Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Minggu, 28 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (05)





“Terima kasih Kanda Kamandaka dan Ayunda Dewi, atas pujiannya,” kata Arya Baribin.
“Kalau konsep ketuhanan dalam seni pentas wayang kulit menurut persepsi agama Hindu-Buddha, bisa adinda jelaskan, Ayunda Dewi. Tetapi kalau menurut persepsi agama Islam, adinda sendiri masih dalam taraf mempelajari dan mendiskusikannya dengan Syekh Makhdum Maghribi yang sudah pernah bertukar pikiran, pada waktu Syekh Makhdum Maghribi mengunjungi Kademangan Kejawar beberapa waktu lalu.”
“Kalau begitu mumpung masih ada waktu, silahkan Dimas Arya Baribin menjelaskan bagaimana konsep ketuhanan yang ada dalam pentas wayang kulit menurut persepsi agama Hindu-Buddha” kata Kamandaka kepada Arya Baribin yang mendapat dukungan dari semua yang hadir.
“Baiklah Kanda Kamandaka dan Ayunda Dewi.Tetapi dinda mohon ijin minum teh dulu,” kata Arya Baribin sambil meraih cangkir berisi teh manis yang ada di depannya. Ratna Pamekas yang dari tadi menyimak dengan tekun uraian kekasihnya itu, cepat-cepat meraih cangkir teh yang ada di depannya kemudian diserahkan kepada Arya Beribin.
“Terima kasih, Dinda Ratna,” kata Arya Baribin sambil menerima cangkir berisi the manis yang hangat dan segar, lalu meminumnya. Ratna Pamekas ikut minum teh diikuti kakak-kakaknya yang lain.

“Berbeda dengan pentas wayang beber, pentas wayang kulit sebenarnya sangat mengandalkan pada bayangan yang ditimbulkan pada layar yang terbentuk karena adanya sinar lampu yang disebut blencong. Itulah sebabnya gambar tokoh-tokoh dalam lembaran kulit itu harus ditatah, agar terbentuk bayangan gambar wayang yang harus bisa dilihat dari balik layar.
“Panggung untuk pementasan wayang kulit tidak jauh berbeda dengan panggung untuk pementasan wayang beber. Ki Dalang, sinden dan niyaga duduk di atas pangggung yang ada di depan layar. Gamelan pengiring pentas wayang kulit pun tidak jauh berbeda dengan wayang beber. Bedanya hanya pada posisi dalang dan penonton. Ki Dalang dalam wayang kulit, tidak seperti Ki Dalang dalam wayang beber yang duduknya membelakangi layar.
“Ki Dalang dalam pementasan wayang kulit menghadap layar. Lembaran kulit yang berisi sejumlah tokoh wayang ditampilkan di layar atau kelir dengan menggunakan penjepit yang dibuat dari tanduk kerbau dan ditancapkan di atas pelepah pisang yang berfungsi sebagai dasar layar atau kelir”
Sang Dewi dan suaminya Kamandaka serta pendengar lainnya dengan sabar, penuh perhatian, dan menyimak apa yang dikatakan Arya Baribin. Pengetahuan Arya Baribin yang luas dan mendalam soal sejarah dan filsafat wayang sangat menarik bagi mereka. Semua keterangan dari Arya Baribin mereka pandang sebagai bekal berharga untuk bisa memahami dengan lebih baik pentas wayang beber yang nanti malam akan ditontonnya.
“Penonton pementasan wayang kulit ada dua. Pertama adalah orang yang punya hajat dan keluarganya selaku penanggap. Mereka harus menonton wayang kulit dari belakang layar. Kedua adalah penonton lain yang menonton pementasan wayang kulit dari depan layar. Penonton di belakang layar, hanya bisa melihat bayangan gambar wayang yang terbentuk pada layar. Mereka tidak dapat melihat Ki Dalang, gambar wayang asli, niyaga dan pesindennya. Mereka hanya dapat melihat gambar dan mendengarkan suara Ki Dalang, gamelan dan nyanyian pesinden dari balik layar.
“Itu sebabnya gambar wayang kulit harus ditatah, disungging dan diukir, agar bisa membentuk bayangan pada layar. Gambaran yang dilihat oleh penonton yang ada di belakang layar itu adalah gambaran dunia di alam keabadian, dunia non materi, dunia ruh, dunia para dewa, alam kahyangan, atau nirwana.
“Kedua adalah penonton yang ada di depan layar. Mereka lebih bebas dan lebih leluasa melihat secara langsung gambar wayang yang terpampang di atas layar yang sedang dimainkan Ki Dalang, niyaga, sinden, dan aneka ragam gamelan pengiring. Gambaran yang dilihat oleh penonton yang ada di depan layar itu adalah gambaran dunia nyata, dunia materi, dunia tempat kita hidup sekarang ini. Suatu dunia yang tidak kekal, maya, dan sementara.
“Demkianlah pentas wayang kulit menghasilkan simbol dua dunia, yakni dunia kekal dan abadi yang dilihat secara simbolik oleh orang-orang yang menonton wayang kulit dari balik layar. Dan dunia maya, yang bersifat tidak kekal dan sementara yang secara simbolik dilihat oleh orang-orang yang menonton dari depan layar.
“Adanya dua dunia dalam pentas wayang kulit itu, sejalan dengan konsep ketuhanan dalam agama Hindu dan Buddha yang disebut dengan Vedanta. Pandangan hidup Vedanta mengajarakan bahwa hidup di dunia ini hanyalah maya belaka. Oleh karena itu hidup di dunia ini dipenuh dengan perasaan sedih, duka cita, nestapa, derita, sengsara dan sejumlah penderitaan lainnya yang disebutnya sebagai samsara. Hidup di dunia adalah hidup di alam materi, alam benda, alam jasmani, alam kasar, alam tampak, alam yang menyebabkan orang bisa sakit, menjadi tua dan akhirnya mati. Adapun hidup kekal dan abadi bukanlah kehidupan di dunia ini. Kehidupan kekal dan abadi adalah kehidupan di alam tempat ruh meninggalakn dunia ini, yakni alam sangkan paran. Alam dari mana ruh berasal dan ruh akan kembali. Itulah nirwana, alam tanpa penderitaan.”
“Bayangan wayang di dalam layar itu menggambarkan atman atau jiwa manusia yang terperangkap oleh dunia benda serba materi. Atman itu sebelum terperangkap oleh dunia materi, berasal dari brahman yang hidup di dunia ruhani, alam kahyangan, alam para dewa, alam sangkan paran, alam yang kekal dan abadi yang disebut nirwana.
“Demikianlah filosofi wayang kulit secara mendalam mengandung konsep Vedanta dan Sangkan Paran atau asal muasal jiwa manusia sebagai atman yang selalu rindu untuk pulang kembali bersatu dengan brahman di dalam nirwana. Proses kembalinya atman menyatu kembali dengan brahman, itulah yang dikenal dengan konsep dalam bahasa Jawa, ”Manunggaling Kawula lan Gusti”. Yakni konsep bersatunya kembali atman sebagai hamba dengan brahman sebagai Sang Gusti.” kata Arya Baribin berhenti menyampaikan uraiannya yang mendalam dan panjang lebar itu. “Sampai di sini dulu Ayunda Dewi dan Kanda Kamandaka.”
“Sungguh uraian luar biasa yang akan memperkaya wawasan kita. Sudah jelas wayang kulit mengandung konsep pandangan hidup mendalam. Penjelasan Dimas Arya Baribin soal wayang beber dan wayang kulit bisa menjadi bekal untuk menikmati pertunjukan wayang pada malam hari ini,” kata Kamandaka sambil mengucapkan terimakasih kepada Arya Baribin yang telah mau berbagi ilmu dan pengetahuan.
“Bagaimana pendapat Dinda Silihwarna yang pernah lama mondok di Padepokan Megamendung? Atau Dinda Wirapati, punya pendapat?” tanya Kamandaka.
“Aku menyimak saja, Kanda. Ingin banyak belajar kepada Dimas Arya Baribin,” jawab Silihwarna dan Wirapati hampir bersamaan.
“Atau Kanda Amenglayaran? Bapa Pendeta Muda?” Kamandaka berpaling kepada Amenglayaran. Tapi Amenglayaran yang duduk berdampingan dengan Sekarmelati dan Sekarcempaka menggelengkan kepala, karena mulai asyik berbincang bincang dengan gadis kembar cantik dari Nusakambangan, Sekarmelati dan Sekarcempaka.
“Kalau aku masih penasaran sebenarnya. Aku yakin agama Islam juga mengenal adanya dua alam, yakni alam dunia dan alam setelah ruh meninggalkan alam dunia,” kata Sang Dewi setelah menunggu tidak ada yang menanggapi penjelasan Arya Baribin. ”Hanya apa istilah dalam agama Islam untuk menyebut alam sangkan paran atau alam nirwana, aku belum tahu. Jika agama Hindu-Buddha mengenal konsep inkarnasi, aku menduga agama Islam tak mengenal konsep inkarnasi. Jika demikian, apa tujuan ruh manusia datang ke dunia lalu kembali meninggalkan dunia setelah masa hidupnya di dunia habis? Menurut hemat aku hanya Syekh Maghribi dan Syekh Makhdum Ibrahim yang bisa menjawab persoalan ini dengan memuaskan. Karena itu jika Syekh Maghribi mau berkunjung ke Kademangan Kejawar, ada baiknya kalau kelak Kanda Kamandaka mengusahakan agar Syekh Maghribi atau bahkan Syekh Maghdum Ibrahim bisa datang ke Kadipaten Pasirluhur. Kita bisa berdiskusi soal-soal kesenian wayang kulit menurut agama Islam. Dari Muarajati ke Pasirluhur tidak terlalu jauh, bukan? Demikian pula jarak dari Demak ke Pasirluhur, mungkin hanya lebih jauh sedikit.”
“Aku setuju sekali dengan usul Diajeng,” kata Kamandaka yang tampaknya disetujui semua hadirin.
Tak terasa matahari sudah tenggelam. Perbincangan yang mengasyikkan di serambi Dalem Gede itu segera berakhir, ketika Kanjeng Ayu Adipati Sepuh muncul dan mengajak untuk santap menjelang malam bersama. Kanjeng Adipati Sepuh sudah menunggu di ruang makan. Selesai acara santap bersama, rencananya mereka akan berangkat bersama-sama ke Pendapa Kadipaten untuk menyaksikan pentas wayang beber.
***
Malam telah menggantikan siang. Bola tembaga matahari, semburat merah senja, dan pepohonan dari hutan hijau, telah menghilang. Di langit malam yang kelabu itu telah muncul bintang gemintang, awan putih tipis, dan kelelawar yang berkeliaran kian kemari mencari buah-buahan yang bergelantungan di pohon. Di atas kaki langit barat daya, bintang kejora muncul bagaikan Dewi Venus yang meratui segala bintang. Sinarnya kemilau cemerlang memukau siapa saja yang memandangnya.
“Ya, mengagumkan memang bintang Venus di atas langit Kadipaten Pasirluhur. Bintang simbol penyebar kasih sayang dan cinta di muka bumi,” berkata seseorang yang ada dalam kerumunan penduduk yang berjubel itu. Mereka berkerumun di depan gerbang Kadipaten. Mereka ramai-ramai mendongak ke atas. Mendongak menatap dengan takjub.
“Pertanda baik, Gus?” tanya seseorang yang sudah agak tua, kepada seseorang yang tadi mengatakan bahwa bintang yang cemerlang itu bintang Venus. Dia ternyata seorang pemuda tegap rambutnya dipotong pendek.
“Pertanda baik, itu Dewi Venus, itu pelindung Kanjeng Ayu Dewi Ciptarasa,” kata pemuda tadi.
“Syukurlah kalau begitu. Pertanda akan datangnya jaman makmur bagi kadipaten kita,” kata salah seorang di antara mereka yang masih mendongakkan wajahnya ke langit.
“Jaman Kala Subha, Gus?”
“Betul, betul. Jaman Kala Subha. Jaman makmur dan tenteram,” kata pemuda tadi.
“Orang Sunda, Jawa, Bali tidak mengenal bintang Venus, Gus,”
“Aku bekas pelaut. Mondar mandir Muara Jati –Bandar Malaka. Para pelaut menyebut itu bintang Venus. Itu salah satu Dewi orang Yunani. Aku tak mungkin keliru.”
“Keturunan Bangsa Galuh juga tak pernah salah, Gus. Itu bintang Kejora. Ya, bintang Kejora di atas langit Pasirluhur.”
“Pertanda baik?”
“Pertanda baik, Gus”
Orang-orang yang berjubel itu bingung. Mana yang benar? Bintang Venus yang dewi perempuan atau bintang Kejora yang dewa laki-laki? Mereka semua terdiam. Jangan jangan bintang itu justru perlambang buruk? Akan datangnya wabah, misalnya?
Untunglah Ki Patih diam-diam ada di situ. Dari tadi dia ikut mendengarkan perbincangan orang-orang yang berjubel itu.
“Bintang Kejora itu sama dengan Bintang Venus. Bintang Venus itu menurut anggapan pelaut-pelaut yang belajar kepada pelaut-pelaut Yunani-Romawi. Bintang Kejora itu menurut anggapan para petani di Pulau Jawa yang keturunan bangsa Galuh. Dua-duanya betul. Pertanda kemakmuran dan kebahagiaan,” kata Ki Patih yang akan menuju ke Pendapa kadipaten.
“Oh, Ndara Patih? Terima kasih,” kata orang yang tadi menyebut bintang Kejora.
“Terimakasih, Ndara Patih,” kata pemuda yang tadi menyebut bintang Venus. Penduduk yang berjubel itu pun puas. Mereka menyalami Ki Patih dan membukakan jalan bagi Ki Patih untuk lewat menuju pendapa kadipaten.
“Benar Ki Patih. Bintang Venus itu melambangkan Sang Dewi. Bintang Kejora itu melambangkan Ndara Kamandaka. Mereka pasangan yang ideal untuk memimpin Kadipaten Pasirluhur,” kata salah seorang di antara mereka. Orang-orang yang tadi berjubel itu pun senang.
Di sepanjang jalan di seberang depan pintu gerbang kadipaten berdiri gugug-gubug darurat dari bambu yang didirikan penduduk untuk berjualan. Lampu minyak memancar dari tiap warung, sehingga jalan di depan gerbang itu tampak terang. Di sisi jalan di seberang warung-warung yang searah dengan pintu gerbang kadipaten, berderet ratusan umbul-umbul yang berwarna-warni, yang ditegakkan dengan tiang-tiang bambu. Umbul-umbul itu terus menerus berkibar-kibar berombak-ombak tidak henti-hentinya di tiup angin malam. Orang-orang saling berdesak-desakan. Ada yang mematung di depan warung. Ada yang membeli makanan yang dijual di warung. Ada pula yang berjalan menuju Pendapa untuk melihat pentas wayang.
Halaman Pendapa diterangi puluhan lampu minyak yang dibuat dari batang-batang bambu yang melintang. Nyala lampunya menari-nari kian kemari ditiup angin malam. Penduduk Kadipaten Pasirluhur menyebutnya alat penerang dari lampu minyak dengan batang bambu itu damar sewu. Di sudut-sudut di bawah atap Pendapa dan bangunan di sekitar Pendapa, bergelantungan pula lampu minyak yang dilindungi kertas warna warni buatan negeri China yang didatangkan dari Bandar Malaka. Namanya damar kurung.
Di Pendapa Kadipaten Pasirluhur, panggung untuk pementasan pagelaran wayang beber sudah siap sejak sore. Kini, kelir putih sudah digelar melintang. Lampu minyak dari bahan gelas dengan gantungan perak berukir, menggantung di atas panggung menerangi layar atau kelir. Ki Dalang Sukmo Lelono, para niyaga, dan Sinden Titisari, Juminem dan Paijem sudah duduk di atas pangggung. Di atas kelir wayang beber bergambar gunung telah dipasang oleh Ki Dalang.
Di lantai Pendapa di sisi kiri berderet sejumlah kursi khusus untuk keluarga Kanjeng Adipati, tamu undangan dan punggawa tinggi kadipaten. Di sisi kanan berderet pula kursi untuk para lurah dan para punggawa kadipaten lainnya. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar