“Terima kasih
Kanda Kamandaka dan Ayunda Dewi, atas pujiannya,” kata Arya Baribin.
“Kalau konsep
ketuhanan dalam seni pentas wayang kulit menurut persepsi agama Hindu-Buddha,
bisa adinda jelaskan, Ayunda Dewi. Tetapi kalau menurut persepsi agama Islam, adinda
sendiri masih dalam taraf mempelajari dan mendiskusikannya dengan Syekh Makhdum
Maghribi yang sudah pernah bertukar pikiran, pada waktu Syekh Makhdum Maghribi
mengunjungi Kademangan Kejawar beberapa waktu lalu.”
“Kalau begitu
mumpung masih ada waktu, silahkan Dimas Arya Baribin menjelaskan bagaimana
konsep ketuhanan yang ada dalam pentas wayang kulit menurut persepsi agama
Hindu-Buddha” kata Kamandaka kepada Arya Baribin yang mendapat dukungan dari
semua yang hadir.
“Baiklah Kanda
Kamandaka dan Ayunda Dewi.Tetapi dinda mohon ijin minum teh dulu,” kata Arya
Baribin sambil meraih cangkir berisi teh manis yang ada di depannya. Ratna
Pamekas yang dari tadi menyimak dengan tekun uraian kekasihnya itu, cepat-cepat
meraih cangkir teh yang ada di depannya kemudian diserahkan kepada Arya
Beribin.
“Terima kasih,
Dinda Ratna,” kata Arya Baribin sambil menerima cangkir berisi the manis yang
hangat dan segar, lalu meminumnya. Ratna Pamekas ikut minum teh diikuti kakak-kakaknya
yang lain.
“Berbeda dengan pentas wayang beber,
pentas wayang kulit sebenarnya sangat mengandalkan pada bayangan yang
ditimbulkan pada layar yang terbentuk karena adanya sinar lampu yang disebut
blencong. Itulah sebabnya gambar tokoh-tokoh dalam lembaran kulit itu harus
ditatah, agar terbentuk bayangan gambar wayang yang harus bisa dilihat dari
balik layar.
“Panggung untuk
pementasan wayang kulit tidak jauh berbeda dengan panggung untuk pementasan
wayang beber. Ki Dalang, sinden dan niyaga duduk di atas pangggung yang ada di
depan layar. Gamelan pengiring pentas wayang kulit pun tidak jauh berbeda
dengan wayang beber. Bedanya hanya pada posisi dalang dan penonton. Ki Dalang
dalam wayang kulit, tidak seperti Ki Dalang dalam wayang beber yang duduknya
membelakangi layar.
“Ki Dalang dalam
pementasan wayang kulit menghadap layar. Lembaran kulit yang berisi sejumlah
tokoh wayang ditampilkan di layar atau kelir dengan menggunakan penjepit yang
dibuat dari tanduk kerbau dan ditancapkan di atas pelepah pisang yang berfungsi
sebagai dasar layar atau kelir”
Sang Dewi dan
suaminya Kamandaka serta pendengar lainnya dengan sabar, penuh perhatian, dan
menyimak apa yang dikatakan Arya Baribin. Pengetahuan Arya Baribin yang luas
dan mendalam soal sejarah dan filsafat wayang sangat menarik bagi mereka. Semua
keterangan dari Arya Baribin mereka pandang sebagai bekal berharga untuk bisa
memahami dengan lebih baik pentas wayang beber yang nanti malam akan
ditontonnya.
“Penonton
pementasan wayang kulit ada dua. Pertama adalah orang yang punya hajat dan
keluarganya selaku penanggap. Mereka harus menonton wayang kulit dari belakang
layar. Kedua adalah penonton lain yang menonton pementasan wayang kulit dari
depan layar. Penonton di belakang layar, hanya bisa melihat bayangan gambar
wayang yang terbentuk pada layar. Mereka tidak dapat melihat Ki Dalang, gambar
wayang asli, niyaga dan pesindennya. Mereka hanya dapat melihat gambar dan
mendengarkan suara Ki Dalang, gamelan dan nyanyian pesinden dari balik layar.
“Itu sebabnya
gambar wayang kulit harus ditatah, disungging dan diukir, agar bisa membentuk
bayangan pada layar. Gambaran yang dilihat oleh penonton yang ada di belakang
layar itu adalah gambaran dunia di alam keabadian, dunia non materi, dunia ruh,
dunia para dewa, alam kahyangan, atau nirwana.
“Kedua adalah penonton yang ada di
depan layar. Mereka lebih bebas dan lebih leluasa melihat secara langsung
gambar wayang yang terpampang di atas layar yang sedang dimainkan Ki Dalang,
niyaga, sinden, dan aneka ragam gamelan pengiring. Gambaran yang dilihat oleh
penonton yang ada di depan layar itu adalah gambaran dunia nyata, dunia materi,
dunia tempat kita hidup sekarang ini. Suatu dunia yang tidak kekal, maya, dan
sementara.
“Demkianlah
pentas wayang kulit menghasilkan simbol dua dunia, yakni dunia kekal dan abadi
yang dilihat secara simbolik oleh orang-orang yang menonton wayang kulit dari
balik layar. Dan dunia maya, yang bersifat tidak kekal dan sementara yang
secara simbolik dilihat oleh orang-orang yang menonton dari depan layar.
“Adanya dua dunia
dalam pentas wayang kulit itu, sejalan dengan konsep ketuhanan dalam agama
Hindu dan Buddha yang disebut dengan Vedanta. Pandangan hidup Vedanta
mengajarakan bahwa hidup di dunia ini hanyalah maya belaka. Oleh karena itu
hidup di dunia ini dipenuh dengan perasaan sedih, duka cita, nestapa, derita,
sengsara dan sejumlah penderitaan lainnya yang disebutnya sebagai samsara.
Hidup di dunia adalah hidup di alam materi, alam benda, alam jasmani, alam
kasar, alam tampak, alam yang menyebabkan orang bisa sakit, menjadi tua dan
akhirnya mati. Adapun hidup kekal dan abadi bukanlah kehidupan di dunia ini.
Kehidupan kekal dan abadi adalah kehidupan di alam tempat ruh meninggalakn
dunia ini, yakni alam sangkan paran. Alam dari mana ruh berasal dan ruh akan
kembali. Itulah nirwana, alam tanpa penderitaan.”
“Bayangan wayang
di dalam layar itu menggambarkan atman atau jiwa manusia yang terperangkap oleh
dunia benda serba materi. Atman itu sebelum terperangkap oleh dunia materi,
berasal dari brahman yang hidup di dunia ruhani, alam kahyangan, alam para
dewa, alam sangkan paran, alam yang kekal dan abadi yang disebut nirwana.
“Demikianlah
filosofi wayang kulit secara mendalam mengandung konsep Vedanta dan Sangkan
Paran atau asal muasal jiwa manusia sebagai atman yang selalu rindu untuk
pulang kembali bersatu dengan brahman di dalam nirwana. Proses kembalinya atman
menyatu kembali dengan brahman, itulah yang dikenal dengan konsep dalam bahasa
Jawa, ”Manunggaling Kawula lan Gusti”. Yakni konsep bersatunya kembali atman
sebagai hamba dengan brahman sebagai Sang Gusti.” kata Arya Baribin berhenti
menyampaikan uraiannya yang mendalam dan panjang lebar itu. “Sampai di sini
dulu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka.”
“Sungguh uraian
luar biasa yang akan memperkaya wawasan kita. Sudah jelas wayang kulit
mengandung konsep pandangan hidup mendalam. Penjelasan Dimas Arya Baribin soal
wayang beber dan wayang kulit bisa menjadi bekal untuk menikmati pertunjukan
wayang pada malam hari ini,” kata Kamandaka sambil mengucapkan terimakasih
kepada Arya Baribin yang telah mau berbagi ilmu dan pengetahuan.
“Bagaimana pendapat
Dinda Silihwarna yang pernah lama mondok di Padepokan Megamendung? Atau Dinda
Wirapati, punya pendapat?” tanya Kamandaka.
“Aku menyimak
saja, Kanda. Ingin banyak belajar kepada Dimas Arya Baribin,” jawab Silihwarna
dan Wirapati hampir bersamaan.
“Atau Kanda
Amenglayaran? Bapa Pendeta Muda?” Kamandaka berpaling kepada Amenglayaran. Tapi
Amenglayaran yang duduk berdampingan dengan Sekarmelati dan Sekarcempaka
menggelengkan kepala, karena mulai asyik berbincang bincang dengan gadis kembar
cantik dari Nusakambangan, Sekarmelati dan Sekarcempaka.
“Kalau aku masih
penasaran sebenarnya. Aku yakin agama Islam juga mengenal adanya dua alam,
yakni alam dunia dan alam setelah ruh meninggalkan alam dunia,” kata Sang Dewi
setelah menunggu tidak ada yang menanggapi penjelasan Arya Baribin. ”Hanya apa
istilah dalam agama Islam untuk menyebut alam sangkan paran atau alam nirwana,
aku belum tahu. Jika agama Hindu-Buddha mengenal konsep inkarnasi, aku menduga
agama Islam tak mengenal konsep inkarnasi. Jika demikian, apa tujuan ruh
manusia datang ke dunia lalu kembali meninggalkan dunia setelah masa hidupnya
di dunia habis? Menurut hemat aku hanya Syekh Maghribi dan Syekh Makhdum
Ibrahim yang bisa menjawab persoalan ini dengan memuaskan. Karena itu jika
Syekh Maghribi mau berkunjung ke Kademangan Kejawar, ada baiknya kalau kelak
Kanda Kamandaka mengusahakan agar Syekh Maghribi atau bahkan Syekh Maghdum
Ibrahim bisa datang ke Kadipaten Pasirluhur. Kita bisa berdiskusi soal-soal
kesenian wayang kulit menurut agama Islam. Dari Muarajati ke Pasirluhur tidak
terlalu jauh, bukan? Demikian pula jarak dari Demak ke Pasirluhur, mungkin
hanya lebih jauh sedikit.”
“Aku setuju
sekali dengan usul Diajeng,” kata Kamandaka yang tampaknya disetujui semua
hadirin.
Tak terasa
matahari sudah tenggelam. Perbincangan yang mengasyikkan di serambi Dalem Gede
itu segera berakhir, ketika Kanjeng Ayu Adipati Sepuh muncul dan mengajak untuk
santap menjelang malam bersama. Kanjeng Adipati Sepuh sudah menunggu di ruang
makan. Selesai acara santap bersama, rencananya mereka akan berangkat
bersama-sama ke Pendapa Kadipaten untuk menyaksikan pentas wayang beber.
***
Malam telah menggantikan siang. Bola
tembaga matahari, semburat merah senja, dan pepohonan dari hutan hijau, telah
menghilang. Di langit malam yang kelabu itu telah muncul bintang gemintang,
awan putih tipis, dan kelelawar yang berkeliaran kian kemari mencari
buah-buahan yang bergelantungan di pohon. Di atas kaki langit barat daya,
bintang kejora muncul bagaikan Dewi Venus yang meratui segala bintang. Sinarnya
kemilau cemerlang memukau siapa saja yang memandangnya.
“Ya, mengagumkan
memang bintang Venus di atas langit Kadipaten Pasirluhur. Bintang simbol
penyebar kasih sayang dan cinta di muka bumi,” berkata seseorang yang ada dalam
kerumunan penduduk yang berjubel itu. Mereka berkerumun di depan gerbang
Kadipaten. Mereka ramai-ramai mendongak ke atas. Mendongak menatap dengan
takjub.
“Pertanda baik,
Gus?” tanya seseorang yang sudah agak tua, kepada seseorang yang tadi
mengatakan bahwa bintang yang cemerlang itu bintang Venus. Dia ternyata seorang
pemuda tegap rambutnya dipotong pendek.
“Pertanda baik,
itu Dewi Venus, itu pelindung Kanjeng Ayu Dewi Ciptarasa,” kata pemuda tadi.
“Syukurlah
kalau begitu. Pertanda akan datangnya jaman makmur bagi kadipaten kita,” kata
salah seorang di antara mereka yang masih mendongakkan wajahnya ke langit.
“Jaman
Kala Subha, Gus?”
“Betul,
betul. Jaman Kala Subha. Jaman makmur dan tenteram,” kata pemuda tadi.
“Orang
Sunda, Jawa, Bali tidak mengenal bintang Venus, Gus,”
“Aku
bekas pelaut. Mondar mandir Muara Jati –Bandar Malaka. Para pelaut menyebut itu
bintang Venus. Itu salah satu Dewi orang Yunani. Aku tak mungkin keliru.”
“Keturunan
Bangsa Galuh juga tak pernah salah, Gus. Itu bintang Kejora. Ya, bintang Kejora
di atas langit Pasirluhur.”
“Pertanda
baik?”
“Pertanda
baik, Gus”
Orang-orang
yang berjubel itu bingung. Mana yang benar? Bintang Venus yang dewi perempuan
atau bintang Kejora yang dewa laki-laki? Mereka semua terdiam. Jangan jangan
bintang itu justru perlambang buruk? Akan datangnya wabah, misalnya?
Untunglah
Ki Patih diam-diam ada di situ. Dari tadi dia ikut mendengarkan perbincangan
orang-orang yang berjubel itu.
“Bintang
Kejora itu sama dengan Bintang Venus. Bintang Venus itu menurut anggapan pelaut-pelaut
yang belajar kepada pelaut-pelaut Yunani-Romawi. Bintang Kejora itu menurut
anggapan para petani di Pulau Jawa yang keturunan bangsa Galuh. Dua-duanya
betul. Pertanda kemakmuran dan kebahagiaan,” kata Ki Patih yang akan menuju ke
Pendapa kadipaten.
“Oh,
Ndara Patih? Terima kasih,” kata orang yang tadi menyebut bintang Kejora.
“Terimakasih,
Ndara Patih,” kata pemuda yang tadi menyebut bintang Venus. Penduduk yang
berjubel itu pun puas. Mereka menyalami Ki Patih dan membukakan jalan bagi Ki
Patih untuk lewat menuju pendapa kadipaten.
“Benar
Ki Patih. Bintang Venus itu melambangkan Sang Dewi. Bintang Kejora itu
melambangkan Ndara Kamandaka. Mereka pasangan yang ideal untuk memimpin
Kadipaten Pasirluhur,” kata salah seorang di antara mereka. Orang-orang yang
tadi berjubel itu pun senang.
Di
sepanjang jalan di seberang depan pintu gerbang kadipaten berdiri gugug-gubug
darurat dari bambu yang didirikan penduduk untuk berjualan. Lampu minyak
memancar dari tiap warung, sehingga jalan di depan gerbang itu tampak terang.
Di sisi jalan di seberang warung-warung yang searah dengan pintu gerbang
kadipaten, berderet ratusan umbul-umbul yang berwarna-warni, yang ditegakkan
dengan tiang-tiang bambu. Umbul-umbul itu terus menerus berkibar-kibar
berombak-ombak tidak henti-hentinya di tiup angin malam. Orang-orang saling
berdesak-desakan. Ada yang mematung di depan warung. Ada yang membeli makanan
yang dijual di warung. Ada pula yang berjalan menuju Pendapa untuk melihat
pentas wayang.
Halaman
Pendapa diterangi puluhan lampu minyak yang dibuat dari batang-batang bambu
yang melintang. Nyala lampunya menari-nari kian kemari ditiup angin malam.
Penduduk Kadipaten Pasirluhur menyebutnya alat penerang dari lampu minyak
dengan batang bambu itu damar sewu. Di sudut-sudut di bawah atap Pendapa dan
bangunan di sekitar Pendapa, bergelantungan pula lampu minyak yang dilindungi
kertas warna warni buatan negeri China yang didatangkan dari Bandar Malaka.
Namanya damar kurung.
Di
Pendapa Kadipaten Pasirluhur, panggung untuk pementasan pagelaran wayang beber
sudah siap sejak sore. Kini, kelir putih sudah digelar melintang. Lampu minyak
dari bahan gelas dengan gantungan perak berukir, menggantung di atas panggung
menerangi layar atau kelir. Ki Dalang Sukmo Lelono, para niyaga, dan Sinden
Titisari, Juminem dan Paijem sudah duduk di atas pangggung. Di atas kelir
wayang beber bergambar gunung telah dipasang oleh Ki Dalang.
Di
lantai Pendapa di sisi kiri berderet sejumlah kursi khusus untuk keluarga
Kanjeng Adipati, tamu undangan dan punggawa tinggi kadipaten. Di sisi kanan
berderet pula kursi untuk para lurah dan para punggawa kadipaten lainnya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar