Sumber gambar:Wikipedia.
“Ya, aku akan jelaskan lebih dulu cara
mementaskan wayang beber, Dinda Ratna. Wayang beber sebenarnya usianya lebih
muda dari pada wayang kulit,” kata Arya Baribin.
“Wayang beber
sebagai media untuk mementaskan ceritera Panji itu menggunakan media kertas
yang diolah dari kulit padi, lalu media itu diberi cat warna warni untuk
melukiskan tokoh-tokohnya, kemudian digulung. Satu babak bisa terdiri dari 3
gulungan kertas. Jika ada enam babak berarti ada 6 gulungan yang masing-masing
terdiri dari 3 lembar kertas bergambar tokoh-tokoh Panji.
“Cara memainkan
wayang beber sangat mudah, tidak memerlukan ketrampilan tinggi.
Gulungan-gulungan kertas karton itu dibuka di depan layar dengan menggunakan
pasak yang ditancapkan di sisi kiri dan kanan batang pelepah pisang. Jika satu
adegan selesai, Ki Dalang akan mencabut pasak di sebelah kanan, sehingga lembar
karton berisi adegan pertama itu akan menggulung dengan sendirinya ke arah
kiri. Maka di layar akan muncul adegan ke dua dari tokoh-tokoh wayang.
“Demikian
seterusnya cara Ki Dalang memainkan wayang beber. Itulah sebabnya wayang yang
dipentaskan dengan menggunakan gulungan kertas karton itu disebut wayang beber,
karena cara memainkannya dilakukan dengan membuka atau membeberkan gulungan-gulungan
kertas karton bergambar tokoh-tokoh wayang di depan layar. Cara pementasan
wayang kulit sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan cara pementasan wayang
beber. Hanya cara memainkan media wayang yang berbeda,” kata Arya Baribin.
“Dimas Arya, bagaimana
dengan panggung pementasan wayang beber?” tanya Silihwarna seperti adik
tirinya, juga belum pernah menyaksikan pentas wayang beber. Dia pun ingin tahu.
“Posisi panggung seperti biasa, ada di
depan layar,” jawab Arya Baribin. “Cara Ki Dalang memainkan wayang beber ialah
menghadap penonton dengan membelakangi layar. Hanya pada waktu akan mengganti
adegan, Ki Dalang membalikkan badannya, lalu kembali ke posisi semula.”
“Gamelan pengiring terdiri dari
seruling, rebab, kendang kecil, gender dan kangsi atau kenong kecil. Gamelan
pengiring cukup ditangani empat niyaga. Rebab dan seruling dimainkan secara
bergantian. Para penyanyi wanita yang disebut sinden atau waranggana, menyanyi
secara bersama-sama maupun sendirian saja mengiringi permainan Ki Dalang.
“Ki Dalang
melukiskan jalannya ceritera dengan menyanyikan lagu semacam kidung yang
disebut suluk. Istilah dalang sebenarnya baru dikenal pada jaman Majapahit.
Pada Jaman Daha dan Kediri, istilah untuk menyebut dalang wayang disebut windu
mawayang. Berbeda dengan wayang kulit, wayang beber bisa dimainkan pada waktu
siang maupun malam hari,” kata Arya Baribin menjelaskan cara pementasan wayang
beber.
Silihwarna dan
Ratna Pamekas mengangguk-angguk beberapa kali, mencoba membayangkan pentas
wayang beber yang dilukiskan Arya Baribin. Wayang beber yang berasal dari
Kerajaan Daha itu baru tersebar ke barat sampai Lembah Ciserayu. Belum
menjangkau wilayah sebelah barat Citanduy.
Wajar jika
Silihwarna dan Ratna Pamekas sama sekali belum pernah melihatnya. Pendeta Muda dan
Wirapati juga tekun mendengarkan uraian Arya Baribin. Sekarmenur, Sekarmelati
dan Sekarcempaka kurang berminat pada kisah-kisah wayang. Sedangkan Mayangsari
dan Ratna Pamekas, sama dengan Sang Dewi punya minat tinggi pada kesenian dan
kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana.
Rupanya masa lalu
Sekarmenur, Sekarmelati dan Sekarcempaka yang akrab dengan seni bela diri dan
keprajuritan, menyebabkan mereka bertiga lebih suka menyibukkan diri dalam
urusan keamanan, keprajuritan, bela negara dan birokrasi pemerintaha dari pada
hal-hal yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan.
“Bagaimana Ayunda
Dewi, bisa dilanjutkan soal wayang kulit atau ditunda lain waktu?” Arya Baribin
bertanya kepada Sang Dewi
Sang Dewi melihat
ke arah langit sebelah barat. Ternyata matahari masih cukup tinggi, bagaikan
bola perak tergantung di atas perbukitan. Semburat warna senja belum juga
tampak.
“Masih cukup
waktu, Dimas Arya Baribin. Ayo lanjutkan dengan riwayat wayang kulit,” Sang
Dewi minta agar Arya Baribin melanjutkan uraiannya. Permintaan Sang Dewi
ternyata mendapat dukungan dari semua yang hadir.
***
Bagi Sang Dewi, setiap kerajaan atau
pun kadipaten, seharusnya memang memiliki perhatian yang cukup kepada
masalah-masalah kebudayaan dan kesenian. Jika sandang, pangan, papan, pendidikan
dan kesehatan rakyat kerajaan dan kadipaten merupakan kebutuhan yang sifatnya
lahiriyah dan material sehingga harus dipenuhi para penguasa, maka kesenian,
agama, dan pandangan hidup, merupakan kebutuhan rokhani manusia yang juga harus
dipenuhi dan dicukupi para penguasa. Perlunya ialah agar manusia bisa
berkembang secara utuh dan seimbang. Kondisi yang utuh, harmonis dan seimbang
itu adalah kondisi tercapainya warga masyarakat yang sehat dan sejahtera baik
yang bersifat lahiriyah maupun batiniah.
Terbayang oleh
Sang Dewi, bila kelak adik-adiknya itu menjadi para penguasa di Lembah Ciserayu
dan Citanduy. Bila mereka kelak juga mempunyai pemahaman memadai terhadap
masalah-masalah agama, kesenian dan kebudayaan, di samping masalah ekonomi dan
keamanan, nistaya kadipaten-kadipaten di Lembah Ciserayu dan Citanduy akan
mengalami kemajuan pesat.
Itulah sebabnya,
Sang Dewi memandang uraian Arya Baribin soal kesenian wayang, penting untuk
dipahami. Baik oleh dirinya sendiri, suaminya maupun ipar-iparnya dan sepupunya
seperti Wirapati yang kelak akan menjadi Adipati Kadipaten Adireja, Silihwarna
yang kelak akan menjadi Adipati Kadipaten Dayeuhluhur dan Arya Baribin sendiri
yang kelak akan menjadi penguasa Kadipaten Kalipucang.
Posisi Kadipaten
Pasirluhur ke depannya, sebenarnya menurut pemikiran Sang Dewi memang bisa
menjadi mercusuar bagi kadipaten-kadipaten lainnya di Lembah Ciserayu dan
Citanduy. Jika kondisi itu dapat dicapai pada masa pemerintahan suaminya dan
dirinya, nistaya kadipaten-kadipaten yang lain di luar Adireja, Dayeuhluhur dan
Kalipucang, akan menginduk pada Kadipaten Pasirluhur. Kadipaten Pasirluhur
nistaya akan berkembang sebagai sumber inspirasi bagi kemajuan
kadipaten-kadipaten lainnya di Lembah Ciserayu dan Citanduy.
Sang Dewi,
tiba-tiba tersadar dari lamunannya, ketika mendengar suara Arya Baribin mulai
menjelaskan riwayat wayang kulit di Pulau Jawa.
“Pementasan
wayang kulit jauh lebih tua dengan wayang beber, Ayunda Dewi,” kata Arya
Baribin melanjutkan setelah diam sesaat dan melirik gadis cantik kekasihnya,
Ratna Pamekas.
“Tradisi wayang kulit jelas berasal
dari tradisi warisan kepercayaan bangsa Galuh, nenek moyang orang Sunda, Jawa,
Madura, dan Bali yang disebut kepercayaan Animisme. Kepercayaan ini memuja ruh
nenek moyang orang yang sudah meninggal. Kesenian wayang kulit adalah kesenian
asli bangsa Galuh yang ikut terbawa ke Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
“Pada saat agama
dari India datang ke Jawa, media wayang kulit oleh para brahmana dan ksatria
dijadikan media untuk mementaskan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Dalam
agama Hindu dan Buddha, Kitab Mahabharata dan Ramayana adalah bagian dari Kitab
Suci selain Wedda dan Tripitaka. Karena itu Kitab Mahabharata dan Ramayana
hanya boleh dibaca oleh para Brahmana dan Ksatria. Para Brahmana dan Ksatria
sebagai kasta tertinggi, melarang kasta Weisya, Sudra dan rakyat jelata lainnya
membaca kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Bahkan para Brahmana mengancam
hukuman yang keras bagi orang Weisya, Sudra, dan Paria yang ketahuan membaca
kitab suci.
“Akibat dari
larangan membaca kitab Mahabharata dan Ramayana, maka pementasan wayang kulit
hanya bisa dilakukan secara terbatas di lingkungan istana para Ksatria dan
Brahmana. Rakyat jelata tak ada yang berani mementaskan pagelaran wayang kulit
dengan mengambil kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Jangankan mementaskan,
menonton pun mereka tidak boleh. Inilah yang menyebabkan pentas wayang kulit
sampai jaman kerajaan Majapahit, kalah populer dengan wayang beber yang berisi
kisah-kisah Panji. Selain faktor perbedaan status sosial, kisah Mahabharata dan
Ramayana terjadinya di India, bukan di Jawa. Karena itu, pada awalnya rakyat
pun kurang begitu suka dengan kisah-kisah yang terjadi di negeri India yang
jauh itu. Rakyat lebih suka kisah-kisah dalam ceritera Panji yang jelas-jelas
terjadi di Kerajaan Daha dan Jenggala yang merupakan kerajaan yang ada di Jawa.
“Memang pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat jelata mulai dibebaskan dari larangan
menonton pagelaran wayang kulit dengan menampilkan kisah-kisah dari Mahabharata
dan Ramayana. Bahkan Raja Hayam Wuruk sendiri sering tampil sebagai dalang yang
mementaskan pagelaran wayang kulit di Pendapa Istana Majapahit.
“Rakyat jelata
diijinkan oleh Sang Raja Hayam Wuruk untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit.
Tradisi baru yang dirintis Sang Raja Hayam Wuruk itu, kemudian diikuti pula
oleh kadipaten-kadipaten lainnya yang berada di bawah kendali Majapahit,
khususnya kadipaten-kadipaten di Jawa dan Bali.
“Pada waktu
mendalang Sang Raja memakai sejumlah nama samaran. Misalnya, Ki Tritaraju, Ki
Pager Antimun dan Ki Gagak Ketawang. Ternyata Raja Hayam Wuruk bukan hanya
pandai mendalang. Tetapi juga pandai olah swara, pandai memainkan tarian topeng
bahkan pandai memainkan peran sebagai wanita jika mementaskan wayang jenaka.
“Sekalipun Raja
Hayam Wuruk telah melakukan pembaharuan dalam pertunjukan wayang kulit, namun
sampai akhir Kerajaan Majapahit, belum dikenal tokoh-tokoh wayang kulit yang
berdiri sendiri dalam bentuk boneka wayang kulit. Boneka wayang kulit yang
dapat dimainkan secara mandiri di atas layar atau kelir, justru dikembangkan
oleh Kerajaan Islam Demak. Kerajaan Islam Demaklah yang pertama kali
memanfaatkan media wayang kulit untuk mementaskan kisah-kisah dalam Mahabharata
dan Ramayana sebagai sarana menyebarkan agama Islam,” kata Arya Baribin. Dia
berhenti sejenak sambil memandang Sang Dewi, kemudian berkata:
“Ayunda Dewi,
itulah tadi penjelasan atas pertanyaan Ayunda Dewi, mengapa pementasan wayang
kulit dengan lakon Mahabharata dan Ramayana kalah populer dengan wayang beber
yang jauh lebih merakyat. Tetapi jika seniman-seniman Muslim terus menerus
mengembangkan kreatifitasnya, cepat atau lambat wayang kulit akan digemari juga
oleh sebagai besar rakyat.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar