“Jika hal itu terjadi, Kanda Adipati harus
memaafkan Kamandaka. Jika ternyata kelak Kamandaka bisa mengalahkan Raja
Pulebahas dari Nusakambangan, berarti Kamandaka juga berhak atas Kerajaan
Nusakambangan. Dengan sendirinya Kamandaka berhak pula mempersunting Dewi.
Sekarang Kanda Adipati tinggal memilih ingin punya menantu Raja Nusakambangan
yang ingin jadi menantu Kanda tetapi dengan melakukan ancaman. Atau Kanda punya
menantu Kamandaka yang bisa dimintai kesanggupannya untuk secepatnya mengalahkan Raja Nusakambangan? Raja
Nusakambangan sama sekali tidak dicintai Dewi, sedangkan Kamandaka dicintai
Dewi,” lanjut Kanjeng Ayu Adipati berusaha membujuk suaminya.
Kanjeng Adipati Kandhadaha diam beberapa saat,
tetapi wajahnya tampak gembira. Suatu tanda dia menyetujui saran istri
tercintanya itu. “Hem, Diajeng, Kanda tidak menduga Diajeng punya gagasan luar
biasa. Tidak salah dulu aku memilih Diajeng menjadi Permaisuri Kadipaten
Pasirluhur,” kata Kanjeng Adipati memberikan pujian. Mendengar pujian itu,
Kanjeng Ayu Adipati langsung mencubit paha Kanjeng Adipati sekeras-kerasnya.
Akibatnya Kanjeng Adipati menjerit kesakitan.
“Coba kalau mencubitnya di kamar tidur, pasti
sudah aku balas,” kata Kanjeng Adipati menggoda istrinya.
“Memangnya ada yang melarang seorang suami
membalas istrinya di meja makan?” jawab Kanjeng Ayu Adipati menantang. Tanpa
menunggu lama-lama Kanjeng Adipati meraih wajah Kanjeng Ayu Adipati yang duduk
di sampingnya. Secepat kilat dia mendaratkan ciumannya dileher Kanjeng Ayu
Adipati. Agak lama juga Kanjeng Adipati mendaratkan ciumannya, sampai-sampai
Kanjeng Ayu Adipati hampir saja tidak bisa bernapas.
“Kanda selalu merindukan saat-saat seperti ini,
Diajeng,” bisik Kanjeng Adipati di telinga Kanjeng Ayu Adipati. Diam-diam
Kanjeng Ayu Adipati merasa senang juga mendapat rayuan Kanjeng Adipati. Ketika keduanya
sadar, tahu-tahu Sang Dewi sudah berdiri
di depannya, sehingga kedua Ayah dan Ibunda Sang Dewi itu tersipu-sipu karena
malu.
Angin malam yang dingin kembali menerobos
masuk beranda ruang makan Dalem Kadipaten, seakan-akan ingin mengantarkan Sang Dewi menemui kedua orang tuanya. “Ananda
Dewi senaaaang sekali, bila Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu selalu mesra dan rukun
selalu,” kata Sang Dewi sambil tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di depan
kedua orang tuanya.
“Hem, Nduk Dewi Cah Ayu, ada perlu apa? Apakah
si Lutung mengganggumu?” tanya Kanjeng Adipati agak malu-malu setelah
melepaskan Kanjeng Ayu Adipati dari pelukannya.
“Oh tidak, Kanjeng Rama. Ini soal lain lagi.
Langsung saja, ya, Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” kata Sang Dewi berkata tanpa basa basi,
sekalipun tetap dengan tersenyum. Sebuah senyuman yang sempat menghilang hampir
empat bulan lebih itu, kini dinikmati lagi oleh Kanjeng Adipati.
“Silahkan, Nduk Dewi Cah Ayu. Apa yang ingin
disampaikan kepada Kanjeng Ramamu, sampaikanlah tidak usah ragu-ragu,” kata
Kanjeng Adipati. Dia tahu persis adat anaknya yang sering ceplas-ceplos itu.
“Begini, Kanjeng Rama. Pertama, Dewi mohon
maaf yang sebesar-besarnya kepada Kanjeng
Rama dan Kanjeng Ibu. Kedua, Kanda Kamandaka melalui Dewi juga mohon
maaf yang sebesar-besarnya kepada Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Jika Kanda
Kamandaka pernah masuk ke kaputren dan menemui Dewi, itu bukan kesalahan Kanda
Kamandaka. Itu semua adalah tanggung jawab Dewi, karena Dewilah yang mengundang
Kanda Kamandaka masuk ke kamar Dewi,” kata Sang Dewi dengan nada suara yang
tenang tetapi tegas terdengar.
“Andaikata malam itu, Kanda Kamandaka tidak
dikeroyok prajurit jaga, nistaya Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan
Pajajaran sudah mengirim utusan ke Kadipaten Pasirluhur untuk melamar Dewi. Ya,
Sri Baginda akan melamar Dewi untuk calon putra mahkota, Raden Banyakcatra.
Apakah Kanjeng Rama tidak tahu siapakah Raden Kamandaka?”
Mendengar penuturan Sang Dewi, Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati saling berpandang-pandangan. Tetapi Kanjeng Adipatilah
langsung pucat pasi wajahnya. Sang Dewi menatap wajah Ayahandanya, mencoba
membaca reaksi apa yang akan muncul atas pertanyaan yang sengaja diajukannya kepada Ayahandanya itu.
“Apakah Kanjeng Rama juga tidak pernah
membayangkan akibat yang ditimbulkan dari akal-akalan Dinda Banyakngampar yang
menyamar sebagai Silihwarna?” tanya Sang Dewi kembali setelah diam beberapa
saat.
”Kanjeng Rama dan Dinda Banyakngampar
sama-sama jadi pria yang gemar berbohong. Padahal Kanjeng Rama dan Dinda
Banyakngampar tahu bahwa kebiasaan
berbohong itu tidak disukai para dewa. Berbohong itu sama dengan tidak jujur.
Dan hampir semua wanita sebenarnya tidak suka pada pria yang suka bohong.
Betul, Kanjeng Ibu?”
“Memang Kanjeng Ramamu ini suka bohong. Sudah
berkali-kali bohong pada Kanjeng Ibu. Dan sukanya menutup-nutupi sesuatu.
Pokoknya kalau sekarang ini akibat dari kebohongan Kanjeng Ramamu mengakibatkan
ada orang yang celaka, Ibumu akan menghukum Kanjeng Ramamu!” kata Kanjeng Ayu
Adipati mulai ikut membela anak kesayangannya itu.
“Justru itulah akibat dari Kanjeng Rama yang
gemar berbohong, dua orang kakak beradik Kanda Banyakcatra dan Dinda
Banyakngampar, hampir tewas kedua-duanya. Mereka berdua kemarin lusa berantem
di medan laga, kakak beradik tidak saling kenal karena kedua-duanya tidak jujur
pada dirinya sendiri. Coba kalau kedua-duanya tewas seperti kisah Dora dan
Sembada dalam Kisah Ajisaka, bukankah Kanjeng Rama yang harus bertanggung
jawab, karena tidak teliti, ceroboh, tidak jujur, dan pasti akan menimbulkan
murka Sri Baginda Prabu Siliwangi!” kata Sang Dewi sambil menilai Kanjeng Adipati yang dianggapnya kurang
hati-hati dalam mengambil keputusan.
“Coba, Dewi tanya pada Kanjeng Rama, sejak
kapan Dinda Banyakngampar yang menyamar sebagai Silihwarna dan diangkat menjadi
tumenggung palsu, pernah jadi menantu Kanjeng Paman Adipati Dayeuhluhur? Sejak
kapan Dinda Banyakngampar, menjadi suami Dinda Mayangsari?” tanya Sang Dewi
kepada Kanjeng Adipati.
Kanjeng Adipati tidak dapat menjawab dan
wajahnya semakin pucat, karena mendapat serangan bertubi-tubi dari Sang Dewi.
Kanjeng Ayu Adipati pun ikut-ikutan pula melancarkan serangan. Kanjeng Adipati
Kandhadaha sama sekali tidak mengira bahwa asal usul tumenggung palsu
Silihwarna yang dirahasiakannya itu, ternyata diketahui oleh Sang Dewi. Memang
satu-satunya orang dekat Kanjeng Adipati yang tahu soal tumenggung palsu selain
Ki Patih adalah istrinya sendiri, Kanjeng Ayu Adipati. Rupanya Sang Dewi tahu
soal tumenggung palsu itu dari siapa lagi kalau bukan dari Ibunya?
Kembali terdengar Kanjeng Ayu Adipati melancarkan serangannya.
”Baru saja aku tadi bilang, Kanjeng Ramamu
akhir-akhir ini telah kehilangan kecerdasannya. Itu semua gara-gara apa?
Gara-gara sering tidur di luar meninggalkan Kanjeng Ibu. Semakin sering tidur
di luar, pasti semakin linglung Kanjeng Ramamu ini!”.
“Jangan percaya kepada Ibumu, Nduk Dewi.
Kanjeng Ramamu hanya dua malam seminggu meninggalkan Ibumu,” kata Kanjeng
Adipati membeladiri. “Baiklah Diajeng dan Nduk Dewi, aku mengakui semua
keteledoran, kecerobohan, dan ketidaktelitian. Maafkanlah,“ kata Kanjeng
Adipati melanjutkan.
”Sungguh, aku tidak menduga sama sekali, jika
Raden Kamadaka itu adalah Raden Banyakcatra yang sedang mengembara ke
Pasirluhur karena sedang mencari gadis idaman hatinya. Aku sama sekali tidak
mengetahui bahwa gadis idaman Raden Banyakcatra yang sedang dicari-carinya adalah kamu, Nduk Dewi-Cah Ayu ,” kata Kanjeng
Adipati sambil melirik kepada Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Ramamu sama sekali tidak mengira
Kamandaka itu adalah Raden Banyakcatra yang sedang dicari oleh adiknya Raden
Banyakngampar,” lanjut Kanjeng Adipati pula yang nampak menyesalkan atas semua
kejadian yang sama sekali tidak diduganya itu.
”Tetapi semuanya sudah terjadi. Lagi pula,
kenapa Nduk Dewi tidak bilang terus terang pada Kanjeng Ramamu, setelah
kejadian yang menghebohkan pada malam itu di Taman Kaputren? Coba kalau Nduk
Dewi terus terang pada Kanjeng Ramamu, tentulah Kanjeng Ramamu sudah menyelenggarakan
pesta pernikahan dan Kanjeng Ramamu sudah berbesanan dengan Sri Baginda Prabu
Siliwangi.”
“Ya, itu juga kecerobohan Kanda Kamandaka yang
juga seperti Kanjeng Rama masih juga suka berbohong. Kanda Kamandaka malam itu
berjanji akan segera pulang ke Pakuan Pajajaran untuk mohon kepada ayahandanya,
agar Sri Baginda Prabu Siliwangi mengirimkan duta ke Kadipaten Pasirluhur untuk
melamar Dewi secara resmi. Eh, malah menyimpang menjadi botoh sabung ayam.
Berarti Kanda Kamandaka juga telah berbohong kepada aku. Padahal Kanda
Kamandaka mengaku benci kepada permainan judi sabung ayam. Padahal Kanda
Kamandaka juga tahu kalau Sri Baginda Prabu Siliwangi telah melarang semua
punggawa Kerajaan Pajajaran di Pakuan bermain-main dengan segala macam bentuk
perjudian, tidak terkecuali permainan judi sabung ayam yang terkutuk itu,” kata
Sang Dewi memberi penjelasan kepada Kanjeng Adipati.
“Akibatnya Kanda Kamandaka mengalami
kesulitan-kesulitan yang tidak mudah diatasi,” kata Sang Dewi melanjutkan. ”Sekarang Kanda Kamandaka bersembunyi di
sebuah hutan di sebelah timur laut Sungai Banjaran, dikepung Tumenggung Palsu
Silihwarna dan Tumenggung Maresi yang membawa ratusan prajurit Kanjeng Rama.
Baru sesudah mengalami kesulitan Kanda Kamandaka menghubungi aku, agar aku
menjelaskan kepada Kanjeng Rama, siapa Kanda Kamandaka yang tidak lain adalah
Raden Banyakcatra itu. Nanti kalau Kanda Kamandaka ketemu aku, akan aku hukum.
Betul kan Kanjeng Ibu, pria yang tidak jujur harus dihukum?” Kanjeng Ayu
Adipati hanya tertawa mendengar kata-kata putri kesayangannya itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju serta mengacungkan ibu jari tangan
kanan setinggi-tingginya di depan Kanjeng Adipati.
“Nduk Dewi, kamu ini jangan ikut-ikutan Ibumu.
Jangan galak-galak pada calon suami. Tahu calon suami kesulitan malah mau
dihukum. Sana panggil komandan jaga suruh memanggil Ki Patih. Katakan agar Ki
Patih malam ini juga menghadap. Aku akan
perintahkan supaya Ki Patih malam ini
juga menarik tugas penangkapan Kamandaka. Tumenggung Silihwarna tidak tahu
bahwa Kamandaka ternyata kakak kandungnya sendiri yang sedang dicari-carinya.”
Selesai berkata, Kanjeng Adipati menyuruh Sang
Dewi menghubungi Ki Patih. Tetapi Sang Dewi punya usul lain.
“Kanjeng Rama, tidak usah sekarang. Besok
siang saja. Kanda Kamandaka dengan Dinda Silihwarna biarkan saja besok
berantem. Bukankah mereka satu pergururan? Asal keduanya jujur tak akan ada
yang cedera. Nanti kalau semua jurus sudah dikeluarkan semua, pada akhirnya
mereka akan mengetahui jati diri lawannya masing-masing. Kanjeng Rama tidak
usah khawatir. Biarkan saja Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna mengambil pelajaran yang berharga, bahwa
tidak jujur bisa mencelakakan diri sendiri. Kata orang bijak pengalaman itu
guru yang baik bagi kehidupan. Benar Kanjeng Rama?” Sang Dewi berkata sambil
menatap Kanjeng Adipati. Kanjeng Adipati tidak mengeluarkan sepatah kata pun
kecuali membenarkan apa yang dikatakan Sang Dewi.
“Yang diperlukan oleh Kanda Kamandaka,” kata
Sang Dewi melanjutkan, “Adalah kesediaan Kanjeng Rama untuk memaafkan dan
mengampuni Kanda Kamandaka. Itu saja sudah sangat cukup untuk menyelesaikan
segala kerumitan-kerumitan yang timbul akibat dari kurang menghargai
nilai-nilai kejujuran. Bukankah Kanjeng Rama akan ikhlas untuk memaafkan dan
mengampuni Kanda Kamandaka?”
“Iya, ya, Nduk Dewi, Kanjeng Ramamu yang
salah. Justru karena Kanjeng Ramamu khawatir nasib kedua putra Pajajaran itu,
Kanjeng Ramamu ingin menugaskan Ki Patih malam ini. Tetapi jika pertimbangan
Nduk Dewi, tidak perlu sekarang, Kanjeng Ramamu akan mengikuti saran Nduk Dewi.
Apa yang harus dilakukan Ki Patih besok?” tanya Kanjeng Adipati pada Sang Dewi.
“Besok siang Kanda Kamandaka dan Dinda
Silihwarna sudah mengetahui diri mereka masing-masing. Dewi yakin keduanya akan
menunggu di rumah Rakajaya di Kaliwedi. Sebaiknya Ki Patih mengirimkan utusan
untuk menemui mereka ke Kaliwedi. Sampaikan pesan bahwa Ki Patih dan Kanjeng
Rama sudah mengetahui siapa mereka dan menunggu kedatangan mereka di Kepatihan.
Kemudin Ki Patih hendaknya mengantarkan mereka berdua menemui Kanjeng Rama di
Kadipaten,” kata Sang Dewi memberi saran yang membuat Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati terkagum-kagum pada
kecerdasan Sang Dewi dalam memecahkan suatu masalah.
“Dari mana Nduk Dewi bisa tahu begitu banyak
keterangan? Hem, luar biasa anakmu ini, Diajeng,” tanya Kanjeng Adipati sambil
memuji Sang Dewi.
“Masa Kanjeng Rama tidak tahu? Rekajaya itu
abdi kinasih dan kepercayaan Kanda Kamandaka, persis seperti Biyung Emban Khandegwilis
bagi Dewi. Rekajayalah yang tadi siang
menceriterakan segala sesuatu tentang keadaan Kanda Kamandaka.”
“Hem, Kanjeng Ramamu tertipu lagi. Kali ini
oleh Rekajaya,” kata Kanjeng Adipati bercanda.
“Bukan tertipu Kanjeng Rama. Tetapi Kanjeng
Rama saja yang kurang teliti, tidak menanyakan banyak hal kepada Rekajaya,”
kata Sang Dewi membela Rekajaya.
“Makanya aku tadi katakan, Kanjeng Ramamu
sudah menurun kecerdasannya. Begitu kelak
pesta pernikahan Nduk Dewi dengan Raden Banyakcatra selesai, jika Yang
Maha Kuasa mengijinkan, Kanjeng Ramamu harus cepat-cepat lengser. Sabda pandita
ratu. Itu janji Kanjeng Ramamu dulu kepada Kanjeng Ibu. Awas kalau sampai
ingkar janji!” kata Kanjeng Ayu Adipati
mengingatkan janji yang pernah diucapkan Kanjeng Adipati Kandhadaha pada
saat menyunting Kanjeng Ayu Adipati. Tahta Kadipaten Pasirluhur akan diserahkan
kepada suami Sang Dewi.
“Sebenarnya kalau sekarang Kanjeng Ramamu
harus lengser, Kanjeng Ramamu juga tidak keberatan. Anakmu Nduk Dewi sudah
menguasai seni mengendalikan pemerintahan, melampaui kemampuanku. Dengan
didampingi Raden Banyakcatra, aku tidak perlu khawatir akan masa depan Kadipaten Pasirluhur.” Kata
Kanjeng Adipati Kandhadaha dengan bangga.
“Terimakasih, Kanjeng Rama. Sekarang satu
masalah lagi, soal lamaran dari Nusakambangan yang tadi sebelum Dewi ke sini
menjadi bahan perbincangan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, bukan? Dewi sudah
mendengar semuanya tadi. Hanya Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu saja yang tidak
menyadari dan tidak melihat kalau aku diam-diam secara tidak sengaja mengikuti
seluruh pembicaraan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” kata Sang Dewi.
Mendengar pengakuan Sang Dewi, Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati hanya terheran-heran dan kembali saling berpandangan.
Mereka tidak menduga semua perbincangannya di sekitar meja makan itu telah
didengar oleh Sang Dewi. Rupanya ketika Sang Dewi bermaksud menyampaikan pesan
Kamandaka yang dibawa Rekajaya, Sang Dewi melihat kedua orang tuanya itu tengah
serius membicarakan dirinya karena ada surat lamaran dari Kerajaan
Nusakambangan. Sang Dewi sengaja menghentikan langkahnya dan menunggu di tempat
yang gelap. Karena itu kedua orang tuanya tidak menyadari kehadirannya.[bersambung]
Silakan Kunjungi Artikel Tajen Online
BalasHapusManfaat Singkong Untuk Ayam Aduan
Manfaat Buah Naga Untuk Sabung Ayam
Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995