Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 31 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (10)





“Sang Putri sendiri sudah mulai tegar. Dia bertekad menghadapi pengusiran dirinya sebagai suatu tantangan yang harus bisa dijawabnya. Mengadu pada kekasihnya di Jenggala? Rasanya tidak mungkin. Dia merasa bukan lagi wanita jelita, karena rambut adalah mahkota wanita. Dengan Rambut sudah dipotong pendek, belum tentu Raden Inu Kertapati mau menerima dirinya.”
“Akhirnya setelah menempuh perjalanan lama, menjelang tengah hari, tibalah rombongan Sang Putri diperbatasan Kerajaan Daha dan Jenggala. Sang Putri minta Ki Patih berhenti. Sang Putri mohon Ki Patih membuatkan pesanggrahan di tempat itu. Sang Putri ingin menjadikan tempat itu untuk menetap sementara setelah diusir dari Keraton Daha.”
“Ki Patih segera mengerahkan prajuritnya untuk membangun pesanggrahan baru, mengikuti kehendak Sang Putri. Setelah beberapa hari bekerja keras dengan semangat gotong royong, sepi ing pamrih, ramai ing gawe, pesanggrahan dengan atap rumbia, dinding dan tiang dari bambu dan kayu, daun jendela dan daun pintu dari kayu, pesanggrahan itu sudah berdiri,” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
“Sang Putri minta pertimbangan Mahadewi dan Ki Patih. Sang Putri bermaksud mendirikan sebuah kerajaan di tempat itu. Ki Patih dan Ibu Mahadewi tentu saja menyetujuinya. Bahkan Ki Patih berjanji akan membantunya dengan sekuat tenaga,” kata Ki Dalang meneruskan kisahnya. “Malam pun tiba. Ki Patih, Mahadewi, dan prajurit yang telah seharian bekerja keras, sudah tidur pulas. Tetapi Sang Putri, Ken Bayan, dan Ken Sanggit masih terus berbisik-bisik merundingkan sesuatu. Kadang-kadang Sang Putri Galuh Candra Kiranan menimang-nimang boneka emas kesayangannya. Akhirnya Sang Putri dan kedua dayang pengasuhnya itu pulas tertidur.”
“Tetapi pagi-pagi benar, Sang Putri sudah bangun. Diiringi kedua pengasuhnya, Sang Putri bergegas menuju telaga Puspawarna yang jernih airnya untuk mandi. Usai mandi, Sang Putri mengenakan pakaian pria, hingga dia tampil sebagai ksatria berwajah tampan sekali. Demikian pula Ken Bayan dan Ken Sanggit, mengenakan pakaian pria sehingga menjelma jadi ksatria tampan pula. Kumis tipis menghiasi wajah Ken Bayan dan Ken Sanggit. Ketika sampai di pasanggrahan, Ki Patih dan Mahadewi terkejut bukan main. Hampir saja Ki Patih mengambil pedang, karena mengira telah datang musuh yang akan menculik Sang Putri. Untunglah Sang Putri segera memberitahukan identitas mereka bertiga.”
“Betapa terkejutnya Ki Patih dan Mahadewi, setelah tahu bahwa para ksatria tampan itu adalah Sang Putri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, Ken Sanggit yang menyamar menjadi Kuda Peranca dan Ken Bayan yang menyamar menjadi Kuda Perwira. Sang Putri Candra Kirana yang telah mengenakan pakaian ksatria tampan Raden Panji Semirang itu menjelaskan maksud penyamarannya yaitu ingin melupakan masa lalunya yang menyedihkan dan menyakitkan. Dia pun menjelaskan pesanggrahan yang didirikannya itu akan dirubah menjadi sebuah kerajaan yang akan dipimpinnya sendiri dengan bantuan Patih Kuda Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira. Kerajaan yang akan didirikannya itu diberi nama Kerajaan Asmarakanta.”
Terdengar suara Ki dalang membawakan suara Ki Patih. “Oh, sungguh luar biasa. Pamanda setuju sekali. Sejumlah prajurit akan Paman tinggalkan sementara di sini. Pamanda juga akan bantu agar berdatangan pemukim baru ke sini.”
Kemudian terdengar Ki Dalang membawakan suara Sang Putri Candra Kirana Panji Semirang. “Aku mohon Pamanda Patih menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkan orang-orang Daha melupakan hamba. Aku hendak berkelana. Aku hendak membuat lembaran baru dalam lakon hidupku. Sekarang selesai sudah tugas Pamanda Patih menyelamatkan aku keluar dari istana Daha. Istana yang bagaikan neraka bagiku. Aku ucapkan terima kasih atas bantuan dan pertolongan Pamanda Patih. Aku hanya bisa berdoa semoga Dewatalah kelak yang akan membalas semua kebaikan Pamanda. Dengan iringan doa selamat dariku kepada Pamanda. Aku ikhlaskan Pamanda Patih kembali ke Daha.”
Kembali terdengar suara biasa Ki Dalang dengan nada suara biasa. “Ki Patih terharu mendengar kata-kata Panji Semirang Asmarakanta. Maklumlah, karena Ki Patih mengenal Sang Putri sejak masa kanak-kanak mula. Ya, sejak masih dalam buaian dan asuhan Permaisuri Puspaningrat. Esok paginya Ki Patih barulah meninggalkan Panji Semirang dan pulang ke barat. Kerajaan Daha tempat tujuan kembalinya. Sedang Mahadewi lebih suka mendampingi Sang Putri dari pada pulang ke Daha kembali.”
Crek…crek…crek…, Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan pengiring kembali terdengar dengan irama netral dan tempo sedang. Sinden Paijem mengiringi dengan suara emasnya. Di layar Ki Dalang sudah menampilkan gambar Raden Panji Semirang, Patih Kuda Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira dengan gagah duduk di atas kuda, menjaga jalan besar yang menghubungkan Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Daha.
Terdengar suara Ki Dalang dalam suara yang normal. “Tiap pagi Kuda Peranca dan Kuda Perwira dibantu beberapa prajurit anak buah Ki Patih Daha yang telah disumpah untuk menjaga rahasia. Mereka menjaga jalan yang menghubungkan Daha-Jenggala. Tugas mereka adalah mengenalkan kerajaan baru yang dipimpin Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta. Jika ada orang lewat baik dari Daha ataupun Jenggala akan ditahannya. Tetapi bila ada orang dari Kerajaan Gagelang, akan dibiarkan lewat begitu saja. Rombongan yang sering lewat pada umumnya adalah para pedagang atau mereka yang akan mencari kerja.”
“Suatu saat lewat rombongan dari Gagelang. Mereka ditahan sebentar oleh Kuda Perwira dan diberitahu bahwa kerajaan baru itu dipimpin oleh rajanya Sang Baginda Panji Semirang yang adil dan bijaksana. Mereka diajak bermukim di kerajaan baru itu. Kalau tidak mau, hanya diminta agar menyampaikan berita ke Daha atau ke Jenggala yaitu bahwa Sang Raja Panji Semirang adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Setelah itu rombongan dari Gagelang dibiarkan lewat. Kemudian datanglah rombongan dari negeri Mentawan, Kuda Perwira, dan Kuda Peranca segera menahan mereka,” kata Ki Dalang, lalu berhenti sejenak.
Ki Dalang membawakan suara Kuda Perwira. “Oh, dari negeri Mentawan. Apa maksud kalian ke Jenggala, Kawan?”
Ki Dalang ganti membawakan suara Kepala Rombongan. “Macam-macam, Raden. Ada yang mau dagang, ada yang mau jual tenaga. Ada yang mau selenggarakan tontonan juga. Misalnya lais, ronggeng, debus, sulap, dan pertunjukan lainnya.”
Ki Dalang kembali membawakan suara Kuda Perwira. “Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke Jenggala. Kalian mesti ikut aku menghadap Sang Baginda Panji Semirang yang adil dan bijaksana. Di negeri kami kalian boleh mencari nafkah apa saja. Sumber penghidupan di negeri kami cukup banyak dan terbuka bagi siapa saja.”
Terdengar suara Ki Dalang membawakan suara Kepala Rombongan “Raden, jangan membegal kami. Kami harus meneruskan perjalanan ke Jenggala. Kami bisa menderita rugi. Langganan kami sudah menunggu lama sekali.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Kuda Peranca, Patih Kerajaan Asmarakanta. “Tidak bisa! Ini perintah! Ini kawasan Sang Baginda Panji Semirang! Siapa melawan saya tangkap! Kalau perlu kubunuh! Pilih! Mau hidup apa mau mati! Nyawa atau turuti perintahku! Mengerti? Apa kalian ingin merasakan tajamnya ujung tombakku ini ?”
Ki Dalang ganti membawakan suara dari Salah seorang anggota rombongan. “Meng..meng..errti, Raden. Jangan bunuh kami. Istri dirumah sedang hamil, Raden. Istri teman ada juga yang sedang sakit. Yang lain harus bayar hutang. Yang lain lagi mau mengawinkan anak. Jangan bunuh kami Raden. Ya, baik, baik. Tolong mata tombak diturunkan Raden. Kami takut. Kami mau menurut.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Kepala Rombongan yang berteriak memberi perintah. “Sialan kamu kawan! Jangan takut! Aku pun bisa main keris. Ayo kawan! Kita lawan! Lawan!”
Crek…crek….crek…tok…tok…trotok…tok. Ki Dalang membunyikan kecreknya diiringi suara gamelan dengan nada-nada tinggi dan tempo cepat. Ketipung terdengar bertalu-talu. Perkelaihan terjadi. Kuda Perwira dan Kuda Peranca dibantu sejumlah prajurit melawan rombongan pedagang yang hanya bersenjatakan keris. Ki Dalang mengisahkan, Kuda Perwira ternyata pandai main tombak. Tombak dipegang di tengah. Ujung yang tajam untuk menusuk ujung yang lain untuk memukul lawan sebagai ujung tongkat. Musuh terkena mata tombak. Ketipung berbunyi: Cos! Kuda Perwira memukulkan gagang tombak ke kepala musuh. Ketipung berbunyi: Dug! Musuh jatuh terpukul gagang tombak. Ketipung berbunyi: Gedebug! Gamelan terus berbunyi mengikuti adegan peperangan yang sedang diceriterakan Ki Dalang Sukmo Lelono.
*
Penonton bertepuk tangan ketika adegan peperangan berakhir dengan kemenangan mudah dari Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang tidak lain adalah Ken Bayan dan Ken Sanggit. Sang Dewi kagum kepada Ken Bayan dan Ken Sanggit yang ternyata bukan hanya pandai memainkan tombak. Tetapi juga pandai menunggang kuda. Tentu saja Sang Dewi lebih–lebih lagi kagum pada Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta yang tidak lain adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana, Putri Daha yang pantang menyerah. Demikian pula Sekarmenur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka, sangat senang mendengarkan kisah-kisah perkelahaian yang dimainkan oleh prajurit wanita. Sebab mereka bertiga pun pandai seni bela diri. Sekarmenur tiba-tiba ingat regu prajurit wanita yang pernah dibentuk Raja Nusakambangan, Pulebahas. Lamunan Sekarmenur lenyap ketika kembali terdengar suara Ki Dalang
*
Ki Dalang menceriterakan, bahwa hanya enam orang yang berani melawan Kuda Perwira-Kuda Peranca dan anak buahnya. Dua mati berlumuran darah, termasuk ketua rombongan. Empat luka-luka. Yang lainnya takluk. Mereka beramai-ramai digiring menghadap Sang Baginda Panji Semirang. Sri Baginda Panji Semirang menyambut mereka dengan menunjukkan simpati dan ramah tamah. Dikatakannya, bahwa Kerajaan Asmarakanta menyampaikan salam persaudaran. Sri Baginda menyambut kedatangan mereka, mengajak mereka berkerja sama bergotong royong membangun kerajaannya sehingga kerajaannya akan bertambah makmur. Sang Baginda juga menjanjikan kehidupan mereka akan lebih baik lagi.
Sang Baginda Panji Semirang memerintahkan prajurit dan anak buahnya untuk menghibur mereka dengan memberikan makan, minum dan apa saja. Tiap keluarga harus menampung tiga orang tamu di rumah masing-masing. Ternyata mereka semua mau melaksanakan perintah Sang Raja. Kemudian secara gotong royong mereka membangun perkampungan baru yang diakhiri dengan mengadakan pesta syukuran dan selamatan. Di alun-alun acara syukuran yang meriah itu diselenggarakan.
Tentu saja orang Mentawan senang mendengar sabda Sang Baginda. Hilang rasa cemas, takut dan curiga. Munculah rasa persaudaraan, kasih sayang dan rasa kekeluargaan. Mereka malah betah, senang, dan merasa menjadi rakyat dari seorang raja yang bukan saja adil, baik hati, dan penyayang. Tetapi juga karena Sang Baginda Panji Semirang, masih muda lagi pula sangat cakap dan tampan.
Mereka kemudian pulang untuk mengajak saudaranya pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Makin lama makin banyak rakyat Mentawan yang berbondong-bondong pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Dalam waktu singkat Kerajaan Asmarakanta bukan saja semakin ramai, tetapi penduduknya juga semakin meningkat. Apa yang dijanjikan Sang Baginda Panji Semirang untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan semua rakyatnya menjadi kenyataan.
Sang Baginda mendorong rakyatnya agar giat, rajin, dan tekun dalam berusaha dan bekerja menurut ketrampilan, kecakapan, dan kemampuan masing-masing. Sang Baginda hanyalah memberikan dorongan semangat dan fasilitas umum untuk melancarkan kegiatan. Rakyat yang belum cakap bekerja, diberikan bimbingan. Barang siapa yang mendapatkan kesulitan, diberikan pertolongan. Barang siapa yang papa, cacad dan sakit, dirawat dengan diberi santunan.
Anak-anak muda dilatih membuat alat-alat perang dan pertanian. Mereka juga dilatih ilmu bela diri agar bisa menjaga keamanan bagi diri sendiri, keluarga, dan negeri tercinta. Kepada mereka yang memperlihatkan kecakapannya dan mempunya prestasi luar biasa, Sang Baginda tidak segan-segan memberikan penghargaannya, demikian Ki Dalang Sukmo Lelono berkisah dari atas panggung pementasan, diiringi suara gamelan sayup sayup. Crek…ccrek..crek…..crek. Gamelan berhenti.
Ki Dalang melanjutkan suaranya tanpa iringan gamelan maupun alunan suara emas dari Sinden Paijem, Juminem, dan Titisari. “Nama Sang Baginda Panji Semirang, makin tenar. Namanya tersebar ke Daha, Jenggala, Gagelang, dan tentu saja Mentawan. Bahkan penduduk Mentawan banyak yang pindah ingin menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Akhirnya terbentuklah persahabatan dengan Kerajaan Mentawan. Bahkan dua putri Raja Mentawan, Puspajuita dan Puspasari akhirnya mengabdi kepada Sang Baginda Panji Semirang. Sang Raja Mentawan dan Permaisuri dengan berat mengijinkannya. Bahkan kedua emban pengasuh, yakni Ken Pamonang dan Ken Pasirian, diijinkan mengikuti majikannya, mengabdi di Kerajaan Asmarakanta.”
Ki Dalang membunyikan kecreknya, crek-crek-crek. Dan memukulkan cempalanya ke kotak tok..trotok..tok… Terdengar suara gamelan pelan-pelan. Ki Dalang Sukmo Lelono diam beberapa saat. Crek…crek…crek. Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan pengiring berhenti. Yang terdengar hanya suara Ki Dalang. “Alkisah rombongan dari Kerajaan Jenggala akan lewat menuju Kerajaan Daha. Raden Inu Kertapati dengan gagah naik kuda. Di depannya barisan prajurit berjalan lebih dulu, membawa barang-barang keperluan perkawinan. Di antaranya adalah sejumlah uang sebagai mas kawin yang akan di serahkan kepada calon mempelai wanita, Dyah Ayu Candra Kirana.
“Tetapi Kuda Perwira dan Kuda Peranca menghentikan rombongan yang membawa barang-barang cinderamata dan uang sebagai mas kawin. Kedua Panglima Kerajaan Asmarakanta minta agar mereka menyerahkan barang-barang dan uang mas kawin. Tentu saja prajurit Jenggala menolak. Terjadilah pertempuran di antara mereka.”
Kembali Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan dengan irama cepat, terdengar mengalun mengiringi adegan perkelahaian antara pasukan Kerajaan Jenggala yang dipimpin Ki Patih melawan pasukan Kerajaan Asmarakanta yang dipimpin Kuda Peranca dan Kuda Perwira.
Ternyata dalam pertempuran itu prajurit Jenggala dengan mudah dapat dikalahkan. Barang Cinderamata perkawinan dan uang mas kawin berhasil dirampas Kuda Peranca. Dia segera membawanya lari dan diserahkan kepada Sang Baginda Panji Semirang, kata Ki Dalang menceriterakan adegan peperangan.
Sementara itu Kuda Perwira berhasil melumpuhkan Ki Patih Kerajaan Jenggala, sehingga Ki Patih menderita luka-luka dan jatuh dari kuda. Ki Patih segera dilarikan oleh pengawalnya menemui Raden Inu Kertapati. Mendengar laporan uang mas kawin dan barang cinderamata untuk kekasihnya itu dirampas, Raden Inu Kertapati segera mencabut kerisnya. Dia lalu memacu kudanya menantang duel satu lawan satu kepada Sang Baginda Panji Semirang, Raja baru yang telah lama didengarnya. Kuda Perwira segera menghentikan Raden Inu Kertapati sambil memegang tombak.
Ki Dalang ganti membawakan suara Kuda Perwira yang bertindak sebagai Wakil Panglima Perang. “Stop! Berhenti. Atau ingin merasakan tajamnya mata tombak ini. Aku Kuda Perwira. Wakil Panglima Kerajaan Asmarakanta. Rajaku Sang Baginda Panji Semirang. Semua orang yang lewat, wajib menghadap Sang Baginda Panji Semirang. Seorang Raja yang adil dan bijaksana.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Raden Inu Kertapati. “He Kuda Perwira! Tahukan engkau siapa aku? Aku Putra Mahkota Sang Baginda Raja Jenggala. Aku akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihku, Putri Daha Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kenapa barang-barang cinderamata dan uang mas kawin kau rampas? Jika Rajamu memang Raja yang adil dan bijaksana, janganlah jadi begal dan pemeras. Kembalikan barang-barang itu. Atau aku tantang Rajamu itu bertanding duel satu lawan satu denganku? Katakan sana pada Rajamu. Aku tidak butuh bertempur dengan kamu.”
Suara gamelan berhenti, setelah terdengar suara kecrek. Kembali Ki Dalang membawakan suara Kuda Perwira. “Ha….ha…ha…! Calon pengantin pria dari Jenggala? Hem….! Kekasih Dyah Ayu Candra Kirana Putri Daha? Hem…! Tolong simpan dulu keris itu. Rajaku Sang Baginda Panji Semirang Raja adil dan bijaksana. Dia berpesan kepadaku barang-barang cinderamata dan mas kawin untuk Putri Daha masih utuh. Tidak akan diambil oleh Sang Baginda Panji Semirang sedikit pun. Sang Baginda hanya mengharapkan calon mempelai pria menghadap dulu. Setelah itu silahkan ambil kembali semua barang-barang. Sang Baginda Panji Semirang berpesan hanya calon mempelai pria yang boleh mengambilnya. Selain dia, tidak boleh!”
Ganti Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertaapati yang mulai melunak.“Baik, aku masukkan keris ini ke sarungnya. Aku hanya tidak mau ribut. Sebab kasihan kekasihku, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kedatanganku di Daha sudah sangat ditunggu-tungggun. Besok harus sudah sampai di Daha. Esok lusa prosesi upacara pernikahanku dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Apa jaminanmu, engkau tidak ingkar janji sedikitpun?”
Ki Dalang kembali membawakan suara Kuda Perwira untuk meyakinkan Raden Inu Kertapati. “Jaminanku nih! Potong leherku bila aku berbohong. Sekarang ayo ikuti aku menghadap Sang Baginda Panji Semirang, yang sedang menunggu di bale pertemuan. Ayo! Keburu malam tiba.”
Terdengar suara Ki Dalang kembali ke dalam nada normal diringi suara gending lamat-lamat, “Tar…, tar…, tar…! Kuda Perwira melecut kudanya dan memacunya menuju istana Kerajaan Asmarakanta. Raden Inu Kertapati segera mengikutinya, memacu kudanya di belakang Kuda Perwira. Prajuritnya diminta menunggu dan membuat kemah. Mereka diminta agar menunggu perintah yang bisa saja datang setiap saat. Ternyata Sang Baginda Panji Semirang menyambutnya dengan menunggang kuda. Ketika melihat kuda Raden Inu Kertapati mendekat, Sang Baginda Panji Semirang merasa berdebar-debar. Selama ini sebenarnya Panji Semirang alias Candra Kirana itu belum pernah bertemu dengan tunangannya, Putra Mahkota Kerajaan Jenggala. Demikian pula sebaliknya.”
“Akhirnya keduanya bertemu juga. Wajah bertemu wajah. Pandangan bertemu pandangan. Mata bertemu mata. Keduanya gemetar seketika. Panji Semirang tidak menduga, Raden Inu Kertapati ternyata tampan luar biasa. Sebaliknya, Raden Inu Kertapati heran ada Raja berwajah cantik jelita dan muda belia. Tetapi tampak gagah perkasa. Duduk di atas kudanya.”
“Lebih-lebih ketika Raden Inu Kertapati mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Perasaan aneh tiba-tiba menggoyang-goyang jantungnya. Raden Inu Kertapati kembali heran ada tangan seorang pria kulitnya halus bak kain sutra. Tetapi Panji Semirang cepat menguasi perasaannya. Panji Semirang segera menyambutnya dengan mengucapkan selamat datang kepada Raden Inu Kertapati. Diajaknya Raden Inu Kertapati masuk istana. Sang Baginda Panji Semirang sudah menyediakan santap malam untuk Raden Inu Kertapati. Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya Sang Baginda Panji Semirang menanyakan soal rencana pernikahan Raden Inu Kertapati.” Ki Dalang membunyikan kecreknya…crek…crek..crek. Suara gamelan yang lamat-lamat berhenti (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar