Terdengar suara Ki Dalang:
“Berita kematian permaisuri sudah
sampai ke telinga Paduka Liku. Senyum gembira singgah di wajahnya. Tetapi
ketika dilihatnya Sang Baginda mendatanginya dan tampak wajahnya sedang murka
dengan tangan menghunus keris. Paduka Liku segera lari masuk ke kamarnya.
Dibiarkannya pintu kamar tidurnya tidak dikunci. Paduka Liku naik ke tempat
tidur. Membaringkan dirinya di atas bantal yang berisi bungkusan sepah sakti
teluh penakluk laki-laki.
“Paduka Liku
yakin dapat melumpuhkan amarah dan murka Sang Baginda. Tunduk, tunduk, tunduk
engkau kepadaku, Paduka Liku membaca rapal penakluk laki-laki. Sampai ratusan
kali.”
“Begitu tiba di Puri Paduka Liku, Sang
Baginda langsung menuju kamar yang pintunya tertutup. Ditendangnya daun pintu,
langsung terbuka. Sang Baginda meloncat masuk. Di tatapnya Paduka Liku yang
sedang tergolek di atas peraduan dengan posisi menantang. Di bibirnya
tersungging senyuman maut yang memabukkan.
“Tiba-tiba…..Sang
Baginda langsung terpesona. Ketika sinar mata bertemu sinar mata. Sang Raja
langsung terpukau. Tidak percaya Paduka Liku nampak cantik jelita. Posisi
berbaringnya sungguh menggoda. Bagaikan melihat bidadari turun ke dunia.
“Ah, ah…, ah…, belahan dadanya,
pahanya, semua bagian tubuhnya…. mengajaknya bermain cinta. Api mati bertemu
air, daun layu tertimpa sinar matahari. Api amarah Sang Raja lenyap seketika.
Terserap oleh api daya guna-guna. Tangan perkasa Sang Raja yang pernah
menggentarkan lawan-lawannya. Tiba-tiba luruh tak berdaya. Keris yang berada di
tangannya lepas seketika. Suara Sang Baginda yang semula membahana, tiba-tiba
menjadi lembut, bagaikan suara kumbang yang hendak menghisap sari bunga.”
Ki Dalang
membawakan suara Sang Baginda:
“Wahai, Adindaku Paduka Liku. Betapa
aku belum pernah merasakan rindu kepadamu seperti hari ini. Sebentar saja tidak
ketemu seperti berbulan-bulan rasanya. Apa lagi hari ini, alangkah cantiknya
Adindaku Paduka Liku.”
Ki Dalang
membawakan suara Paduka Liku :
“Ya, Kakanda junjungan hamba. Rindu
Kanda, rindu hamba juga. Marilah Kanda. Dinda lepaskan pakaian Kanda. Segeralah
naik ke peraduan.Temani dinda Kakanda. Ayohlah, kita segera naik ke puncak
bukit cinta. Kakanda, adinda sudah haus ingin mereguk air dari telaga cinta.”
Ki Dalang kembali
berkata dengan nada biasa:
“Paduka Liku tersenyum gembira. Sang
Raja menyerah dalam pelukannya. Tiga hari tiga malam, tak mau meninggalkan
kamar tidur Paduka Liku. Sang Raja tidak pernah tahu. Kenapa gairahnya
terus-menerus menyala. Dan Sang Raja pun merasa tambah perkasa. Sampai suatu
ketika, datanglah utusan Ki Patih, upacara pembakaran jasad permaisuri
Puspaningrat akan segera dilaksanakan. Dengan perasaan berat dan malas, Sang
Raja bangkit, meninggalkan kamar Paduka Liku.”
Crek..crek..crek.
Ki Dalang membunyikan kecrek. Menyusul suara rebab membawakan irama sedih.
Gender dan kangsi terdengar samar-samar, menimbulkan suasana muram. Sinden
Juminem mengiringinya dengan lagu sedih. Ketika suara Juminem sampai akhir
bait. Kembali Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan berhenti.
Terdengar kembali
suara Ki Dalang dengan nada-nada sedih:
“Jazad Permaisuri Puspaningrat telah
selesai diperabukan. Tinggallah Dyah Ayu Candra Kirana dipeluk kesedihan.
Berhari-hari terus menumpahkan air mata. Ingat kepada Ibunda tercinta. Dia
merasa hidup di dunia ini. Piatu seorang diri. Untunglah ada Mahadewi. Yang
mengasihi dengan segenap hati. Air mata sudah terkuras, toh Sang Ibu tak bakal
kembali.”
Ki Dalang
membunyikan suara kecrek dengan tempo lambat…crek…crek…crek…Suara rebab
menyusul menyebarkan irama sedih, disusul suara gender dan kangsi. Kembali
suara sinden Juminem mengalun membawakan suara muram sarat duka.
***
Semua penonton menundukkan kepalanya
ikut larut dalam kesedihan. Sang Dewi ikut larut dalam suasana derita dan duka
putri Daha. Tangan kanan Sang Dewi meremas-remas jari jemari tangan kiri
suaminya, Kamandaka. Mayangsari yang duduk di sebelah kiri Sang Dewi, menunduk
sedih menahan tangis yang masih terkendali. Sekarmenur, Sekarmelati, dan
Sekarcempaka, meneteskan air mata. Ingat Ibundanya tercinta yang sudah begitu
lama meninggalkannya. Ratna Pamekas, mencoba bertahan, agar air mata tidak bercucuran.
***
Suara gamelan masih berbunyi. Ki
Dalang membalikkan tubuhnya lagi. Kembali mencabut pasak kanan gambar di layar.
Terpampang kini gambar Putra Mahkota Kerajaan Jenggala Raden Inu Kertapati
sedang berbincang bincang dengan ayahandanya Sang Raja Jenggala dan ibundanya,
Sang Permaisuri Raja Jenggala.
Terdengar suara
Ki Dalang, setelah suara sinden Juminem lenyap ditelan malam yang terus
berjalan menuju pertengahan malam. Bintang dilangit semakin banyak yang
bermunculan.
“Alkisah di Kerajaan Jenggala, Sang
Raja, Permaisuri dan Raden Inu Kertapati, ikut merasakan duka cita yang menimpa
Kerajaan Daha. Sang Raja sangat menyesalkan adinda Raja Daha yang telah
mengangkat Paduka Liku sebagai permaisuri. Kenapa bukan Mahadewi? Raden Inu
Kertapati mengkhawatirkan nasib Candra Kirana dari penindasan Paduka Liku, Sang
Ibu tiri.”
“Akhirnya, Sang
Permaisuri punya gagasan agar Raden Inu Kertapati yang pandai dalam seni kriya
dan batik itu, membuatkan dua boneka. Satu boneka emas untuk menghibur Galuh
Candra Kirana dan satu lagi boneka perak untuk Galuh Ajeng, supaya tidak iri.
Agar supaya ada kepastian bahwa boneka emas benar-benar jatuh ke tangan Galuh
Candra Kirana, tunangan Raden Inu Kertapati, maka kedua boneka itu harus
dibedakan bungkusnya.”
“Raden Inu Kertapati,
digdaya dalam seni kriya. Dipahatnya boneka kayu yang indah. Lalu dibuat
cetakan dengan tanah lihat. Lalu dituang emas. Lalu dituang perak. Dua boneka
sudah tercipta. Alangkah cantiknya. Sentuhan tangan berbakat Sang Putra
Mahkota. Kini Raden Inu Kertapati tinggal menghiasnya. Memasang rambut untuk
boneka. Juga disiapkan baju-bajunya. Ah, alangkah cantiknya boneka perak. Tapi
lebih cantik lagi boneka emas. Raden Inu terkejut dengan indahnya boneka karya
ciptaannya.”
“Sang Permaisuri
menyarankan agar bungkus boneka dibedakan. Boneka emas dibungkus dengan kain
mori biasa. Diikat dengan tali hitam. Tetapi boneka perak dibungkus dengan kain
sutera dewangga dengan corak hiasan batik burung merak. Diikat dengan benang
emas. Permaisuri yakin hanya dengan cara demikian boneka mas akan sampai ke
tangan Candra Kirana. Baik Sang Baginda maupun Raden Inu Kertapati, memuji
gagasan yang cemerlang itu.”
Ki Dalang
membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Baik sekali gagasan Kanjeng Ibu.
Kebetulan ananda sedang merancang kain batik dan baju untuk calon pengantin
Dinda Candra Kirana. Semua dari bahan sutra dan kain tenun halus buatan putri
Sunda. Didatangkan dari Kerajaan Galuh, Ibunda. Ada kain pembungkus kalau hanya
dua potong yang sudah ananda batik dengan corak sepasang angsa. Satu potong
dari sutra halus untuk membungkus boneka perak. Satu potong lagi dari tenun
halus untuk membungkus boneka emas. Kedunya nyaris sama. Ananda batik dengan
sepasang burung angsa. Hanya bahannya saja yang berbeda”
Ki Dalang ganti
membawakan suara Permaisuri Jenggala :
“Ibu percaya pada kemampuan ananda.
Syukurlah kalau sudah merancang kain batik dan baju pengantin untuk Candra
Kirana. Kelak ajari juga istrimu Candra Kirana ketrampilan membatik. Didik juga
istri-istri para punggawa Kerajaan Jenggala dan Daha agar mereka memiliki
kemampuan membuat batik. Bakat dan ketrampilan ananda dalam seni kriya dan
membatik jangan sampai hilang percuma dan tidak ada penerusnya.”
“Wanita dan anak gadis Kerajaan
Jenggala, jangan sampai kalah dengan wanita dan anak gadis Kerajaan Galuh di
barat sana. Gadi-gadis Sunda banyak yang pandai menenenun. Gadis-gadis Jawa
hanya pandai memasak. Biarlah gadis-gadis Jawa tidak usah pandai menenun. “Tapi
cukuplah kalau pandai memasak dan pandai membatik. Kebutuhan kain tenun bisa
didatangkan dari Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Citanduy.”
Kembali Ki Dalang
membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Gagasan yang luar biasa, Kanjeng Ibu.
Ananda pun sudah memikirkan hal itu.” ………..
Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan
ditabuh. Terdengar suara gamelan yang diramaikan suara ketipung. Terdengar
seperti ada langkah kuda, langkah barisan prajurit, bahkan suara kereta.
Semuanya seakan suara tetabuhan sedang mengiringi barisan. Ya, barisan dalam
perjalanan utusan Sang Baginda Raja Jenggala membawa hadiah untuk Candra Kirana
di Kraton Daha.”
***
Kamandaka, Silihwarna, Pendeta Muda
Amenglayaran dan Ratna Pamekas langsung tersenyum senang ketika mendengar Ki
Dalang Sukmo Lelono menyebut-nyebut Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai
Citanduy. Ki Dalang melalui Permaisuri Kerajaan Jenggala menyebutkan bahwa
gadis Sunda pandai menenun. Dan kebutuhan bahan sandang sutra dan kain mori
Kerajaan Jenggala dikatakannya didatangkan dari Kerajaan Galuh.
“Benar apa yang
dikatakan Ki Dalang Sukmo Lelono,” kata Kamandaka kepada Amenglayaran yang
duduk di sampingnya. ”Bukankah Putri Ayunglarang Sakean juga pandai menenun?”
Pendeta Muda itu
menundukkan wajahnya. Dia merasa Kamandaka tahu apa yang sedang berkecamuk
dalam dirinya. Wajah Sinden Titisari dan Ayunglarang Sakean silih berganti
mendatangi pelupuk matanya.
“Dayang Sumbi dan
Purbasari adalah contoh dari tokoh-tokoh dalam kisah rakyat yang menunjukkan
bahwa nenek moyang gadis Sunda memang pandai menenun. Putri-putri Kerajaan
Galuh dahulu dan Kerajaan Pajajaran kini, masih mempertahankan ketrampilan
menenun,” kata Pendeta Muda itu, mencoba menghindari membicarakan soal Putri
Ayunglarang Sakean.
“Menurut aku,
baik gadis Sunda maupun gadis Jawa, sebenarnya sama-sama punya potensi menjadi
seorang penenun yang baik, pembatik yang baik, juru masak yang baik dan hal-hal
baik lainnya yang menjadi kodrat seorang wanita. Hanya lingkungan dan
kepentingan yang berbeda mengakibatkan gadis Sunda dan gadis Jawa mengembangkan
ketrampilan yang berbeda pula. Apa yang dikatakan Permaisuri Kerajaan Jenggala
itu sepenuhnya benar,” kata Sang Dewi menyampaikan pandangannya, ketika
mendengarkan perbincangan antara Kamandaka dengan Pendeta Muda.
“Aku setuju
sekali dengan pendapat Diajeng,” kata Kamandaka. “Sebenarnya orang Sunda, Jawa,
Madura dan Bali berasal dari nenek moyang yang sama, yakni bangsa Galuh yang
berasal dari Lembah Sungai Sutra di daratan Asia sana. Seperti halnya bangsa
India dan bangsa China, bangsa Galuh pun pada saat itu sudah memiliki peradaban
yang tinggi sesuai jamannya. Dalam urusan pangan, mereka sudah bisa mengolah
sawah dan ladang. Dalam urusan sandang, mereka sudah pandai membuat benang baik
dari sutra maupun kapas. Tentu saja mereka juga sudah pandai membuat bahan
sandang baik yang berbahan kapas, katun maupun sutra dari benang yang ditenun.”
“Mereka juga
sudah memiliki kepandaian melukis, memahat, membuat bahan-bahan pewarna dari
tumbuh-tumbuhan dan melukis pada kain, baik yang berbahan katun maupun sutra.
Salah satu seni melukis pada bahan pakaian ialah seni batik. Yakni seni
menghias dan mewarnai bahan sandang untuk keperluan pakaian, baik pria maupun
wanita dengan menggunakan media lilin atau malam,” kata Kamandaka meanjutkan. “Dalam
perkembangan selanjutnya kemampuan tiap bangsa untuk membatik paling menonjol
terdapat pada keturunan bangsa Galuh yang menetap di Pulau Jawa. Kemudian
perkembangan lebih lanjut, ternyata memang seni batik lebih banyak dikembangkan
oleh seniman-seniman orang Jawa. Bahkan pria Jawa seperti Raden Inu Kertapati pun
bisa membatik. Sedangkan pada gadis Sunda rupanya lebih mengkhususkan diri pada
seni tenun.”
“Ya, aku setuju
sekali dengan pendapat Dinda Kamandaka maupun Kanjeng Ayu Adipati,” kata
Pendeta Muda itu. ”Permaisuri Raja Jenggala berkata kepada putranya, Raden Inu
Kertapati, supaya kelak dia mengajari calon istrinya Candra Kirana ketrampilan
membatik. Kesan kanda, Candra Kirana mirip gadis Sunda. Kurang berminat pada
seni membatik. Kalau Candra Kirana tertarik kepada seni tenun, dia benar-benar
jadi gadis Sunda. Apalagi di depannya pakai nama Galuh. Bukankah nama
lengkapnya Galuh Candra Kirana?”
“Lho, Diajeng
Dewi bukan hanya pandai membatik. Tetapi juga pandai membuat kain tenun,” kata
Kamandaka memuji istrinya. Maksud Kamandaka sebenarnya ialah ingin mengatakan
bahwa istrinya lebih trampil dari Candra Kirana dalam urusan membatik dan
menenun.
“Gadis-gadis
Lembah Serayu, bukankah dalam darahnya memang mengalir darah Jawa dan Sunda?”
kata Sang Dewi sambil tertawa. ”Kanjeng Ibu pandai membatik. Kanjeng Ibu pula yang
ngajari aku membatik. ”
Kamandaka senang
bisa membuat istrinya tertawa. “Putri Ayunglarang Sakean bukankah juga pandai
membatik?” tanya Kamandaka kepada Pendeta Muda.
“Sepengetahuanku
tidak. Kalau menenun memang betul. Hasil tenunannya sangat halus,” jawab
Pendeta Muda itu pelan, nyaris tidak terdengar. Tetapi pandangannya seperti
mencari-cari ke arah tempat duduk Sinden Titisari di panggung.
“Kalau soal gadis
Sunda yang pandai menenun dan gadis Jawa yang pandai membatik, menarik untuk
diperbincangkan,” kata Sang Dewi, sambil mendengarkan suara gending yang
terdengar samar-samar. Suara gending masih mengiringi perjalanan rombongan
utusan Raja Jenggala.
“Memang pada
akhirnya jika ingin menghasilkan barang yang bermutu, orang memang harus
memilih salah satu. Menjadi seorang pembatik saja atau menjadi seorang penenun
saja. Dengan mengembangkan ragam ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan
minatnya yang paling menonjol, akan terbentuk keunggulan masing-masing yang
berbeda. Bayangkan jika gadis Sunda membuat tenun yang baik, lalu dijual pada
gadis Jawa. Gadis Jawa membatiknya sehingga dihasilkan corak batik yang baik.
Lalu dijual kembali kepada gadis Sunda. Bukankah akan terjadi pertukaran barang
yang saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan? Masing-masing pihak
menyumbangkan ketrampilannya untuk menghasilkan barang yang bermutu baik,” kata
Sang Dewi pula.
“Itulah Diajeng
yang sesunguhnya terjadi pada masa Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan,” kata
Kamandaka. ”Hubungan perdagangan antara Kerajaan Galuh Kawali dengan Kerajaan
Kahuripan, sangat baik. Kerajaan Galuh Kawali menjual kain tenun dan kain sutra
ke Kerajaan Kahuripan. Kerajaan Kahuripan menjualnya kembali ke Kerajaan Galuh
sudah menjadi kain batik. Hubungan dagang itu terus berlanjut sampai jaman
Kerajaan Singasari. Sayang sekali terputus saat Kerajaan Majapahit mencapai
puncak kejayaannya.”
“Aku jadi ingat
1000 kodi mori sumbangan Kerajaan Nusakambangan. Dari mana Raja Pulebahas saat
itu bisa mendapatkan kain bahan batik sebanyak itu? Aku menduga pastilah
sebagian besar dari hasil membeli di pasar-pasar kadipaten di sebelah barat
Sungai Citanduy yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran,” kata Sang Dewi
tiba-tiba.
“Eh, jadi ingat
kain mori itu. Mau dikemanakan kain mori sebanyak itu, Diajeng?”
“Masih utuh
tersimpan di gudang. Akan kubagi empat. Untuk Dinda Ratna Pamekas seperempat.
Untuk Dinda Mayangsari seperempat. Untuk Dinda Sekarmenur, seperempat. Dan
untuk aku sendiri seperempat. Adil, bukan?”
“Siapa dulu dong,
Ayunda Kanjeng Adipati?” kata Mayangsari yang ikut menyela pembicaraan.
Dipujinya kakak sepupunya itu. Mayangsari yang duduk di samping kiri Sang Dewi
ikut mendengarkan perbincangan kakak sepupunya itu.
“Ya, akan aku
bagikan setelah pernikahan Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas dan Dinda
Sekarmenur. Perlunya untuk dijadikan modal mengembangkan seni batik di
masing-masing kadipaten. Bukankah ketiga adindaku kelak juga akan jadi kanjeng
ayu adipati juga di kadipatennya masing-masing jika Yang Maha Kuasa
menghendakiNya?” bisik Sang Dewi kepada Mayangsari.
“Alangkah baiknya, bila Diajeng bisa
mengikuti langkah Raden Inu Kertapati,” kata Raden Kamandara masih membicarakan
soal batik dengan istrinya. ”Dia bisa menciptakan corak batik yang khas Lembah
Sungai Brantas. Jika dilihat pada gambar wayang, sepertinya motif sayap burung
garuda sangat dominan. Itu mengandung makna simbolis. Lambang pemujaan terhadap
Dewa Wisnu. Garuda adalah kendaraan Wisnu. Sayang sekali aku tidak punya bakat
dalam seni kriya.”
“Kalau bisa mau
apa?” tanya Sang Dewi.
“Ya, tentu saja
aku akan membuat pola batik yang khas Lembah Ciserayu, sehingga batik Lembah
Ciserayu bisa menggambarkan identisnya yang khas.”
“Gagasan yang
bagus. Tetapi aku tidak mau mengikuti Raden Inu Kertapati,”
“Kenapa?”
“Mau mengikuti Kanda
Kamandaka saja. Walaupun tidak punya bakat dalam seni kriya. Tapi bakatnya
banyak. Juga dalam seni…,”
“Seni apa ?”
desak Kamandaka.
“Seni bercinta!”
bisik Sang Dewi pelan-pelan di telinga suaminya agar tidak terdengar oleh adik
sepupunya, Mayangsari yang sedang asik melamun. Kamandaka tersenyum. Jika tidak
ingat sedang di tempat keramaian, pastilah bibir istrinya yang menggemaskan itu
sudah dilumatnya.
“Menurut Kanjeng
Ibu, corak batik Kerajaan Galuh dan Pajajaran sebenarnya berwarna biru,” kata
Sang Dewi melanjutkan perbincangan perihal corak kain batik Lembah Ciserayu.
“Demikian pula corak batik Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, Kalipucang, dan
Kadipaten Nusakambangan. Karena bahan pewarna biru yang berasal dari tanaman
tarum banyak dijumpai di sepanjang Sungai Citarum. Daun tarum, indigo atau nila
adalah sumber pewarna nabati biru untuk kain batik. Sayangnya tanaman tarum
jarang dijumpai di sepanjang Sungai Logawa dan Ciserayu. Terpaksa bahan pewarna
biru itu harus di datangkan dari pasar-pasar di sebelah barat Citanduy.
Tumbuhan pewarna kain batik yang banyak tumbuh di sepanjang Logawa dan Ciserayu
adalah tanaman saga, sumber warna nabati coklat tua. Rupanya tumbuhan saga
sebagai sumber pewarna nabati coklat tua banyak tumbuh juga di sekitar Sungai Brantas,
sehingga corak warna batik Kerajaan Daha dan Jenggala sebagian besar berwarna
saga coklat tua.”
“Aku sependapat
dengan Kanjeng Ibu. Tahukah Diajeng apa arti Mataram yang dipakai sebagai nama
Kerajaan Maharesi Rake Sanjaya yang pernah mendirikan kerajaannya di lereng
selatan Gunung Dieng?” tanya Kamandaka pada istrinya.
“Aku dengar arti
kata Mataram, adalah permata biru” jawab Sang Dewi.
“Betul sekali.
Mataram dari kata ma dan taram atau tarum, nila, indigo atau warna biru laut
dan biru langit. Juga warna batu permata safir. Mataram artinya adalah warna
biru yang agung. Simbol pemujaan leluhur kita bangsa Galuh kepada Dewa Laut,
Dewa Langit dan Dewa Awan. Setelah bangsa Galuh menjadi penganut Hindu, warna
biru menjadi simbol pemujaan kepada Dewa Wisnu dan juga Dewa Syiwa. Dewa Syiwa
sering juga disebut Nilakanta. Artinya pemilik leher berwarna biru. Kerajaan
Galuh, Mataram Hindu dan Pajajaran adalah pemeluk Sang Hyang Syiwa yang
disimbolkan dengan warna biru. Tumbuhan tarum sendiri adalah simbol kemakmuran
dan kesejahteraan. Kerajaan Tarumanegara, Galuh dan Pajajaran menjadi makmur
karena tanaman tarum menjadi salah satu mata barang dagangan penting yang
dijual sampai ke seberang lautan sebagai bahan pewarna nabati biru untuk kain
batik,” kata Kamandaka menjelaskan asal nama Kerajaan Mataram.
“Aku tahu simbol
warna saga,” kata Sang Dewi.
“Apa coba?” tanya
Kamandaka mencoba menguji kecerdasan istrinya.
“Kalau aku bisa
menjawab dan betul, apa hadiahnya?”
“Hadiahnya, besok
malam,” jawab Kamandaka menggoda.
“Ah, tidak mau.
Besok malam terlalu lama,” jawab Sang Dewi.
“Maunya kapan?”
“Malam ini,”
jawab Sang Dewi Singkat sambil menahan senyum.
“Malam ini? Kita
harus menonton wayang sampai pagi, Diajeng Sayang,” bisik Kamandakan sambil
mendekatkan bibirnya ke telinga Sang Dewi sehingga nyaris hampir mencium
telinga istrinya.[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar