Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Sabtu, 20 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (04)




 Arya Baribin meneruskan ceriteranya, bahwa Ki Dalang Sari akhirnya berangkat ke Tuban, untuk menemui Adipati Tuban, Arya Wilatikta. Tuban adalah kota pelabuhan Kerajaan Majapahit yang terkenal sesudah Gresik. Pada saat Kerajaan Demak berdiri, Kadipaten Tuban mengakui kedaulatan Kerajaan Keling sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Sebab Adipati Keling Dyah Wijayakarana memang punya hak atas tahta Kerajaan Majapahit. Adipati Keling Dyah Wijayakarana adalah putra bungsu Sri Kertawijaya yang dikenal juga sebagai Brawijaya I (1447-1451 M). Karena itu Adipati Tuban menganggap Dyah Wijaya Karana yang berhasil menaklukkan Kerajaan Majapahit itu sebagai penerus Kerajaan Majapahit dan mengakuinya sebagai Sri Brawijaya V ( 1478 – 1483 M). Demikian pula ketika Kerajaan Keling dipindahkan ke Kediri, Adipati Tuban juga mengakui kekusaan Kerajaan Hindu Kediri dibawah Raja Ranawijaya yang dikenal sebagai Brawijaya VII ( 1486 – 1545 M). Raja Kediri Baru, Ranawijaya naik tahta menggantikan kakaknya, Raja Wijayakusuma atau Brawijaya VI ( 1483 – 1486 ).
Sebenarnya Adipati Tuban Arya Teja III yang setia pada Raja Keling itu sudah memeluk agama Islam. Nama Sang Adipati pada saat dinobatkan menggantikan ayahandanya Aria Teja II, adalah Adipati Aria Teja III. Tetapi karena setia pada Kerajaan Majapahit, dia mengubah namanya menjadi Adipati Wilatikta.
Adipati Tuban Wilatikta alias Arya Teja III itu, masih saudara sepupu Syekh Makhdum Ibrahim. Mereka sama-sama satu kakek, yakni Adipati Arya Teja I. Adipati Tuban Arya Teja I adalah mertua Sunan Ampel, ayah Syekh Makhdum Ibrahim. Istri Sunan Ampel, Ibu Syekh Makhdum Ibrahim adalah kakak Arya Teja II . Arya Teja II adalah ayah Arya Teja III . Demikianlah hubungan kekerabatan Arya Teja III dengan Syekh Makhdum Ibrahim.
Sebagaimana para adipati Kerajaan Majapahit lainnya, Adipati Tuban Arya Teja III juga gemar menyelenggarakan pentas wayang kulit. Sang Adipati sering mengundang Ki Dalang Sari, dalang yang terkenal dari Pananggungan itu. Dapat dimengerti bila hubungan Ki Dalang Sari dengan Adipati Tuban sangat baik, karena Ki Dalang Sari sering diundang dan telah beberapa kali pentas di Pendapa Kadipaten Tuban.
Pada saat Ki Dalang Sari merasa cemas dan galau itulah, dia menghadap Adipati Tuban Arya Teja III dan mengajukan permohonan. Ki Dalang Sari ingin menyumbangkan pementasan wayang kulit secara gratis di Pendapa Kadipaten Tuban, tetapi mohon agar Syekh Mahkdum Ibrahim dan para ulama keluarga Sunan Ampel diundang secara khusus oleh Kanjeng Adipati Tuban Arya Teja III untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit persembahan Ki Dalang Sari. Saat itu Sunan Ampel, ayah Syekh Makhdum Ibrahim sudah wafat.
Pada malam pementasan hadir di Pendapa Kadipaten Tuban, Sang Adipati, Syekh Makhdum Ibrahim, Raden Paku, Raden Qosim, Sunan Kudus Rahmatullah, serta sejumlah santri dari Ampel Denta. Dalam pentas wayang itu, Ki Dalang Sari menggelar lakon dari Mahabharata, Kresna Duta.
Tetapi ketika pentas wayang sampai pada kisah Kresna sedang melakukan pembicaraan dengan pihak Kurawa, Ki Dalang Sari tiba-tiba menghentikan pertujukannya. Dia pun mohon maaf kepada penonton. Ki Dalang Sari lalu menghadap Syekh Makhdum Ibrahim, mohon agar para pemuka agama Islam itu berkenan menyelenggarakan musyawarah untuk mempertimbangkan masa depan kesenian wayang kulit di wilayah Kerajaan Islam Demak.
Ki Dalang Sari menjelaskan bahwa kesenian wayang mengandung nilai-nilai budi pekerti luhur. Nilai-nilai itu penting untuk mempertinggi kualitas jiwa manusia yang bersifat universal dan yang berlaku bagi seluruh umat manusia apa pun agamanya. Pentas wayang kulit dengan tokoh-tokohnya, sesungguhnya menggambarkan jiwa setiap manusia. Yaitu bahwa jiwa manusia itu terdiri dari unsur baik dan unsur jahat yang selalu berperang untuk memperebutkan keunggulannya masing-masing. Jika unsur baik menguasai jiwa manusia, maka dia akan menjadi manusia yang memiliki budi pekerti baik dan luhur. Misalnya berperilaku benar, adil, jujur, penolong, pemaaf dan welas asih terhadap sesama. Tokoh-tokoh wayang dengan watak baik, dalam pentas wayang ditempatkan di sisi kanan, karena sisi kanan melambangkan kebaikan.
Sebaliknya jika pergulatan dalam batin manusia, ternyata unsur jahat yang berhasil menguasai jiwa manusia, maka manusia tadi akan berperilaku jahat. Jauh dari nilai budi pekerti luhur. Misalnya dia akan berlaku sewenang-wenang, serakah, sombong, penindas dan perilaku buruk merusak lainnya. Unsur jahat itu dalam pentas wayang kulit di simbolkan sebagai para tokoh wayang di sebelah kiri. Dengan demikian posisi kiri dalam pentas wayang kulit melambangkan unsur jahat dalam jiwa manusia, sedangkan posisi kanan menggambarkan unsur baik dalam jiwa manusia.
Ki Dalang Sari juga menjelaskan bahwa babakan-babakan dalam pentas wayang kulit dari awal sampai akhir, menggambarkan perjalanan jiwa manusia sejak datang ke dunia, menginjak masa remaja, dewasa, tua dan akhirnya meninggalkan dunia fana yang disimbolkan dengan masuknya wayang kulit ke dalam kotak. Pada masa itu, wayang kulit belum dibuat dalam bentuk boneka wayang yang tiap tokohnya berdiri sendiri. Wayang kulit sampai akhir Kerajaan Majapahit masih berupa lembaran-lembaran yang berisi lukisan adegan sejumlah tokoh wayang yang diukir dan di tatah pada media kulit.
Masukan dan usulan Ki Dalang Sari agar pentas wayang kulit dikaji dari sudut pandang agama Islam disetujui oleh Syekh Makhdum Ibrahim dan para pemuka agama Islam Demak. Adipati Tuban Arya Teja III tentu saja sangat setuju dan mendukung usul Ki Dalang Sari. Syekh Makhdum Ibrahim kemudian membentuk tim peneliti dan melakukan kajian secara mendalam, lalu dimusyawarahkan.
Para ulama agama Islam itu akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pentas wayang kulit dan gamelan mengandung sejumlah nilai. Ada yang bertentangan dengan Syariat Islam dan ada yang tidak. Ternyata yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam cukup banyak dan dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Yang bertentangan dengan ajaran Islam harus ditinggalkan dan diganti dengan hal-hal yang sesui dengan ajaran Islam.
Salah satu masalah yang dianggap bertentangan dengan konsep ajaran Islam, hanyalah soal melukis gambar mahluk bernyawa, khususnya melukis manusia secara utuh. Melukis manusia secara utuh dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Karena itu para seniman Islam mencari jalan keluar dengan cara melukis tokoh-tokoh wayang secara karikatur, sehingga tidak mirip dengan gambar patung. Hasilnya memang luar biasa. Seniman-seniman muslim yang mendapat bimbingan Syekh Makhdum Ibrahim di Jepara, berhasil membuat boneka tokoh-tokoh wayang kulit dalam bentuk karikatur ginambar miring yang berdiri sendiri, sehingga dapat digerakkan dan dimainkan dengan indah sekali di atas layar.
Di tangan seniman-seniman muslim, pentas wayang kulit, lukisan boneka wayang dan gamelan pengiring juga mengalami kemajuan luar biasa. Untuk membimbing seniman-seniman muslim agar mampu memberi warna Islami terhadap pementasan wayang kulit, Syekh Makhdum Ibrahim meluangkan waktunya untuk tinggal di suatu desa di dekat Jepara. Di sana dia mengawasi pembuatan wayang kulit agar sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Syekh Makhdum Ibrahim juga menciptakan suatu jenis alat musik baru yang disebut Bonang. Desa tempat tinggal Syekh Makhdum Ibrahim itu kemudian termasyhur sebagai Desa Bonang. Syekh Makhdum Ibrahim sendiri lama-lama dikenal oleh penduduk sebagai Sunan Bonang.
Syekh Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang, juga mengajarkan seni gending kepada masyarakat dengan mengajarkan bahwa belajar gending itu sama saja dengan belajar shalat. Kata-katanya sangat terkenal di daerah Ponorogo yang diajarkan oleh murid Sunan Bonang, yaitu Ki Ageng Mirah, dalam bahasa Jawa bunyinya sbb:
“Pramila gending yen bubrah, gugur sembahe mring Widdi, batal wisesane salat, tanpa gawe olah gending. Dene ngaran tembang gending, tuk ireng swara linuhung, amuji asmaning dzat. Swara saking osik wadi, osik mulya wentaring cipta surasa”
Kalau diterjemahkan sebagai berikut,: “Kalau musiknya rusak, batalah sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, hilanglah pengaruh kekuasaan khidmad dalam shalat, tiada gunanya membaca lagu. Adapun yang disebut tembang gending itu, adalah sumber suara yang luhur, pujian terhadap Zat yang Maha Suci, suara yang timbul di dalam hati kita yang sedalam-dalammnya, gerak batin kita yang menunjukkan mulianya daya cipta dan rasa”.
“Kita tahu, bahwa shalat itu adalah cara sembahyang orang Islam yang terdiri dari gerakan-gerakan teratur yang di kalangan muslim disebut tatacara shalat atau syariat shalat,” kata Arya Baribin yang sudah menguasai banyak konsep-konsep ajaran Islam yang dipelajarinya dari Ki Ageng Mirah yang berhasil mengislamkan Bathara Katong, Pendiri dan Adipati Ponorogo I. “Sebagaimana dalam agama Hindu dan Budha, orang Islam pada waktu shalat juga membaca japa dan mantra yang oleh mereka sebut doa.”
“Salah satu doa dalam shalat yang wajib mereka baca diambil dari Qur’an, satu-satunya kitab suci mereka, yang disebut surah. Surah tidak boleh dibaca semaunya, tetapi harus dibaca secara berirama berdasarkan patokan yang disebut tajwid, yang mengatur irama dan panjang pendeknya huruf, kata, dan kalimat yang dibaca. Patokan membaca surah dalam shalat itu yang disebut oleh Sunan Bonang sebagai gending,” kata Arya Baribin.
Arya Baribin menjelaskan, bahwa menurut Sunan Bonang, bacaan surah dalam shalat yang tidak berdasarkan tajwid atau gending, bisa menyebabkan shalat menjadi rusak, tidak syah dan batal. Membaca surah dalam shalat dengan mengikuti irama tajwid atau gending, itulah yang disebut oleh Sunan Bonang dan Ki Ageng Mirah sebagai Syariat batin atau hakekat, yang maknanya adalah inti sari atau pokok-pokok sembahyang.
Dalam Islam syariat lahir dan syariat batin, harus dijalankan bersama-sama. Oleh karena ada ungkapan yang sangat terkenal dikalangan mereka yang berasal dari ajaran Syekh Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, yaitu:
”Syariat lahir tanpa hakekat adalah kosong. Artinya jika dalam shalat, mereka telah melakukan gerak gerik berirama yang mereka kenal sebagai takbir, ruku, sujud dan lainnya lagi tetapi tidak memahami irama gending yang dibacanya, maka shalatnya itu akan kosong. Sebaliknya, Syariat batin saja atau hakekat saja, tanpa syariat lahir, maka irama gending yang dibacanya itu juga akan menjadi batal, rusak dan tidak sah.” Demikan Sunang Bonang telah menciptakan pengertian gending dalam shalat.
Orang sering keliru membedakan antara gamelan dengan gending. Menurut Sunan Bonang, gending itu artinya suara yang berirama dan teratur yang dihasilkan oleh dua sumber suara. Sumber pertama adalah suara manusia yang teartur dan berirama yang dihasilkan pita suara dalam tenggorokan disebut sebagai tembang, nyanyian atau sekar. Kedua, suara teratur yang dihasilkan oleh alat-alat yang disebut alat-alat musik yang disebut dengan gamelan. Jadi gamelan itu adalah gending. Tetapi tidak setiap gending adalah gamelan. Suara nyanyian yang dilagukan yang disebut tembang, itu juga disebut gending.
Sunan Bonang juga menciptakan satu jenis tembang yang dikenal dengan teambang kecil atau macapat. Pada jaman Ki Dalang Sari, baru dikenal dua ragam tembang Jawa yaitu tembang gedhe dan tembang tengahan. Fungsi tembang macapat yang bersifat ringan itu tidak dimaksudkan sebagai tembang-tembang ritual dalam sembahyang, tetapi berfungsi untuk mendidik budi luhur jiwa manusia melalui penghayatan seni suara yang indah.
Karya lain Sunan Bonang yang terkenal adalah menciptakan gamelan laras slendro dan pelog berbahan besi tuang yang lebih berkualitas dari pada gamelan slendro dan pelog pada jaman Syailendra. Padahal menurut legenda, gamelan yang dimiliki Raja Syailendra itu berasal dari gamelan Suryalaya yang disebut gamelan Lokananta yang dihadiahkan kepada Raja Syailendra oleh Batara Indra.
Tentu saja jasa Ki Dalang Sari sangat besar dalam menyelamatkan seni pertunjukan wayang dan gamelan pengiringnya. Karena ketika Ki Dalang Sari menjelaskan konsep pementasan wayang kulit kepada Syekh Makhdum Ibrahim di Pendapa Kadipaten Tuban itu, Ki Dalang Sari sama sekali tidak menyingggung-nyinggung konsep ketuhanan agama Hindu-Buddha yang ada di balik pementasan wayang kulit. Ibaratnya pentas wayang kulit itu sebuah rumah. Ki Dalang Sari hanya memberikan kerangka rumah itu kepada Syekh Makhdum Ibrahim. Selanjutnya terserah kepada para seniman muslim, bagaimana kerangka rumah itu akan dihias supaya sesuai dengan syariat Islam.
Ternyata oleh Syekh Makhdum Ibrahim, bentuk, isi dan irama rumah seni pertunjukan wayang dan gamelan itu, telah diubah semua oleh Syakh Makhdum Ibrahim dengan bantuan para wali lainnya dan para seniman muslim agar supaya seni pertunjukan wayang dan gamelan itu lebih sesuai dengan kepentingan Kerajaan Islam Demak, yakni seni pertunjukan wayang dan gamelan dalam visi agama Islam. Hanya sifat dari seni pertunjukan wayang dan gamelan yang tetap dipertahankan oleh Syekh Makhdum Ibrahim dan seniman Islam Kerajaan Islam Demak.
Tampak bahwa Sunan Bonang, sebagai seorang pemuka agama Islam, dia bukan hanya seorang pembaharu keagamaan. Tetapi dia juga seorang pembaharu seni pertunjukan wayang dan gamelan. Seni pertunjukan wayang yang tadinya milik orang Hindu dan orang Budha,oleh Sunan Bonang telah dirubah bentuk, isi dan iramanya, sehingga menjadi alat untuk menyebarkan agama Islam. Yang tidak dirubah dan tetap dipertahankan oleh Sunan Bonang dari seni pertunjukkan wayang dan gamelan, hanyalah sifat pertunjukan wayang dan sifat gamelan. Yaitu bersifat dan berfungsi sebagai sarana dan alat untuk mendidik budi luhur manusia.
Rupanya Syekh Makhdum Ibrahim yang di dalam dirinya mengalir darah Jawa lewat Ibunya itu, mampu menangkap pesan Ki Dalang Sari. Di tangan seniman muslim yang mendapat bimbingan Syekh Makhdum Ibrahim, kerangka rumah wayang yang diberikan oleh Ki Dalang Sari itu, telah dihias sedemikian rupa sehingga telah tercipta rumah wayang yang Islami, yang sesuai dengan Syariat Islam.
“Disadari atau tidak Ki Dalang Sari maupun Syekh Makhdum Ibrahim telah berjasa besar menyelamatkan seni pentas wayang kulit yang sesungguhnya merupakan warisan budaya leluhur bangsa Galuh. Ternyata seni pentas wayang kulit, bisa dimanfaatkan oleh agama apa pun. Syekh Makhdum Ibrahim berhasil secara gemilang mengganti konsep ketuhanan menurut persepsi agama Hindu dan Buddha dalam pementasan wayang kulit, dengan konsepsi ketuhanan menurut persepsi ajaran Syariat Islam,” kata Arya Baribin mengakhiri penjelasannya proses pengambil alihan seni pentas wayang kulit dari Kerajaan Hindu Majapahit ke Kerajaan Islam Demak.
“Sungguh uraian yang luar biasa luas dan mendalam dari Dimas Arya Baribin,” Kamanda memberikan pujian kepada calon adik iparnya.
“Suatu pengetahuan yang amat penting dari Dimas Arya Baribin,” Sang Dewi ikut memberikan komentarnya.” Tentu akan bermanfaat juga, jika Dimas Arya Baribin bisa menjelaskan konsep ketuhanan yang ada dalam seni pentas wayang kulit menurut persepsi agama Hindu-Budha dan menurut persepsi agama Islam.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar