Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 11 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(42)





Tentu saja sebagai orang yang terbiasa dengan medan berat, Kamandaka tidak mengalami kesulitan berarti ketika dia harus  membuat jalan terobosan dengan menyibak padang ilalang yang luas itu. Ternyata tanah yang dilewatinya cukup padat, sehingga dalam waktu singkat Kamandaka dan Rekajaya selamat tiba di pinggir hutan lebat itu. Akhirnya, Kamandaka dan Rekajaya berhasil menemukan tempat yang nyaman di dalam hutan itu sebagai tempat berlindung sementara dari kejaran prajurit Pasirluhur.
“Kakang Rekajaya, si Mercu bisa dilepas, kasihan dia digendong terus. Bagaimana dengan bekal untuk hari ini ?”
“Jagung untuk Si Mercu masih cukup. Air bersih, gula aren, gula kelapa, air nira, beras, sambal goreng dan srundeng masih  cukup kalau hanya untuk bertahan tiga hari, Raden. Hanya lontong dan ketupat yang kemarin dibeli di pasar Pangebatan habis di santap tadi malam,” jawab Rekajaya.
“Kalau begitu, sekarang Kakang kembali ke tempat tadi. Agak jauh ke arah selatan pohon jati tadi, kelihatannya sudah ada pasar. Beli bekal yang cukup dan cari  pula kurungan ayam untuk si Mercu. Kasihan nanti malam bila ada musang atau kucing hutan yang mengintai si Mercu. Berani lewat jalan trobosan tadi, bukan?” tanya Kamandaka. Rekajaya mengangguk menyanggupinya.
Pada saat Rekajaya pergi melewati kembali jalan trobosan yang membelah padang ilalang, Kamandaka berkeliling di dalam hutan untuk mencari jalan-jalan rahasia yang akan digunakan untuk meloloskan diri seandainya kelak dia menghadapi keadaan memaksa. Bagi Kamandaka kehidupan di dalam hutan bukan hal baru. Kamandaka banyak menemukan jalan yang sering dilewati para pemburu yang sering mendatangi hutan itu.
Aneka macam burung berloncatan dari dahan ke dahan, sambil mengeluarkan bunyi yang membuat suasana pagi itu riuh rendah dengan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan. Kamandaka mendongak ke atas dahan pohon kayu besar yang tumbuh lurus ke atas. Sayang tidak ditemukan burung ciung yang  banyak terdapat di hutan-hutan Galuh dan Pajajaran. Memang sejumlah binatang sempat dilihat Kamandaka seperti kijang, rusa, babi hutan, ular pohon, dan gerombolan monyet yang berloncatan dari pohon ke pohon. Tetapi semua binatang itu menjauhi Kamandaka. Harimau, banteng, serigala bahkan kentus, tak sempat dilihatnya.
Suatu ketika, Kamandaka melihat seekor lutung agak besar bergelantungan sendirian jauh di atas dahan sebuah pohon. Tiba-tiba Kamandaka sangat tertarik kepada lutung itu. Di pandangnya sejenak lutung yang sedang duduk di atas pohon itu, kemudian Kamandaka  menggesekkan ujung jari tengah dengan ujung ibu jari tangan kanan.  Segera terdengar dari ujung-ujung jari Kamandaka  tiga kali bunyi  tak…tak…tak….Rupanya pesan itu sampai juga ke telinga lutung yang dari tadi diam saja menatap Kamandaka dari tempat yang tinggi itu.
“He, lutung turun ke sini dan mendekatlah!” perintah Kamandaka. Aneh juga, lutung berwarna kelabu dengan bulu-bulu halus itu langsung saja turun dan tahu-tahu sudah meloncat di atas pundak Kamandaka. Dalam waktu singkat lutung itu sudah akrab dengan Kamandaka. Lutung itu diam saja saat Kamandaka mengusap-usap kepalanya, punggungnya, dan membopongnya seperti anak kecil. Kamandaka meniupkan mantra penjinak binatang ke telinga lutung itu.
“Aku pastikan engkau bukanlah penjelmaan Guru Minda, seorang dewa putra Sunan Ambu dalam kisah Lutung Kasarung yang digemari rakyat Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Tetapi engkau kuberi nama Lutung Kasarung. Kelak engkau akan aku persembahkan kepada Dinda Dewi di Kadipaten Pasirluhur, untuk menjadi teman di kala Adinda Dewi kesepian karena menunggu kedatanganku,” kata Kamandaka kepada lutung yang bulunya halus dan lembut itu.
Ketika Kamandaka tiba di tempat semula, Rekajaya sudah ada di situ membawa sejumlah perbekalan yang berhasil dibelinya. Kamandaka melihat sebuah kurungan ayam sangat bagus dan si Mercu sudah tinggal di dalamnya. Rekajaya terkejut saat Kamandaka membopong seekor lutung cukup besar.
“Hei, Kakang, kita punya sahabat baru nih. Namanya Lutung Kasarung. Ayo, salaman dengan Kakang Rekajaya,” perintah Kamandaka. Si Lutung segera meloncat ke hadapan Rekajaya dan mengajak salaman. Lalu si Lutung meloncat dan duduk di atas kurungan baru si Mercu. Rekajaya tertawa sekaligus kagum kepada ketrampilan lutung hutan yang baru dikenalnya itu. Dalam waktu singkat Kamandaka sudah bisa mengajarkan sejumlah ketrampilan pada si Lutung.
“Tampaknya si Lutung Kasarung belum sarapan, nih. Beli pisang tidak tadi, Kakang?” tanya Kamandaka. Rekajaya menggeleng.
“Lupa, Raden. Hanya kupat, lontong, pepes ayam, dan jagung rebus. Padahal tadi ada juga kacang rebus di pasar.”
“Yah, tidak apa dikasih lontong dan jagung rebus juga mau, kok. Ayoh kita makan ramai-ramai. Perutku pun sudah minta diisi,” kata Kamandaka.
Pagi itu, sinar matahari pagi menerobos ranting, dahan, dan daun-daun pohon hutan yang menjulang tinggi ke langit biru. Kamandaka, Rekajaya, si Lutung Kasarung, dan si Mercu sibuk mengisi perutnya masing-masing. Pelan tetapi pasti, pagi telah bertukar dengan siang. Angin hutan bertiup lembut menimbulkan rasa nyaman dan sejuk bagi mereka yang ada di dalam hutan, sekalipun sesungguhnya sinar matahari sangat menyilaukan mata.
Ketika Kamandaka dan Rekajaya sedang  menyiapkan berbagai keperluan untuk bertahan dan berlindung di dalam hutan itu, tiba-tiba si Mercu menjadi gelisah, dan si Lutung Kasarung naik ke atas pohon dan di sana ribut, seakan-akan hendak memberi tahu adanya orang-orang yang berkumpul di pinggir hutan yang lebat itu.
“Eh, mereka kesiangan rupanya. Tengah hari begini baru datang mau menyusul kita,” kata Kamandaka. Tiba-tiba Kamandaka mendengar suara anjing pelacak menyalak keras sekali mendekati tempat Kamandaka dan Rekajaya yang sedang berlindung.
“Biar saja. Tenang Kakang, tidak usah takut. Mereka tak akan berani masuk,” kata Kamandaka menyakinkan Rekajaya yang mukanya pucat pasi karena ketakutan.
Anjing pelacak terus bergerak mendekati tempat Kamandaka. Dengan mudah anjing pelacak itu berhasil menemukan tempat persembunyian Kamandaka. Rupanya anjing pelacak itu sengaja dilepaskan sendirian saja, sedangkan tuannya sendiri menunggu di pinggir hutan tidak berani masuk untuk bertempur melawan Kamandaka. Mula-mula anjing pelacak itu terus-menerus menyalak, bisa jadi untuk memberi tahu tuannya. Tetapi begitu Kamandaka berdiri dan memandang anjing pelacak itu, seketika anjing pelacak itu berhenti menyalak. Ketika Kamandaka menggerak-gerakkan tangannya meminta anjing pelacak mendekat, anjing pelacak itu langsung mendekati kaki Kamandaka. Kamandaka membungkuk dan mengusap-usap anjing itu.
“Kakang Rekajaya, ada tulang sisa pepes ayam? Berikan padanya dan kurunglah. Si Mercu suruh keluar dulu saja,” perintah Kamandaka pada Rekajaya.
Rekajaya segera memberi makan anjing pelacak itu dengan sisa-sisa tulang pepes ikan, kemudian mengurungnya dengan kurungan ayam.  Kurungan itu kemudian ditindih dengan batu yang cukup berat. Si Lutung dan si Mercu berebut naik ke atas kurungan. Tetapi akhirnya si Lutung mengalah. Dia meloncat ke atas pohon tidak jauh dari tempat duduk Kamandaka. Rekajaya tertawa melihat kelakuan si Lutung yang terus memandangi anjing pelacak yang ada di dalam kurungan yang tiba-tiba menjadi jinak.
Siang hari itu Tumenggung Maresi saling berpandangan dengan Tumenggung Silihwarna, ketika mereka sudah cukup lama menunggu di tepi hutan yang lebat itu. Ternyata anjing pelacak yang  dilepaskannya masuk ke dalam hutan, belum muncul-muncul juga. Jangankan muncul, bahkan suara salakannya yang biasa terdengar sangat keras, tiba-tiba berhenti dan ikut menghilang pula.
“Wah, gawat. Si Birco agaknya berhasil ditangkap Kamandaka. Padahal si Birco itu anjing pelacak yang luar biasa trampilnya. Jika diajak berburu, tidak pernah meleset menemukan binatang buruannya yang terluka yang sedang berusaha bersembunyi. Kali ini sungguh aneh. Si Birco tidak berhasil menemukan Kamandaka yang sudah terluka. Tetapi si Birco juga tidak kembali, seolah-olah lenyap begitu saja ditelan hutan lebat itu. Apa yang harus kita lakukan, Raden?”  tanya Tumenggung Maresi dengan wajah sedih.
Si Birco adalah anjing pelacak kesayangan Tumenggung Maresi. Tumenggung Maresi sengaja datang dengan membawa jumlah pasukan bersenjata tombak lengkap tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Hanya saja bantuan itu memang baru datang esok harinya. setelah Tumenggung Maresi mendengar kabar Tumenggung Silihwarna sempat  pingsan. Bahkan semula diduga tewas.
”Aku memang tidur terlalu pulas, sehingga bangun kesiangan, Kakang Tumenggung Maresi,” kata Tumenggung Silihwarna, “Aku yakin luka tikaman senjata kujang yang mengenai lambung Kamandaka itu semakin parah. Itu sebabnya dia langsung melarikan diri dari hutan kecil di pinggir Sungai Banjaran itu. Sekarang sangat berisiko jika kita mencoba masuk hutan menangkap Kamandaka. Dia banyak akalnya. Kamandaka pastilah sudah menyiapkan banyak perangkap dan jebakan yang tidak pernah kita ketahui. Bisa-bisa prajurit kita yang mencoba masuk hutan untuk menangkap Kamandaka malah tewas sedikit demi sedikit.”
“Apa yang bisa kita lakukan, Raden?”  Tumenggung Maresi kembali bertanya.
“Kakang bawa prajurit berapa?”
“Prajurit bersenjata lengkap 400 orang”
“Aku punya 200 orang. Total ada 600 orang. Hanya ada satu jalan untuk menangkap Kamandaka. Kepung hutan ini. Jangan diberi kesempatan untuk lolos. Tak mungkin Kamandaka bisa bertahan  empat atau lima hari. Kita kepung selama lima hari. Pada hari ke enam kita serbu ramai-ramai ke dalam hutan. Aku yakin Kamandaka sudah sangat letih. Apalagi dalam keadaan terluka. Sesungguhnya hanya diperlukan sedikit kesabaran untuk menangkap Kamandaka,” kata Tumenggung Silihwarna bersemangat. Dia sangat yakin akan bisa menangkap Kamandaka dengan cara melakukan pengepungan secara total.
Tumenggun Maresi yang penakut itu, langsung saja menyetujui usul Tumenggung Silihwarna. Para prajurit segera disiapkan untuk mendirikan kemah-kemah guna mengepung hutan yang lebat itu. Semua jalan keluar ditutup, hanya ada satu jalan yang dibuka. Yaitu jalan ke arah barat melewati padang terbuka. Pasukan Tumenggung Silihwarna yang tidak bersenjata itu, bertugas menjaga bagian utara hutan, tugasnya hanya untuk memata-matai saja. Sedangkan prajurit Tumenggung Maresi yang bersenjata tombak lengkap mengepung bagian timur dan selatan hutan.
Dengan cara demikian, diharapkan apabila Kamandaka yang terluka itu akan melarikan diri pastilah akan memilih jalan yang dijaga oleh prajurit paling kecil risikonya atau bagian yang tidak dijaga, yaitu ke arah utara atau ke arah barat yang berarti kembali mendekati Sungai Banjaran. Tumenggung Silihwarna memang berharap bisa menangkap Kamandaka hidup-hidup. Sekalipun andaikata terluka, tetapi masih hidup agar Kanjeng Adipati Kandhadaha merasa puas jika hendak memberinya hukuman.


Tumenggung Silihwarna dan Tumenggung Maresi sangat yakin jalan yang sengaja dibuka itu, bisa dijadikan sebagai perangkap bagi Kamandaka. Jika Kamandaka keluar melewati padang ilalang di sebelah barat hutan itu, kedua tumenggung itu mengira akan mudah sekali menangkap Si Macan Muda yang tengah terluka itu. Demikianlah siang hari itu lewat begitu saja sampai sore hari  pun tiba. Tetapi Tumenggung Maresi tetap cemas bila memikirkan si Birco, anjing kesayangannya itu.(bersambung)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar