Arya Baribin meneruskan ceriteranya,
bahwa Ki Dalang Sari akhirnya berangkat ke Tuban, untuk menemui Adipati Tuban,
Arya Wilatikta. Tuban adalah kota pelabuhan Kerajaan Majapahit yang terkenal
sesudah Gresik. Pada saat Kerajaan Demak berdiri, Kadipaten Tuban mengakui
kedaulatan Kerajaan Keling sebagai penerus Kerajaan Majapahit. Sebab Adipati
Keling Dyah Wijayakarana memang punya hak atas tahta Kerajaan Majapahit. Adipati
Keling Dyah Wijayakarana adalah putra bungsu Sri Kertawijaya yang dikenal juga
sebagai Brawijaya I (1447-1451 M). Karena itu Adipati Tuban menganggap Dyah
Wijaya Karana yang berhasil menaklukkan Kerajaan Majapahit itu sebagai penerus
Kerajaan Majapahit dan mengakuinya sebagai Sri Brawijaya V ( 1478 – 1483 M).
Demikian pula ketika Kerajaan Keling dipindahkan ke Kediri, Adipati Tuban juga
mengakui kekusaan Kerajaan Hindu Kediri dibawah Raja Ranawijaya yang dikenal
sebagai Brawijaya VII ( 1486 – 1545 M). Raja Kediri Baru, Ranawijaya naik tahta
menggantikan kakaknya, Raja Wijayakusuma atau Brawijaya VI ( 1483 – 1486 ).
Sebenarnya
Adipati Tuban Arya Teja III yang setia pada Raja Keling itu sudah memeluk agama
Islam. Nama Sang Adipati pada saat dinobatkan menggantikan ayahandanya Aria
Teja II, adalah Adipati Aria Teja III. Tetapi karena setia pada Kerajaan
Majapahit, dia mengubah namanya menjadi Adipati Wilatikta.
Adipati Tuban
Wilatikta alias Arya Teja III itu, masih saudara sepupu Syekh Makhdum Ibrahim.
Mereka sama-sama satu kakek, yakni Adipati Arya Teja I. Adipati Tuban Arya Teja
I adalah mertua Sunan Ampel, ayah Syekh Makhdum Ibrahim. Istri Sunan Ampel, Ibu
Syekh Makhdum Ibrahim adalah kakak Arya Teja II . Arya Teja II adalah ayah Arya
Teja III . Demikianlah hubungan kekerabatan Arya Teja III dengan Syekh Makhdum
Ibrahim.
Sebagaimana para
adipati Kerajaan Majapahit lainnya, Adipati Tuban Arya Teja III juga gemar
menyelenggarakan pentas wayang kulit. Sang Adipati sering mengundang Ki Dalang
Sari, dalang yang terkenal dari Pananggungan itu. Dapat dimengerti bila
hubungan Ki Dalang Sari dengan Adipati Tuban sangat baik, karena Ki Dalang Sari
sering diundang dan telah beberapa kali pentas di Pendapa Kadipaten Tuban.
Pada saat Ki
Dalang Sari merasa cemas dan galau itulah, dia menghadap Adipati Tuban Arya
Teja III dan mengajukan permohonan. Ki Dalang Sari ingin menyumbangkan
pementasan wayang kulit secara gratis di Pendapa Kadipaten Tuban, tetapi mohon
agar Syekh Mahkdum Ibrahim dan para ulama keluarga Sunan Ampel diundang secara
khusus oleh Kanjeng Adipati Tuban Arya Teja III untuk menyaksikan pagelaran
wayang kulit persembahan Ki Dalang Sari. Saat itu Sunan Ampel, ayah Syekh
Makhdum Ibrahim sudah wafat.
Pada malam
pementasan hadir di Pendapa Kadipaten Tuban, Sang Adipati, Syekh Makhdum
Ibrahim, Raden Paku, Raden Qosim, Sunan Kudus Rahmatullah, serta sejumlah
santri dari Ampel Denta. Dalam pentas wayang itu, Ki Dalang Sari menggelar
lakon dari Mahabharata, Kresna Duta.
Tetapi ketika
pentas wayang sampai pada kisah Kresna sedang melakukan pembicaraan dengan
pihak Kurawa, Ki Dalang Sari tiba-tiba menghentikan pertujukannya. Dia pun
mohon maaf kepada penonton. Ki Dalang Sari lalu menghadap Syekh Makhdum
Ibrahim, mohon agar para pemuka agama Islam itu berkenan menyelenggarakan
musyawarah untuk mempertimbangkan masa depan kesenian wayang kulit di wilayah
Kerajaan Islam Demak.
Ki Dalang Sari
menjelaskan bahwa kesenian wayang mengandung nilai-nilai budi pekerti luhur.
Nilai-nilai itu penting untuk mempertinggi kualitas jiwa manusia yang bersifat
universal dan yang berlaku bagi seluruh umat manusia apa pun agamanya. Pentas
wayang kulit dengan tokoh-tokohnya, sesungguhnya menggambarkan jiwa setiap
manusia. Yaitu bahwa jiwa manusia itu terdiri dari unsur baik dan unsur jahat
yang selalu berperang untuk memperebutkan keunggulannya masing-masing. Jika
unsur baik menguasai jiwa manusia, maka dia akan menjadi manusia yang memiliki
budi pekerti baik dan luhur. Misalnya berperilaku benar, adil, jujur, penolong,
pemaaf dan welas asih terhadap sesama. Tokoh-tokoh wayang dengan watak baik,
dalam pentas wayang ditempatkan di sisi kanan, karena sisi kanan melambangkan
kebaikan.
Sebaliknya jika pergulatan dalam batin manusia, ternyata unsur jahat yang berhasil
menguasai jiwa manusia, maka manusia tadi akan berperilaku jahat. Jauh dari
nilai budi pekerti luhur. Misalnya dia akan berlaku sewenang-wenang, serakah,
sombong, penindas dan perilaku buruk merusak lainnya. Unsur jahat itu dalam
pentas wayang kulit di simbolkan sebagai para tokoh wayang di sebelah kiri.
Dengan demikian posisi kiri dalam pentas wayang kulit melambangkan unsur jahat
dalam jiwa manusia, sedangkan posisi kanan menggambarkan unsur baik dalam jiwa
manusia.
Ki Dalang Sari
juga menjelaskan bahwa babakan-babakan dalam pentas wayang kulit dari awal
sampai akhir, menggambarkan perjalanan jiwa manusia sejak datang ke dunia,
menginjak masa remaja, dewasa, tua dan akhirnya meninggalkan dunia fana yang
disimbolkan dengan masuknya wayang kulit ke dalam kotak. Pada masa itu, wayang
kulit belum dibuat dalam bentuk boneka wayang yang tiap tokohnya berdiri
sendiri. Wayang kulit sampai akhir Kerajaan Majapahit masih berupa
lembaran-lembaran yang berisi lukisan adegan sejumlah tokoh wayang yang diukir
dan di tatah pada media kulit.
Masukan dan
usulan Ki Dalang Sari agar pentas wayang kulit dikaji dari sudut pandang agama
Islam disetujui oleh Syekh Makhdum Ibrahim dan para pemuka agama Islam Demak.
Adipati Tuban Arya Teja III tentu saja sangat setuju dan mendukung usul Ki
Dalang Sari. Syekh Makhdum Ibrahim kemudian membentuk tim peneliti dan
melakukan kajian secara mendalam, lalu dimusyawarahkan.
Para ulama agama
Islam itu akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pentas wayang kulit dan gamelan
mengandung sejumlah nilai. Ada yang bertentangan dengan Syariat Islam dan ada
yang tidak. Ternyata yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam cukup banyak
dan dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk. Yang
bertentangan dengan ajaran Islam harus ditinggalkan dan diganti dengan hal-hal
yang sesui dengan ajaran Islam.
Salah satu
masalah yang dianggap bertentangan dengan konsep ajaran Islam, hanyalah soal
melukis gambar mahluk bernyawa, khususnya melukis manusia secara utuh. Melukis
manusia secara utuh dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Karena itu para
seniman Islam mencari jalan keluar dengan cara melukis tokoh-tokoh wayang
secara karikatur, sehingga tidak mirip dengan gambar patung. Hasilnya memang
luar biasa. Seniman-seniman muslim yang mendapat bimbingan Syekh Makhdum
Ibrahim di Jepara, berhasil membuat boneka tokoh-tokoh wayang kulit dalam
bentuk karikatur ginambar miring yang berdiri sendiri, sehingga dapat
digerakkan dan dimainkan dengan indah sekali di atas layar.
Di tangan
seniman-seniman muslim, pentas wayang kulit, lukisan boneka wayang dan gamelan
pengiring juga mengalami kemajuan luar biasa. Untuk membimbing seniman-seniman
muslim agar mampu memberi warna Islami terhadap pementasan wayang kulit, Syekh
Makhdum Ibrahim meluangkan waktunya untuk tinggal di suatu desa di dekat
Jepara. Di sana dia mengawasi pembuatan wayang kulit agar sesuai dengan ajaran
Islam. Bahkan Syekh Makhdum Ibrahim juga menciptakan suatu jenis alat musik
baru yang disebut Bonang. Desa tempat tinggal Syekh Makhdum Ibrahim itu
kemudian termasyhur sebagai Desa Bonang. Syekh Makhdum Ibrahim sendiri
lama-lama dikenal oleh penduduk sebagai Sunan Bonang.
Syekh Makhdum
Ibrahim alias Sunan Bonang, juga mengajarkan seni gending kepada masyarakat
dengan mengajarkan bahwa belajar gending itu sama saja dengan belajar shalat.
Kata-katanya sangat terkenal di daerah Ponorogo yang diajarkan oleh murid Sunan
Bonang, yaitu Ki Ageng Mirah, dalam bahasa Jawa bunyinya sbb:
“Pramila gending
yen bubrah, gugur sembahe mring Widdi, batal wisesane salat, tanpa gawe olah
gending. Dene ngaran tembang gending, tuk ireng swara linuhung, amuji asmaning
dzat. Swara saking osik wadi, osik mulya wentaring cipta surasa”
Kalau
diterjemahkan sebagai berikut,: “Kalau musiknya rusak, batalah sembahyang
kepada Tuhan Yang Maha Esa, hilanglah pengaruh kekuasaan khidmad dalam shalat,
tiada gunanya membaca lagu. Adapun yang disebut tembang gending itu, adalah
sumber suara yang luhur, pujian terhadap Zat yang Maha Suci, suara yang timbul
di dalam hati kita yang sedalam-dalammnya, gerak batin kita yang menunjukkan
mulianya daya cipta dan rasa”.
“Kita tahu, bahwa
shalat itu adalah cara sembahyang orang Islam yang terdiri dari gerakan-gerakan
teratur yang di kalangan muslim disebut tatacara shalat atau syariat shalat,”
kata Arya Baribin yang sudah menguasai banyak konsep-konsep ajaran Islam yang
dipelajarinya dari Ki Ageng Mirah yang berhasil mengislamkan Bathara Katong,
Pendiri dan Adipati Ponorogo I. “Sebagaimana dalam agama Hindu dan Budha, orang
Islam pada waktu shalat juga membaca japa dan mantra yang oleh mereka sebut
doa.”
“Salah satu doa
dalam shalat yang wajib mereka baca diambil dari Qur’an, satu-satunya kitab
suci mereka, yang disebut surah. Surah tidak boleh dibaca semaunya, tetapi
harus dibaca secara berirama berdasarkan patokan yang disebut tajwid, yang
mengatur irama dan panjang pendeknya huruf, kata, dan kalimat yang dibaca.
Patokan membaca surah dalam shalat itu yang disebut oleh Sunan Bonang sebagai
gending,” kata Arya Baribin.
Arya Baribin
menjelaskan, bahwa menurut Sunan Bonang, bacaan surah dalam shalat yang tidak
berdasarkan tajwid atau gending, bisa menyebabkan shalat menjadi rusak, tidak
syah dan batal. Membaca surah dalam shalat dengan mengikuti irama tajwid atau
gending, itulah yang disebut oleh Sunan Bonang dan Ki Ageng Mirah sebagai
Syariat batin atau hakekat, yang maknanya adalah inti sari atau pokok-pokok
sembahyang.
Dalam Islam
syariat lahir dan syariat batin, harus dijalankan bersama-sama. Oleh karena ada
ungkapan yang sangat terkenal dikalangan mereka yang berasal dari ajaran Syekh
Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, yaitu:
”Syariat lahir
tanpa hakekat adalah kosong. Artinya jika dalam shalat, mereka telah melakukan
gerak gerik berirama yang mereka kenal sebagai takbir, ruku, sujud dan lainnya
lagi tetapi tidak memahami irama gending yang dibacanya, maka shalatnya itu
akan kosong. Sebaliknya, Syariat batin saja atau hakekat saja, tanpa syariat
lahir, maka irama gending yang dibacanya itu juga akan menjadi batal, rusak dan
tidak sah.” Demikan Sunang Bonang telah menciptakan pengertian gending dalam
shalat.
Orang sering
keliru membedakan antara gamelan dengan gending. Menurut Sunan Bonang, gending
itu artinya suara yang berirama dan teratur yang dihasilkan oleh dua sumber
suara. Sumber pertama adalah suara manusia yang teartur dan berirama yang
dihasilkan pita suara dalam tenggorokan disebut sebagai tembang, nyanyian atau
sekar. Kedua, suara teratur yang dihasilkan oleh alat-alat yang disebut
alat-alat musik yang disebut dengan gamelan. Jadi gamelan itu adalah gending.
Tetapi tidak setiap gending adalah gamelan. Suara nyanyian yang dilagukan yang
disebut tembang, itu juga disebut gending.
Sunan Bonang juga
menciptakan satu jenis tembang yang dikenal dengan teambang kecil atau macapat.
Pada jaman Ki Dalang Sari, baru dikenal dua ragam tembang Jawa yaitu tembang
gedhe dan tembang tengahan. Fungsi tembang macapat yang bersifat ringan itu
tidak dimaksudkan sebagai tembang-tembang ritual dalam sembahyang, tetapi
berfungsi untuk mendidik budi luhur jiwa manusia melalui penghayatan seni suara
yang indah.
Karya lain Sunan
Bonang yang terkenal adalah menciptakan gamelan laras slendro dan pelog
berbahan besi tuang yang lebih berkualitas dari pada gamelan slendro dan pelog
pada jaman Syailendra. Padahal menurut legenda, gamelan yang dimiliki Raja
Syailendra itu berasal dari gamelan Suryalaya yang disebut gamelan Lokananta
yang dihadiahkan kepada Raja Syailendra oleh Batara Indra.
Tentu saja jasa Ki Dalang Sari sangat
besar dalam menyelamatkan seni pertunjukan wayang dan gamelan pengiringnya.
Karena ketika Ki Dalang Sari menjelaskan konsep pementasan wayang kulit kepada
Syekh Makhdum Ibrahim di Pendapa Kadipaten Tuban itu, Ki Dalang Sari sama
sekali tidak menyingggung-nyinggung konsep ketuhanan agama Hindu-Buddha yang
ada di balik pementasan wayang kulit. Ibaratnya pentas wayang kulit itu sebuah
rumah. Ki Dalang Sari hanya memberikan kerangka rumah itu kepada Syekh Makhdum
Ibrahim. Selanjutnya terserah kepada para seniman muslim, bagaimana kerangka
rumah itu akan dihias supaya sesuai dengan syariat Islam.
Ternyata oleh
Syekh Makhdum Ibrahim, bentuk, isi dan irama rumah seni pertunjukan wayang dan
gamelan itu, telah diubah semua oleh Syakh Makhdum Ibrahim dengan bantuan para
wali lainnya dan para seniman muslim agar supaya seni pertunjukan wayang dan
gamelan itu lebih sesuai dengan kepentingan Kerajaan Islam Demak, yakni seni
pertunjukan wayang dan gamelan dalam visi agama Islam. Hanya sifat dari seni
pertunjukan wayang dan gamelan yang tetap dipertahankan oleh Syekh Makhdum
Ibrahim dan seniman Islam Kerajaan Islam Demak.
Tampak bahwa
Sunan Bonang, sebagai seorang pemuka agama Islam, dia bukan hanya seorang
pembaharu keagamaan. Tetapi dia juga seorang pembaharu seni pertunjukan wayang
dan gamelan. Seni pertunjukan wayang yang tadinya milik orang Hindu dan orang
Budha,oleh Sunan Bonang telah dirubah bentuk, isi dan iramanya, sehingga
menjadi alat untuk menyebarkan agama Islam. Yang tidak dirubah dan tetap
dipertahankan oleh Sunan Bonang dari seni pertunjukkan wayang dan gamelan, hanyalah
sifat pertunjukan wayang dan sifat gamelan. Yaitu bersifat dan berfungsi
sebagai sarana dan alat untuk mendidik budi luhur manusia.
Rupanya Syekh
Makhdum Ibrahim yang di dalam dirinya mengalir darah Jawa lewat Ibunya itu,
mampu menangkap pesan Ki Dalang Sari. Di tangan seniman muslim yang mendapat
bimbingan Syekh Makhdum Ibrahim, kerangka rumah wayang yang diberikan oleh Ki
Dalang Sari itu, telah dihias sedemikian rupa sehingga telah tercipta rumah
wayang yang Islami, yang sesuai dengan Syariat Islam.
“Disadari atau
tidak Ki Dalang Sari maupun Syekh Makhdum Ibrahim telah berjasa besar
menyelamatkan seni pentas wayang kulit yang sesungguhnya merupakan warisan
budaya leluhur bangsa Galuh. Ternyata seni pentas wayang kulit, bisa
dimanfaatkan oleh agama apa pun. Syekh Makhdum Ibrahim berhasil secara gemilang
mengganti konsep ketuhanan menurut persepsi agama Hindu dan Buddha dalam
pementasan wayang kulit, dengan konsepsi ketuhanan menurut persepsi ajaran
Syariat Islam,” kata Arya Baribin mengakhiri penjelasannya proses pengambil
alihan seni pentas wayang kulit dari Kerajaan Hindu Majapahit ke Kerajaan Islam
Demak.
“Sungguh uraian
yang luar biasa luas dan mendalam dari Dimas Arya Baribin,” Kamanda memberikan
pujian kepada calon adik iparnya.
“Suatu pengetahuan
yang amat penting dari Dimas Arya Baribin,” Sang Dewi ikut memberikan
komentarnya.” Tentu akan bermanfaat juga, jika Dimas Arya Baribin bisa
menjelaskan konsep ketuhanan yang ada dalam seni pentas wayang kulit menurut
persepsi agama Hindu-Budha dan menurut persepsi agama Islam.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar