“Terima kasih Dimas Arya Baribin.
Penjelasannya sangat menarik. Aku memang pernah mendengar dari Kanjeng Rama,
Kerajaan Islam Demak mulai memanfaatkan wayang kulit dengan kisah-kisah
Mahabharata dan Ramayana. Mereka menjadikan wayang kulit media untuk
menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Tokoh dari Kerajaan Islam Demak
yang mempunyai gagasan memanfaatkan media wayang kulit untuk menyebarkan agama
Islam konon namanya Syekh Makhdum Ibrahim yang populer dengan sebutan Sunan
Bonang? Dapatkah Dimas Arya Baribin menjelaskan soal ini?”
“Kisahnya agak
panjang, Ayunda Dewi. Tetapi agar supaya ada gambaran agak utuh mengenai
riwayat wayang kulit yang kemudiaan dimanfaatkan oleh Kerajaan Islam Demak
sebagai media menyebarkan agama Islam, ada baiknya kita kembali lagi ke jaman
Erlangga,” kata Arya Baribin.
Raja Erlangga adalah menantu Raja
Dharmawangsa, kata Arya Baribin menjelaskan riwayat wayang kulit. Raja
Dharmawangsa adalah seorang raja besar penggemar berat pertunjukan wayang
kulit. Maka ketika Sang Raja menyelenggarakan upacara perkawinan putrinya
dengan Pangeran yang berasal dari Bali itu, diselenggarakanlah pertunjukan
wayang kulit.
Tetapi malang tak
dapat ditolak, untung tak dapat diraih.Tahu-tahu saat tengah malam, tentara
Wora-Wari yang didukung Sriwijaya, menyerbu ke tengah-tengah pesta, sehingga
Raja Dharmawangsa yang tidak menyadari adanya bahaya yang mengancam itu, tewas
seketika. Untunglah Erlangga, menantu Raja Dharmawangsa berhasil menyelamatkan
diri dan lolos dari maut pembantaian. Akhirnya setelah berjuang bertahun-tahun
Erlangga berhasil mendirikan kembali kerajaan Kahuripan dengan mengusir musuh
yang menduduki kerajaan warisan mertuanya.
Pada masa
Erlangga tradisi pentas wayang kulit untuk memeriahkan upacara keagamaan terus
berlanjut. Seorang pujangga terkenal pada masa Erlangga, Mpu Kanwa menulis
kitab dalam bentuk tembang, judulnya, Arjuna Wiwaha. Dalam kitabnya itu Mpu
Kanwa sempat melukiskan suasana dan kesan yang ditimbulkan dari pertunjukan
wayang kulit sbb:
‘Ada orang yang
menonton wayang, ikut hanyut terbawa sedih. Yang demikian itu kalau dipikir
sebenarnya bodoh. Sebab dia sebenarnya tahu wayang itu hanyalah kulit yang
diukir digerak-gerakkan dan seolah-olah dapat berbicara. Demikanlah memang
akibat dari orang yang memanjakan kegemaran inderanya, sehingga dia sama sekali
tidak tahu tentang hakekat. Yakni bahwa segala kejadian itu sebenarnya hanya
maya belaka’
“Selanjutnya pada
jaman Kediri Lama, pertunjukan wayang ternyata juga tetap dipertahankan,” kata
Arya Baribin melanjutkan.
Dijelaskan oleh
Arya Baribin bahwa fungsi pertunjukan wayang masih sama sebagai bagian perayaan
dalam ritual keagamaan. Mpu Sedah pujangga pada jaman Kediri menulis pada
bagian awal kitab kakawin Bharata Yudha, bagaimana pertunjukan wayang kulit itu
dipentaskan sbb:
“Semakin terang
bersinar-sinarlah manikam-manikam di pintu gerbang kota, semuanya tampak. Tak
disangka-sangka, wayanglah pohon-pohon oleh mereka yang mengembun-embunkan
sanggul. Barulah kini tampak sulapan-sulapan pohon cemara yang sepanjang malam
terdengar selalu menggersah.Tampak dengan terangnya air terjun-air terjun yang
gemericik, kalau difikir, kedengaran dari orang yang sedang berkecek”
“Di sini Mpu
Sedah melukiskan adegan ketika Sang Dalang sedang memainkan kecrek,
menggerakkan gegunungan atau kekayon, diiringi suara pesinden yang siap
mengiringi permainan wayang sampai udara berembun alias menjelang pagi,” kata
Arya Baribin.
Masih jaman
Kediri, Mpu Panuluh yang menulis bagian akhir kitab kakawin Bharatayudha itu
juga meluksikan peranan gamelan sebagai pengiring pertunjukan wayang kulit pada
jaman Kediri sbb :
“Lagi pula di
sungai-sungai kicir-kicir berbunyi seperti gender wayang, bambu yang
berlubang-lubang berbunyi tertiup angin berdengung-dengung, itulah seruling
pengiringnya. Nyanyian waranggananya ialah suara bersama katak-katak yang
terdengar dari dalam jurang. Suara cenggeret dan belalang kerik riuh tak
henti-hentinya, seperti suara kemanak dan kangsi”
“Di sini Mpu
Panuluh melukiskan gamelan pengiring dalam pertunjukkan wayang, yang antara
lain terdiri dari seruling, gender, dan kenong kecil,” kata Arya Baribin masih
terus menjelaskan riwayat pementasan wayang kulit.
“Dari tulisan Mpu
Kanwa di atas, jelas bahwa pentas wayang kulit sudah ada pada jaman Kerajaan
Jenggala. Dari tulisan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh itu, tampak pula bahwa pentas
wayang kulit yang dimainkan Ki Dalang di atas panggung semakin lengkap dengan
iringan gamelan yang ditabuh oleh nayaga, diiringi pula oleh nyanyian pesinden
atau waranggana. Itu terjadi pada jaman Kerajaan Kediri.
“Tradisi
pementasan wayang kulit ternyata terus berlanjut sampai jaman akhir Majapahit.
Bahkan terus mengalami perkembangan luar biasa pada masa Kerajaan Demak.
Demikian Ayunda Dewi, kisah pementasan wayang kulit sampai masa akhir Kerajaan
Majapahit,” kata Arya Baribin. Dia merasa senang karena Sang Dewi puas dengan
penjelasan yang disampaikannya. Arya Baribin berhenti sejenak, sambil
memberikan kesempatan pendengarnya merenungkan apa yang telah disampaikannya.
“Diajeng masih
ada yang hendak ditanyakan lagi?” tanya Kamandaka kepada istrinya.
“Aku rasa sangat menarik penjelasan
Dimas Arya. Ayo, Kanda bantu aku dengan mengajukan pertanyaan lain mumpung
masih ada waktu,” kata Sang Dewi kepada suaminya. Kamandaka segera mengajukan
pertanyaan kepada Arya Baribin.
“Bagaimana
ceriteranya, sehingga para pendeta agama Islam di Demak memanfaatkan kesenian
wayang sebagai media untuk menyebarkan Islam di kalangan penduduk? Padahal
kisah-kisah dalam Mahabharata dan Ramayana merupakan kisah-kisah dari Kerajaan
Hindu, terjadi di tanah Hindu bahkan kitab Mahabharata dan Ramayana itu
merupakan salah satu kitab suci orang Hindu dan Buddha?” tanya Kamandaka yang
sejak awal tekun mendengarkan uraian calon adik iparnya itu.
“Sebuah
pertanyaan menarik dari Kanda Kamandaka,” jawab Arya Baribin. “Dalam agama
Islam tidak dikenal istilah pendeta atau brahmana. Ada sejumlah istilah sebagai
pengganti sebutan pendeta. Misalnya syekh, ulama, ustad, ajengan, kiyai, sunan
bahkan wali. Mereka itu sering disebut juga mubaligh, juru dakwah atau ulama,
yang berarti orang yang menguasai ilmu agama Islam.
“Salah seorang
tokoh terkenal yang berjasa memanfaatkan media wayang kulit adalah Syekh Makdum
Ibrahim yang juga dikenal dengan sebutan populer Sunan Bonang.
“Dinda sendiri
belum sempat betemu dengan Syekh Makhdum Ibrahim, Kanda Kamandaka. Sebab ketika
Adipati Bintara ditemani Syekh Makhdum Ibrahim dan Sunan Giri menghadap Raja
Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Brawijaya IV, dinda masih anak-anak. Tetapi
Ayahnda yang bekerja sebagai Pendeta Keraton Majapahit sempat bertemu dengan
rombongan tamu dari Kadipaten Bintaran itu. Ayahnda masih kerabat dekat Raja
Majapahit terakhir, Dyah Suraprabhawa yang dikenal sebagai Brawijaya IV.
Ayahanda, punya sahabat Resi Bungsu yang sama-sama menjadi Pendeta Syiwa
Kerajaan Majapahit. Ayahpun bersahabat dengan Pendeta Ganggadara, Mpu Tanakung
pengarang lontar Lubdhaka dan Mpu Syiwa Murti penulis rontal Nawaruci. Mpu
Syiwa Murti merupakan Pendeta Syiwa Buddha,” kata Arya Baribin menceriterakan
ayahnya dan sahabat-sahabat ayahnya.
“Peristiwa Syekh
Makhdum Ibrahim, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Adipati Bintara menghadap Raja
Majapahit itu terjadi dua tahun, sebelum Sri Brawijaya IV mangkat( 1478 M).
“Dan juga sebelum Ibu Kota Kerajaan Majapahit runtuh diserang Kadipaten Keling
yang berkedudukan di Pare, Kediri. Ketika itu Adipati Bintara yang diangkat
oleh Sri Brawijaya IV menjadi penguasa Kadipaten Bintara, datang untuk mohon
ijin mendirikan Masjid Kadipaten Bintaran. Permohonan itu dikabulkan oleh Sang
Raja.
“Adipati Bintara
itu masih kemenakan Sang Raja, sama dengan Adipati Keling yang memberontak.
Adipati Keling Dyah Wijayakarana itu juga kemenakan Sang Raja. Sebab Adipati
Bintara dan Adipati Keling itu sama-sama putra Sri Kertawijaya Brawijaya I.
Hanya saja Adipati Bintara putra dari istri selir wanita China yang kemudian
diceraikan, sedangkan Adipati Keling adalah putra bungsu Sri Kertawijaya dari
permaisuri”
“Ketika itu Sang
Raja Brawijaya IV mengijinkan pembangunan Masjid Bintara, sebab memang jumlah
komunitas muslim di Kadipaten Bintara terus meningkat,” kata Arya Baribin pula.
”Pada waktu Kadipaten Bintara memproklamirkan diri menjadi Kerajaan Islam Demak
(1481 M), Mesjid Bintara berubah menjadi Mesjid Kerajaan Islam Demak. Dengan
demikian Masjid Demak merupakan Masjid Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Kadipaten Bintara memang menolak mengakui Kerajaan Hindu Keling yang telah menyerang
Majapahit, walaupun Kerajaan Keling menyatakan diri sebagai penerus Kerajaan
Majapahit.”
“Kami beserta
Ayah dan sejumlah pengikut Ayah pada saat itu terpaksa melarikan diri dari
pusat kerajaan ketika Keraton Majapahit diserang. Kami sekeluarga melarikan
diri menghindari kejaran tentara Keling, yang berhasil menduduki keraton.
Memang para pendukung dan keluarga Raja Brawijaya IV yang tertangkap, banyak
yang langsung dibantai tanpa kenal ampun.
“Sahabat Ayah
yang lain, Resi Bungsu memilih mengungsi ke Cirebon beserta sejumlah
pengikutnya. Sedangkan sahabat Ayah, Resi Ganggadara menjadi pengkhianat yang
mendukung Penguasa Keling Wijayakarana karena dijanjikan tanah sima sangat
luas, jika usaha menggulingkan Raja Majapahit berhasil. Sahabat Ayah yang lain,
Mpu Syiwamurti kelihatannya netral. Tapi ternyata akhirnya diam-diam dia juga
mendukung Raja Keling, ” kata Arya Baribin memanfaatkan kesempatan yang baik
itu untuk mengungkap sedikit riwayat hidupnya sambil mengenang peristiwa
runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M) yang dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Di antara yang hadir baru Kamandaka dan Ratna Pamekas yang sudah
mengetahui sebagian dari riwayatnya menjadi pelarian Kerajaan Majapahit, karena
Arya Baribin memang pernah menceriterakannya.
Usia Arya Baribin
baru delapan tahun, ketika dia menjadi pengungsi melarikan diri dibawa ayahnya
ke Kediri. Dari Kediri, Keluarga Arya Baribin kembali mengungsi ke Ponororogo,
karena Kerajaan Keling oleh Raja Ranawijaya dipindahkan ke Kediri (1486 M).
Ayah Arya Baribin, khawatir keberadaannya di Kediri akan diketahui oleh kaki
tangan Raja Ranawijaya.
Setelah diselingi
dengan menceriterakan sedikit riwayat pelariannya dari Kraton Majapahit, Arya
Baribin kembali menceriterakan riwayat pementasan wayang kulit untuk menjelaskan
pertanyaan yang diajukan Kamandaka.
“Alkisah pada
waktu itu ada seorang dalang wayang kulit terkenal dari lereng gunung
Pananggungan, namanya Ki Dalang Sari,” kata Arya Baribin. “ Ki Dalang Sari
mencemaskan masa depan kesenian wayang, apabila kelak konflik Kerajaan Islam
Demak melawan Kerajaan Hindu Keling berkembang ke arah perang besar. Cepat atau
lambat kedua kerajaan itu pasti akan terlibat peperangan memperebutkan
keunggulan atas sejumlah wilayah bekas Kerajaan Majapahit. Jika suatu ketika Kerajaan
Islam Demak mencapai kemenangan, nasib kesenian wayang itu bisa terancam.
Demikian pikiran yang berkecamuk dalam benak Ki Dalang Sari, dalang tenar dari
Pananggungan itu.”
“Padahal menurut
Ki Dalang Sari, kesenian wayang bisa dijadikan sarana untuk mempertinggi budi
pekerti manusia, tanpa harus memandang apakah agamanya. Bagi Ki Dalang Sari,
semua agama memiliki persamaan di samping perbedaan. Persamaannya adalah semua
agama mengajarkan nilai-nilai budi pekerti luhur. Bedanya adalah pandangannya
tentang hakekat Tuhan dan tata cara menyembah kepada Tuhan yang berbeda pada
tiap agama.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar