Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 17 Agustus 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (11)




Tampak di panggung Ki Dalang membawakan suara Sang Baginda Panji Semirang berganti-ganti dengan membawakan suara Raden Inu Kertapati dalam percakapan di antara mereka berdua. Di layar tampak adegan Sang Baginda Panji Semirang sedang berbincang dengan Raden Inu Kertapati di ruang dalam Istana Kerajaan Asmarakanta.
Sang Baginda Panji Semirang, ”Dinda dengar, Kanda Inu Kertapati akan melangsungkan pernikahan di Daha esok lusa?”
Raden Inu Kertapati. “Ya, benar. Tapi tidak tahulah. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa enggan pergi ke Daha. Ada perasaan takut pergi ke sana.”
Sang Baginda Panji Semirang, ”Takut bertemu Putri Daha? Sejak kapan rasa takut muncul dalam diri Kanda?”
Raden Inu Kertapati. ”Kanda bingung sejak bertemu Dinda. Di satu pihak aku ingin segera berjumpa dengan Dinda Putri Daha. Di lain pihak, tiba-tiba aku takut berpisah dengan Dinda Panji Semirang. Bagaimana kalau Dinda Panji Semirang menemani aku ke Daha? Dinda bisa mewakili Ayahanda Baginda Raja Jenggala menjadi saksi dalam upacara pernikahanku dengan Putri Daha. Ayolah, Dinda. Anggap saja aku ini kakak Adinda Panji Semirang.”
Sang Baginda Panji Semirang.”Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Apakah Kanda Inu Kertapati pernah bertemu Galuh Candra Kirana, Sang Putri Daha?”
Raden Inu Kertapati. “Itulah masalahnya, Dinda. Itu yang membuat aku agak cemas seketika. Bisa jadi, bila Dinda bersedia menemani aku ke Daha, rasa cemas dan takut dalam diriku akan lenyap pula.”
Sang Baginda Panji Semirang. ”Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Jika Kanda belum pernah bertemu Putri Daha calon istri Kanda , bagaimana nanti Kanda bisa yakin bahwa Putri Daha yang akan Kanda temui sungguh-sungguh Putri Daha calon istri Kanda?”
Raden Inu Kertapati. “Aku pernah membuatkan boneka emas untuk Dinda Candra Kirana, Putri Daha. Memang waktu kanak-kanak aku pernah bertemu. Tetapi itu sudah lama berlalu. Dulu rambutnya hitam panjang mengkilat, wajahnya cantik jelita, kulitnya putih berpendar-pendar bak pualam, dan sinar matanya berbinar-binar bak bintang kejora yang muncul di kala fajar pagi hari di langit tenggara. Kini aku hanya dapat membayangkan, andaikata Dinda Panji Semirang seorang wanita dan memiliki rambut panjang seperti Dinda Candra Kirana, aku yakin, Dinda Panji Semirang layaknya gadis kembar dengan Dinda Candra Kirana. Itulah sebabnya aku ingin ditemani Dinda Panji Semirang menjadi saksi pernikahanku dengan Dinda Candra Kirana.”
Sang Baginda Panji Semirang. “Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Sekarang pertanyaan terakhir dariku. Kanda adalah seorang ahli seni kriya, juga seorang pelukis. Pastilah mudah merekam citra Putri Daha waktu masa kanak-kanak bertemu dengan kanda. Dan tentunya mudah membayangkan Putri Daha yang besok lusa akan menjalani prosesi perkawinan dengan kanda. Dapatkah Kanda Inu Kertapati membayangkan atau membuat lukisan Putri Daha dengan potongan rambut pendek?”
Raden Inu Kertapati. “Pertanyaan Dinda Panji Semirang membingungkan aku! Sekalipun aku dapat membayangkan Dinda Candra Kirana dengan potongan rambut pendek, tetapi aku tidak akan pernah membayangkannya. Sebab apa? Sebab hal itu tidak mungkin! Jadi buat apa membayangkan hal yang tidak mungkin? Lagi pula siapa yang akan berani memotong rambut Dinda Candra Kirana? Dinda Panji Semirang belum pernah merasakan jatuh cinta pada seorang wanita. Bagi seorang wanita, rambut panjang adalah mahkota kebanggaannya. Karena itu, mana mungkin Dinda Candra Kirana berani memotong pendek rambutnya? Andaikata Dinda Candra Kirana minta ijin kepada kanda, kanda pun akan jawab ‘Jangan kau potong rambut indahmu itu, wahai Dinda Candra Kirana. Sebab kanda mencintai Dinda Candra Kirana, tentu saja termasuk mahkota penghias wajah dan mustaka Dinda’ Aku pikir Dinda Panji Semirang juga akan berbuat hal yang sama, seandainya Dinda Panji Semirang berada pada posisi seperti aku. Jatuh cinta pada gadis idaman hati Dinda Panji Semirang.”
Sang Baginda Panji Semirang, “Cukup! Cukup Kanda Inu Kertapati! Barang-barang hadiah dan uang mas kawin silahkan Kanda ambil kembali. Silahkan serahkan kepada Putri Daha calon istri kanda yang berambut panjang! Dinda hanya bisa mendoakan semoga perkawinan Kanda esok lusa dengan Putri Daha yang berambut panjang itu sukses dan bisa berbahagia. Walaupun begitu, aku akan katakan kepada kanda, sungguh menyedihkan seorang Putra Mahkota Raja Jenggala yang berbakat dalam seni kriya, tidak mampu melihat sebuah kemungkinan.”
Raden Inu Kertapati, “Oh, maafkan aku Dinda Panji Semirang. Ada apa tiba-tiba Dinda marah kepadaku? Aku sunggguh bingung. Lagi pula apa salahnya dengan rambut panjang? Hem…! Dinda membuat aku menjadi demikian bodoh. Wahai Dinda Panji Semirang, salahkah jika aku mencintai gadis cantik berambut panjang?”
Sang Baginda Panji Semirang, “Tak ada yang salah! Aku hanya menyesalkan pandangan Kanda sebagai seorang seniman yang tidak mampu melihat suatu kemungkinan. Kemungkinan adanya wanita yang tidak kalah cantiknya dengan wanita berambut panjang. Kemungkinan itu niscaya ada. Kalau toh bukan jaman sekarang. Pastilah akan ada di jaman yang akan datang. Alangkah dangkal konsep cinta kanda. Kanda hanya mencintai sepotong rambut, bukan mencintai kekasih Kanda dengan segenap jiwa raga. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Seorang seniman yang baik, Kanda, bukan hanya mengabadikan apa-apa yang sudah ada. Seorang seniman sejati adalah seorang pencipta yang harus terus menerus menggali dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Seorang seniman sejatinya sama dengan seorang ksatria. Dia harus berani bersikap dan tidak berjiwa penakut! Apa lagi pengecut!”
Raden Inu Kertapati, “Sungguh aku tidak mengerti apa yang Dinda maksud. Kata-kata Dinda, membuat aku semakin cemas dan takut saja. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa cemas. Adakah sesuatu telah terjadi pada Dinda Candra Kirana di Kerajaan Daha?”
Sang Baginda Panji Semirang, “Hidup di dunia ini memang memerlukan keberanian, Kanda Inu Kertapati. Keberanian itu adalah kemampuan untuk melihat kesulitan, tantangan, dan rintangan dalam hidup ini sebagai sesuatu yang menggairahkan. Bukannya sebagai sesuatu yang menyedihkan, muram, dan penuh duka lara. Hidup itu sejatinya adalah perjuangan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hidup itu adalah perjuangan untuk membebaskan manusia dari rantai-rantai derita, sedih, pilu, dan duka lara yang membelenggu manusia. Hanya orang-orang yang pemberani, hanya para ksatria yang berani, hanya seniman yang berani. Merekalah orang-orang yang mampu melihat jurang terjal dan dalam dengan bergairah, dengan senyum, dan dengan tertawa. Karena itu keberanian adalah nilai-nilai yang mulia. Dan yang mulia itu senantiasa baik. Hidup itu hanya indah, bila cinta dirajut dengan keberanian. Juga dirajut dengan kreativitas untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru, cakrawala-cakrawala baru, dan harapan-harapan baru.”
Raden Inu Kertapati, “Maafkan aku, Dinda Panji Semirang.”
Sang Baginda Panji Semirang, “Semoga Kanda memahami, jika ingin mengetahui siapa aku ini. Aku cinta kepada mereka yang jiwanya dalam, meskipun sedang disakiti. Aku cinta kepada mereka yang jiwanya bebas dan merdeka. Aku cinta kepada mereka yang bagaikan tetesan embun bening dan berat, jatuh satu demi satu dari mega mendung yang memayungi manusia. Merekalah manusia-manusia perkasa yang berani berkata, ‘Akan datang halilintar. Jangan takut wahai para pemberani.’ Kanda mungkin akan bertanya padaku, apa yang baik? Aku akan jawab, berani itu adalah baik. Penakut itu adalah menyedihkan. Kanda, selamat malam. Selamat jalan. Maafkan pula aku.”
Demikianlah percakapan antara Sang Baginda Panji Semirang dengan Raden Inu Kertapati dibawakan Ki Dalang dari atas panggung. Crek…crek..crek…tok..trotok….tok. Kembali terdengan suara biasa Ki Dalang melukiskan perjalanan Raden Inu Kertapati menuju Kerajaan Daha. “Esok paginya Raden Inu Kertapati meninggalkan istana Kerajaan Asmarantaka. Dia mencoba mencari Sang Baginda Panji Semirang akan mohon diri. Tapi yang dicarinya tidak adan dan juga tidak menampakkan diri. Putra Mahkota Keraton Janggala melanjutkan dengan enggan perjalanan menuju Daha. Semua barang-barang hadiah dan uang mas kawin telah dikembalikan semua. Sayang sekali, hanya Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang mengantarkannya sampai perbatasan negeri Daha.”
“Di dalam benak Raden Inu Kertapati selalu terbayang wajah Panji Semirang,” kata Ki Dalang. “Entah mengapa seumur hidupnya, baru saat itulah dia merasa begitu sedih berpisah dengan seseorang. Dan orang itu adalah Raja Muda berwajah cantik jelita, Panji Semirang. Dan itulah saat pertama kali dia meneteskan air mata. Raden Inu Kertapati sungguh tidak tahu, mengapa?”
“Kata-katanya yang bijak, tajam, cerdas, dan menusuk benaknya. Ah, andaikata Panji Semirang itu seorang wanita sekalipun berambut pendek, hem…! Aku pasti sudah jatuh cinta kepadanya berulang kali, keluh Raden Inu Kertapati di dalam hati,” ujar Ki Dalang melukiskan kebingungan Raden Inu Kertapati.
“Tak terasa Kerajaan Daha sudah tampak di depannya,” kata Ki Dalang kembali dengan suara normal melukiskan keadaan Keraton Daha. “Umbul-umbul sudah berdiri di sepanjang jalan yang dilewati Raden Inu Kertapati. Istana Kerajaan Daha sedang menyiapkan hajatan perkawinan Raden Inu Kertapati dengan Sang Putri Daha. Raden Inu Kertapati, segera saja melupakan Panji Semirang, Raja Muda cantik jelita yang menawan. Selalu terbayang dalam khayalan, sepanjang perjalanan menuju Kerajaan Daha, negeri impian.”
“Akhirnya Upacara pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Sang Dyah Ayu Galuh Putri Daha pun tiba. Raden Inu Kertapati mengira bahwa Putri Daha itu adalah Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Padahal dia adalah Galuh Ajeng, bukan kekasih yang dicintainya. Pendeta yang memimpin upacara perkawinan sengaja menyembunyikan nama sebenarnya. Disebutkannya nama Galuh Ajeng adalah Sang Dyah Ayu Galuh Putri Daha. Usai upacara pernikahan, Permaisuri Paduka Liku girang bukan alang kepalang. Cita-citanya menikahkan putri satu-satunya Galuh Ajeng dengan Raden Inu Kertapati akhirnya terlaksana.” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
“Sebenarnya, Galuh Ajeng berparas cantik jelita. Kulitnya putih mulus menggoda. Rambutnya disanggul indah bak mahkota. Karena itu Raden Inu Kertapati pada awalnya tergoda seketika. Jatuh ke dalam pelukan wanita binal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maka kedua pengantin muda itu pun mulai bermain asmara. Tetapi, ranjang pengantin, oh ranjang pengantin. Sang Pangeran mulai berkelana mengarungi samudra cinta. Berharap akan bertaburan kebahagian. Tetapi Sang Pangeran salah duga. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin.”
“Ranjang pengantin tiba-tiba berubah menjadi semacam neraka. Galuh Ajeng banyak menuntut, memegang prakarsa dalam permainan cinta. Ibarat permainan tinju. Seluruh tubuh Sang Pangeran terasa ngilu. Sang Pangeran bolak balik dihujani pukulan bertalu-talu. Dia nyaris tak berdaya. Nafsu Galuh Ajeng ternyata luar biasa. Bagaikan gunung berapi yang meledak-ledak. Sang Pangeran pun siap ditelannya dan diinjak-injak.Sang Pengelana mengira istrinya adalah seekor kuda sembrani yang akan membawanya terbang mendaki menuju puncak surgawi. Ternyata Galuh Ajeng bagaikan kuda binal yang berasal dari hutan liar jarang dikenal.Tidak paham adat bermain cinta. Di atas ranjang pengantin, Sang Pangeran sangat menderita. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin.”
“Sang Pengelana cinta nyaris lunglai tak berdaya. Bagaikan batu meluncur jatuh ke jurang terjal penuh derita. Untunglah Sang Pangeran segera membaca mantra Asmaragama. Energi cintanya bangkit seketika. Kuda binal pun bisa ditaklukannya. Butiran-butiran keringat membasahi seluruh tubuh mempelai wanita. Galuh Ajeng pingsan seketika. Tumbang bagaikan batang pisang. Lemah tak berdaya. Sang Pangeran menjadi curiga. Lebih-lebih saat menyaksikan di bawah pinggul istrinya. Terdapat goresan tatto rajah kalacakra. Ilmu bermain cinta pemberiaan Sang Hyang Durga. Susuk perak pekasih cinta, tertanam di bawah pinggulnya. Ranjang pengantin. Oh ranjang pengantin.”
“Sang Pangeran, kesal, kecewa, marah, dan tak tahu harus berbuat entah apa. Tapi akhirnya, ingatannya melayang-layang, rasa rindu kepada Panji Semirang mulai datang. Sang Pangeran segera bangkit mengumpulkan semua tenaga tersisa. Dia mulai ragu dan sangsi, benarkah istrinya itu adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana? Jika benar, kenapa menggunakan ilmu hitam rajah kalacakra? Kini wanita itu tergolek tak berdaya di depannya. Bagaikan kuda binal dengan yang sudah tidak berdaya. Sang Pangeran segera ingat boneka kencana. Di bukanya lemari Sang Istri. Betapa terkejutnya. Boneka perak tergeletak di sana. Saat itu fajar baru menyingsing. Sang Pangeran segera bangkit. Ditinggalkannya Galuh Ajeng yang masih dalam keadaan pingsan. Semula akan dibiarkan dan ditinggalkan tanpa selembar benang pun melekat di badannya. Tetapi akhirnya dihamparkan selembar selimut di atasnya. Agar dia terhindar dari kedinginan. Dan juga demi alasan kemanusiaan.”
“Raden Inu Kertapati, cepat-cepat memacu kudanya, pulang kembali menuju Jenggala. Selama berhari-hari Raden Inu Kertapati terus-menerus terbayang Sang Baginda Panji Semirang. Raden Inu Kertapati dipeluk rindu raja muda cantik jelita dari Kerajaan Asmarantaka. Sempat didatanginya Kerajaan Asmarakanta. Hanya Mahadewi yang ditemuinya” kata Ki Dalang Sukmo Lelono sambil membunyikan keecreknya. Crek…crek…crek. Tok..trotok…tok. Terdengar suara Sinden Juminem,Paijem, dan Titisari membawakan lagu bersama-sama diringi suara gamelan dengan nada lembut.
Ki Dalang membunyikan kecrek dan memukulkan cempala pada kotak, memberi tanda agar suara gamelan dibunyikan mengiringi suara Sinden Paijem dan Sinden Juminem, melukiskan kerinduan seseorang yang tengah jatuh cinta kepada Sang Kekasih. Dibawakannya dengan irama lembut dan menyentuh kalbu. Tempo lambat sampai sedang.
***
Jari jemari tangan kanan Sang Dewi dan jari jemari tapak tangan Kamandaka masih saling bertautan di atas pangkuan Sang Dewi. “Kanda, apa benar ilmu hitam itu ada atau hanyalah khayalan manusia saja?” tanya Sang Dewi.
“Di dunia ini kan segalanya berpasang-pasangan. Makanya disamping ilmu hitam, ada juga ilmu putih. Ilmu hitam berasal dari alam kegelapan atau alam kejahatan. Sedang ilmu putih berasal dari alam yang terang, lurus, jujur, benar, adil, dan tidak tersesat. Hukum Kodrat Alam selalu berpihak pada ilmu putih yang berasal dari pertolongan Sang Hyang Widhi,” kata Kamandaka.
“Apa akibat yang akan timbul pada sosok seperti Galuh Ajeng yang memakai jampi pemikat cinta yang gila seperti dalam kisah itu, Kanda?”
“Jika tidak dilepas, ilmu hitam yang dipakai Galuh Ajeng cepat atau lambat akan mengakibatkannya jatuh menjadi wanita paria, dikeluarkan dari kasta ksatria, terjerumus dalam persundalan, dan akhirnya mati merana. Kalau tidak dibunuh orang ya bunuh diri,” kata Kamandaka yang membuat ngeri Sang Dewi.
“Bagaimana pendapat Kanda mengenai tokoh Sang Putri Daha Galuh Candra Kirana?”
“Cerdas, kreatif, pemberani, dan tak pernah mengenal putus asa. Persis Sang Putri Kadipaten Pasirluhur,” kata Kamandaka memuji istrinya.
“Siapa dia?” tanya Sang Dewi penasaran.
“Hem…!. Siapa lagi? Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Sang Dewi Kadipaten Pasirluhur!” jawab Kamandaka mantap yang membuat Sang Dewi senang, matanya pun semakin berbinar-binar bak kilatan cahaya bintang kejora di fajar pagi hari.
Perbincangan Sang Dewi dan Kamandaka terhenti sewaktu terdengar Ki Dalang membunyikan kecrek, menghentikan gending pengiring yang memang sudah selesai mengiringi bait-bait terakhir lagu yang dibawakan Sinden Juminem dan Paijem.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar