Tentu saja sebagai orang yang terbiasa
dengan medan berat, Kamandaka tidak mengalami kesulitan berarti ketika dia
harus membuat jalan terobosan dengan
menyibak padang ilalang yang luas itu. Ternyata tanah yang dilewatinya cukup
padat, sehingga dalam waktu singkat Kamandaka dan Rekajaya selamat tiba di
pinggir hutan lebat itu. Akhirnya, Kamandaka dan Rekajaya berhasil menemukan
tempat yang nyaman di dalam hutan itu sebagai tempat berlindung sementara dari
kejaran prajurit Pasirluhur.
“Kakang Rekajaya, si Mercu bisa dilepas,
kasihan dia digendong terus. Bagaimana dengan bekal untuk hari ini ?”
“Jagung untuk Si Mercu masih cukup. Air
bersih, gula aren, gula kelapa, air nira, beras, sambal goreng dan srundeng
masih cukup kalau hanya untuk bertahan
tiga hari, Raden. Hanya lontong dan ketupat yang kemarin dibeli di pasar
Pangebatan habis di santap tadi malam,” jawab Rekajaya.
“Kalau begitu, sekarang Kakang kembali ke
tempat tadi. Agak jauh ke arah selatan pohon jati tadi, kelihatannya sudah ada
pasar. Beli bekal yang cukup dan cari
pula kurungan ayam untuk si Mercu. Kasihan nanti malam bila ada musang
atau kucing hutan yang mengintai si Mercu. Berani lewat jalan trobosan tadi,
bukan?” tanya Kamandaka. Rekajaya mengangguk menyanggupinya.
Pada saat Rekajaya pergi melewati kembali
jalan trobosan yang membelah padang ilalang, Kamandaka berkeliling di dalam
hutan untuk mencari jalan-jalan rahasia yang akan digunakan untuk meloloskan
diri seandainya kelak dia menghadapi keadaan memaksa. Bagi Kamandaka kehidupan
di dalam hutan bukan hal baru. Kamandaka banyak menemukan jalan yang sering
dilewati para pemburu yang sering mendatangi hutan itu.
Aneka macam burung berloncatan dari dahan ke
dahan, sambil mengeluarkan bunyi yang membuat suasana pagi itu riuh rendah
dengan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan. Kamandaka mendongak ke atas
dahan pohon kayu besar yang tumbuh lurus ke atas. Sayang tidak ditemukan burung
ciung yang banyak terdapat di
hutan-hutan Galuh dan Pajajaran. Memang sejumlah binatang sempat dilihat
Kamandaka seperti kijang, rusa, babi hutan, ular pohon, dan gerombolan monyet
yang berloncatan dari pohon ke pohon. Tetapi semua binatang itu menjauhi
Kamandaka. Harimau, banteng, serigala bahkan kentus, tak sempat dilihatnya.
Suatu ketika, Kamandaka melihat seekor lutung agak
besar bergelantungan sendirian jauh di atas dahan sebuah pohon. Tiba-tiba
Kamandaka sangat tertarik kepada lutung itu. Di pandangnya sejenak lutung yang
sedang duduk di atas pohon itu, kemudian Kamandaka menggesekkan ujung jari tengah dengan ujung
ibu jari tangan kanan. Segera terdengar
dari ujung-ujung jari Kamandaka tiga
kali bunyi tak…tak…tak….Rupanya pesan
itu sampai juga ke telinga lutung yang dari tadi diam saja menatap Kamandaka
dari tempat yang tinggi itu.
“He, lutung turun ke sini dan mendekatlah!”
perintah Kamandaka. Aneh juga, lutung berwarna kelabu dengan bulu-bulu halus
itu langsung saja turun dan tahu-tahu sudah meloncat di atas pundak Kamandaka.
Dalam waktu singkat lutung itu sudah akrab dengan Kamandaka. Lutung itu diam
saja saat Kamandaka mengusap-usap kepalanya, punggungnya, dan membopongnya
seperti anak kecil. Kamandaka meniupkan mantra penjinak binatang ke telinga
lutung itu.
“Aku pastikan engkau bukanlah penjelmaan Guru
Minda, seorang dewa putra Sunan Ambu dalam kisah Lutung Kasarung yang digemari
rakyat Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi engkau kuberi nama Lutung Kasarung.
Kelak engkau akan aku persembahkan kepada Dinda Dewi di Kadipaten Pasirluhur,
untuk menjadi teman di kala Adinda Dewi kesepian karena menunggu kedatanganku,”
kata Kamandaka kepada lutung yang bulunya halus dan lembut itu.
Ketika Kamandaka tiba di tempat semula,
Rekajaya sudah ada di situ membawa sejumlah perbekalan yang berhasil dibelinya.
Kamandaka melihat sebuah kurungan ayam sangat bagus dan si Mercu sudah tinggal
di dalamnya. Rekajaya terkejut saat Kamandaka membopong seekor lutung cukup
besar.
“Hei, Kakang, kita punya sahabat baru nih.
Namanya Lutung Kasarung. Ayo, salaman dengan Kakang Rekajaya,” perintah
Kamandaka. Si Lutung segera meloncat ke hadapan Rekajaya dan mengajak salaman.
Lalu si Lutung meloncat dan duduk di atas kurungan baru si Mercu. Rekajaya
tertawa sekaligus kagum kepada ketrampilan lutung hutan yang baru dikenalnya
itu. Dalam waktu singkat Kamandaka sudah bisa mengajarkan sejumlah ketrampilan
pada si Lutung.
“Tampaknya si Lutung Kasarung belum sarapan,
nih. Beli pisang tidak tadi, Kakang?” tanya Kamandaka. Rekajaya menggeleng.
“Lupa, Raden. Hanya kupat, lontong, pepes ayam,
dan jagung rebus. Padahal tadi ada juga kacang rebus di pasar.”
“Yah, tidak apa dikasih lontong dan jagung
rebus juga mau, kok. Ayoh kita makan ramai-ramai. Perutku pun sudah minta
diisi,” kata Kamandaka.
Pagi itu, sinar matahari pagi menerobos
ranting, dahan, dan daun-daun pohon hutan yang menjulang tinggi ke langit biru.
Kamandaka, Rekajaya, si Lutung Kasarung, dan si Mercu sibuk mengisi perutnya
masing-masing. Pelan tetapi pasti, pagi telah bertukar dengan siang. Angin
hutan bertiup lembut menimbulkan rasa nyaman dan sejuk bagi mereka yang ada di
dalam hutan, sekalipun sesungguhnya sinar matahari sangat menyilaukan mata.
Ketika Kamandaka dan Rekajaya sedang menyiapkan berbagai keperluan untuk bertahan
dan berlindung di dalam hutan itu, tiba-tiba si Mercu menjadi gelisah, dan si
Lutung Kasarung naik ke atas pohon dan di sana ribut, seakan-akan hendak
memberi tahu adanya orang-orang yang berkumpul di pinggir hutan yang lebat itu.
“Eh, mereka kesiangan rupanya. Tengah hari
begini baru datang mau menyusul kita,” kata Kamandaka. Tiba-tiba Kamandaka mendengar
suara anjing pelacak menyalak keras sekali mendekati tempat Kamandaka dan
Rekajaya yang sedang berlindung.
“Biar saja. Tenang Kakang, tidak usah takut.
Mereka tak akan berani masuk,” kata Kamandaka menyakinkan Rekajaya yang mukanya
pucat pasi karena ketakutan.
Anjing pelacak terus bergerak mendekati tempat
Kamandaka. Dengan mudah anjing pelacak itu berhasil menemukan tempat
persembunyian Kamandaka. Rupanya anjing pelacak itu sengaja dilepaskan
sendirian saja, sedangkan tuannya sendiri menunggu di pinggir hutan tidak
berani masuk untuk bertempur melawan Kamandaka. Mula-mula anjing pelacak itu
terus-menerus menyalak, bisa jadi untuk memberi tahu tuannya. Tetapi begitu
Kamandaka berdiri dan memandang anjing pelacak itu, seketika anjing pelacak itu
berhenti menyalak. Ketika Kamandaka menggerak-gerakkan tangannya meminta anjing
pelacak mendekat, anjing pelacak itu langsung mendekati kaki Kamandaka.
Kamandaka membungkuk dan mengusap-usap anjing itu.
“Kakang Rekajaya, ada tulang sisa pepes ayam?
Berikan padanya dan kurunglah. Si Mercu suruh keluar dulu saja,” perintah Kamandaka
pada Rekajaya.
Rekajaya segera memberi makan anjing pelacak
itu dengan sisa-sisa tulang pepes ikan, kemudian mengurungnya dengan kurungan
ayam. Kurungan itu kemudian ditindih
dengan batu yang cukup berat. Si Lutung dan si Mercu berebut naik ke atas
kurungan. Tetapi akhirnya si Lutung mengalah. Dia meloncat ke atas pohon tidak
jauh dari tempat duduk Kamandaka. Rekajaya tertawa melihat kelakuan si Lutung
yang terus memandangi anjing pelacak yang ada di dalam kurungan yang tiba-tiba
menjadi jinak.
Siang hari itu Tumenggung Maresi saling
berpandangan dengan Tumenggung Silihwarna, ketika mereka sudah cukup lama
menunggu di tepi hutan yang lebat itu. Ternyata anjing pelacak yang dilepaskannya masuk ke dalam hutan, belum
muncul-muncul juga. Jangankan muncul, bahkan suara salakannya yang biasa
terdengar sangat keras, tiba-tiba berhenti dan ikut menghilang pula.
“Wah, gawat. Si Birco agaknya berhasil
ditangkap Kamandaka. Padahal si Birco itu anjing pelacak yang luar biasa
trampilnya. Jika diajak berburu, tidak pernah meleset menemukan binatang
buruannya yang terluka yang sedang berusaha bersembunyi. Kali ini sungguh aneh.
Si Birco tidak berhasil menemukan Kamandaka yang sudah terluka. Tetapi si Birco
juga tidak kembali, seolah-olah lenyap begitu saja ditelan hutan lebat itu. Apa
yang harus kita lakukan, Raden?” tanya
Tumenggung Maresi dengan wajah sedih.
Si Birco adalah anjing pelacak kesayangan
Tumenggung Maresi. Tumenggung Maresi sengaja datang dengan membawa jumlah
pasukan bersenjata tombak lengkap tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Hanya saja
bantuan itu memang baru datang esok harinya. setelah Tumenggung Maresi
mendengar kabar Tumenggung Silihwarna sempat
pingsan. Bahkan semula diduga tewas.
”Aku memang tidur terlalu pulas, sehingga
bangun kesiangan, Kakang Tumenggung Maresi,” kata Tumenggung Silihwarna, “Aku
yakin luka tikaman senjata kujang yang mengenai lambung Kamandaka itu semakin
parah. Itu sebabnya dia langsung melarikan diri dari hutan kecil di pinggir
Sungai Banjaran itu. Sekarang sangat berisiko jika kita mencoba masuk hutan
menangkap Kamandaka. Dia banyak akalnya. Kamandaka pastilah sudah menyiapkan
banyak perangkap dan jebakan yang tidak pernah kita ketahui. Bisa-bisa prajurit
kita yang mencoba masuk hutan untuk menangkap Kamandaka malah tewas sedikit
demi sedikit.”
“Apa yang bisa kita lakukan, Raden?” Tumenggung Maresi kembali bertanya.
“Kakang bawa prajurit berapa?”
“Prajurit bersenjata lengkap 400 orang”
“Aku punya 200 orang. Total ada 600 orang.
Hanya ada satu jalan untuk menangkap Kamandaka. Kepung hutan ini. Jangan diberi
kesempatan untuk lolos. Tak mungkin Kamandaka bisa bertahan empat atau lima hari. Kita kepung selama lima
hari. Pada hari ke enam kita serbu ramai-ramai ke dalam hutan. Aku yakin
Kamandaka sudah sangat letih. Apalagi dalam keadaan terluka. Sesungguhnya hanya
diperlukan sedikit kesabaran untuk menangkap Kamandaka,” kata Tumenggung
Silihwarna bersemangat. Dia sangat yakin akan bisa menangkap Kamandaka dengan
cara melakukan pengepungan secara total.
Tumenggun Maresi yang penakut itu, langsung
saja menyetujui usul Tumenggung Silihwarna. Para prajurit segera disiapkan
untuk mendirikan kemah-kemah guna mengepung hutan yang lebat itu. Semua jalan
keluar ditutup, hanya ada satu jalan yang dibuka. Yaitu jalan ke arah barat
melewati padang terbuka. Pasukan Tumenggung Silihwarna yang tidak bersenjata
itu, bertugas menjaga bagian utara hutan, tugasnya hanya untuk memata-matai
saja. Sedangkan prajurit Tumenggung Maresi yang bersenjata tombak lengkap
mengepung bagian timur dan selatan hutan.
Dengan cara demikian, diharapkan apabila
Kamandaka yang terluka itu akan melarikan diri pastilah akan memilih jalan yang
dijaga oleh prajurit paling kecil risikonya atau bagian yang tidak dijaga,
yaitu ke arah utara atau ke arah barat yang berarti kembali mendekati Sungai
Banjaran. Tumenggung Silihwarna memang berharap bisa menangkap Kamandaka
hidup-hidup. Sekalipun andaikata terluka, tetapi masih hidup agar Kanjeng
Adipati Kandhadaha merasa puas jika hendak memberinya hukuman.
Tumenggung Silihwarna dan Tumenggung Maresi
sangat yakin jalan yang sengaja dibuka itu, bisa dijadikan sebagai perangkap
bagi Kamandaka. Jika Kamandaka keluar melewati padang ilalang di sebelah barat
hutan itu, kedua tumenggung itu mengira akan mudah sekali menangkap Si Macan
Muda yang tengah terluka itu. Demikianlah siang hari itu lewat begitu saja
sampai sore hari pun tiba. Tetapi
Tumenggung Maresi tetap cemas bila memikirkan si Birco, anjing kesayangannya
itu.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar