Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 31 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (09)





“Kita nonton cukup sampai adegan goro-goro saja. Tetapi kalau Kanda mau nonton sampai pagi silahkan saja. Aku akan pulang sendiri setelah adegan goro-goro,” kata Sang Dewi yang membuat suaminya tersudut.
“Sekarang jelaskan dulu, apa arti simbol warna coklat saga. Jika jawaban Diajeng benar, kita nonton sampai adegan goro-goro saja. Tetapi jika jawaban Diajeng salah, kita nonton wayang sampai pagi. Adil bukan? “ kata Kamandaka tidak kalah cerdik dengan istrinya.
“Kalau begitu, jadi malam ini,” kata Sang Dewi sambil tersenyum.” Warna saga itu lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, Dewa pencipta energi cinta dan kasih sayang alam semesta. Kerajaan atau Kadipaten dengan kemakmuran dan kesejahteraan saja tanpa cinta kasih adalah timpang. Sedangkan cinta kasih saja tanpa kemakmuran dan kesejahteraan adalah kurang sempurna. Kanjeng Ibu, disamping pandai membatik dengan corak warna biru memakai bahan pewarna nabati biru dari daun tarum, juga pandai membatik dengan corak warna coklat saga memakai bahan pewarna nabati coklat tua dari daun saga. Tidak jauh dari Kerajaan Galuh Kawali juga ada desa namanya Cisaga. Desa itu adalah desa penghasil bahan pewarna batik dari daun saga. Dengan demikian warna saga sebagai lambang cinta dan kasih sayang Dewa Brahma, dikenal juga oleh Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran,” kata Sang Dewi yang membuat Kamandaka terkagum-kagum atas pengetahuan istrinya.
Kamandaka baru menyadari bahwa istrinya dan Mayangsari, serta keempat gadis calon adik ipar istrinya malam itu mengenakan baju seragam kembar yang melambangkan cinta dan kasih sayang. Baju atasan warna merah muda dan kain batiknya warna coklat saga hasil karya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh.
“Aku tiba-tiba ingin cepat-cepat menyusul Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” bisik Kamandaka kepada istrinya. Kamandaka merasa kewajibanya sebagai suami belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena kesibukan luar biasa menerima tamu undangan yang terus-menerus berdatangan setiap hari sejak upacara pernikahannya dengan Sang Dewi. Sementara itu, Sang Dewi sudah mendesak ingin cepat-cepat punya keturunan sebagai buah kasih sayang dan perjuangan cinta mereka berdua. Mendengar bisikan Kamandaka, Sang Dewi tersenyum penuh kemengangan karena merasa berhasil menyadarkan Kamandaka terhadap kewajibannya sebagai seorang suami. Kehadiran seorang bayi dari pasangan Sang Dewi dan Kamandaka, merupakan berita yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh kawula Kadipaten Pasirluhur.
Tiba-tiba Sang Dewi mengalihkan bahan perbincangan. Dia berpaling pada Mayangsari.“Dinda Mayangsari, kasihan Dinda Silihwarna dari tadi diam saja. Itu kursi di sebelah kirinya kosong. Ayo, Dinda Mayangsari pindah kesana,” kata Sang Dewi memberi perintah.
Mayangsari langsung berdiri tapi sambil menarik tangan Ratna Pamekas. Mereka berdua berjalan mendekati tempat duduk di samping kiri Silihwarna yang kosong. Sebelum duduk, Mayangsari mendekati kakaknya, Wirapati, sambil berbisik, ”Kanda, temani Ayunda Sekarmenur. Pindah sana. Ini perintah Kanjeng Ayu Adipati.”
Wirapati berdiri. Tempat yang ditinggalkan Wirapati kini diduduki Ratna Pamekas sehingga dia duduk tepat di sebelah kiri Arya Baribin. Mayangsari menduduki kursi kosong di sebelah kiri Silihwarna. Wirapati bergerak ke kiri, sehingga duduk di sebelah kanan Sekarmenur. Tapi Sang Dewi meminta Wirapati menduduki kursi kosong di samping kirinya yang ditinggalkan Mayangsari. Terpaksa Wirapati menggeser duduknya ke kanan, diikuti Sekarmenur dengan kedua adiknya, Sekarmelati dan Sekarcempaka.
“Pandai juga Diajeng mengatur tempat duduk,” bisik Kamandaka sambil melirik istrinya. Sang Dewi hanya tersenyum.
“Kanda, tolong panggilkan Tumenggung Maresi,” kata Sang Dewi kepada suaminya.
Kamandaka memanggil Tumenggung Maresi yang duduk di deretan depan dari kursi di sayap kanan Pendapa. Tumenggung Maresi segera berdiri dan menghadap Sang Dewi.
“Tumenggung Maresi, pas acara goro-goro, Dinda Mayangsari ingin menyanyi duet bersama Sinden Titisari. Bisa diatur ya!”
“Baik, Kanjeng Ayu Adipati.”
“Mana istri Tumenggung? Tidak dibawa?”
“Maafkan Kanjeng Ayu Adipati. Istri hamba takut angin malam. Lagi pula agak tidak enak badan,” jawab Tumenggung Maresi.
“Tumenggung, duduk di samping Ki Patih. Temani dia. Kasihan sendirian saja tak ada yang menemani. Kanjeng Rama sudah pulang tadi.”
“Baik, Kanjeng Ayu Adipati.” Tumenggung Maresi lalu duduk di samping kiri Ki Patih. Di sebelahnya duduk Arya Baribin. Malam terus beranjak menuju tengah malam. Tetapi jumlah penonton belum menyusut. Mereka menunggu adegan goro-goro yang mengasyikkan bagi mereka.
*
Suara gamelan yang sedang mengiringi perjalanan utusan Raja Jenggala menuju Kerajaan Daha, berhenti. Crek…crek…crek…..tok…trotok…tok. Terdengar suara Ki Dalang, “Sri Baginda Raja Daha sangat bergembira menerima hadiah dari Raja Jenggala. Ketika dibuka ada dua bungkusan boneka. Sang Raja yang didampingi Paduka Liku memanggil Galuh Ajeng lebih dulu untuk memilih bungkusan boneka. Tentu saja Galuh Ajeng memilih bungkusan sutra dewangga dengan benang emas. Galuh Ajeng dengan senyum kemenangan segera membawa bungkusan boneka pilihannya kembali ke kamarnya.”
“Candra Kirana tentu saja tidak perlu memilih. Boneka yang terbungkus kain biasa bukan sutra yang diikat benang hitam itulah bagiannya. Dengan didampingi Mahadewi, Candra Kirana membawa bungkusan boneka itu menuju Puri Mahadewi. Sejak kematian ibunya Candra Kirana lebih suka tinggal di Puri Mahadewi dengan ditemani Ken Sangggit dan Ken Bayan. Alangkah gembiranya Sang Dyah Ayu Candra Kirana, ketika bungkusan dibuka di hadapan Mahadewi ternyata isinya sebuah boneka emas yang indah sekali.”
Ki Dalang Sukmo Lelono membawakan suara Galuh Candra Kirana, “Duhai Ibunda Mahadewi. Alangkah cantiknya boneka ini. Pastilah karya Kanda Raden Inu Kerapati. Tahukan Ibunda? Raden Inu adalah seorang ksatria ahli seni kriya? Karya-karyanya digemari di mana-mana. Batik buatannya juga digemari wanita-wanita Daha, Gagelang, dan Mentawan. Bahkan digemari juga di kerajaan manca negara. Alangkah indah dan eloknya ini boneka. Lihat! Lihat! Wahai Ibunda. Boneka emas mengajak hamba tertawa. Hamba akan pertahankan boneka indah ini. Hamba sunggguh sangat terkesan. Wahai Ibu, hamba akan pertahankan boneka ini sampai titik darah penghabisan.”
Ki Dalang Sukmo Lelono ganti membawakan suara Mahadewi, “Boneka indah itu adalah milikmu. Jika engkau merasa bersedih pandanglah, niscaya akan lenyap duka nestapamu. Pertahankanlah sesuai dengan tekadmu.”
Ki Dalang membunyikan kecrek. Terdengar Sinden Titisari, Juminen, dan Paijem, mengalunkan lagu gembira bersama-sama. Diiringi suara ketipung dengan irama lembut. Suara seruling pun seperti ikut menari. Diiringi gender dan kangsi dengan irama sedang ceria.
Terdenga Ki Dalang berkata dengan nada suara normal, “Ternyata Galuh Ajeng mengetahui boneka Candra Kirana lebih indah dari boneka Galuh Ajeng. Sebab boneka Candra Kirana terbuat dari emas. Galuh Ajeng sangat sakit hati. Kini menyalahkan Ibundanya Paduka Liku yang sudah jadi Permaisuri. Kenapa dulu, tidak menyuruh Candra Kirana memilih bungkusan lebih dulu? Galuh Ajeng sambil menangis mulai mengadu. Buat apa punya ibu jadi Permaisuri jika tidak bisa meminta boneka emas yang kini ada di tangan Candra Kirana? Murka pula Paduka Liku kepada Candra Kirana. Kenapa Candra Kirana tidak melaporkan boneka emas miliknya? Paduka Liku mengadu kepada Sang Baginda. Katanya, Candra Kirana anak durhaka. Karena menyembunyikan boneka emas dan tak pernah memberitahukan kepada Sang Baginda. Tentu saja Sang Baginda langsung murka. Candra Kirana segera dipanggil untuk menghadap. Mahadewi yang cemas ikut mengiringinya. Murkalah Sang Baginda. Candra Kirana dipaksa agar menyerahkan boneka emas miliknya.”
Ki Dalang membawakan suara Candra Kirana, “Maafkan hamba, Ayahanda. Dari pada hamba harus menyerahkan boneka emas tercinta. Kepada Galuh Ajeng, putri kesayangan Ayahanda. Bunuh sajalah hamba oleh Ayahanda. Boneka emas itu adalah satu-satunya milik hamba yang hamba cintai di dunia, setelah Ibunda Puspaningrat meninggalkan dunia ini. Kini jadi anak piatu hamba ini. Boneka emas itulah satu-satunya pelipur duka lara. Dari pada hamba berpisah dengan boneka emas kesayangan hamba. Silahkan bunuh saja hamba. Biarlah hamba menyusul Permaisuri Puspaningrat, Ibunda tercinta yang telah bahagia di alam sana.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Sang Raja, “Heh…! Candra Kirana! Sejak kapan engkau menjadi anak durhaka? Tidak usah kamu berlutut mencium kakiku. Kamu sudah jadi anak pembangkang. Dulu membangkang, sekarang tetap membangkang. Tingkah lakumu seperti anak kemarin sore, tidak mau mengalah kepada adikmu. Malah berani membangkang perintah Rajamu. Engkau berikan boneka emas itu atau harus kupotong rambutmu?”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Candra Kirana, “Jangankan hanya rambut. Leher hamba akan Ayahanda potong pun hamba tidak akan menolak. Sebab Ayahanda memang pemegang kuasa. Tetapi jika hamba harus menyerahkan boneka emas itu hamba katakan sekali lagi Ayahanda, Tidak!”
Terdengar suara Ki Dalang membawakan Sang Raja yang sedang marah, “Memang rambutmu harus kupotong! Anak kurangajar!”
Murka Sang Raja mencapai puncaknya, demikian Ki Dalang melukiskan kemarahan Sang Raja. Sang Raja minta kepada Paduka Liku supaya mengambilkan gunting. Rambut Candra Kirana yang indah hitam lebat terurai itu diraihnya. Dengan muka merah padam, dipotongnya. Kres! Kres! Kres! Mahadewi menjerit dan mencoba menghalang-halanginya, tetapi apa daya? Dayang pengasuh pun ikut menangis mengiba-iba. Tapi Sang Baginda yang tengah murka memang sudah gelap mata. Candra Kirana yang sedang menangis dan masih memegangi kaki Sang Raja, disepaknya.
Ki Dalang kembali membawakan suara Sang Raja yang sedang murka, “Rasakan olehmu anak durhaka! Lekaslah engkau pergi dari hadapanku, besok sebelum matahari terbit. Aku tidak mau lagi melihat wajahmu ada di istana ini. Pergilah kemana kamu suka! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!”
Terdengar suara Ki Dalang dengan nada sedih menceriterakan murka Sang Raja akibat pengaruh teluh sakti Paduka Liku yang telah menguasai dirinya, “Sepah sirih teluh sakti telah menguasai Sang Baginda. Diusirnya Candra Kirana dari istana Daha. Bagi Mahadewi, para dayang, para punggawa, bahkan Ki Patih Kerajaan Daha, perintah pengusiran Sang Raja kepada Candra Kirana didengarnya bagaikan petir di siang hari. Mereka tidak menduganya sama sekali. Apalagi rambut kesayangan Sang Putri, telah dipotong menjadi pendek sekali.”
“Kecuali Paduka Liku, Galuh Ajeng dan Wakil Ki Patih, semuanya merasakan duka cita yang dialami Candra Kirana. Mahadewi dan kedua dayangnya, Ken Sanggit dan Ken Bayan, membimbing Candra Kirana ke Puri Mahadewi. Dibersihkannya dan diaturnya kembali rambut Candra Kirana yang kini terpotong pendek. Digantikannya baju yang telah kotor karena terkena sisa-sisa potongan rambut. Candra Kirana masih menahan isak tangisnya, mengenang nasib malang yang menimpa dirinya.”
Ki Dalang membunyikan kecreknya. Suara rebab dengan nada sedih mengarungi udara malam. Sinden Titisari kembali membawakan lagu sedih yang menyentuh sekali. Suaranya yang bisa menjangkau tangga nada tinggi dan diiringi suara gamelan rintik-rintik membuat mereka yang mendengarnya meneteskan air mata duka. Semua penonton yang ada di Pendapa maupun halaman Kadipaten Pasirluhur seperti tersihir ikut tenggelam dalam duka cita larut mengikuti jalan ceritera. Larut dalam nestapa. Sang Dewi yang biasanya tegar sudah sembab matanya basah oleh air mata. Apalagi Mayangsari, Dyah Ayu Sekar Menur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka yang lebih perasa. Sapu tangannya sudah basah oleh air mata duka cita. Hanya Ratna Pamekas yang agak lebih tegar. Sebab dia kurang paham beberapa kosa kata Ki Dalang yang kadang-kadang terselip dalam bahasa Jawa tingkat tinggi yang belum banyak dia mengerti.
Ki Dalang sudah menampilkan di layar gambar tiga orang ksatria cantik jelita. Entah dari kerajaan mana. Ki Dalang kembali membunyikan kecrek untuk menghentikan gending pengiring yang membawakan irama sedih. Sinden Titisari sudah menyelesaikan lagu yang dibawakannya.
Ki Dalang memperdengarkan suaranya. “Alkisah dua buah pedati di subuh pagi hari meninggalkan Keraton Daha menuju ke arah terbit matahari. Pelan-pelan rombongan dua pedati itu bergerak menuju Kerajaan Jenggala. Di dalam pedati paling depan duduk sebagai penumpang Ki Patih Kerajaan Daha, Dyah Ayu Candra Kirana, Mahadewi, Ken Sanggit, dan Ken Bayan. Pedati dibelakangnya berisi sejumlah peralatan, perbekalan, dan sejumlah prajurit. Ki Patih Daha yang merasa kasihan kepada Dyah Ayu Galuh Candra Kirana mengantarkan Sang Putri yang telah diusir keluar dari istana Kerajaan Daha.” (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar