Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 15 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (02)





 Sumber gambar:Wikipedia.
“Ya, aku akan jelaskan lebih dulu cara mementaskan wayang beber, Dinda Ratna. Wayang beber sebenarnya usianya lebih muda dari pada wayang kulit,” kata Arya Baribin.
“Wayang beber sebagai media untuk mementaskan ceritera Panji itu menggunakan media kertas yang diolah dari kulit padi, lalu media itu diberi cat warna warni untuk melukiskan tokoh-tokohnya, kemudian digulung. Satu babak bisa terdiri dari 3 gulungan kertas. Jika ada enam babak berarti ada 6 gulungan yang masing-masing terdiri dari 3 lembar kertas bergambar tokoh-tokoh Panji.
“Cara memainkan wayang beber sangat mudah, tidak memerlukan ketrampilan tinggi. Gulungan-gulungan kertas karton itu dibuka di depan layar dengan menggunakan pasak yang ditancapkan di sisi kiri dan kanan batang pelepah pisang. Jika satu adegan selesai, Ki Dalang akan mencabut pasak di sebelah kanan, sehingga lembar karton berisi adegan pertama itu akan menggulung dengan sendirinya ke arah kiri. Maka di layar akan muncul adegan ke dua dari tokoh-tokoh wayang.
“Demikian seterusnya cara Ki Dalang memainkan wayang beber. Itulah sebabnya wayang yang dipentaskan dengan menggunakan gulungan kertas karton itu disebut wayang beber, karena cara memainkannya dilakukan dengan membuka atau membeberkan gulungan-gulungan kertas karton bergambar tokoh-tokoh wayang di depan layar. Cara pementasan wayang kulit sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan cara pementasan wayang beber. Hanya cara memainkan media wayang yang berbeda,” kata Arya Baribin.
“Dimas Arya, bagaimana dengan panggung pementasan wayang beber?” tanya Silihwarna seperti adik tirinya, juga belum pernah menyaksikan pentas wayang beber. Dia pun ingin tahu.
“Posisi panggung seperti biasa, ada di depan layar,” jawab Arya Baribin. “Cara Ki Dalang memainkan wayang beber ialah menghadap penonton dengan membelakangi layar. Hanya pada waktu akan mengganti adegan, Ki Dalang membalikkan badannya, lalu kembali ke posisi semula.”
“Gamelan pengiring terdiri dari seruling, rebab, kendang kecil, gender dan kangsi atau kenong kecil. Gamelan pengiring cukup ditangani empat niyaga. Rebab dan seruling dimainkan secara bergantian. Para penyanyi wanita yang disebut sinden atau waranggana, menyanyi secara bersama-sama maupun sendirian saja mengiringi permainan Ki Dalang.
“Ki Dalang melukiskan jalannya ceritera dengan menyanyikan lagu semacam kidung yang disebut suluk. Istilah dalang sebenarnya baru dikenal pada jaman Majapahit. Pada Jaman Daha dan Kediri, istilah untuk menyebut dalang wayang disebut windu mawayang. Berbeda dengan wayang kulit, wayang beber bisa dimainkan pada waktu siang maupun malam hari,” kata Arya Baribin menjelaskan cara pementasan wayang beber.
Silihwarna dan Ratna Pamekas mengangguk-angguk beberapa kali, mencoba membayangkan pentas wayang beber yang dilukiskan Arya Baribin. Wayang beber yang berasal dari Kerajaan Daha itu baru tersebar ke barat sampai Lembah Ciserayu. Belum menjangkau wilayah sebelah barat Citanduy.
Wajar jika Silihwarna dan Ratna Pamekas sama sekali belum pernah melihatnya. Pendeta Muda dan Wirapati juga tekun mendengarkan uraian Arya Baribin. Sekarmenur, Sekarmelati dan Sekarcempaka kurang berminat pada kisah-kisah wayang. Sedangkan Mayangsari dan Ratna Pamekas, sama dengan Sang Dewi punya minat tinggi pada kesenian dan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana.
Rupanya masa lalu Sekarmenur, Sekarmelati dan Sekarcempaka yang akrab dengan seni bela diri dan keprajuritan, menyebabkan mereka bertiga lebih suka menyibukkan diri dalam urusan keamanan, keprajuritan, bela negara dan birokrasi pemerintaha dari pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan.
“Bagaimana Ayunda Dewi, bisa dilanjutkan soal wayang kulit atau ditunda lain waktu?” Arya Baribin bertanya kepada Sang Dewi
Sang Dewi melihat ke arah langit sebelah barat. Ternyata matahari masih cukup tinggi, bagaikan bola perak tergantung di atas perbukitan. Semburat warna senja belum juga tampak.
“Masih cukup waktu, Dimas Arya Baribin. Ayo lanjutkan dengan riwayat wayang kulit,” Sang Dewi minta agar Arya Baribin melanjutkan uraiannya. Permintaan Sang Dewi ternyata mendapat dukungan dari semua yang hadir.
***
Bagi Sang Dewi, setiap kerajaan atau pun kadipaten, seharusnya memang memiliki perhatian yang cukup kepada masalah-masalah kebudayaan dan kesenian. Jika sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan rakyat kerajaan dan kadipaten merupakan kebutuhan yang sifatnya lahiriyah dan material sehingga harus dipenuhi para penguasa, maka kesenian, agama, dan pandangan hidup, merupakan kebutuhan rokhani manusia yang juga harus dipenuhi dan dicukupi para penguasa. Perlunya ialah agar manusia bisa berkembang secara utuh dan seimbang. Kondisi yang utuh, harmonis dan seimbang itu adalah kondisi tercapainya warga masyarakat yang sehat dan sejahtera baik yang bersifat lahiriyah maupun batiniah.
Terbayang oleh Sang Dewi, bila kelak adik-adiknya itu menjadi para penguasa di Lembah Ciserayu dan Citanduy. Bila mereka kelak juga mempunyai pemahaman memadai terhadap masalah-masalah agama, kesenian dan kebudayaan, di samping masalah ekonomi dan keamanan, nistaya kadipaten-kadipaten di Lembah Ciserayu dan Citanduy akan mengalami kemajuan pesat.
Itulah sebabnya, Sang Dewi memandang uraian Arya Baribin soal kesenian wayang, penting untuk dipahami. Baik oleh dirinya sendiri, suaminya maupun ipar-iparnya dan sepupunya seperti Wirapati yang kelak akan menjadi Adipati Kadipaten Adireja, Silihwarna yang kelak akan menjadi Adipati Kadipaten Dayeuhluhur dan Arya Baribin sendiri yang kelak akan menjadi penguasa Kadipaten Kalipucang.
Posisi Kadipaten Pasirluhur ke depannya, sebenarnya menurut pemikiran Sang Dewi memang bisa menjadi mercusuar bagi kadipaten-kadipaten lainnya di Lembah Ciserayu dan Citanduy. Jika kondisi itu dapat dicapai pada masa pemerintahan suaminya dan dirinya, nistaya kadipaten-kadipaten yang lain di luar Adireja, Dayeuhluhur dan Kalipucang, akan menginduk pada Kadipaten Pasirluhur. Kadipaten Pasirluhur nistaya akan berkembang sebagai sumber inspirasi bagi kemajuan kadipaten-kadipaten lainnya di Lembah Ciserayu dan Citanduy.
Sang Dewi, tiba-tiba tersadar dari lamunannya, ketika mendengar suara Arya Baribin mulai menjelaskan riwayat wayang kulit di Pulau Jawa.
“Pementasan wayang kulit jauh lebih tua dengan wayang beber, Ayunda Dewi,” kata Arya Baribin melanjutkan setelah diam sesaat dan melirik gadis cantik kekasihnya, Ratna Pamekas.
“Tradisi wayang kulit jelas berasal dari tradisi warisan kepercayaan bangsa Galuh, nenek moyang orang Sunda, Jawa, Madura, dan Bali yang disebut kepercayaan Animisme. Kepercayaan ini memuja ruh nenek moyang orang yang sudah meninggal. Kesenian wayang kulit adalah kesenian asli bangsa Galuh yang ikut terbawa ke Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
“Pada saat agama dari India datang ke Jawa, media wayang kulit oleh para brahmana dan ksatria dijadikan media untuk mementaskan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Dalam agama Hindu dan Buddha, Kitab Mahabharata dan Ramayana adalah bagian dari Kitab Suci selain Wedda dan Tripitaka. Karena itu Kitab Mahabharata dan Ramayana hanya boleh dibaca oleh para Brahmana dan Ksatria. Para Brahmana dan Ksatria sebagai kasta tertinggi, melarang kasta Weisya, Sudra dan rakyat jelata lainnya membaca kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Bahkan para Brahmana mengancam hukuman yang keras bagi orang Weisya, Sudra, dan Paria yang ketahuan membaca kitab suci.
“Akibat dari larangan membaca kitab Mahabharata dan Ramayana, maka pementasan wayang kulit hanya bisa dilakukan secara terbatas di lingkungan istana para Ksatria dan Brahmana. Rakyat jelata tak ada yang berani mementaskan pagelaran wayang kulit dengan mengambil kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Jangankan mementaskan, menonton pun mereka tidak boleh. Inilah yang menyebabkan pentas wayang kulit sampai jaman kerajaan Majapahit, kalah populer dengan wayang beber yang berisi kisah-kisah Panji. Selain faktor perbedaan status sosial, kisah Mahabharata dan Ramayana terjadinya di India, bukan di Jawa. Karena itu, pada awalnya rakyat pun kurang begitu suka dengan kisah-kisah yang terjadi di negeri India yang jauh itu. Rakyat lebih suka kisah-kisah dalam ceritera Panji yang jelas-jelas terjadi di Kerajaan Daha dan Jenggala yang merupakan kerajaan yang ada di Jawa.
“Memang pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat jelata mulai dibebaskan dari larangan menonton pagelaran wayang kulit dengan menampilkan kisah-kisah dari Mahabharata dan Ramayana. Bahkan Raja Hayam Wuruk sendiri sering tampil sebagai dalang yang mementaskan pagelaran wayang kulit di Pendapa Istana Majapahit.
“Rakyat jelata diijinkan oleh Sang Raja Hayam Wuruk untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Tradisi baru yang dirintis Sang Raja Hayam Wuruk itu, kemudian diikuti pula oleh kadipaten-kadipaten lainnya yang berada di bawah kendali Majapahit, khususnya kadipaten-kadipaten di Jawa dan Bali.
“Pada waktu mendalang Sang Raja memakai sejumlah nama samaran. Misalnya, Ki Tritaraju, Ki Pager Antimun dan Ki Gagak Ketawang. Ternyata Raja Hayam Wuruk bukan hanya pandai mendalang. Tetapi juga pandai olah swara, pandai memainkan tarian topeng bahkan pandai memainkan peran sebagai wanita jika mementaskan wayang jenaka.
“Sekalipun Raja Hayam Wuruk telah melakukan pembaharuan dalam pertunjukan wayang kulit, namun sampai akhir Kerajaan Majapahit, belum dikenal tokoh-tokoh wayang kulit yang berdiri sendiri dalam bentuk boneka wayang kulit. Boneka wayang kulit yang dapat dimainkan secara mandiri di atas layar atau kelir, justru dikembangkan oleh Kerajaan Islam Demak. Kerajaan Islam Demaklah yang pertama kali memanfaatkan media wayang kulit untuk mementaskan kisah-kisah dalam Mahabharata dan Ramayana sebagai sarana menyebarkan agama Islam,” kata Arya Baribin. Dia berhenti sejenak sambil memandang Sang Dewi, kemudian berkata:
“Ayunda Dewi, itulah tadi penjelasan atas pertanyaan Ayunda Dewi, mengapa pementasan wayang kulit dengan lakon Mahabharata dan Ramayana kalah populer dengan wayang beber yang jauh lebih merakyat. Tetapi jika seniman-seniman Muslim terus menerus mengembangkan kreatifitasnya, cepat atau lambat wayang kulit akan digemari juga oleh sebagai besar rakyat.” (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar