Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 30 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (08)





Terdengar suara Ki Dalang:
“Berita kematian permaisuri sudah sampai ke telinga Paduka Liku. Senyum gembira singgah di wajahnya. Tetapi ketika dilihatnya Sang Baginda mendatanginya dan tampak wajahnya sedang murka dengan tangan menghunus keris. Paduka Liku segera lari masuk ke kamarnya. Dibiarkannya pintu kamar tidurnya tidak dikunci. Paduka Liku naik ke tempat tidur. Membaringkan dirinya di atas bantal yang berisi bungkusan sepah sakti teluh penakluk laki-laki.
“Paduka Liku yakin dapat melumpuhkan amarah dan murka Sang Baginda. Tunduk, tunduk, tunduk engkau kepadaku, Paduka Liku membaca rapal penakluk laki-laki. Sampai ratusan kali.”
“Begitu tiba di Puri Paduka Liku, Sang Baginda langsung menuju kamar yang pintunya tertutup. Ditendangnya daun pintu, langsung terbuka. Sang Baginda meloncat masuk. Di tatapnya Paduka Liku yang sedang tergolek di atas peraduan dengan posisi menantang. Di bibirnya tersungging senyuman maut yang memabukkan.
“Tiba-tiba…..Sang Baginda langsung terpesona. Ketika sinar mata bertemu sinar mata. Sang Raja langsung terpukau. Tidak percaya Paduka Liku nampak cantik jelita. Posisi berbaringnya sungguh menggoda. Bagaikan melihat bidadari turun ke dunia.
“Ah, ah…, ah…, belahan dadanya, pahanya, semua bagian tubuhnya…. mengajaknya bermain cinta. Api mati bertemu air, daun layu tertimpa sinar matahari. Api amarah Sang Raja lenyap seketika. Terserap oleh api daya guna-guna. Tangan perkasa Sang Raja yang pernah menggentarkan lawan-lawannya. Tiba-tiba luruh tak berdaya. Keris yang berada di tangannya lepas seketika. Suara Sang Baginda yang semula membahana, tiba-tiba menjadi lembut, bagaikan suara kumbang yang hendak menghisap sari bunga.”
Ki Dalang membawakan suara Sang Baginda:
“Wahai, Adindaku Paduka Liku. Betapa aku belum pernah merasakan rindu kepadamu seperti hari ini. Sebentar saja tidak ketemu seperti berbulan-bulan rasanya. Apa lagi hari ini, alangkah cantiknya Adindaku Paduka Liku.”
Ki Dalang membawakan suara Paduka Liku :
“Ya, Kakanda junjungan hamba. Rindu Kanda, rindu hamba juga. Marilah Kanda. Dinda lepaskan pakaian Kanda. Segeralah naik ke peraduan.Temani dinda Kakanda. Ayohlah, kita segera naik ke puncak bukit cinta. Kakanda, adinda sudah haus ingin mereguk air dari telaga cinta.”
Ki Dalang kembali berkata dengan nada biasa:
“Paduka Liku tersenyum gembira. Sang Raja menyerah dalam pelukannya. Tiga hari tiga malam, tak mau meninggalkan kamar tidur Paduka Liku. Sang Raja tidak pernah tahu. Kenapa gairahnya terus-menerus menyala. Dan Sang Raja pun merasa tambah perkasa. Sampai suatu ketika, datanglah utusan Ki Patih, upacara pembakaran jasad permaisuri Puspaningrat akan segera dilaksanakan. Dengan perasaan berat dan malas, Sang Raja bangkit, meninggalkan kamar Paduka Liku.”
Crek..crek..crek. Ki Dalang membunyikan kecrek. Menyusul suara rebab membawakan irama sedih. Gender dan kangsi terdengar samar-samar, menimbulkan suasana muram. Sinden Juminem mengiringinya dengan lagu sedih. Ketika suara Juminem sampai akhir bait. Kembali Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan berhenti.
Terdengar kembali suara Ki Dalang dengan nada-nada sedih:
“Jazad Permaisuri Puspaningrat telah selesai diperabukan. Tinggallah Dyah Ayu Candra Kirana dipeluk kesedihan. Berhari-hari terus menumpahkan air mata. Ingat kepada Ibunda tercinta. Dia merasa hidup di dunia ini. Piatu seorang diri. Untunglah ada Mahadewi. Yang mengasihi dengan segenap hati. Air mata sudah terkuras, toh Sang Ibu tak bakal kembali.”
Ki Dalang membunyikan suara kecrek dengan tempo lambat…crek…crek…crek…Suara rebab menyusul menyebarkan irama sedih, disusul suara gender dan kangsi. Kembali suara sinden Juminem mengalun membawakan suara muram sarat duka.
***
Semua penonton menundukkan kepalanya ikut larut dalam kesedihan. Sang Dewi ikut larut dalam suasana derita dan duka putri Daha. Tangan kanan Sang Dewi meremas-remas jari jemari tangan kiri suaminya, Kamandaka. Mayangsari yang duduk di sebelah kiri Sang Dewi, menunduk sedih menahan tangis yang masih terkendali. Sekarmenur, Sekarmelati, dan Sekarcempaka, meneteskan air mata. Ingat Ibundanya tercinta yang sudah begitu lama meninggalkannya. Ratna Pamekas, mencoba bertahan, agar air mata tidak bercucuran.
***
Suara gamelan masih berbunyi. Ki Dalang membalikkan tubuhnya lagi. Kembali mencabut pasak kanan gambar di layar. Terpampang kini gambar Putra Mahkota Kerajaan Jenggala Raden Inu Kertapati sedang berbincang bincang dengan ayahandanya Sang Raja Jenggala dan ibundanya, Sang Permaisuri Raja Jenggala.
Terdengar suara Ki Dalang, setelah suara sinden Juminem lenyap ditelan malam yang terus berjalan menuju pertengahan malam. Bintang dilangit semakin banyak yang bermunculan.
“Alkisah di Kerajaan Jenggala, Sang Raja, Permaisuri dan Raden Inu Kertapati, ikut merasakan duka cita yang menimpa Kerajaan Daha. Sang Raja sangat menyesalkan adinda Raja Daha yang telah mengangkat Paduka Liku sebagai permaisuri. Kenapa bukan Mahadewi? Raden Inu Kertapati mengkhawatirkan nasib Candra Kirana dari penindasan Paduka Liku, Sang Ibu tiri.”
“Akhirnya, Sang Permaisuri punya gagasan agar Raden Inu Kertapati yang pandai dalam seni kriya dan batik itu, membuatkan dua boneka. Satu boneka emas untuk menghibur Galuh Candra Kirana dan satu lagi boneka perak untuk Galuh Ajeng, supaya tidak iri. Agar supaya ada kepastian bahwa boneka emas benar-benar jatuh ke tangan Galuh Candra Kirana, tunangan Raden Inu Kertapati, maka kedua boneka itu harus dibedakan bungkusnya.”
“Raden Inu Kertapati, digdaya dalam seni kriya. Dipahatnya boneka kayu yang indah. Lalu dibuat cetakan dengan tanah lihat. Lalu dituang emas. Lalu dituang perak. Dua boneka sudah tercipta. Alangkah cantiknya. Sentuhan tangan berbakat Sang Putra Mahkota. Kini Raden Inu Kertapati tinggal menghiasnya. Memasang rambut untuk boneka. Juga disiapkan baju-bajunya. Ah, alangkah cantiknya boneka perak. Tapi lebih cantik lagi boneka emas. Raden Inu terkejut dengan indahnya boneka karya ciptaannya.”
“Sang Permaisuri menyarankan agar bungkus boneka dibedakan. Boneka emas dibungkus dengan kain mori biasa. Diikat dengan tali hitam. Tetapi boneka perak dibungkus dengan kain sutera dewangga dengan corak hiasan batik burung merak. Diikat dengan benang emas. Permaisuri yakin hanya dengan cara demikian boneka mas akan sampai ke tangan Candra Kirana. Baik Sang Baginda maupun Raden Inu Kertapati, memuji gagasan yang cemerlang itu.”
Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Baik sekali gagasan Kanjeng Ibu. Kebetulan ananda sedang merancang kain batik dan baju untuk calon pengantin Dinda Candra Kirana. Semua dari bahan sutra dan kain tenun halus buatan putri Sunda. Didatangkan dari Kerajaan Galuh, Ibunda. Ada kain pembungkus kalau hanya dua potong yang sudah ananda batik dengan corak sepasang angsa. Satu potong dari sutra halus untuk membungkus boneka perak. Satu potong lagi dari tenun halus untuk membungkus boneka emas. Kedunya nyaris sama. Ananda batik dengan sepasang burung angsa. Hanya bahannya saja yang berbeda”
Ki Dalang ganti membawakan suara Permaisuri Jenggala :
“Ibu percaya pada kemampuan ananda. Syukurlah kalau sudah merancang kain batik dan baju pengantin untuk Candra Kirana. Kelak ajari juga istrimu Candra Kirana ketrampilan membatik. Didik juga istri-istri para punggawa Kerajaan Jenggala dan Daha agar mereka memiliki kemampuan membuat batik. Bakat dan ketrampilan ananda dalam seni kriya dan membatik jangan sampai hilang percuma dan tidak ada penerusnya.”
“Wanita dan anak gadis Kerajaan Jenggala, jangan sampai kalah dengan wanita dan anak gadis Kerajaan Galuh di barat sana. Gadi-gadis Sunda banyak yang pandai menenenun. Gadis-gadis Jawa hanya pandai memasak. Biarlah gadis-gadis Jawa tidak usah pandai menenun. “Tapi cukuplah kalau pandai memasak dan pandai membatik. Kebutuhan kain tenun bisa didatangkan dari Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Citanduy.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Raden Inu Kertapati:
“Gagasan yang luar biasa, Kanjeng Ibu. Ananda pun sudah memikirkan hal itu.” ………..
Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan ditabuh. Terdengar suara gamelan yang diramaikan suara ketipung. Terdengar seperti ada langkah kuda, langkah barisan prajurit, bahkan suara kereta. Semuanya seakan suara tetabuhan sedang mengiringi barisan. Ya, barisan dalam perjalanan utusan Sang Baginda Raja Jenggala membawa hadiah untuk Candra Kirana di Kraton Daha.”
***
Kamandaka, Silihwarna, Pendeta Muda Amenglayaran dan Ratna Pamekas langsung tersenyum senang ketika mendengar Ki Dalang Sukmo Lelono menyebut-nyebut Kerajaan Galuh di sebelah barat Sungai Citanduy. Ki Dalang melalui Permaisuri Kerajaan Jenggala menyebutkan bahwa gadis Sunda pandai menenun. Dan kebutuhan bahan sandang sutra dan kain mori Kerajaan Jenggala dikatakannya didatangkan dari Kerajaan Galuh.
“Benar apa yang dikatakan Ki Dalang Sukmo Lelono,” kata Kamandaka kepada Amenglayaran yang duduk di sampingnya. ”Bukankah Putri Ayunglarang Sakean juga pandai menenun?”
Pendeta Muda itu menundukkan wajahnya. Dia merasa Kamandaka tahu apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Wajah Sinden Titisari dan Ayunglarang Sakean silih berganti mendatangi pelupuk matanya.
“Dayang Sumbi dan Purbasari adalah contoh dari tokoh-tokoh dalam kisah rakyat yang menunjukkan bahwa nenek moyang gadis Sunda memang pandai menenun. Putri-putri Kerajaan Galuh dahulu dan Kerajaan Pajajaran kini, masih mempertahankan ketrampilan menenun,” kata Pendeta Muda itu, mencoba menghindari membicarakan soal Putri Ayunglarang Sakean.
“Menurut aku, baik gadis Sunda maupun gadis Jawa, sebenarnya sama-sama punya potensi menjadi seorang penenun yang baik, pembatik yang baik, juru masak yang baik dan hal-hal baik lainnya yang menjadi kodrat seorang wanita. Hanya lingkungan dan kepentingan yang berbeda mengakibatkan gadis Sunda dan gadis Jawa mengembangkan ketrampilan yang berbeda pula. Apa yang dikatakan Permaisuri Kerajaan Jenggala itu sepenuhnya benar,” kata Sang Dewi menyampaikan pandangannya, ketika mendengarkan perbincangan antara Kamandaka dengan Pendeta Muda.
“Aku setuju sekali dengan pendapat Diajeng,” kata Kamandaka. “Sebenarnya orang Sunda, Jawa, Madura dan Bali berasal dari nenek moyang yang sama, yakni bangsa Galuh yang berasal dari Lembah Sungai Sutra di daratan Asia sana. Seperti halnya bangsa India dan bangsa China, bangsa Galuh pun pada saat itu sudah memiliki peradaban yang tinggi sesuai jamannya. Dalam urusan pangan, mereka sudah bisa mengolah sawah dan ladang. Dalam urusan sandang, mereka sudah pandai membuat benang baik dari sutra maupun kapas. Tentu saja mereka juga sudah pandai membuat bahan sandang baik yang berbahan kapas, katun maupun sutra dari benang yang ditenun.”
“Mereka juga sudah memiliki kepandaian melukis, memahat, membuat bahan-bahan pewarna dari tumbuh-tumbuhan dan melukis pada kain, baik yang berbahan katun maupun sutra. Salah satu seni melukis pada bahan pakaian ialah seni batik. Yakni seni menghias dan mewarnai bahan sandang untuk keperluan pakaian, baik pria maupun wanita dengan menggunakan media lilin atau malam,” kata Kamandaka meanjutkan. “Dalam perkembangan selanjutnya kemampuan tiap bangsa untuk membatik paling menonjol terdapat pada keturunan bangsa Galuh yang menetap di Pulau Jawa. Kemudian perkembangan lebih lanjut, ternyata memang seni batik lebih banyak dikembangkan oleh seniman-seniman orang Jawa. Bahkan pria Jawa seperti Raden Inu Kertapati pun bisa membatik. Sedangkan pada gadis Sunda rupanya lebih mengkhususkan diri pada seni tenun.”
“Ya, aku setuju sekali dengan pendapat Dinda Kamandaka maupun Kanjeng Ayu Adipati,” kata Pendeta Muda itu. ”Permaisuri Raja Jenggala berkata kepada putranya, Raden Inu Kertapati, supaya kelak dia mengajari calon istrinya Candra Kirana ketrampilan membatik. Kesan kanda, Candra Kirana mirip gadis Sunda. Kurang berminat pada seni membatik. Kalau Candra Kirana tertarik kepada seni tenun, dia benar-benar jadi gadis Sunda. Apalagi di depannya pakai nama Galuh. Bukankah nama lengkapnya Galuh Candra Kirana?”
“Lho, Diajeng Dewi bukan hanya pandai membatik. Tetapi juga pandai membuat kain tenun,” kata Kamandaka memuji istrinya. Maksud Kamandaka sebenarnya ialah ingin mengatakan bahwa istrinya lebih trampil dari Candra Kirana dalam urusan membatik dan menenun.
“Gadis-gadis Lembah Serayu, bukankah dalam darahnya memang mengalir darah Jawa dan Sunda?” kata Sang Dewi sambil tertawa. ”Kanjeng Ibu pandai membatik. Kanjeng Ibu pula yang ngajari aku membatik. ”
Kamandaka senang bisa membuat istrinya tertawa. “Putri Ayunglarang Sakean bukankah juga pandai membatik?” tanya Kamandaka kepada Pendeta Muda.
“Sepengetahuanku tidak. Kalau menenun memang betul. Hasil tenunannya sangat halus,” jawab Pendeta Muda itu pelan, nyaris tidak terdengar. Tetapi pandangannya seperti mencari-cari ke arah tempat duduk Sinden Titisari di panggung.
“Kalau soal gadis Sunda yang pandai menenun dan gadis Jawa yang pandai membatik, menarik untuk diperbincangkan,” kata Sang Dewi, sambil mendengarkan suara gending yang terdengar samar-samar. Suara gending masih mengiringi perjalanan rombongan utusan Raja Jenggala.
“Memang pada akhirnya jika ingin menghasilkan barang yang bermutu, orang memang harus memilih salah satu. Menjadi seorang pembatik saja atau menjadi seorang penenun saja. Dengan mengembangkan ragam ketrampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya yang paling menonjol, akan terbentuk keunggulan masing-masing yang berbeda. Bayangkan jika gadis Sunda membuat tenun yang baik, lalu dijual pada gadis Jawa. Gadis Jawa membatiknya sehingga dihasilkan corak batik yang baik. Lalu dijual kembali kepada gadis Sunda. Bukankah akan terjadi pertukaran barang yang saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan? Masing-masing pihak menyumbangkan ketrampilannya untuk menghasilkan barang yang bermutu baik,” kata Sang Dewi pula.
“Itulah Diajeng yang sesunguhnya terjadi pada masa Raja Erlangga dari Kerajaan Kahuripan,” kata Kamandaka. ”Hubungan perdagangan antara Kerajaan Galuh Kawali dengan Kerajaan Kahuripan, sangat baik. Kerajaan Galuh Kawali menjual kain tenun dan kain sutra ke Kerajaan Kahuripan. Kerajaan Kahuripan menjualnya kembali ke Kerajaan Galuh sudah menjadi kain batik. Hubungan dagang itu terus berlanjut sampai jaman Kerajaan Singasari. Sayang sekali terputus saat Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.”
“Aku jadi ingat 1000 kodi mori sumbangan Kerajaan Nusakambangan. Dari mana Raja Pulebahas saat itu bisa mendapatkan kain bahan batik sebanyak itu? Aku menduga pastilah sebagian besar dari hasil membeli di pasar-pasar kadipaten di sebelah barat Sungai Citanduy yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran,” kata Sang Dewi tiba-tiba.
“Eh, jadi ingat kain mori itu. Mau dikemanakan kain mori sebanyak itu, Diajeng?”
“Masih utuh tersimpan di gudang. Akan kubagi empat. Untuk Dinda Ratna Pamekas seperempat. Untuk Dinda Mayangsari seperempat. Untuk Dinda Sekarmenur, seperempat. Dan untuk aku sendiri seperempat. Adil, bukan?”
“Siapa dulu dong, Ayunda Kanjeng Adipati?” kata Mayangsari yang ikut menyela pembicaraan. Dipujinya kakak sepupunya itu. Mayangsari yang duduk di samping kiri Sang Dewi ikut mendengarkan perbincangan kakak sepupunya itu.
“Ya, akan aku bagikan setelah pernikahan Dinda Mayangsari, Dinda Ratna Pamekas dan Dinda Sekarmenur. Perlunya untuk dijadikan modal mengembangkan seni batik di masing-masing kadipaten. Bukankah ketiga adindaku kelak juga akan jadi kanjeng ayu adipati juga di kadipatennya masing-masing jika Yang Maha Kuasa menghendakiNya?” bisik Sang Dewi kepada Mayangsari.
“Alangkah baiknya, bila Diajeng bisa mengikuti langkah Raden Inu Kertapati,” kata Raden Kamandara masih membicarakan soal batik dengan istrinya. ”Dia bisa menciptakan corak batik yang khas Lembah Sungai Brantas. Jika dilihat pada gambar wayang, sepertinya motif sayap burung garuda sangat dominan. Itu mengandung makna simbolis. Lambang pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Garuda adalah kendaraan Wisnu. Sayang sekali aku tidak punya bakat dalam seni kriya.”
“Kalau bisa mau apa?” tanya Sang Dewi.
“Ya, tentu saja aku akan membuat pola batik yang khas Lembah Ciserayu, sehingga batik Lembah Ciserayu bisa menggambarkan identisnya yang khas.”
“Gagasan yang bagus. Tetapi aku tidak mau mengikuti Raden Inu Kertapati,”
“Kenapa?”
“Mau mengikuti Kanda Kamandaka saja. Walaupun tidak punya bakat dalam seni kriya. Tapi bakatnya banyak. Juga dalam seni…,”
“Seni apa ?” desak Kamandaka.
“Seni bercinta!” bisik Sang Dewi pelan-pelan di telinga suaminya agar tidak terdengar oleh adik sepupunya, Mayangsari yang sedang asik melamun. Kamandaka tersenyum. Jika tidak ingat sedang di tempat keramaian, pastilah bibir istrinya yang menggemaskan itu sudah dilumatnya.
“Menurut Kanjeng Ibu, corak batik Kerajaan Galuh dan Pajajaran sebenarnya berwarna biru,” kata Sang Dewi melanjutkan perbincangan perihal corak kain batik Lembah Ciserayu. “Demikian pula corak batik Kadipaten Pasirluhur, Dayeuhluhur, Kalipucang, dan Kadipaten Nusakambangan. Karena bahan pewarna biru yang berasal dari tanaman tarum banyak dijumpai di sepanjang Sungai Citarum. Daun tarum, indigo atau nila adalah sumber pewarna nabati biru untuk kain batik. Sayangnya tanaman tarum jarang dijumpai di sepanjang Sungai Logawa dan Ciserayu. Terpaksa bahan pewarna biru itu harus di datangkan dari pasar-pasar di sebelah barat Citanduy. Tumbuhan pewarna kain batik yang banyak tumbuh di sepanjang Logawa dan Ciserayu adalah tanaman saga, sumber warna nabati coklat tua. Rupanya tumbuhan saga sebagai sumber pewarna nabati coklat tua banyak tumbuh juga di sekitar Sungai Brantas, sehingga corak warna batik Kerajaan Daha dan Jenggala sebagian besar berwarna saga coklat tua.”
“Aku sependapat dengan Kanjeng Ibu. Tahukah Diajeng apa arti Mataram yang dipakai sebagai nama Kerajaan Maharesi Rake Sanjaya yang pernah mendirikan kerajaannya di lereng selatan Gunung Dieng?” tanya Kamandaka pada istrinya.
“Aku dengar arti kata Mataram, adalah permata biru” jawab Sang Dewi.
“Betul sekali. Mataram dari kata ma dan taram atau tarum, nila, indigo atau warna biru laut dan biru langit. Juga warna batu permata safir. Mataram artinya adalah warna biru yang agung. Simbol pemujaan leluhur kita bangsa Galuh kepada Dewa Laut, Dewa Langit dan Dewa Awan. Setelah bangsa Galuh menjadi penganut Hindu, warna biru menjadi simbol pemujaan kepada Dewa Wisnu dan juga Dewa Syiwa. Dewa Syiwa sering juga disebut Nilakanta. Artinya pemilik leher berwarna biru. Kerajaan Galuh, Mataram Hindu dan Pajajaran adalah pemeluk Sang Hyang Syiwa yang disimbolkan dengan warna biru. Tumbuhan tarum sendiri adalah simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Kerajaan Tarumanegara, Galuh dan Pajajaran menjadi makmur karena tanaman tarum menjadi salah satu mata barang dagangan penting yang dijual sampai ke seberang lautan sebagai bahan pewarna nabati biru untuk kain batik,” kata Kamandaka menjelaskan asal nama Kerajaan Mataram.
“Aku tahu simbol warna saga,” kata Sang Dewi.
“Apa coba?” tanya Kamandaka mencoba menguji kecerdasan istrinya.
“Kalau aku bisa menjawab dan betul, apa hadiahnya?”
“Hadiahnya, besok malam,” jawab Kamandaka menggoda.
“Ah, tidak mau. Besok malam terlalu lama,” jawab Sang Dewi.
“Maunya kapan?”
“Malam ini,” jawab Sang Dewi Singkat sambil menahan senyum.
“Malam ini? Kita harus menonton wayang sampai pagi, Diajeng Sayang,” bisik Kamandakan sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Sang Dewi sehingga nyaris hampir mencium telinga istrinya.[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar