akan ada pesta pernikahan Raden Wirapati dengan Sang Dewi,” tukas Si  Kurus.
“Oh, iya? Maksudmu  Raden Wirapati gigih mengejar cinta Sang Dewi? Wah, asyik kalau begitu. Banyak tontonan dan rakyat akan terhibur juga, ya?”
“Ya, kita tunggu saja berita yang menggembirakan itu, ” kata Si Kurus dengan wajah berseri-seri, sekan-akan yakin benar dengan apa yang diketahuinya itu.
Mendengar semua pembicaraan tadi, tiba-tiba Ki Sulap Pangebatan langsung pucat pasi wajahnya. Dia menjadi gelisah mendengar berita gosip Sang Dewi yang belum tentu benar itu.
Untunglah kentongan ke dua dibunyikan dan  wasit pertandingan sudah berdiri lagi. Kembali tepuk tangan terdengar mengawali babak pertama pertandingan antara kedua jawara ayam jago aduan itu. Untuk sesaat Kamandaka melupakan berita gosip Sang Dewi yang baru saja didengarnya.
“Silahkan Ki Sulap Pangebatan menurunkan si Mercu ke tengah gelanggang!” perintah Si Wasit pada Ki Sulap Pangebatan.
Rekajaya menyerahkan si Mercu kepada Ki Sulap Pangebatan untuk dilepaskan ke tengah gelanggang. Ki Sulap Pangebatan berdiri kemudian memegang si Mercu yang terus menerus berkokok, karena melihat si Gelapngampar.
“Inilah si Mercu, jawara tak terkalahkan. Pikirkanlah, permainan judi sabung ayam adalah permainan yang tidak sehat. Lawanlah si Mercu jika berani. Tetapi jangan menyesal kalau dua bau sawah akan berganti pemilik begitu si Mercu menang. Hai, Mercu  lumpuhkan musuhmu secepatnya, ya!” pesan Ki Sulap Pangebatan pada si Mercu sambil melepaskannya ke tengah gelanggang. Begitu tiba di tengah gelanggang si Mercu langsung berputar-putar, lalu mengembangkan sayapnya dan berkokok dengan gagahnya.
“Silahkan Ndara Tumenggung Silihwarna, lepaskan si Gelapngampar ke tengah gelanggang!” pinta Si Wasit pada Tumenggung Silihwarna.
Tanpa banyak bicara, Tumenggung Silihwarna menerima si Gelapngampar dari Ngabehi Nitipraja. Kemudin si Gelapngampar yang terus menggelinjang karena ingin secepatnya turun ke gelanggang segera dilepaskan Tumenggung Silihwarna.
Kini kedua jawara itu berhadap-hadapan di tengah gelanggang. Paruh mereka saling berhadap-hadapan, mata keduanya melotot sebesar-besarnya seakan-akan mau meloncat keluar dan bulu-bulu di leher mereka mengembang sangat indah. Si Gelapngampar mendahului menyerang dengan cara meloncat ke udara. Tetapi si Mercu tak mau mengalah, menyusul meloncat tetapi dengan tenaga yang lebih keras. Akibatnya keduanya bertabrakan di udara. Karena tenaga loncatan si Mercu lebih keras, si Gelap Ngampar terdorong ke belakang dan tiba di tanah sedikit limbung. Sedang si Mercu tiba di tanah dengan kaki tegak.
Melihat lawannya sedikit limbung, si Mercu tak mau melepaskan kesempatan yang ada. Dia cepat meloncat dan memukulkan taji kaki kanannya mengarah ke kepala si Gelapngampar yang baru saja mau berdiri tegak. Si Gelapngampar terlambat sepersekian detik untuk menundukkan kepalanya. Taji kaki kanan si Mercu yang tajam dan sudah sering memakan korban itu, kali ini menemui lagi korbanya. Taji itu langsung menusuk mata kiri si Gelapngampar. Akibatnya si Gelapngampar jatuh terhuyung-huyung. Pandangan matanya sudah tidak awas lagi.
Seakan-akan tidak mau kehilangan kesempatan, kembali si Mercu meloncat dengan menggunakan taji kaki kirinya untuk memukul sisi kanan kepala si Gelapngampar. Si Gelapngampar yang sudah terluka pada ronde pertama itu, tak punya kesempatan untuk menghindar. Kembali taji kaki kiri si Mercu mengenai korbannya. Taji yang tajam dan rucing itu bukan hanya menusuk mata kanan. Tetapi juga merobek kepala si Gelapngampar. Badan si Gelapngampar langsung tumbang mencium tanah. Setelah menggelepar-gelepar sebentar, kemudian diam untuk selama-lamanya.  Si Gelapngampar tewas pada ronde pertama.
Si Mercu berdiri dengan gagah di tengah gelanggang sambil berkokok berulang-ulang mengajak penonton ikut merayakan kemenangannya. Penonton tertegun dan terkagum-kagum, sampai-sampai terlambat memberikan tepuk tangan untuk merayakan kemengangan si Mercu, jawara gelanggang sabung ayam yang  tak terkalahkan itu.
Karena gembira si Mercu berhasil menaklukan lawannya dalam waktu begitu cepat, Ki Sulap Pangebatan meluapkan kegembiraannya dengan meloncat ke tengah gelanggang untuk menangkap si Mercu. Diangkatnya tinggi-tinggi si Mercu dengan ke dua tangannya sebagai suatu ungkapan kegembiraan, sampai-sampai Ki Sulap Pangebatan lupa. Dia lupa dan tidak sadar ketika kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi itu,  lambung kanannya terbuka dan  selendang sutra kuning yang melilit pinggangnya terlihat oleh Tumenggung Silihwarna.
Seakan tidak ingin melewatkan kesempatan yang sesungguhnya sangat ditunggu-tunggu itu, ketika melihat lambung kanan Kamandaka terbuka, Tumenggung Silihwarna langsung mencabut senjata Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggang kirinya. Kemudian secepat kilat dia melakukan loncatan harimau ke arah Kamandaka. Tumenggung Silihwarna berusaha menikam lambung Kamandaka yang terbuka itu dengan menggunakan senjata kujang yang ada dalam genggaman tangan kanannya.
Untunglah Kamandaka cepat menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Dia sadar adanya serangan jurus loncatan harimau yang sudah dikenalnya itu, sehingga memudahkan Kamandaka meloloskan diri dari maut yang mengintainya. Kamandaka  secepatnya melemparkan dirinya ke arah kiri dengan menggunakan loncatan jurus harimau juga, sehingga si Mercu yang ada ditangannya terlepas, dan kaki kanannya menendang secara tidak sengaja tempat duduknya yang lansung terlempar jatuh ke arah kanan.
Sayang sekali Ujung senjata kujang Tumenggung Silihwarna sempat merobek lambung kanan Kamandaka. Darah pun menetes  sehingga lambung kanannya yang  terluka itu terasa perih. Kamandaka cepat berdiri tegak di atas kuda-kudanya mendahului Tumenggung Silihwarna yang baru saja mau berdiri akibat loncatan salto yang dilakukannya. Menyadari dirinya terluka, Kamandaka cepat merubah jurus pilihannya untuk melawan jurus harimau. Pilihannya adalah jurus monyet menari yang hanya mengandalkan dua kaki dan satu tangan, sehingga tangan yang lain dapat digunakan untuk menekan luka yang terjadi di lambung kanan Kamandaka.
Secepat kilat Kamandaka membuat loncatan dengan membuat putaran yang indah bagaikan monyet yang tengah menari di udara melewati Tumenggung Silihwarna yang belum sempat menyelesaikan posisi kuda-kuda kedua kakinya. Tahu-tahu Kamandaka sudah berdiri di belakangnya. Kamandaka sempat melihat tengkuk Tumenggung Silahwarna yang terbuka. Tanpa membuang kesempatan Kamandaka melepaskan pukulan tapak tangan kanannya secepat kilat dibarengi dengan melepaskan tenaga dalam yang berhasil dihimpunnya. Sisi tapak tangan Kamandaka tanpa ampun tepat menghajar tengkuk Tumenggung Silihwarna yang dirasakannya bagaikan sambaran petir yang memecahkan kepalanya. Tumenggung Silihwarna langsung terjatuh ke tanah, pingsan seketika, dan tak berkutik sama sekali. Senjata kujang yang ada ditangannya terlempar sampai beberapa meter. Sayang sekali Kamandaka tidak sempat melihat arah jatuhnya senjata kujang yang sesungguhnya mirip benar dengan pusaka Kujang Kancana Shakti yang juga terselip di pinggangnya.
Dalam waktu singkat gelanggang adu ayam itu kacau balau, karena dari gelanggang sabung ayam berubah menjadi gelanggang ajang perkelahian antara dua kstaria yang sesungguhnya nyaris kembar itu. Penonton yang semula tidak tahu, siapa sebenarnya Ki Sulap Pangebatan, langsung menjadi tahu. Mereka tahu, karena Ngabehi Nitipraja memberi perintah kepada prajurit Kadipaten Pasirluhur. Sebagian diperintah mengepung Kamandaka, sebagian yang lain diperintah melaporkan peristiwa itu kepada Tumenggung Maresi yang sedang bertugas jaga di Kadipaten Pasirluhur.
Penonton yang ketakutan terheran-heran. Mereka baru tahu siapa Ki Sulap Pangebatan. Ternyata Ki Sulap  adalah Kamandaka yang sedang menyamar. Para penonton segera bubar berlari-larian kian kemari. Sebagian besar menjauhi tempat perkelahaian. Apa lagi Ngabehi Nitipraja menyuruh penonton menjauhi dua orang yang sedang duel mengadu nyawa itu.
Ngabehi Nitipraja sangat terkejut saat menyaksikan Tumenggung Silihwarna terkapar tak bergerak di atas tanah hanya dalam satu kali serangan saja. Ngabehi Nitipraja menduga Tumenggung Silihwarna tewas. Sejumlah prajurit Kadipaten Pasirluhur yang menyamar sebagai penonton segera memberikan pertolongan kepada Tumenggung Silihwarna yang tengah pingsan itu. Sedangkan prajurit lainnya lagi mengiringi Ngabehi Nitipraja bergerak mendekati Kamandaka untuk menangkapnya.
Sadar akan bahaya dikeroyok ramai-rami, Kamandaka secepat kilat mencabut pusaka Kujang Kancana Shakti yang terselip di pinggang kirinya. Melihat Kamandaka mengeluarkan senjatanya, nyali Ngabehi Nitipraja langsung ciut. Dia tidak mengira Kamandaka datang ke tempat gelanggang sabung ayam dengan membawa senjata yang disembunyikannya di balik baju surjannya. Tetapi segalanya sudah terlambat. Ngabehi Nitipraja sudah terlanjur maju mendekati Kamandaka yang sudah menghunus pusaka kujang.
Ngabehi Nitipraja tidak mungkin mundur dan melarikan diri. Jika itu terjadi, pastilah tingkah Ngabehi Nitipraja bisa jadi bahan tertawaan sebagian penduduk yang masih berkerumun menyaksikan duel maut itu. Ngabehi Nitipraja terpaksa berdiri  diam sambil memasang kuda-kuda dengan tangan kosong hendak melawan Kamandaka. Bagi Kamandaka tak ada jalan lain, kecuali menyerang Ngabehi Nitipraja hingga tewas. Sebab, hanya dengan menewaskan Ngabehi Nitipraja maka puluhan prajurit yang mengepungnya itu akan takut menyerang dirinya. Kamandaka ingin menyelesaikan pertarungan itu secepatnya, ketika luka di lambung kanannya terus meneteskan darah merah.
Tanpa berpikir panjang, Kamandaka meloncat mendekat Ngabehi Nitipraja yang hanya berdiri beberapa langkah di depannya. Dengan gerakan secepat kilat Kamandaka menikamkan kujangnya ke arah ulu hati Ngabehi Nitipraja yang gagal dilindungi dengan kedua tangannya. Senjata kujang lolos menerobos kedua tangan Ngabehi Nitipraja yang berusaha melindungi dan menangkisnya. Ujung kujang tepat bersarang di ulu hati Ngabehi Nitipraja yang memiliki dada bidang itu
“Uh!!!”  terdengar suara Ngabehi Nitipraja mendesis. Kemudian tubuh yang tinggi besar itu terhuyung-huyung jatuh ke tanah dan tewas seketika. Dadanya bersimbah darah merah yang keluar dari bekas tikaman kujang.
Kini Kamandaka berdiri dengan memutar-mutarkan senjata kujang di tangannya sehingga bagaikan baling-baling yang berkilat-kilat jika tertimpa cahaya matahari. Tentu saja tak ada seorang pun yang berani mendekat. Kamandaka lalu mengeluarkan ancaman kepada para prajurit yang mengepungnya.
“Beri aku jalan keluar meninggalkan tempat ini! Atau aku bunuh kalian semua?” kata Kamandaka seraya menunjukkan jalan yang harus ditinggalkan oleh para pengepungnya. Prajurit pengepung yang ditunjuk tanpa banyak bicara cepat-cepat menyingkir ketakutan sambil membukakan jalan bagi Kamandaka keluar dari kepungan.
Kamandaka bergegas meninggalkan tanah lapang Desa Pangebatan diiringi Rekajaya yang berjalan mengikutinya sambil membawa si Mercu. Kamandaka berjalan ke arah hulu Sungai Logawa menuju timur laut. Dari kejauhan tampak sejumlah prajurit Kadipaten Pasirluhur mengikutinya sekedar untuk mengetahui kemana Kamandaka akan pergi sambil menunggu bantuan tambahan prajurit dari Kadipaten Pasirluhur yang bersenjata lengkap.
Kamandaka berpikir tidak akan pulang ke Kaliwedi, sebab khawatir akan terjadi bentrok antara penduduk Kaliwedi yang setia kepada dirinya dengan prajurit Kadipaten Pasirluhur yang akan menangkapnya. Matahari sudah bergerak menuruni puncak langit, ketika Kamandaka dan Rekajaya sampai di sebuah hutan kecil yang ada di sisi barat Sungai Banjaran.  Mereka berdua cepat masuk ke dalam hutan, mencari tempat yang rindang dan teduh, lalu beristirahat untuk mengobati lambung kanan Kamandaka yang terluka dan masih mengeluarkan darah. Si Mercu dilepaskan di padang rumput untuk mencari sendiri makanan di sela-sela tanaman perdu yang banyak tumbuh di situ.
“Kakang Rekajaya, tahu tidak tentang daun-daun atau batang tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengobati luka?” tanya Kamandaka sambil menekan luka di lambung kanannya agar darah tidak terus menetes. Mereka berdua duduk di atas rumput hijau yang tumbuh di bawah pohon pinus.(bersambung)

1 komentar: