Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 28 Agustus 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur-(38)




Sementara itu, matahari yang menyilaukan mata baru sepenggalah tingginya ketika Ki Sulap Pangebatan tiba di lapangan Desa Pangebatan. Rekajaya yang mengiringinya, berjalan di belakang sambil membawa sang jawara tak terkalahkan, si Mercu. Ki Sulap Pangebatan menyaksikan sejumlah orang terus-menerus mengalir menuju lapangan Desa Pangebatan. Mereka semua berkumpul mengitari gelanggang sabung adu ayam yang didirikan di pinggir lapangan. Mereka sudah tidak sabar lagi menunggu pertandingan istimewa antara jawara juara bertahan si Mercu dengan penantangnya si Gelapngampar. Apa lagi nilai taruhannya unik, yaitu 2 - 1 untuk si Mercu. Artinya, jika si Mercu menang akan mendapatkan nilai taruhan sebanyak dua kali nilai taruhan si Gelapngampar. Sebaliknya jika si Gelapngampar menang hanya akan mendapatkan nilai taruhan satu kali saja.
Tumenggung Silihwarna sengaja tiba lebih awal langsung masuk gelanggang, lalu duduk di kursi sebelah kanan. Mengikuti di belakangnya, Ngabehi Nitipraja membawa jago aduan berwarna merah, si Gelapngampar. Tumenggung Silihwarna tampak gagah bak Ksatria Pasirluhur. Dia mengenakan surjan lurik garis-garis lurus hitam coklat, bercelana panjang hitam, dan memakai ikat kepala hitam coklat. Diam-diam Tumenggung Silihwarna membawa 200 tentara anak buahnya. Semuanya menyamar sebagai penonton, tak satu pun prajurit itu diperkenankan membawa senjata. Di pinggir kalangan, kentongan sudah disiapkan dan wasit pertandingan pun sudah tiba ditemani seorang pembantunya.
Ketika penduduk yang berkerumun melihat Ki Sulap Pangebatan tiba di pinggir lapangan, sorak sorai membahana membuat suasana lapangan Desa Pangebatan itu hingar bingar. Terdengar suara tepuk tangan dan teriakan menyambut kedatangan sang jawara si Mercu. Sang Jawara itu dibawa Rekajaya, pembantu Ki Sulap Pangebatan. Rumput di atas lapangan sudah lama mengering,-dan semakin terkulai karena ribuan kali diinjak-injak kaki penonton yang berbondong-bondong mendatangi tanah lapang. Bau rumput kering bercampur debu tanah bertebaran kemana-mana memenuhi udara yang berputar-putar di atas tanah lapang.
“Mercu! Mercu! Mercu!” demikian suara orang-orang yang berkerumun di pinggir gelanggang sabung ayam dengan semangat. Mereka berteriak-teriak mengelu-elukan jawara pujaan mereka. Angin dari arah utara bertiup lembut menggoyang daun pohon angsana, belimbing, sawo, asam, dan mangga yang banyak tumbuh di sekitar tanah lapang.
Ki Sulap Pangebatan segera memasuki gelanggang disambut dengan jabat tangan Tumenggung Silihwarna yang menatapnya tanpa berkedip. Ada perasaan aneh yang menyelinap dalam benak Silihwarna tatkala menatap wajah Ki Sulap Pangebatan. Apalagi saat berjabatan tangan. Dia seperti merasakan sesuatu yang pernah dikenalnya. Tetapi, perasaan itu cepat lenyap ditelan hiruk pikuk sekelilingnya dan suara kokok sang jawara yang mulai terdengar bersahut-sahutan.
Si Wasit berdiri di tepi kalangan, dia mempersilahkan Ki Sulap Pangebatan duduk di kursi sebelah kiri. Tanpa sengaja Ki Sulap Pangebatan mengenakan baju surjan lurik dengan garis-garis biru hitam, celana hitam panjang, dan ikat kepala biru hitam, sehingga mengingatkan orang kepada ksatria dari lereng Gunung Tangkuban Perahu. Orang-orang yang menyaksikan penampilan keduanya berdecak kagum. Mereka berdua bagaikan sepasang ksatria kembar, hanya berbeda corak warna ikat kepala dan baju yang dikenakannya.
Tak terbayangkan sama sekali oleh semua yang hadir, bahwa usai si Mercu dan si Gelapngampar berlaga akan terjadi peristiwa mengerikan. Bahkan Ki Sulap Pangebatan pun tidak menduganya sama sekali peristiwa apa yang akan menimpa dirinya. Namun demikian, pengalaman yang dimilikinya selama ini membuatnya dia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan.
Di pinggang kiri Ki Sulap Pangebatan terselip pusaka Pajajaran Kujang Kancana Shakti. Selendang sutra kuning kenang-kenangan dari Sang Dewi meliliti pinggangnya. Semuanya terlindung di balik baju surjannya sehingga tak seorang pun yang mengetahuinya. Lama Ki Sulap Pangebatan menatap wajah tumenggung yang diduganya gemar jadi botoh adu ayam itu. Dia mencoba merekam wajah Tumenggung Silihwarna yang baru dilihatnya. Aneh sekali, setiap kali Ki Sulap Pangebatan hendak merekam wajah Tumenggung Silihwarna dalam benaknya, setiap saat itu pula bayangan seorang pendeta muda gundul, mengenakan jubah warna kuning, dan membawa seuntai kalung untuk berdoa, muncul dalam benaknya.
“Hem, Banyakngampar. Malang benar pilihan hidupmu. Jadi pendeta gundul, sebagai pelarian saja. Coba kalau kamu mengikuti saranku, barang kali kamu akan secakap dan setampan Tumenggung Silihwarna yang bodohnya bukan main ini. Tumenggung, tetapi gemar main judi sabung ayam yang merusak,” kata Ki Sulap Pangebatan dalam batinnya.
Ki Sulap Pangebatan, seperti Tumenggung Silihwarna, juga gagal menangkap sinyal-sinyal batiniah yang muncul di dalam benaknya. Apalagi ketika Ngabehi Nitipraja melepaskan sang jawara kebanggaannya, si Gelapngampar, ke tengah gelanggang. Bayangan pendeta gundul dalam benaknya lenyap seketika digantikan oleh amarah yang mulai berkobar-kobar.
Hampir saja Ki Sulap Pangebatan meloncat dari tempat duduknya untuk menangkap si Gelapngampar dan ingin membantingnya sampai tewas. Untung saja, Ngabehi Nitipraja cepat menangkapnya kembali setelah mendapat peringatan keras dari wasit yang akan memimpin pertandingan. Tindakan Ngabehi Nitipraja itu bisa dianggap sebagai penghinaan kepada si Mercu. Sebab, si Merculah yang menyandang gelar juara bertahan. Karena itu si Merculah yang berhak turun lebih dahulu ke tengah gelanggang. Si Merculah Sang Penguasa Gelanggang, bukan si Gelapngampar sebagai sang penantang.
Tetapi yang membuat Ki Sulap Pangebatan hampir meledak amarahnya, sebenarnya bukan karena perbuatan Ngabehi Nitipraja yang hanya bermaksud berkelakar. Ki Sulap Pangebatan hampir marah,  karena si Gelapngampar dianggapnya telah mencemarkan nama baik adiknya, Banyakngampar.
Tak terasa matahari musim kemarau terus bergerak merangkak naik. Para penonton adu sabung ayam sudah gelisah menunggu. Semakin siang jumlah orang yang berkerumun semakin membludag. Mereka banyak yang tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya mengurus ladang, menggembalakan ternak, mengelola kolam ikan, berdagang di pasar, dan pekerjaan rutin lainnya agar bisa menyaksikan pertandingan besar yang jarang  ada itu. Bau keringat penonton yang berlelehan mulai bertebaran kemana-mana, karena matahari musim kemarau terus menerus memanggang tanah lapang Desa Pangebatan. Untunglah banyak pohon-pohon besar dan rindang yang tumbuh di sekelilingnya sehingga bau asam dari keringat yang bercampur debu itu cepat kabur. Sebagian diserap daun-daun pohon-yang hijau dan rindang. Sebagian lagi diusir angin yang bertiup mengisi relung-relung lembah Sungai Logawa.
Si Wasit dan pembantunya segera berdiri, ketika dia mendongak ke atas dan dilihatnya matahari telah tergelincir dari atas ubun-ubun. Si Wasit menyuruh agar kentongan dipukul sebagai tanda pertandingan sabung ayam akan segera dimulai. Kentongan pun dipukul, suaranya menyebar kemana-mana diiringi sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh.
“Tenang! Tenang! Saudara sekalian. Tepuk tangannya harap diakhiri. Pertandingan akan segera dimulai,” kata Si Wasit pertandingan meminta agar penonton tidak ribut. Tetapi, tepuk tangan terus menerus terdengar dan tidak segera berhenti. Suara penonton pun membuat bising dan ribut. Tapi-akhirnya semua penonton diam-dengan-sendirinya. Si Wasit pun mulai angkat bicara.
”Di sebelah kiri saya adalah Ki Sulap Pangebatan sebagai botoh dengan jawara bertahan belum terkalahkan si Mercu. Sebagai kopoh adalah Ki-Rekajaya. Tepuk tangan untuk mereka!” kata Si Wasit mengenalkan Ki Sulap Pangebatan, pembantunya, dan ayam jago aduannya. Penonton mengikuti perintah Si Wasit dan tepuk tangan penonton terdengar kembali, ramai bergemuruh. Tak lama kemudian suasana kembali tenang. Si Wasit kembali angkat bicara.
“Di sebelah kanan saya adalah Tumenggung Silihwarna sebagai botoh dengan jawara sang penantang si Gelapngampar. Sebagai kopoh adalah Ngabehi Nitipraja. Tepuk tangan untuk mereka!” kembali Si Wasit memberi perintah. Tepuk tangan kembali bergemuruh.Tetapi kalah meriah dengan tepuk tangan pertama.
“Nilai taruhan adalah 2 bau sawah untuk si Mercu bila menang dan 1 bau sawah untuk si Gelapngampar bila menang. Kesepakatan ini telah disetujui oleh ke dua belah pihak. Betul Ndara Tumenggung?“ tanya Si Wasit kepada Tumenggung Silihwarna yang dijawab dengan anggukan.
”Betul, Ki Sulap?“ tanya Si Wasit. Dia berpaling dari Tumenggung Silihwarna ke arah Ki Sulap Pangebatan. Ki Sulap Pangebatan juga menganggukkan membenarkan. Si Wasit lalu bertanya kepada  Pembantu Wasit, apakah sudah mengecek lokasi sawah-sawah yang akan dipertaruhkan.
“Lokasi sudah di cek dan benar adanya,” jawab Pembantu Wasit. ”Satu bau sawah  gadai milik Nyai Kertisara. Dua bau sawah milik Ngabehi Nitipraja yang sudah beralih menjadi tanah gadai milik Tumenggung Silihwarna.”
“Baiklah, kalau begitu. Sekarang saya kenalkan lebih dulu, Ki Sulap Pangebatan. Dia tinggal di desa Kaliwedi, keponakan Nyai Kertisara. Pekerjaan tetap penasihat bisnis pengusaha kaya dan sukses, Nyai Kertisara. Usia 20 tahun dan belum punya istri. Silahkan berdiri Ki Sulap Pangebatan!” kata Si Wasit memperkenalkan Ki Sulap Pangebatan yang sudah banyak dikenal namanya oleh sebagian besar penduduk Kadipaten Pasirluhur. Tetapi, mereka banyak yang belum pernah melihatnya. Ki Sulap Pangebatan berdiri sejenak sambil tersenyum, diiringi tepuk tangan penonton. Kini Si Wasit berpaling kepada Tumenggung Silihwarna.
“Di sebelah kanan saya, Tumenggung Silihwarna. Usia 18 tahun, sudah beristri, menantu Adipati Dayeuhluhur. Pekerjaan tumenggung diperbantukan di Kadipaten Pasirluhur, membantu Tumenggung Maresi. Silahkan berdiri Ndara Tumenggung!”
Dengan wajah merah padam Tumenggung Silihwarna berdiri. Tepuk tangan pun bergemuruh. Si Wasit memberi waktu jeda sejenak sebelum kentongan ke dua dipukul. Waktu jeda ini dimanfatkan penonton untuk berbincang-bincang dan bersiap-siap melakukan taruhan sendiri di antara mereka. Tetapi, kali ini diiringi bisik-bisik di antara para penonton yang bermulut usil. 
“Oh, Tumenggung Silihwarna menantu Adipati Dayeuhluhur?“ kata salah seorang penonton berbadan gemuk agak pendek dan berdiri tidak jauh di belakang tempat duduk Ki Sulap Pangebatan. ”Masih muda, ya. Siapa sih nama istrinya, putri Adipati Dayeuhluhur itu?” Si Gemuk bertanya kepada teman yang berdiri di sampingnya.
“Hem, tak tahu kamu, ya? Adipati Dayeuhluhur itu ipar Kanjeng Adipati Kandhadaha. Putra sulungnya, Wirapati. Adiknya, Dyah Ayu Mayangsari. Berarti Tumenggung Silihwarna adalah suami Dyah Ayu  Mayangsari,” kata teman lelaki  tadi yang berdiri di samping Si Gemuk. Lelaki itu badannya kurus, tetapi agak tinggi.
“Lho, dengar-dengar bukankah Raden Wirapati  pernah melamar Sang Dewi?” tanya Si Gemuk pula.
“Iya, betul. Tapi Sang Dewi menolaknya,” Si Kurus menjelaskan.
“Kenapa menolak?” tanya Si Gemuk pula penasaran.
Tentu saja Ki Sulap Pangebatan terkejut, saat mendengar secara samar-samar nama Sang Dewi disebut-sebut dalam perbincangan itu. Ki Sulap Pangebatan segera membaca mantra Ciung Wanara untuk mempertajam pendengarannya agar bisa mengikuti pembicaraan kedua orang penonton yang berdiri di-belakangnya. Kedua orang itu agak jauh  dari Ki Sulap Pangebatan karena terhalang palang bambu pembatas penonton. Kembali Ki Sulap Pangebatan mendengarkan dengan jelas perbincangan kedua lelaki itu.
“Mana aku tahu? Mungkin Sang Dewi kurang nyaman menikah dengan putra adik ipar Ayahnya, sekalipun usia Raden Wirapati lebih tua,” jawab Si Kurus.
“Ya, tapi Sang Dewi malah jatuh cinta pada tukang jala dan paleka anak angkat Ki Patih Reksanata,” kata lelaki yang gemuk tadi.
“Itulah cinta. Tapi, sepertinya sekarang Sang Dewi sakit,” kata Si Kurus.
“Sakit? Sakit apa?”
“Mana aku tahu?”
“Hamil kali?” kata Si Gemuk sambil tertawa dengan maksud berkelakar.(bersambung)

1 komentar:

  1. Silakan Kunjungi Artikel S128

    Ayam Jago
    Sabung Ayam Bali

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    BalasHapus