“Kita nonton cukup sampai adegan
goro-goro saja. Tetapi kalau Kanda mau nonton sampai pagi silahkan saja. Aku
akan pulang sendiri setelah adegan goro-goro,” kata Sang Dewi yang membuat
suaminya tersudut.
“Sekarang
jelaskan dulu, apa arti simbol warna coklat saga. Jika jawaban Diajeng benar,
kita nonton sampai adegan goro-goro saja. Tetapi jika jawaban Diajeng salah,
kita nonton wayang sampai pagi. Adil bukan? “ kata Kamandaka tidak kalah cerdik
dengan istrinya.
“Kalau begitu,
jadi malam ini,” kata Sang Dewi sambil tersenyum.” Warna saga itu lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, Dewa pencipta energi cinta dan kasih sayang alam
semesta. Kerajaan atau Kadipaten dengan kemakmuran dan kesejahteraan saja tanpa
cinta kasih adalah timpang. Sedangkan cinta kasih saja tanpa kemakmuran dan
kesejahteraan adalah kurang sempurna. Kanjeng Ibu, disamping pandai membatik
dengan corak warna biru memakai bahan pewarna nabati biru dari daun tarum, juga
pandai membatik dengan corak warna coklat saga memakai bahan pewarna nabati
coklat tua dari daun saga. Tidak jauh dari Kerajaan Galuh Kawali juga ada desa
namanya Cisaga. Desa itu adalah desa penghasil bahan pewarna batik dari daun
saga. Dengan demikian warna saga sebagai lambang cinta dan kasih sayang Dewa
Brahma, dikenal juga oleh Kerajaan Galuh Kawali dan Kerajaan Pajajaran,” kata
Sang Dewi yang membuat Kamandaka terkagum-kagum atas pengetahuan istrinya.
Kamandaka baru
menyadari bahwa istrinya dan Mayangsari, serta keempat gadis calon adik ipar
istrinya malam itu mengenakan baju seragam kembar yang melambangkan cinta dan
kasih sayang. Baju atasan warna merah muda dan kain batiknya warna coklat saga
hasil karya Kanjeng Ayu Adipati Sepuh.
“Aku tiba-tiba
ingin cepat-cepat menyusul Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu,” bisik Kamandaka
kepada istrinya. Kamandaka merasa kewajibanya sebagai suami belum bisa
dilaksanakan sepenuhnya karena kesibukan luar biasa menerima tamu undangan yang
terus-menerus berdatangan setiap hari sejak upacara pernikahannya dengan Sang
Dewi. Sementara itu, Sang Dewi sudah mendesak ingin cepat-cepat punya keturunan
sebagai buah kasih sayang dan perjuangan cinta mereka berdua. Mendengar bisikan
Kamandaka, Sang Dewi tersenyum penuh kemengangan karena merasa berhasil
menyadarkan Kamandaka terhadap kewajibannya sebagai seorang suami. Kehadiran
seorang bayi dari pasangan Sang Dewi dan Kamandaka, merupakan berita yang
sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh kawula Kadipaten Pasirluhur.
Tiba-tiba Sang
Dewi mengalihkan bahan perbincangan. Dia berpaling pada Mayangsari.“Dinda
Mayangsari, kasihan Dinda Silihwarna dari tadi diam saja. Itu kursi di sebelah
kirinya kosong. Ayo, Dinda Mayangsari pindah kesana,” kata Sang Dewi memberi
perintah.
Mayangsari
langsung berdiri tapi sambil menarik tangan Ratna Pamekas. Mereka berdua
berjalan mendekati tempat duduk di samping kiri Silihwarna yang kosong. Sebelum
duduk, Mayangsari mendekati kakaknya, Wirapati, sambil berbisik, ”Kanda, temani
Ayunda Sekarmenur. Pindah sana. Ini perintah Kanjeng Ayu Adipati.”
Wirapati berdiri.
Tempat yang ditinggalkan Wirapati kini diduduki Ratna Pamekas sehingga dia
duduk tepat di sebelah kiri Arya Baribin. Mayangsari menduduki kursi kosong di
sebelah kiri Silihwarna. Wirapati bergerak ke kiri, sehingga duduk di sebelah
kanan Sekarmenur. Tapi Sang Dewi meminta Wirapati menduduki kursi kosong di
samping kirinya yang ditinggalkan Mayangsari. Terpaksa Wirapati menggeser
duduknya ke kanan, diikuti Sekarmenur dengan kedua adiknya, Sekarmelati dan
Sekarcempaka.
“Pandai juga
Diajeng mengatur tempat duduk,” bisik Kamandaka sambil melirik istrinya. Sang
Dewi hanya tersenyum.
“Kanda, tolong
panggilkan Tumenggung Maresi,” kata Sang Dewi kepada suaminya.
Kamandaka memanggil Tumenggung Maresi
yang duduk di deretan depan dari kursi di sayap kanan Pendapa. Tumenggung
Maresi segera berdiri dan menghadap Sang Dewi.
“Tumenggung
Maresi, pas acara goro-goro, Dinda Mayangsari ingin menyanyi duet bersama
Sinden Titisari. Bisa diatur ya!”
“Baik, Kanjeng
Ayu Adipati.”
“Mana istri
Tumenggung? Tidak dibawa?”
“Maafkan Kanjeng
Ayu Adipati. Istri hamba takut angin malam. Lagi pula agak tidak enak badan,”
jawab Tumenggung Maresi.
“Tumenggung,
duduk di samping Ki Patih. Temani dia. Kasihan sendirian saja tak ada yang
menemani. Kanjeng Rama sudah pulang tadi.”
“Baik, Kanjeng
Ayu Adipati.” Tumenggung Maresi lalu duduk di samping kiri Ki Patih. Di
sebelahnya duduk Arya Baribin. Malam terus beranjak menuju tengah malam. Tetapi
jumlah penonton belum menyusut. Mereka menunggu adegan goro-goro yang
mengasyikkan bagi mereka.
*
Suara gamelan yang sedang mengiringi
perjalanan utusan Raja Jenggala menuju Kerajaan Daha, berhenti.
Crek…crek…crek…..tok…trotok…tok. Terdengar suara Ki Dalang, “Sri Baginda Raja
Daha sangat bergembira menerima hadiah dari Raja Jenggala. Ketika dibuka ada
dua bungkusan boneka. Sang Raja yang didampingi Paduka Liku memanggil Galuh
Ajeng lebih dulu untuk memilih bungkusan boneka. Tentu saja Galuh Ajeng memilih
bungkusan sutra dewangga dengan benang emas. Galuh Ajeng dengan senyum
kemenangan segera membawa bungkusan boneka pilihannya kembali ke kamarnya.”
“Candra Kirana
tentu saja tidak perlu memilih. Boneka yang terbungkus kain biasa bukan sutra
yang diikat benang hitam itulah bagiannya. Dengan didampingi Mahadewi, Candra
Kirana membawa bungkusan boneka itu menuju Puri Mahadewi. Sejak kematian ibunya
Candra Kirana lebih suka tinggal di Puri Mahadewi dengan ditemani Ken Sangggit
dan Ken Bayan. Alangkah gembiranya Sang Dyah Ayu Candra Kirana, ketika
bungkusan dibuka di hadapan Mahadewi ternyata isinya sebuah boneka emas yang
indah sekali.”
Ki Dalang Sukmo
Lelono membawakan suara Galuh Candra Kirana, “Duhai Ibunda Mahadewi. Alangkah
cantiknya boneka ini. Pastilah karya Kanda Raden Inu Kerapati. Tahukan Ibunda?
Raden Inu adalah seorang ksatria ahli seni kriya? Karya-karyanya digemari di
mana-mana. Batik buatannya juga digemari wanita-wanita Daha, Gagelang, dan
Mentawan. Bahkan digemari juga di kerajaan manca negara. Alangkah indah dan
eloknya ini boneka. Lihat! Lihat! Wahai Ibunda. Boneka emas mengajak hamba
tertawa. Hamba akan pertahankan boneka indah ini. Hamba sunggguh sangat
terkesan. Wahai Ibu, hamba akan pertahankan boneka ini sampai titik darah
penghabisan.”
Ki Dalang Sukmo
Lelono ganti membawakan suara Mahadewi, “Boneka indah itu adalah milikmu. Jika
engkau merasa bersedih pandanglah, niscaya akan lenyap duka nestapamu.
Pertahankanlah sesuai dengan tekadmu.”
Ki Dalang
membunyikan kecrek. Terdengar Sinden Titisari, Juminen, dan Paijem, mengalunkan
lagu gembira bersama-sama. Diiringi suara ketipung dengan irama lembut. Suara
seruling pun seperti ikut menari. Diiringi gender dan kangsi dengan irama
sedang ceria.
Terdenga Ki
Dalang berkata dengan nada suara normal, “Ternyata Galuh Ajeng mengetahui boneka
Candra Kirana lebih indah dari boneka Galuh Ajeng. Sebab boneka Candra Kirana
terbuat dari emas. Galuh Ajeng sangat sakit hati. Kini menyalahkan Ibundanya
Paduka Liku yang sudah jadi Permaisuri. Kenapa dulu, tidak menyuruh Candra
Kirana memilih bungkusan lebih dulu? Galuh Ajeng sambil menangis mulai mengadu.
Buat apa punya ibu jadi Permaisuri jika tidak bisa meminta boneka emas yang
kini ada di tangan Candra Kirana? Murka pula Paduka Liku kepada Candra Kirana.
Kenapa Candra Kirana tidak melaporkan boneka emas miliknya? Paduka Liku mengadu
kepada Sang Baginda. Katanya, Candra Kirana anak durhaka. Karena menyembunyikan
boneka emas dan tak pernah memberitahukan kepada Sang Baginda. Tentu saja Sang
Baginda langsung murka. Candra Kirana segera dipanggil untuk menghadap.
Mahadewi yang cemas ikut mengiringinya. Murkalah Sang Baginda. Candra Kirana
dipaksa agar menyerahkan boneka emas miliknya.”
Ki Dalang
membawakan suara Candra Kirana, “Maafkan hamba, Ayahanda. Dari pada hamba harus
menyerahkan boneka emas tercinta. Kepada Galuh Ajeng, putri kesayangan
Ayahanda. Bunuh sajalah hamba oleh Ayahanda. Boneka emas itu adalah
satu-satunya milik hamba yang hamba cintai di dunia, setelah Ibunda
Puspaningrat meninggalkan dunia ini. Kini jadi anak piatu hamba ini. Boneka emas
itulah satu-satunya pelipur duka lara. Dari pada hamba berpisah dengan boneka
emas kesayangan hamba. Silahkan bunuh saja hamba. Biarlah hamba menyusul
Permaisuri Puspaningrat, Ibunda tercinta yang telah bahagia di alam sana.”
Ki Dalang ganti
membawakan suara Sang Raja, “Heh…! Candra Kirana! Sejak kapan engkau menjadi
anak durhaka? Tidak usah kamu berlutut mencium kakiku. Kamu sudah jadi anak
pembangkang. Dulu membangkang, sekarang tetap membangkang. Tingkah lakumu
seperti anak kemarin sore, tidak mau mengalah kepada adikmu. Malah berani
membangkang perintah Rajamu. Engkau berikan boneka emas itu atau harus kupotong
rambutmu?”
Kembali Ki Dalang
membawakan suara Candra Kirana, “Jangankan hanya rambut. Leher hamba akan
Ayahanda potong pun hamba tidak akan menolak. Sebab Ayahanda memang pemegang
kuasa. Tetapi jika hamba harus menyerahkan boneka emas itu hamba katakan sekali
lagi Ayahanda, Tidak!”
Terdengar suara
Ki Dalang membawakan Sang Raja yang sedang marah, “Memang rambutmu harus
kupotong! Anak kurangajar!”
Murka Sang Raja
mencapai puncaknya, demikian Ki Dalang melukiskan kemarahan Sang Raja. Sang
Raja minta kepada Paduka Liku supaya mengambilkan gunting. Rambut Candra Kirana
yang indah hitam lebat terurai itu diraihnya. Dengan muka merah padam,
dipotongnya. Kres! Kres! Kres! Mahadewi menjerit dan mencoba
menghalang-halanginya, tetapi apa daya? Dayang pengasuh pun ikut menangis
mengiba-iba. Tapi Sang Baginda yang tengah murka memang sudah gelap mata.
Candra Kirana yang sedang menangis dan masih memegangi kaki Sang Raja,
disepaknya.
Ki Dalang kembali
membawakan suara Sang Raja yang sedang murka, “Rasakan olehmu anak durhaka!
Lekaslah engkau pergi dari hadapanku, besok sebelum matahari terbit. Aku tidak
mau lagi melihat wajahmu ada di istana ini. Pergilah kemana kamu suka! Aku tidak
mau melihat mukamu lagi!”
Terdengar suara
Ki Dalang dengan nada sedih menceriterakan murka Sang Raja akibat pengaruh
teluh sakti Paduka Liku yang telah menguasai dirinya, “Sepah sirih teluh sakti
telah menguasai Sang Baginda. Diusirnya Candra Kirana dari istana Daha. Bagi
Mahadewi, para dayang, para punggawa, bahkan Ki Patih Kerajaan Daha, perintah
pengusiran Sang Raja kepada Candra Kirana didengarnya bagaikan petir di siang
hari. Mereka tidak menduganya sama sekali. Apalagi rambut kesayangan Sang
Putri, telah dipotong menjadi pendek sekali.”
“Kecuali Paduka
Liku, Galuh Ajeng dan Wakil Ki Patih, semuanya merasakan duka cita yang dialami
Candra Kirana. Mahadewi dan kedua dayangnya, Ken Sanggit dan Ken Bayan,
membimbing Candra Kirana ke Puri Mahadewi. Dibersihkannya dan diaturnya kembali
rambut Candra Kirana yang kini terpotong pendek. Digantikannya baju yang telah
kotor karena terkena sisa-sisa potongan rambut. Candra Kirana masih menahan
isak tangisnya, mengenang nasib malang yang menimpa dirinya.”
Ki Dalang
membunyikan kecreknya. Suara rebab dengan nada sedih mengarungi udara malam.
Sinden Titisari kembali membawakan lagu sedih yang menyentuh sekali. Suaranya
yang bisa menjangkau tangga nada tinggi dan diiringi suara gamelan rintik-rintik
membuat mereka yang mendengarnya meneteskan air mata duka. Semua penonton yang
ada di Pendapa maupun halaman Kadipaten Pasirluhur seperti tersihir ikut
tenggelam dalam duka cita larut mengikuti jalan ceritera. Larut dalam nestapa.
Sang Dewi yang biasanya tegar sudah sembab matanya basah oleh air mata. Apalagi
Mayangsari, Dyah Ayu Sekar Menur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka yang lebih
perasa. Sapu tangannya sudah basah oleh air mata duka cita. Hanya Ratna Pamekas
yang agak lebih tegar. Sebab dia kurang paham beberapa kosa kata Ki Dalang yang
kadang-kadang terselip dalam bahasa Jawa tingkat tinggi yang belum banyak dia
mengerti.
Ki Dalang sudah
menampilkan di layar gambar tiga orang ksatria cantik jelita. Entah dari
kerajaan mana. Ki Dalang kembali membunyikan kecrek untuk menghentikan gending
pengiring yang membawakan irama sedih. Sinden Titisari sudah menyelesaikan lagu
yang dibawakannya.
Ki Dalang memperdengarkan suaranya.
“Alkisah dua buah pedati di subuh pagi hari meninggalkan Keraton Daha menuju ke
arah terbit matahari. Pelan-pelan rombongan dua pedati itu bergerak menuju
Kerajaan Jenggala. Di dalam pedati paling depan duduk sebagai penumpang Ki
Patih Kerajaan Daha, Dyah Ayu Candra Kirana, Mahadewi, Ken Sanggit, dan Ken
Bayan. Pedati dibelakangnya berisi sejumlah peralatan, perbekalan, dan sejumlah
prajurit. Ki Patih Daha yang merasa kasihan kepada Dyah Ayu Galuh Candra Kirana
mengantarkan Sang Putri yang telah diusir keluar dari istana Kerajaan Daha.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar