Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 17 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (03)





“Terima kasih Dimas Arya Baribin. Penjelasannya sangat menarik. Aku memang pernah mendengar dari Kanjeng Rama, Kerajaan Islam Demak mulai memanfaatkan wayang kulit dengan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Mereka menjadikan wayang kulit media untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Tokoh dari Kerajaan Islam Demak yang mempunyai gagasan memanfaatkan media wayang kulit untuk menyebarkan agama Islam konon namanya Syekh Makhdum Ibrahim yang populer dengan sebutan Sunan Bonang? Dapatkah Dimas Arya Baribin menjelaskan soal ini?”
“Kisahnya agak panjang, Ayunda Dewi. Tetapi agar supaya ada gambaran agak utuh mengenai riwayat wayang kulit yang kemudiaan dimanfaatkan oleh Kerajaan Islam Demak sebagai media menyebarkan agama Islam, ada baiknya kita kembali lagi ke jaman Erlangga,” kata Arya Baribin.
Raja Erlangga adalah menantu Raja Dharmawangsa, kata Arya Baribin menjelaskan riwayat wayang kulit. Raja Dharmawangsa adalah seorang raja besar penggemar berat pertunjukan wayang kulit. Maka ketika Sang Raja menyelenggarakan upacara perkawinan putrinya dengan Pangeran yang berasal dari Bali itu, diselenggarakanlah pertunjukan wayang kulit.
Tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.Tahu-tahu saat tengah malam, tentara Wora-Wari yang didukung Sriwijaya, menyerbu ke tengah-tengah pesta, sehingga Raja Dharmawangsa yang tidak menyadari adanya bahaya yang mengancam itu, tewas seketika. Untunglah Erlangga, menantu Raja Dharmawangsa berhasil menyelamatkan diri dan lolos dari maut pembantaian. Akhirnya setelah berjuang bertahun-tahun Erlangga berhasil mendirikan kembali kerajaan Kahuripan dengan mengusir musuh yang menduduki kerajaan warisan mertuanya.
Pada masa Erlangga tradisi pentas wayang kulit untuk memeriahkan upacara keagamaan terus berlanjut. Seorang pujangga terkenal pada masa Erlangga, Mpu Kanwa menulis kitab dalam bentuk tembang, judulnya, Arjuna Wiwaha. Dalam kitabnya itu Mpu Kanwa sempat melukiskan suasana dan kesan yang ditimbulkan dari pertunjukan wayang kulit sbb:
‘Ada orang yang menonton wayang, ikut hanyut terbawa sedih. Yang demikian itu kalau dipikir sebenarnya bodoh. Sebab dia sebenarnya tahu wayang itu hanyalah kulit yang diukir digerak-gerakkan dan seolah-olah dapat berbicara. Demikanlah memang akibat dari orang yang memanjakan kegemaran inderanya, sehingga dia sama sekali tidak tahu tentang hakekat. Yakni bahwa segala kejadian itu sebenarnya hanya maya belaka’
“Selanjutnya pada jaman Kediri Lama, pertunjukan wayang ternyata juga tetap dipertahankan,” kata Arya Baribin melanjutkan.
Dijelaskan oleh Arya Baribin bahwa fungsi pertunjukan wayang masih sama sebagai bagian perayaan dalam ritual keagamaan. Mpu Sedah pujangga pada jaman Kediri menulis pada bagian awal kitab kakawin Bharata Yudha, bagaimana pertunjukan wayang kulit itu dipentaskan sbb:
“Semakin terang bersinar-sinarlah manikam-manikam di pintu gerbang kota, semuanya tampak. Tak disangka-sangka, wayanglah pohon-pohon oleh mereka yang mengembun-embunkan sanggul. Barulah kini tampak sulapan-sulapan pohon cemara yang sepanjang malam terdengar selalu menggersah.Tampak dengan terangnya air terjun-air terjun yang gemericik, kalau difikir, kedengaran dari orang yang sedang berkecek”
“Di sini Mpu Sedah melukiskan adegan ketika Sang Dalang sedang memainkan kecrek, menggerakkan gegunungan atau kekayon, diiringi suara pesinden yang siap mengiringi permainan wayang sampai udara berembun alias menjelang pagi,” kata Arya Baribin.
Masih jaman Kediri, Mpu Panuluh yang menulis bagian akhir kitab kakawin Bharatayudha itu juga meluksikan peranan gamelan sebagai pengiring pertunjukan wayang kulit pada jaman Kediri sbb :
“Lagi pula di sungai-sungai kicir-kicir berbunyi seperti gender wayang, bambu yang berlubang-lubang berbunyi tertiup angin berdengung-dengung, itulah seruling pengiringnya. Nyanyian waranggananya ialah suara bersama katak-katak yang terdengar dari dalam jurang. Suara cenggeret dan belalang kerik riuh tak henti-hentinya, seperti suara kemanak dan kangsi”
“Di sini Mpu Panuluh melukiskan gamelan pengiring dalam pertunjukkan wayang, yang antara lain terdiri dari seruling, gender, dan kenong kecil,” kata Arya Baribin masih terus menjelaskan riwayat pementasan wayang kulit.
“Dari tulisan Mpu Kanwa di atas, jelas bahwa pentas wayang kulit sudah ada pada jaman Kerajaan Jenggala. Dari tulisan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh itu, tampak pula bahwa pentas wayang kulit yang dimainkan Ki Dalang di atas panggung semakin lengkap dengan iringan gamelan yang ditabuh oleh nayaga, diiringi pula oleh nyanyian pesinden atau waranggana. Itu terjadi pada jaman Kerajaan Kediri.
“Tradisi pementasan wayang kulit ternyata terus berlanjut sampai jaman akhir Majapahit. Bahkan terus mengalami perkembangan luar biasa pada masa Kerajaan Demak. Demikian Ayunda Dewi, kisah pementasan wayang kulit sampai masa akhir Kerajaan Majapahit,” kata Arya Baribin. Dia merasa senang karena Sang Dewi puas dengan penjelasan yang disampaikannya. Arya Baribin berhenti sejenak, sambil memberikan kesempatan pendengarnya merenungkan apa yang telah disampaikannya.
“Diajeng masih ada yang hendak ditanyakan lagi?” tanya Kamandaka kepada istrinya.
“Aku rasa sangat menarik penjelasan Dimas Arya. Ayo, Kanda bantu aku dengan mengajukan pertanyaan lain mumpung masih ada waktu,” kata Sang Dewi kepada suaminya. Kamandaka segera mengajukan pertanyaan kepada Arya Baribin.
“Bagaimana ceriteranya, sehingga para pendeta agama Islam di Demak memanfaatkan kesenian wayang sebagai media untuk menyebarkan Islam di kalangan penduduk? Padahal kisah-kisah dalam Mahabharata dan Ramayana merupakan kisah-kisah dari Kerajaan Hindu, terjadi di tanah Hindu bahkan kitab Mahabharata dan Ramayana itu merupakan salah satu kitab suci orang Hindu dan Buddha?” tanya Kamandaka yang sejak awal tekun mendengarkan uraian calon adik iparnya itu.
“Sebuah pertanyaan menarik dari Kanda Kamandaka,” jawab Arya Baribin. “Dalam agama Islam tidak dikenal istilah pendeta atau brahmana. Ada sejumlah istilah sebagai pengganti sebutan pendeta. Misalnya syekh, ulama, ustad, ajengan, kiyai, sunan bahkan wali. Mereka itu sering disebut juga mubaligh, juru dakwah atau ulama, yang berarti orang yang menguasai ilmu agama Islam.
“Salah seorang tokoh terkenal yang berjasa memanfaatkan media wayang kulit adalah Syekh Makdum Ibrahim yang juga dikenal dengan sebutan populer Sunan Bonang.
“Dinda sendiri belum sempat betemu dengan Syekh Makhdum Ibrahim, Kanda Kamandaka. Sebab ketika Adipati Bintara ditemani Syekh Makhdum Ibrahim dan Sunan Giri menghadap Raja Majapahit Dyah Suraprabhawa Sri Brawijaya IV, dinda masih anak-anak. Tetapi Ayahnda yang bekerja sebagai Pendeta Keraton Majapahit sempat bertemu dengan rombongan tamu dari Kadipaten Bintaran itu. Ayahnda masih kerabat dekat Raja Majapahit terakhir, Dyah Suraprabhawa yang dikenal sebagai Brawijaya IV. Ayahanda, punya sahabat Resi Bungsu yang sama-sama menjadi Pendeta Syiwa Kerajaan Majapahit. Ayahpun bersahabat dengan Pendeta Ganggadara, Mpu Tanakung pengarang lontar Lubdhaka dan Mpu Syiwa Murti penulis rontal Nawaruci. Mpu Syiwa Murti merupakan Pendeta Syiwa Buddha,” kata Arya Baribin menceriterakan ayahnya dan sahabat-sahabat ayahnya.
“Peristiwa Syekh Makhdum Ibrahim, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Adipati Bintara menghadap Raja Majapahit itu terjadi dua tahun, sebelum Sri Brawijaya IV mangkat( 1478 M). “Dan juga sebelum Ibu Kota Kerajaan Majapahit runtuh diserang Kadipaten Keling yang berkedudukan di Pare, Kediri. Ketika itu Adipati Bintara yang diangkat oleh Sri Brawijaya IV menjadi penguasa Kadipaten Bintara, datang untuk mohon ijin mendirikan Masjid Kadipaten Bintaran. Permohonan itu dikabulkan oleh Sang Raja.
“Adipati Bintara itu masih kemenakan Sang Raja, sama dengan Adipati Keling yang memberontak. Adipati Keling Dyah Wijayakarana itu juga kemenakan Sang Raja. Sebab Adipati Bintara dan Adipati Keling itu sama-sama putra Sri Kertawijaya Brawijaya I. Hanya saja Adipati Bintara putra dari istri selir wanita China yang kemudian diceraikan, sedangkan Adipati Keling adalah putra bungsu Sri Kertawijaya dari permaisuri”
“Ketika itu Sang Raja Brawijaya IV mengijinkan pembangunan Masjid Bintara, sebab memang jumlah komunitas muslim di Kadipaten Bintara terus meningkat,” kata Arya Baribin pula. ”Pada waktu Kadipaten Bintara memproklamirkan diri menjadi Kerajaan Islam Demak (1481 M), Mesjid Bintara berubah menjadi Mesjid Kerajaan Islam Demak. Dengan demikian Masjid Demak merupakan Masjid Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kadipaten Bintara memang menolak mengakui Kerajaan Hindu Keling yang telah menyerang Majapahit, walaupun Kerajaan Keling menyatakan diri sebagai penerus Kerajaan Majapahit.”
“Kami beserta Ayah dan sejumlah pengikut Ayah pada saat itu terpaksa melarikan diri dari pusat kerajaan ketika Keraton Majapahit diserang. Kami sekeluarga melarikan diri menghindari kejaran tentara Keling, yang berhasil menduduki keraton. Memang para pendukung dan keluarga Raja Brawijaya IV yang tertangkap, banyak yang langsung dibantai tanpa kenal ampun.
“Sahabat Ayah yang lain, Resi Bungsu memilih mengungsi ke Cirebon beserta sejumlah pengikutnya. Sedangkan sahabat Ayah, Resi Ganggadara menjadi pengkhianat yang mendukung Penguasa Keling Wijayakarana karena dijanjikan tanah sima sangat luas, jika usaha menggulingkan Raja Majapahit berhasil. Sahabat Ayah yang lain, Mpu Syiwamurti kelihatannya netral. Tapi ternyata akhirnya diam-diam dia juga mendukung Raja Keling, ” kata Arya Baribin memanfaatkan kesempatan yang baik itu untuk mengungkap sedikit riwayat hidupnya sambil mengenang peristiwa runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478 M) yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Di antara yang hadir baru Kamandaka dan Ratna Pamekas yang sudah mengetahui sebagian dari riwayatnya menjadi pelarian Kerajaan Majapahit, karena Arya Baribin memang pernah menceriterakannya.
Usia Arya Baribin baru delapan tahun, ketika dia menjadi pengungsi melarikan diri dibawa ayahnya ke Kediri. Dari Kediri, Keluarga Arya Baribin kembali mengungsi ke Ponororogo, karena Kerajaan Keling oleh Raja Ranawijaya dipindahkan ke Kediri (1486 M). Ayah Arya Baribin, khawatir keberadaannya di Kediri akan diketahui oleh kaki tangan Raja Ranawijaya.
Setelah diselingi dengan menceriterakan sedikit riwayat pelariannya dari Kraton Majapahit, Arya Baribin kembali menceriterakan riwayat pementasan wayang kulit untuk menjelaskan pertanyaan yang diajukan Kamandaka.
“Alkisah pada waktu itu ada seorang dalang wayang kulit terkenal dari lereng gunung Pananggungan, namanya Ki Dalang Sari,” kata Arya Baribin. “ Ki Dalang Sari mencemaskan masa depan kesenian wayang, apabila kelak konflik Kerajaan Islam Demak melawan Kerajaan Hindu Keling berkembang ke arah perang besar. Cepat atau lambat kedua kerajaan itu pasti akan terlibat peperangan memperebutkan keunggulan atas sejumlah wilayah bekas Kerajaan Majapahit. Jika suatu ketika Kerajaan Islam Demak mencapai kemenangan, nasib kesenian wayang itu bisa terancam. Demikian pikiran yang berkecamuk dalam benak Ki Dalang Sari, dalang tenar dari Pananggungan itu.”
“Padahal menurut Ki Dalang Sari, kesenian wayang bisa dijadikan sarana untuk mempertinggi budi pekerti manusia, tanpa harus memandang apakah agamanya. Bagi Ki Dalang Sari, semua agama memiliki persamaan di samping perbedaan. Persamaannya adalah semua agama mengajarkan nilai-nilai budi pekerti luhur. Bedanya adalah pandangannya tentang hakekat Tuhan dan tata cara menyembah kepada Tuhan yang berbeda pada tiap agama.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar