Di
depan Pendapa sengaja dikosongkan agar penduduk yang ingin menyaksikan
pagelaran wayang itu bisa nyaman memandang ke atas kelir. Penduduk tidak
diperkenankan naik ke Pendapa. Mereka berdesak-desakan di halaman Pendapa
saling berebut untuk melihat wajah Sinden Titisari, sinden cantik bersuara
emas.
Malam
terus berjalan diiringi bintang gemintang yang susul menyusul muncul di langit
Kadipaten Pasirluhur. Bintang-bintang itu seakan-akan ingin berebut
menyumbangkan cahayanya menerangi Pendapa kadipaten dari tempat yang jauh di
atas sana. Bintang gemintang itu tidak mau kalah dengan nyala ribuan damar sewu
yang perpendaran di sekitar Pendapa dan dalem Kadipaten Pasirluhur.
Tumenggung
Maresi yang menjabat sebagai ketua panitia, melangkah masuk ke halaman,
menyibakkan para penonton, lalu dengan gagah naik ke atas Pendapa. Tamu
undangan satu demi satu mengikutinya dan menempati tempat duduk yang telah
disediakan. Tumenggung Maresi yang mengenakan kain batik parang kelitik wiron,
selop hitam, beskap hitam dan blankon corak batik coklat hitam, memberi tahu Ki
Dalang agar gamelan dibunyikan menyambut tamu-tamu yang mulai berdatangan.
Iringan
suara gamelan pun mulai mengalun, diawali dengan suara seruling, menyusul suara
gender, ketipung dan kangsi. Sinden Senior Juminem dan Paijem yang berbadan
gemuk bulat seperti kueh polimba itu, menunjukkan keahliannya. Keduanya
menyanyikan lagu gembira yang dibawakan dengan suara yang empuk, enak didengar,
meninabobokan telinga. Suara emas sinden dari grumbul Kalikidang itu lepas
menjangkau keluar. Menjangkau jauh meninggalkan Pendapa menyinggahi ribuan
telingan pendengarnya yang ada di halaman mau pun yang berjubel di tepi jalan.
Tetapi Sinden Titisari yang dirindukan pendengarnya itu, masih duduk tenang
sambil jari jemari tangannya yang lentik mengibas-ngibaskan kipas sutra di
depan dadanya. Dada yang padat berisi, berkilat-kilat tertimpa cahaya lampu
dari atas panggung. Banyak laki-laki yang diam-diam mencuri pandang, mengagumi
sepasang bukit kembar sinden muda yang cantik itu.
Tak
lama kemudian rombongan Kanjeng Adipati dengan keluarganya pun tiba. Mereka
satu per satu naik ke Pendapa dan menempati tempat duduk yang telah disediakan.
Sang Dewi didampingi Kamandaka duduk di kursi kehormatan. Menyusul duduk di
sebelah kanan Kamandaka, Kanjeng Adipati Sepuh, Pendeta Muda Amenglayaran,
Wirapati, Silihwarna, Arya Baribin dan Ki Patih. Di sebelah kiri Sang Dewi,
duduk Kanjeng Ayu Adipati Sepuh, Mayangsari, Ratna Pamekas, Sekarmenur,
Sekarmelati dan Sekarcempaka. Dua terakhir adalah saudara kembar adik Dyah
Sekarmenur yang telah tiba dari Nusakambangan. Di deretan kursi di belakangnya
duduk keluarga besar Kanjeng Adipati yang lainnya, termasuk Khandeg Wilis,Nyai
Kertisara dan Rekajaya.
Tumenggung
Maresi memberi tahu Ki Dalang agar gamelan di hentikan sejenak. Dia berjalan
menghadap Kamandaka dan Sang Dewi.
“Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati, Ki Dalang Sukmo Lelono mohon ijin memulai
persembahan pertunjukan wayang beber.”
Kamandaka
berpaling pada istrinya yang duduk di sebelah kirinya. “Bagaimana Diajeng? Bisa
dimulai?”
Sang
Dewi tersenyum kepada Tumenggung Maresi, dan menganggukkan kepalanya tanda
setuju.
“Terimakasih
Kanjeng Ayu Adipati dan Kanjeng Adipati,” kata Tumenggung Maresi. Dia segera
memberitahu pada Ki Dalang bahwa pertunjukan sudah dapat dimulai.
Ki
Dalang Sukmo Lelono mengawalinya dengan gending pembukaan. Didahului suara
seruling, gender, gerakan dinamik dari permainan ketipung yang menghasilkan
nada-nada dan irama ceria, disusul dengan kenong. Sinden Titisari masuk dengan
suara emasnya satu oktaf di atas tangga nada Sinden Juminem dan Paijem.
Penonton langsung hanyut dan tersihir oleh lagu yang demikian indah. Tepuk
tangan penonton segera bergema di sana sisi. Kanjeng Adipati Sepuh matanya tak
berkedip melihat penampilan Sinden Titisari. Kecantikannya sepadan dengan
keindahan suara emasnya.
Sang
Dewi melirik ayahnya yang masih tertegun-tegun memandang Sinden Titisari tanpa
berkedip itu. Sang Dewi tersenyum melihat ayahnya yang tidak tahu kalau sedang
diperhatikan.
“Kanjeng
Ibu pasti pingsan kalau tahu Titisari itu mantan istri muda Kanjeng Rama yang
telah diceraikannya,” Sang Dewi menggerutu dalam hati.
Lalu
ditengoknya ibunya yang duduk disampingnya. Ternyata ibunya pura-pura mengantuk.
Sang Dewi tahu, ibunya memang tidak begitu tertarik pada seni tari dan seni
nyanyi. Dia pun tidak begitu suka pada profesi sinden apalagi lengger.
Sebaliknya Mayangsari, yang duduk di samping kiri Kanjeng Ayu Adipati Sepuh,
matanya tidak berkedip menyaksikan sinden bersuara emas Titisari yang memukau
penonton itu. Tangan dan kakinya bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang
dibawakan Sinden Titisari.
“Mau
menyumbangkan lagu?” tanya Sang Dewi pada adik sepupunya itu. Mayangsari
mengangguk senang.
“Nanti
aku sampaikan kepada Tumenggung Maresi,” Sang Dewi berjanji.
Pendeta
Muda Amenglayaran, tidak terkecuali. Dia terkesiap seketika ketika menyaksikan
penampilan Sinden Titisari di atas pangggung. Beberapa kali dia mengusap-usap
matanya.
“Luar
biasa! Putri Ayunglarang Sakean? Bagaimana mungkin dia muncul di sisini?”
Pendeta Muda itu bingung seketika. Setiap kali mengusap matanya, setiap kali
pula yang dilihatnya sedang menyanyi di atas panggung itu adalah Putri
Ayunglarang Sakean. Sepanjang pertunjukan itu, dia duduk gelisah tak menentu.
Dia tidak habis mengerti, bagaimana mungkin Putri Ayunglarang Sakean bisa hidup
kembali menjelma menjadi sinden cantik bersuara emas yang kini ada di depannya?
Sebenarnya Amenglayaran memang jatuh cinta pada putri cantik jelita Ayunglarang
Sakean. Tetapi dia terlambat menyadarinya.
“Aneh,
kenapa dulu aku membuat surat puisi konyol yang mengakibatkan nyawa gadis yang
sesungguhnya aku cintai itu melayang?” Malam itu, bayangan Putri Ayunglarang
Sakean, berpuluh-puluh kali muncul kembali di depan pelupuk matanya.
“Alangkah
anehnya cinta itu,” keluh Pendeta Muda itu di dalam hati.
Tiba-tiba
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh berdiri, ”Nduk Dewi, Ibu ngantuk sekali. Tidak kuat.
Ibu pulang saja, ya?”
Kanjeng
Ayu Adipati Sepuh langsung berdiri. Sang Dewi memanggil Khandeg Wilis supaya
mengantarkan Ibunya ke Dalem Gede. Rupanya Kanjeng Ayu Adipati langsung marah,
karena tahu suaminya sejak tadi melihat tidak berkedip Sinden Titisari. Kanjeng
Ayu Adipati khawatir suaminya bisa tergoda oleh sinden cantik Titisari, bila
terus menerus menatapnya tidak berkedip. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun,
Kanjeng Ayu Adipati Sepuh diiringi Khandeg Wilis, lewat begitu saja di depan
suaminya yang membuat Kanjeng Adipati Sepuh terkejut dan melepaskan
pandangannya dari Sinden Titisari.
“Ibu
marah!” bisik Sang Dewi pada Kanjeng Ramanya yang bertanya heran pada Sang
Dewi. Mendengar bisikan seperti itu dari putrinya, Kanjeng Adipati Sepuh
langsung berdiri tergesa-gesa menyusul istri tercintanya.
“Ada
apa, Diajeng dengan Kanjeng Ibu?” tanya Kamandaka.
“Ah,
tidak ada apa-apa. Hanya ngantuk saja.Tadi siang tidak tidur,” jawab Sang Dewi
singkat.
“Ah,
Kanda tahu. Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama ingin berduaan di tempat tidur,” bisik
Kamandaka. Sang Dewi diam saja dan melanjutkan menikmati suara emas Sinden
Titisari. Tapi tangan kanannya langsung mencubit paha kiri Kamandaka. Kamandaka
terpaksa hanya bisa mengeluh menahan sakit tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pendeta
Muda Amenglayaran menggeser duduknya ke kiri mendekati Kamandaka, menggantikan
tempat duduk yang ditinggalkan Kanjeng Adipati Sepuh. Mayangsari, melakukan hal
yang saman. Dia pun menggeser duduknya ke kanan, mendekati Sang Dewi.
Pendeta
Muda Amenglayaran kembali menatap tak berkedip Sinden Titisari yang tengah
mengumandangkan suaranya emsnya.
***
Ki
Dalang Sukmo Lelono membunyikan kecrek, suara gamelan pengiring berhenti.
Demikan pula Sinden Titisari menghentikan suara emasnya. Ki Dalang menyanyikan
suluk membuat narasi yang melukiskan Kerajaan Daha sebagai sebuah kerajaan yang
aman tenteram, subur makmur, rakyatnya hidup salam dan bahagia. Terpenuhi
dengan mudah kebutuhan pokok rakyat, sandang-pangan-papan. Kecrek berbunyi.
Crek,crek,crek….crek.
“Mijil
langenira sang dyah ayu.. Lampahira alon , ginarebeg badhaya myang ywarnanira,
solahira wingit lir hapsari tumurun, o,.. Solahira wingit lir hapsari tumurun,
o... Sari sari ….”/ “Ke luar berjalan sang
putri..jalannya pelan, diikuti pengiringnya, jalannya anggun bagaikan bidadari
turun ke dunia..jalanya anggun bagaikan bidadari turun ke dunia,...”
Suara
gending pelan-pelan dengan nada lembut menyusul. Ki Dalang Sukmo Lelono,
membalikkan badannya menghadap layar. Pasak sebelah kanan wayang beber dicabut.
Gulungan gambar gunung langsung tergulung ke kiri. Kini yang tampak di layar
gambar seorang gadis cantik putri kerajaan yang sedang bermain-main di
tamansari Kerajaan Daha, didampingi dua orang emban pengasuhnya. Di tempat yang
agak jauh juga tampak seorang gadis sedang bermain-main sendirian.[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar