Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 29 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (06)





Di depan Pendapa sengaja dikosongkan agar penduduk yang ingin menyaksikan pagelaran wayang itu bisa nyaman memandang ke atas kelir. Penduduk tidak diperkenankan naik ke Pendapa. Mereka berdesak-desakan di halaman Pendapa saling berebut untuk melihat wajah Sinden Titisari, sinden cantik bersuara emas.
Malam terus berjalan diiringi bintang gemintang yang susul menyusul muncul di langit Kadipaten Pasirluhur. Bintang-bintang itu seakan-akan ingin berebut menyumbangkan cahayanya menerangi Pendapa kadipaten dari tempat yang jauh di atas sana. Bintang gemintang itu tidak mau kalah dengan nyala ribuan damar sewu yang perpendaran di sekitar Pendapa dan dalem Kadipaten Pasirluhur.
Tumenggung Maresi yang menjabat sebagai ketua panitia, melangkah masuk ke halaman, menyibakkan para penonton, lalu dengan gagah naik ke atas Pendapa. Tamu undangan satu demi satu mengikutinya dan menempati tempat duduk yang telah disediakan. Tumenggung Maresi yang mengenakan kain batik parang kelitik wiron, selop hitam, beskap hitam dan blankon corak batik coklat hitam, memberi tahu Ki Dalang agar gamelan dibunyikan menyambut tamu-tamu yang mulai berdatangan.
Iringan suara gamelan pun mulai mengalun, diawali dengan suara seruling, menyusul suara gender, ketipung dan kangsi. Sinden Senior Juminem dan Paijem yang berbadan gemuk bulat seperti kueh polimba itu, menunjukkan keahliannya. Keduanya menyanyikan lagu gembira yang dibawakan dengan suara yang empuk, enak didengar, meninabobokan telinga. Suara emas sinden dari grumbul Kalikidang itu lepas menjangkau keluar. Menjangkau jauh meninggalkan Pendapa menyinggahi ribuan telingan pendengarnya yang ada di halaman mau pun yang berjubel di tepi jalan. Tetapi Sinden Titisari yang dirindukan pendengarnya itu, masih duduk tenang sambil jari jemari tangannya yang lentik mengibas-ngibaskan kipas sutra di depan dadanya. Dada yang padat berisi, berkilat-kilat tertimpa cahaya lampu dari atas panggung. Banyak laki-laki yang diam-diam mencuri pandang, mengagumi sepasang bukit kembar sinden muda yang cantik itu.
Tak lama kemudian rombongan Kanjeng Adipati dengan keluarganya pun tiba. Mereka satu per satu naik ke Pendapa dan menempati tempat duduk yang telah disediakan. Sang Dewi didampingi Kamandaka duduk di kursi kehormatan. Menyusul duduk di sebelah kanan Kamandaka, Kanjeng Adipati Sepuh, Pendeta Muda Amenglayaran, Wirapati, Silihwarna, Arya Baribin dan Ki Patih. Di sebelah kiri Sang Dewi, duduk Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, Mayangsari, Ratna Pamekas, Sekarmenur, Sekarmelati dan Sekarcempaka. Dua terakhir adalah saudara kembar adik Dyah Sekarmenur yang telah tiba dari Nusakambangan. Di deretan kursi di belakangnya duduk keluarga besar Kanjeng Adipati yang lainnya, termasuk Khandeg Wilis,Nyai Kertisara dan Rekajaya.
Tumenggung Maresi memberi tahu Ki Dalang agar gamelan di hentikan sejenak. Dia berjalan menghadap Kamandaka dan Sang Dewi.
“Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Ki Dalang Sukmo Lelono mohon ijin memulai persembahan pertunjukan wayang beber.”
Kamandaka berpaling pada istrinya yang duduk di sebelah kirinya. “Bagaimana Diajeng? Bisa dimulai?”
Sang Dewi tersenyum kepada Tumenggung Maresi, dan menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Terimakasih Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati,” kata Tumenggung Maresi. Dia segera memberitahu pada Ki Dalang bahwa pertunjukan sudah dapat dimulai.
Ki Dalang Sukmo Lelono mengawalinya dengan gending pembukaan. Didahului suara seruling, gender, gerakan dinamik dari permainan ketipung yang menghasilkan nada-nada dan irama ceria, disusul dengan kenong. Sinden Titisari masuk dengan suara emasnya satu oktaf di atas tangga nada Sinden Juminem dan Paijem. Penonton langsung hanyut dan tersihir oleh lagu yang demikian indah. Tepuk tangan penonton segera bergema di sana sisi. Kanjeng Adipati Sepuh matanya tak berkedip melihat penampilan Sinden Titisari. Kecantikannya sepadan dengan keindahan suara emasnya.
Sang Dewi melirik ayahnya yang masih tertegun-tegun memandang Sinden Titisari tanpa berkedip itu. Sang Dewi tersenyum melihat ayahnya yang tidak tahu kalau sedang diperhatikan.
“Kanjeng Ibu pasti pingsan kalau tahu Titisari itu mantan istri muda Kanjeng Rama yang telah diceraikannya,” Sang Dewi menggerutu dalam hati.
Lalu ditengoknya ibunya yang duduk disampingnya. Ternyata ibunya pura-pura mengantuk. Sang Dewi tahu, ibunya memang tidak begitu tertarik pada seni tari dan seni nyanyi. Dia pun tidak begitu suka pada profesi sinden apalagi lengger. Sebaliknya Mayangsari, yang duduk di samping kiri Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, matanya tidak berkedip menyaksikan sinden bersuara emas Titisari yang memukau penonton itu. Tangan dan kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang dibawakan Sinden Titisari.
“Mau menyumbangkan lagu?” tanya Sang Dewi pada adik sepupunya itu. Mayangsari mengangguk senang.
“Nanti aku sampaikan kepada Tumenggung Maresi,” Sang Dewi berjanji.
Pendeta Muda Amenglayaran, tidak terkecuali. Dia terkesiap seketika ketika menyaksikan penampilan Sinden Titisari di atas pangggung. Beberapa kali dia mengusap-usap matanya.
“Luar biasa! Putri Ayunglarang Sakean? Bagaimana mungkin dia muncul di sisini?” Pendeta Muda itu bingung seketika. Setiap kali mengusap matanya, setiap kali pula yang dilihatnya sedang menyanyi di atas panggung itu adalah Putri Ayunglarang Sakean. Sepanjang pertunjukan itu, dia duduk gelisah tak menentu. Dia tidak habis mengerti, bagaimana mungkin Putri Ayunglarang Sakean bisa hidup kembali menjelma menjadi sinden cantik bersuara emas yang kini ada di depannya? Sebenarnya Amenglayaran memang jatuh cinta pada putri cantik jelita Ayunglarang Sakean. Tetapi dia terlambat menyadarinya.
“Aneh, kenapa dulu aku membuat surat puisi konyol yang mengakibatkan nyawa gadis yang sesungguhnya aku cintai itu melayang?” Malam itu, bayangan Putri Ayunglarang Sakean, berpuluh-puluh kali muncul kembali di depan pelupuk matanya.
“Alangkah anehnya cinta itu,” keluh Pendeta Muda itu di dalam hati.
Tiba-tiba Kanjeng Ayu Adipati Sepuh berdiri, ”Nduk Dewi, Ibu ngantuk sekali. Tidak kuat. Ibu pulang saja, ya?”
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh langsung berdiri. Sang Dewi memanggil Khandeg Wilis supaya mengantarkan Ibunya ke Dalem Gede. Rupanya Kanjeng Ayu Adipati langsung marah, karena tahu suaminya sejak tadi melihat tidak berkedip Sinden Titisari. Kanjeng Ayu Adipati khawatir suaminya bisa tergoda oleh sinden cantik Titisari, bila terus menerus menatapnya tidak berkedip. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kanjeng Ayu Adipati Sepuh diiringi Khandeg Wilis, lewat begitu saja di depan suaminya yang membuat Kanjeng Adipati Sepuh terkejut dan melepaskan pandangannya dari Sinden Titisari.
“Ibu marah!” bisik Sang Dewi pada Kanjeng Ramanya yang bertanya heran pada Sang Dewi. Mendengar bisikan seperti itu dari putrinya, Kanjeng Adipati Sepuh langsung berdiri tergesa-gesa menyusul istri tercintanya.
“Ada apa, Diajeng dengan Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Ah, tidak ada apa-apa. Hanya ngantuk saja.Tadi siang tidak tidur,” jawab Sang Dewi singkat.
“Ah, Kanda tahu. Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama ingin berduaan di tempat tidur,” bisik Kamandaka. Sang Dewi diam saja dan melanjutkan menikmati suara emas Sinden Titisari. Tapi tangan kanannya langsung mencubit paha kiri Kamandaka. Kamandaka terpaksa hanya bisa mengeluh menahan sakit tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pendeta Muda Amenglayaran menggeser duduknya ke kiri mendekati Kamandaka, menggantikan tempat duduk yang ditinggalkan Kanjeng Adipati Sepuh. Mayangsari, melakukan hal yang saman. Dia pun menggeser duduknya ke kanan, mendekati Sang Dewi.
Pendeta Muda Amenglayaran kembali menatap tak berkedip Sinden Titisari yang tengah mengumandangkan suaranya emsnya.
***
Ki Dalang Sukmo Lelono membunyikan kecrek, suara gamelan pengiring berhenti. Demikan pula Sinden Titisari menghentikan suara emasnya. Ki Dalang menyanyikan suluk membuat narasi yang melukiskan Kerajaan Daha sebagai sebuah kerajaan yang aman tenteram, subur makmur, rakyatnya hidup salam dan bahagia. Terpenuhi dengan mudah kebutuhan pokok rakyat, sandang-pangan-papan. Kecrek berbunyi. Crek,crek,crek….crek.
“Mijil langenira sang dyah ayu.. Lampahira alon , ginarebeg badhaya myang ywarnanira, solahira wingit lir hapsari tumurun, o,.. Solahira wingit lir hapsari tumurun, o... Sari sari ….”/ “Ke luar berjalan sang putri..jalannya pelan, diikuti pengiringnya, jalannya anggun bagaikan bidadari turun ke dunia..jalanya anggun bagaikan bidadari turun ke dunia,...”
Suara gending pelan-pelan dengan nada lembut menyusul. Ki Dalang Sukmo Lelono, membalikkan badannya menghadap layar. Pasak sebelah kanan wayang beber dicabut. Gulungan gambar gunung langsung tergulung ke kiri. Kini yang tampak di layar gambar seorang gadis cantik putri kerajaan yang sedang bermain-main di tamansari Kerajaan Daha, didampingi dua orang emban pengasuhnya. Di tempat yang agak jauh juga tampak seorang gadis sedang bermain-main sendirian.[bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar