Tampak di panggung Ki Dalang
membawakan suara Sang Baginda Panji Semirang berganti-ganti dengan membawakan
suara Raden Inu Kertapati dalam percakapan di antara mereka berdua. Di layar
tampak adegan Sang Baginda Panji Semirang sedang berbincang dengan Raden Inu
Kertapati di ruang dalam Istana Kerajaan Asmarakanta.
Sang Baginda
Panji Semirang, ”Dinda dengar, Kanda Inu Kertapati akan melangsungkan
pernikahan di Daha esok lusa?”
Raden Inu
Kertapati. “Ya, benar. Tapi tidak tahulah. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa
enggan pergi ke Daha. Ada perasaan takut pergi ke sana.”
Sang Baginda
Panji Semirang, ”Takut bertemu Putri Daha? Sejak kapan rasa takut muncul dalam
diri Kanda?”
Raden Inu
Kertapati. ”Kanda bingung sejak bertemu Dinda. Di satu pihak aku ingin segera
berjumpa dengan Dinda Putri Daha. Di lain pihak, tiba-tiba aku takut berpisah
dengan Dinda Panji Semirang. Bagaimana kalau Dinda Panji Semirang menemani aku
ke Daha? Dinda bisa mewakili Ayahanda Baginda Raja Jenggala menjadi saksi dalam
upacara pernikahanku dengan Putri Daha. Ayolah, Dinda. Anggap saja aku ini
kakak Adinda Panji Semirang.”
Sang Baginda
Panji Semirang.”Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Apakah Kanda Inu
Kertapati pernah bertemu Galuh Candra Kirana, Sang Putri Daha?”
Raden Inu
Kertapati. “Itulah masalahnya, Dinda. Itu yang membuat aku agak cemas seketika.
Bisa jadi, bila Dinda bersedia menemani aku ke Daha, rasa cemas dan takut dalam
diriku akan lenyap pula.”
Sang Baginda
Panji Semirang. ”Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Jika Kanda belum
pernah bertemu Putri Daha calon istri Kanda , bagaimana nanti Kanda bisa yakin
bahwa Putri Daha yang akan Kanda temui sungguh-sungguh Putri Daha calon istri
Kanda?”
Raden Inu
Kertapati. “Aku pernah membuatkan boneka emas untuk Dinda Candra Kirana, Putri
Daha. Memang waktu kanak-kanak aku pernah bertemu. Tetapi itu sudah lama
berlalu. Dulu rambutnya hitam panjang mengkilat, wajahnya cantik jelita,
kulitnya putih berpendar-pendar bak pualam, dan sinar matanya berbinar-binar
bak bintang kejora yang muncul di kala fajar pagi hari di langit tenggara. Kini
aku hanya dapat membayangkan, andaikata Dinda Panji Semirang seorang wanita dan
memiliki rambut panjang seperti Dinda Candra Kirana, aku yakin, Dinda Panji
Semirang layaknya gadis kembar dengan Dinda Candra Kirana. Itulah sebabnya aku
ingin ditemani Dinda Panji Semirang menjadi saksi pernikahanku dengan Dinda
Candra Kirana.”
Sang Baginda
Panji Semirang. “Tentu tidak mungkin, Kanda Inu Kertapati. Sekarang pertanyaan
terakhir dariku. Kanda adalah seorang ahli seni kriya, juga seorang pelukis.
Pastilah mudah merekam citra Putri Daha waktu masa kanak-kanak bertemu dengan
kanda. Dan tentunya mudah membayangkan Putri Daha yang besok lusa akan
menjalani prosesi perkawinan dengan kanda. Dapatkah Kanda Inu Kertapati
membayangkan atau membuat lukisan Putri Daha dengan potongan rambut pendek?”
Raden Inu
Kertapati. “Pertanyaan Dinda Panji Semirang membingungkan aku! Sekalipun aku
dapat membayangkan Dinda Candra Kirana dengan potongan rambut pendek, tetapi
aku tidak akan pernah membayangkannya. Sebab apa? Sebab hal itu tidak mungkin!
Jadi buat apa membayangkan hal yang tidak mungkin? Lagi pula siapa yang akan
berani memotong rambut Dinda Candra Kirana? Dinda Panji Semirang belum pernah
merasakan jatuh cinta pada seorang wanita. Bagi seorang wanita, rambut panjang
adalah mahkota kebanggaannya. Karena itu, mana mungkin Dinda Candra Kirana
berani memotong pendek rambutnya? Andaikata Dinda Candra Kirana minta ijin
kepada kanda, kanda pun akan jawab ‘Jangan kau potong rambut indahmu itu, wahai
Dinda Candra Kirana. Sebab kanda mencintai Dinda Candra Kirana, tentu saja
termasuk mahkota penghias wajah dan mustaka Dinda’ Aku pikir Dinda Panji
Semirang juga akan berbuat hal yang sama, seandainya Dinda Panji Semirang
berada pada posisi seperti aku. Jatuh cinta pada gadis idaman hati Dinda Panji
Semirang.”
Sang Baginda
Panji Semirang, “Cukup! Cukup Kanda Inu Kertapati! Barang-barang hadiah dan
uang mas kawin silahkan Kanda ambil kembali. Silahkan serahkan kepada Putri
Daha calon istri kanda yang berambut panjang! Dinda hanya bisa mendoakan semoga
perkawinan Kanda esok lusa dengan Putri Daha yang berambut panjang itu sukses
dan bisa berbahagia. Walaupun begitu, aku akan katakan kepada kanda, sungguh
menyedihkan seorang Putra Mahkota Raja Jenggala yang berbakat dalam seni kriya,
tidak mampu melihat sebuah kemungkinan.”
Raden Inu Kertapati, “Oh, maafkan aku
Dinda Panji Semirang. Ada apa tiba-tiba Dinda marah kepadaku? Aku sunggguh
bingung. Lagi pula apa salahnya dengan rambut panjang? Hem…! Dinda membuat aku
menjadi demikian bodoh. Wahai Dinda Panji Semirang, salahkah jika aku mencintai
gadis cantik berambut panjang?”
Sang Baginda
Panji Semirang, “Tak ada yang salah! Aku hanya menyesalkan pandangan Kanda
sebagai seorang seniman yang tidak mampu melihat suatu kemungkinan. Kemungkinan
adanya wanita yang tidak kalah cantiknya dengan wanita berambut panjang.
Kemungkinan itu niscaya ada. Kalau toh bukan jaman sekarang. Pastilah akan ada
di jaman yang akan datang. Alangkah dangkal konsep cinta kanda. Kanda hanya
mencintai sepotong rambut, bukan mencintai kekasih Kanda dengan segenap jiwa
raga. Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Seorang seniman yang baik,
Kanda, bukan hanya mengabadikan apa-apa yang sudah ada. Seorang seniman sejati
adalah seorang pencipta yang harus terus menerus menggali dan membuka
kemungkinan-kemungkinan baru. Seorang seniman sejatinya sama dengan seorang
ksatria. Dia harus berani bersikap dan tidak berjiwa penakut! Apa lagi
pengecut!”
Raden Inu
Kertapati, “Sungguh aku tidak mengerti apa yang Dinda maksud. Kata-kata Dinda,
membuat aku semakin cemas dan takut saja. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa
cemas. Adakah sesuatu telah terjadi pada Dinda Candra Kirana di Kerajaan Daha?”
Sang Baginda
Panji Semirang, “Hidup di dunia ini memang memerlukan keberanian, Kanda Inu
Kertapati. Keberanian itu adalah kemampuan untuk melihat kesulitan, tantangan,
dan rintangan dalam hidup ini sebagai sesuatu yang menggairahkan. Bukannya sebagai
sesuatu yang menyedihkan, muram, dan penuh duka lara. Hidup itu sejatinya
adalah perjuangan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hidup itu adalah
perjuangan untuk membebaskan manusia dari rantai-rantai derita, sedih, pilu,
dan duka lara yang membelenggu manusia. Hanya orang-orang yang pemberani, hanya
para ksatria yang berani, hanya seniman yang berani. Merekalah orang-orang yang
mampu melihat jurang terjal dan dalam dengan bergairah, dengan senyum, dan
dengan tertawa. Karena itu keberanian adalah nilai-nilai yang mulia. Dan yang
mulia itu senantiasa baik. Hidup itu hanya indah, bila cinta dirajut dengan
keberanian. Juga dirajut dengan kreativitas untuk membuka
kemungkinan-kemungkinan baru, cakrawala-cakrawala baru, dan harapan-harapan
baru.”
Raden Inu
Kertapati, “Maafkan aku, Dinda Panji Semirang.”
Sang Baginda
Panji Semirang, “Semoga Kanda memahami, jika ingin mengetahui siapa aku ini.
Aku cinta kepada mereka yang jiwanya dalam, meskipun sedang disakiti. Aku cinta
kepada mereka yang jiwanya bebas dan merdeka. Aku cinta kepada mereka yang
bagaikan tetesan embun bening dan berat, jatuh satu demi satu dari mega mendung
yang memayungi manusia. Merekalah manusia-manusia perkasa yang berani berkata,
‘Akan datang halilintar. Jangan takut wahai para pemberani.’ Kanda mungkin akan
bertanya padaku, apa yang baik? Aku akan jawab, berani itu adalah baik. Penakut
itu adalah menyedihkan. Kanda, selamat malam. Selamat jalan. Maafkan pula aku.”
Demikianlah
percakapan antara Sang Baginda Panji Semirang dengan Raden Inu Kertapati
dibawakan Ki Dalang dari atas panggung. Crek…crek..crek…tok..trotok….tok. Kembali
terdengan suara biasa Ki Dalang melukiskan perjalanan Raden Inu Kertapati
menuju Kerajaan Daha. “Esok paginya Raden Inu Kertapati meninggalkan istana
Kerajaan Asmarantaka. Dia mencoba mencari Sang Baginda Panji Semirang akan
mohon diri. Tapi yang dicarinya tidak adan dan juga tidak menampakkan diri.
Putra Mahkota Keraton Janggala melanjutkan dengan enggan perjalanan menuju
Daha. Semua barang-barang hadiah dan uang mas kawin telah dikembalikan semua.
Sayang sekali, hanya Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang mengantarkannya sampai
perbatasan negeri Daha.”
“Di dalam benak
Raden Inu Kertapati selalu terbayang wajah Panji Semirang,” kata Ki Dalang.
“Entah mengapa seumur hidupnya, baru saat itulah dia merasa begitu sedih
berpisah dengan seseorang. Dan orang itu adalah Raja Muda berwajah cantik
jelita, Panji Semirang. Dan itulah saat pertama kali dia meneteskan air mata.
Raden Inu Kertapati sungguh tidak tahu, mengapa?”
“Kata-katanya
yang bijak, tajam, cerdas, dan menusuk benaknya. Ah, andaikata Panji Semirang
itu seorang wanita sekalipun berambut pendek, hem…! Aku pasti sudah jatuh cinta
kepadanya berulang kali, keluh Raden Inu Kertapati di dalam hati,” ujar Ki
Dalang melukiskan kebingungan Raden Inu Kertapati.
“Tak terasa
Kerajaan Daha sudah tampak di depannya,” kata Ki Dalang kembali dengan suara
normal melukiskan keadaan Keraton Daha. “Umbul-umbul sudah berdiri di sepanjang
jalan yang dilewati Raden Inu Kertapati. Istana Kerajaan Daha sedang menyiapkan
hajatan perkawinan Raden Inu Kertapati dengan Sang Putri Daha. Raden Inu
Kertapati, segera saja melupakan Panji Semirang, Raja Muda cantik jelita yang
menawan. Selalu terbayang dalam khayalan, sepanjang perjalanan menuju Kerajaan
Daha, negeri impian.”
“Akhirnya Upacara
pernikahan Raden Inu Kertapati dengan Sang Dyah Ayu Galuh Putri Daha pun tiba.
Raden Inu Kertapati mengira bahwa Putri Daha itu adalah Sang Dyah Ayu Galuh
Candra Kirana. Padahal dia adalah Galuh Ajeng, bukan kekasih yang dicintainya.
Pendeta yang memimpin upacara perkawinan sengaja menyembunyikan nama
sebenarnya. Disebutkannya nama Galuh Ajeng adalah Sang Dyah Ayu Galuh Putri
Daha. Usai upacara pernikahan, Permaisuri Paduka Liku girang bukan alang
kepalang. Cita-citanya menikahkan putri satu-satunya Galuh Ajeng dengan Raden
Inu Kertapati akhirnya terlaksana.” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
“Sebenarnya,
Galuh Ajeng berparas cantik jelita. Kulitnya putih mulus menggoda. Rambutnya
disanggul indah bak mahkota. Karena itu Raden Inu Kertapati pada awalnya
tergoda seketika. Jatuh ke dalam pelukan wanita binal yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya. Maka kedua pengantin muda itu pun mulai bermain
asmara. Tetapi, ranjang pengantin, oh ranjang pengantin. Sang Pangeran mulai
berkelana mengarungi samudra cinta. Berharap akan bertaburan kebahagian. Tetapi
Sang Pangeran salah duga. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin.”
“Ranjang
pengantin tiba-tiba berubah menjadi semacam neraka. Galuh Ajeng banyak
menuntut, memegang prakarsa dalam permainan cinta. Ibarat permainan tinju.
Seluruh tubuh Sang Pangeran terasa ngilu. Sang Pangeran bolak balik dihujani
pukulan bertalu-talu. Dia nyaris tak berdaya. Nafsu Galuh Ajeng ternyata luar
biasa. Bagaikan gunung berapi yang meledak-ledak. Sang Pangeran pun siap
ditelannya dan diinjak-injak.Sang Pengelana mengira istrinya adalah seekor kuda
sembrani yang akan membawanya terbang mendaki menuju puncak surgawi. Ternyata
Galuh Ajeng bagaikan kuda binal yang berasal dari hutan liar jarang dikenal.Tidak
paham adat bermain cinta. Di atas ranjang pengantin, Sang Pangeran sangat
menderita. Ranjang pengantin, oh ranjang pengantin.”
“Sang Pengelana
cinta nyaris lunglai tak berdaya. Bagaikan batu meluncur jatuh ke jurang terjal
penuh derita. Untunglah Sang Pangeran segera membaca mantra Asmaragama. Energi
cintanya bangkit seketika. Kuda binal pun bisa ditaklukannya. Butiran-butiran
keringat membasahi seluruh tubuh mempelai wanita. Galuh Ajeng pingsan seketika.
Tumbang bagaikan batang pisang. Lemah tak berdaya. Sang Pangeran menjadi
curiga. Lebih-lebih saat menyaksikan di bawah pinggul istrinya. Terdapat
goresan tatto rajah kalacakra. Ilmu bermain cinta pemberiaan Sang Hyang Durga.
Susuk perak pekasih cinta, tertanam di bawah pinggulnya. Ranjang pengantin. Oh
ranjang pengantin.”
“Sang Pangeran,
kesal, kecewa, marah, dan tak tahu harus berbuat entah apa. Tapi akhirnya,
ingatannya melayang-layang, rasa rindu kepada Panji Semirang mulai datang. Sang
Pangeran segera bangkit mengumpulkan semua tenaga tersisa. Dia mulai ragu dan
sangsi, benarkah istrinya itu adalah Dyah Ayu Galuh Candra Kirana? Jika benar,
kenapa menggunakan ilmu hitam rajah kalacakra? Kini wanita itu tergolek tak
berdaya di depannya. Bagaikan kuda binal dengan yang sudah tidak berdaya. Sang
Pangeran segera ingat boneka kencana. Di bukanya lemari Sang Istri. Betapa
terkejutnya. Boneka perak tergeletak di sana. Saat itu fajar baru menyingsing.
Sang Pangeran segera bangkit. Ditinggalkannya Galuh Ajeng yang masih dalam
keadaan pingsan. Semula akan dibiarkan dan ditinggalkan tanpa selembar benang
pun melekat di badannya. Tetapi akhirnya dihamparkan selembar selimut di
atasnya. Agar dia terhindar dari kedinginan. Dan juga demi alasan kemanusiaan.”
“Raden Inu
Kertapati, cepat-cepat memacu kudanya, pulang kembali menuju Jenggala. Selama
berhari-hari Raden Inu Kertapati terus-menerus terbayang Sang Baginda Panji
Semirang. Raden Inu Kertapati dipeluk rindu raja muda cantik jelita dari
Kerajaan Asmarantaka. Sempat didatanginya Kerajaan Asmarakanta. Hanya Mahadewi
yang ditemuinya” kata Ki Dalang Sukmo Lelono sambil membunyikan keecreknya.
Crek…crek…crek. Tok..trotok…tok. Terdengar suara Sinden Juminem,Paijem, dan
Titisari membawakan lagu bersama-sama diringi suara gamelan dengan nada lembut.
Ki Dalang
membunyikan kecrek dan memukulkan cempala pada kotak, memberi tanda agar suara
gamelan dibunyikan mengiringi suara Sinden Paijem dan Sinden Juminem,
melukiskan kerinduan seseorang yang tengah jatuh cinta kepada Sang Kekasih.
Dibawakannya dengan irama lembut dan menyentuh kalbu. Tempo lambat sampai
sedang.
***
Jari jemari tangan kanan Sang Dewi dan
jari jemari tapak tangan Kamandaka masih saling bertautan di atas pangkuan Sang
Dewi. “Kanda, apa benar ilmu hitam itu ada atau hanyalah khayalan manusia
saja?” tanya Sang Dewi.
“Di dunia ini kan
segalanya berpasang-pasangan. Makanya disamping ilmu hitam, ada juga ilmu
putih. Ilmu hitam berasal dari alam kegelapan atau alam kejahatan. Sedang ilmu
putih berasal dari alam yang terang, lurus, jujur, benar, adil, dan tidak
tersesat. Hukum Kodrat Alam selalu berpihak pada ilmu putih yang berasal dari
pertolongan Sang Hyang Widhi,” kata Kamandaka.
“Apa akibat yang
akan timbul pada sosok seperti Galuh Ajeng yang memakai jampi pemikat cinta
yang gila seperti dalam kisah itu, Kanda?”
“Jika tidak
dilepas, ilmu hitam yang dipakai Galuh Ajeng cepat atau lambat akan
mengakibatkannya jatuh menjadi wanita paria, dikeluarkan dari kasta ksatria,
terjerumus dalam persundalan, dan akhirnya mati merana. Kalau tidak dibunuh
orang ya bunuh diri,” kata Kamandaka yang membuat ngeri Sang Dewi.
“Bagaimana
pendapat Kanda mengenai tokoh Sang Putri Daha Galuh Candra Kirana?”
“Cerdas, kreatif,
pemberani, dan tak pernah mengenal putus asa. Persis Sang Putri Kadipaten
Pasirluhur,” kata Kamandaka memuji istrinya.
“Siapa dia?”
tanya Sang Dewi penasaran.
“Hem…!. Siapa lagi? Dyah Ayu Dewi
Ciptarasa, Sang Dewi Kadipaten Pasirluhur!” jawab Kamandaka mantap yang membuat
Sang Dewi senang, matanya pun semakin berbinar-binar bak kilatan cahaya bintang
kejora di fajar pagi hari.
Perbincangan Sang
Dewi dan Kamandaka terhenti sewaktu terdengar Ki Dalang membunyikan kecrek,
menghentikan gending pengiring yang memang sudah selesai mengiringi bait-bait
terakhir lagu yang dibawakan Sinden Juminem dan Paijem.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar