Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 21 September 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(45)





“Jika hal itu terjadi, Kanda Adipati harus memaafkan Kamandaka. Jika ternyata kelak Kamandaka bisa mengalahkan Raja Pulebahas dari Nusakambangan, berarti Kamandaka juga berhak atas Kerajaan Nusakambangan. Dengan sendirinya Kamandaka berhak pula mempersunting Dewi. Sekarang Kanda Adipati tinggal memilih ingin punya menantu Raja Nusakambangan yang ingin jadi menantu Kanda tetapi dengan melakukan ancaman. Atau Kanda punya menantu Kamandaka yang bisa dimintai kesanggupannya untuk secepatnya  mengalahkan Raja Nusakambangan? Raja Nusakambangan sama sekali tidak dicintai Dewi, sedangkan Kamandaka dicintai Dewi,” lanjut Kanjeng Ayu Adipati berusaha membujuk suaminya.
Kanjeng Adipati Kandhadaha diam beberapa saat, tetapi wajahnya tampak gembira. Suatu tanda dia menyetujui saran istri tercintanya itu. “Hem, Diajeng, Kanda tidak menduga Diajeng punya gagasan luar biasa. Tidak salah dulu aku memilih Diajeng menjadi Permaisuri Kadipaten Pasirluhur,” kata Kanjeng Adipati memberikan pujian. Mendengar pujian itu, Kanjeng Ayu Adipati langsung mencubit paha Kanjeng Adipati sekeras-kerasnya. Akibatnya Kanjeng Adipati menjerit kesakitan.
“Coba kalau mencubitnya di kamar tidur, pasti sudah aku balas,” kata Kanjeng Adipati menggoda istrinya.
“Memangnya ada yang melarang seorang suami membalas istrinya di meja makan?” jawab Kanjeng Ayu Adipati menantang. Tanpa menunggu lama-lama Kanjeng Adipati meraih wajah Kanjeng Ayu Adipati yang duduk di sampingnya. Secepat kilat dia mendaratkan ciumannya dileher Kanjeng Ayu Adipati. Agak lama juga Kanjeng Adipati mendaratkan ciumannya, sampai-sampai Kanjeng Ayu Adipati hampir saja tidak bisa bernapas.
“Kanda selalu merindukan saat-saat seperti ini, Diajeng,” bisik Kanjeng Adipati di telinga Kanjeng Ayu Adipati. Diam-diam Kanjeng Ayu Adipati merasa senang juga mendapat rayuan Kanjeng Adipati. Ketika keduanya sadar, tahu-tahu  Sang Dewi sudah berdiri di depannya, sehingga kedua Ayah dan Ibunda Sang Dewi itu tersipu-sipu karena malu.
Angin malam yang dingin kembali menerobos masuk beranda ruang makan Dalem Kadipaten, seakan-akan ingin mengantarkan  Sang Dewi menemui kedua orang tuanya. “Ananda Dewi senaaaang sekali, bila Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu selalu mesra dan rukun selalu,” kata Sang Dewi sambil tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di depan kedua orang tuanya.
“Hem, Nduk Dewi Cah Ayu, ada perlu apa? Apakah si Lutung mengganggumu?” tanya Kanjeng Adipati agak malu-malu setelah melepaskan Kanjeng Ayu Adipati dari pelukannya.
“Oh tidak, Kanjeng Rama. Ini soal lain lagi. Langsung saja, ya, Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,”  kata Sang Dewi berkata tanpa basa basi, sekalipun tetap dengan tersenyum. Sebuah senyuman yang sempat menghilang hampir empat bulan lebih itu, kini dinikmati lagi oleh Kanjeng Adipati.
“Silahkan, Nduk Dewi Cah Ayu. Apa yang ingin disampaikan kepada Kanjeng Ramamu, sampaikanlah tidak usah ragu-ragu,” kata Kanjeng Adipati. Dia tahu persis adat anaknya yang sering ceplas-ceplos itu.
“Begini, Kanjeng Rama. Pertama, Dewi mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Kanjeng  Rama dan Kanjeng Ibu. Kedua, Kanda Kamandaka melalui Dewi juga mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Jika Kanda Kamandaka pernah masuk ke kaputren dan menemui Dewi, itu bukan kesalahan Kanda Kamandaka. Itu semua adalah tanggung jawab Dewi, karena Dewilah yang mengundang Kanda Kamandaka masuk ke kamar Dewi,” kata Sang Dewi dengan nada suara yang tenang tetapi tegas terdengar.
“Andaikata malam itu, Kanda Kamandaka tidak dikeroyok prajurit jaga, nistaya Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran sudah mengirim utusan ke Kadipaten Pasirluhur untuk melamar Dewi. Ya, Sri Baginda akan melamar Dewi untuk calon putra mahkota, Raden Banyakcatra. Apakah Kanjeng Rama tidak tahu siapakah Raden Kamandaka?”
Mendengar penuturan Sang Dewi, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati saling berpandang-pandangan. Tetapi Kanjeng Adipatilah langsung pucat pasi wajahnya. Sang Dewi menatap wajah Ayahandanya, mencoba membaca reaksi apa yang akan muncul atas pertanyaan yang sengaja  diajukannya kepada Ayahandanya itu.
“Apakah Kanjeng Rama juga tidak pernah membayangkan akibat yang ditimbulkan dari akal-akalan Dinda Banyakngampar yang menyamar sebagai Silihwarna?” tanya Sang Dewi kembali setelah diam beberapa saat.
”Kanjeng Rama dan Dinda Banyakngampar sama-sama jadi pria yang gemar berbohong. Padahal Kanjeng Rama dan Dinda Banyakngampar tahu  bahwa kebiasaan berbohong itu tidak disukai para dewa. Berbohong itu sama dengan tidak jujur. Dan hampir semua wanita sebenarnya tidak suka pada pria yang suka bohong. Betul, Kanjeng Ibu?”
“Memang Kanjeng Ramamu ini suka bohong. Sudah berkali-kali bohong pada Kanjeng Ibu. Dan sukanya menutup-nutupi sesuatu. Pokoknya kalau sekarang ini akibat dari kebohongan Kanjeng Ramamu mengakibatkan ada orang yang celaka, Ibumu akan menghukum Kanjeng Ramamu!” kata Kanjeng Ayu Adipati mulai ikut membela anak kesayangannya itu.
“Justru itulah akibat dari Kanjeng Rama yang gemar berbohong, dua orang kakak beradik Kanda Banyakcatra dan Dinda Banyakngampar, hampir tewas kedua-duanya. Mereka berdua kemarin lusa berantem di medan laga, kakak beradik tidak saling kenal karena kedua-duanya tidak jujur pada dirinya sendiri. Coba kalau kedua-duanya tewas seperti kisah Dora dan Sembada dalam Kisah Ajisaka, bukankah Kanjeng Rama yang harus bertanggung jawab, karena tidak teliti, ceroboh, tidak jujur, dan pasti akan menimbulkan murka Sri Baginda Prabu Siliwangi!” kata Sang Dewi sambil menilai  Kanjeng Adipati yang dianggapnya kurang hati-hati dalam mengambil keputusan.
“Coba, Dewi tanya pada Kanjeng Rama, sejak kapan Dinda Banyakngampar yang menyamar sebagai Silihwarna dan diangkat menjadi tumenggung palsu, pernah jadi menantu Kanjeng Paman Adipati Dayeuhluhur? Sejak kapan Dinda Banyakngampar, menjadi suami Dinda Mayangsari?” tanya Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati.
Kanjeng Adipati tidak dapat menjawab dan wajahnya semakin pucat, karena mendapat serangan bertubi-tubi dari Sang Dewi. Kanjeng Ayu Adipati pun ikut-ikutan pula melancarkan serangan. Kanjeng Adipati Kandhadaha sama sekali tidak mengira bahwa asal usul tumenggung palsu Silihwarna yang dirahasiakannya itu, ternyata diketahui oleh Sang Dewi. Memang satu-satunya orang dekat Kanjeng Adipati yang tahu soal tumenggung palsu selain Ki Patih adalah istrinya sendiri, Kanjeng Ayu Adipati. Rupanya Sang Dewi tahu soal tumenggung palsu itu dari siapa lagi kalau bukan dari Ibunya?  Kembali terdengar Kanjeng Ayu Adipati melancarkan serangannya.
”Baru saja aku tadi bilang, Kanjeng Ramamu akhir-akhir ini telah kehilangan kecerdasannya. Itu semua gara-gara apa? Gara-gara sering tidur di luar meninggalkan Kanjeng Ibu. Semakin sering tidur di luar, pasti semakin linglung Kanjeng Ramamu ini!”.
“Jangan percaya kepada Ibumu, Nduk Dewi. Kanjeng Ramamu hanya dua malam seminggu meninggalkan Ibumu,” kata Kanjeng Adipati membeladiri. “Baiklah Diajeng dan Nduk Dewi, aku mengakui semua keteledoran, kecerobohan, dan ketidaktelitian. Maafkanlah,“ kata Kanjeng Adipati melanjutkan.
”Sungguh, aku tidak menduga sama sekali, jika Raden Kamadaka itu adalah Raden Banyakcatra yang sedang mengembara ke Pasirluhur karena sedang mencari gadis idaman hatinya. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa gadis idaman Raden Banyakcatra yang sedang dicari-carinya  adalah kamu, Nduk Dewi-Cah Ayu ,” kata Kanjeng Adipati sambil melirik kepada Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Ramamu sama sekali tidak mengira Kamandaka itu adalah Raden Banyakcatra yang sedang dicari oleh adiknya Raden Banyakngampar,” lanjut Kanjeng Adipati pula yang nampak menyesalkan atas semua kejadian yang sama sekali tidak diduganya itu.
”Tetapi semuanya sudah terjadi. Lagi pula, kenapa Nduk Dewi tidak bilang terus terang pada Kanjeng Ramamu, setelah kejadian yang menghebohkan pada malam itu di Taman Kaputren? Coba kalau Nduk Dewi terus terang pada Kanjeng Ramamu, tentulah Kanjeng Ramamu sudah menyelenggarakan pesta pernikahan dan Kanjeng Ramamu sudah berbesanan dengan Sri Baginda Prabu Siliwangi.”
“Ya, itu juga kecerobohan Kanda Kamandaka yang juga seperti Kanjeng Rama masih juga suka berbohong. Kanda Kamandaka malam itu berjanji akan segera pulang ke Pakuan Pajajaran untuk mohon kepada ayahandanya, agar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengirimkan duta ke Kadipaten Pasirluhur untuk melamar Dewi secara resmi. Eh, malah menyimpang menjadi botoh sabung ayam. Berarti Kanda Kamandaka juga telah berbohong kepada aku. Padahal Kanda Kamandaka mengaku benci kepada permainan judi sabung ayam. Padahal Kanda Kamandaka juga tahu kalau Sri Baginda Prabu Siliwangi telah melarang semua punggawa Kerajaan Pajajaran di Pakuan bermain-main dengan segala macam bentuk perjudian, tidak terkecuali permainan judi sabung ayam yang terkutuk itu,” kata Sang Dewi memberi penjelasan kepada Kanjeng Adipati.
“Akibatnya Kanda Kamandaka mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak mudah diatasi,” kata Sang Dewi melanjutkan.  ”Sekarang Kanda Kamandaka bersembunyi di sebuah hutan di sebelah timur laut Sungai Banjaran, dikepung Tumenggung Palsu Silihwarna dan Tumenggung Maresi yang membawa ratusan prajurit Kanjeng Rama. Baru sesudah mengalami kesulitan Kanda Kamandaka menghubungi aku, agar aku menjelaskan kepada Kanjeng Rama, siapa Kanda Kamandaka yang tidak lain adalah Raden Banyakcatra itu. Nanti kalau Kanda Kamandaka ketemu aku, akan aku hukum. Betul kan Kanjeng Ibu, pria yang tidak jujur harus dihukum?” Kanjeng Ayu Adipati hanya tertawa mendengar kata-kata putri kesayangannya itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju serta mengacungkan ibu jari tangan kanan setinggi-tingginya di depan Kanjeng Adipati.
“Nduk Dewi, kamu ini jangan ikut-ikutan Ibumu. Jangan galak-galak pada calon suami. Tahu calon suami kesulitan malah mau dihukum. Sana panggil komandan jaga suruh memanggil Ki Patih. Katakan agar Ki Patih malam ini  juga menghadap. Aku akan perintahkan supaya Ki Patih  malam ini juga menarik tugas  penangkapan  Kamandaka. Tumenggung Silihwarna tidak tahu bahwa Kamandaka ternyata kakak kandungnya sendiri yang sedang dicari-carinya.”
 Selesai berkata, Kanjeng Adipati menyuruh Sang Dewi menghubungi Ki Patih. Tetapi Sang Dewi punya usul lain.
“Kanjeng Rama, tidak usah sekarang. Besok siang saja. Kanda Kamandaka dengan Dinda Silihwarna biarkan saja besok berantem. Bukankah mereka satu pergururan? Asal keduanya jujur tak akan ada yang cedera. Nanti kalau semua jurus sudah dikeluarkan semua, pada akhirnya mereka akan mengetahui jati diri lawannya masing-masing. Kanjeng Rama tidak usah khawatir. Biarkan saja Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna  mengambil pelajaran yang berharga, bahwa tidak jujur bisa mencelakakan diri sendiri. Kata orang bijak pengalaman itu guru yang baik bagi kehidupan. Benar Kanjeng Rama?” Sang Dewi berkata sambil menatap Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati tidak mengeluarkan sepatah kata pun kecuali membenarkan apa yang dikatakan Sang Dewi.
“Yang diperlukan oleh Kanda Kamandaka,” kata Sang Dewi melanjutkan, “Adalah kesediaan Kanjeng Rama untuk memaafkan dan mengampuni Kanda Kamandaka. Itu saja sudah sangat cukup untuk menyelesaikan segala kerumitan-kerumitan yang timbul akibat dari kurang menghargai nilai-nilai kejujuran. Bukankah Kanjeng Rama akan ikhlas untuk memaafkan dan mengampuni Kanda Kamandaka?”
“Iya, ya, Nduk Dewi, Kanjeng Ramamu yang salah. Justru karena Kanjeng Ramamu khawatir nasib kedua putra Pajajaran itu, Kanjeng Ramamu ingin menugaskan Ki Patih malam ini. Tetapi jika pertimbangan Nduk Dewi, tidak perlu sekarang, Kanjeng Ramamu akan mengikuti saran Nduk Dewi. Apa yang harus dilakukan Ki Patih besok?” tanya Kanjeng Adipati pada Sang Dewi.
“Besok siang Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna sudah mengetahui diri mereka masing-masing. Dewi yakin keduanya akan menunggu di rumah Rakajaya di Kaliwedi. Sebaiknya Ki Patih mengirimkan utusan untuk menemui mereka ke Kaliwedi. Sampaikan pesan bahwa Ki Patih dan Kanjeng Rama sudah mengetahui siapa mereka dan menunggu kedatangan mereka di Kepatihan. Kemudin Ki Patih hendaknya mengantarkan mereka berdua menemui Kanjeng Rama di Kadipaten,” kata Sang Dewi memberi saran yang membuat Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati terkagum-kagum  pada kecerdasan Sang Dewi dalam memecahkan suatu masalah.
“Dari mana Nduk Dewi bisa tahu begitu banyak keterangan? Hem, luar biasa anakmu ini, Diajeng,” tanya Kanjeng Adipati sambil memuji Sang Dewi.
“Masa Kanjeng Rama tidak tahu? Rekajaya itu abdi kinasih dan kepercayaan Kanda Kamandaka, persis seperti Biyung Emban Khandegwilis bagi Dewi. Rekajayalah yang tadi siang  menceriterakan segala sesuatu tentang keadaan Kanda Kamandaka.”
“Hem, Kanjeng Ramamu tertipu lagi. Kali ini oleh Rekajaya,” kata Kanjeng Adipati bercanda.
“Bukan tertipu Kanjeng Rama. Tetapi Kanjeng Rama saja yang kurang teliti, tidak menanyakan banyak hal kepada Rekajaya,” kata Sang Dewi membela Rekajaya.
“Makanya aku tadi katakan, Kanjeng Ramamu sudah menurun kecerdasannya. Begitu kelak  pesta pernikahan Nduk Dewi dengan Raden Banyakcatra selesai, jika Yang Maha Kuasa mengijinkan, Kanjeng Ramamu harus cepat-cepat lengser. Sabda pandita ratu. Itu janji Kanjeng Ramamu dulu kepada Kanjeng Ibu. Awas kalau sampai ingkar janji!” kata Kanjeng Ayu Adipati  mengingatkan janji yang pernah diucapkan Kanjeng Adipati Kandhadaha pada saat menyunting Kanjeng Ayu Adipati. Tahta Kadipaten Pasirluhur akan diserahkan kepada suami Sang Dewi.
“Sebenarnya kalau sekarang Kanjeng Ramamu harus lengser, Kanjeng Ramamu juga tidak keberatan. Anakmu Nduk Dewi sudah menguasai seni mengendalikan pemerintahan, melampaui kemampuanku. Dengan didampingi Raden Banyakcatra, aku tidak perlu khawatir akan  masa depan Kadipaten Pasirluhur.” Kata Kanjeng Adipati Kandhadaha dengan bangga.
“Terimakasih, Kanjeng Rama. Sekarang satu masalah lagi, soal lamaran dari Nusakambangan yang tadi sebelum Dewi ke sini menjadi bahan perbincangan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, bukan? Dewi sudah mendengar semuanya tadi. Hanya Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu saja yang tidak menyadari dan tidak melihat kalau aku diam-diam secara tidak sengaja mengikuti seluruh pembicaraan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” kata Sang Dewi.
 Mendengar pengakuan Sang Dewi, Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati hanya terheran-heran dan kembali saling berpandangan. Mereka tidak menduga semua perbincangannya di sekitar meja makan itu telah didengar oleh Sang Dewi. Rupanya ketika Sang Dewi bermaksud menyampaikan pesan Kamandaka yang dibawa Rekajaya, Sang Dewi melihat kedua orang tuanya itu tengah serius membicarakan dirinya karena ada surat lamaran dari Kerajaan Nusakambangan. Sang Dewi sengaja menghentikan langkahnya dan menunggu di tempat yang gelap. Karena itu kedua orang tuanya tidak menyadari kehadirannya.[bersambung]



1 komentar: