Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 30 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (07)





“Sang Raja Kerajaan Daha mempunyai seorang permasuri, Dewi Puspaningrat, seorang selir pertama Mahadewi dan seorang selir ke dua Paduka Liku,” Ki Dalang Sukmo Lelono mulai mendalang. Dia sudah duduk menghadap penonton, sambil berkisah.
Dari permaisuri lahirlah seorang putri yang cantik jelita, Galuh Candra Kirana. Mahadewi, selir pertama tak punya anak. Tapi dari selir ke dua Sang Raja Daha punya putri yang cantik jelita juga, Galuh Ajeng. Sayang Galuh Ajeng berperangai buruk, iri pendengki, sama dengan ibunya Paduka Liku.
Suatu pagi, Galuh Ajeng melihat Galuh Candra Kirana sedang bermain dengan dua orang emban pengasuhnya, Ken Sanggit dan Ken Bayan. Dilihatnya Galuh Candra Kirana memakai kerudung warna kesumba yang lebih indah dan lebih cemerlang dari kerudung yang dimilikinya yang menurutnya berwarna jelek dan kusam.
Didatanginya Galuh Candra Kirana tanpa banyak omong, Galuh Ajeng langsung merebut kerudung yang sedang dipakai Galuh Candra Kirana dan berusaha menarik begitu saja kerudung itu sekeras-kerasnya.Tentu saja Galuh Candra Kirana terkejut dan menjerit. Dia tidak mengira akan diperlakukan kasar seperti itu oleh adik tirinya itu.
Melihat Ndara Putri yang diasuhnya itu diganggu, Ken Sanggit segera turun tangan. Ditonjoknya perut kiri Galuh Ajeng sehingga kerudung yang mau direbutnya terlepas dari tangannya. Ketika Galuh Ajeng mau merebut lagi kerudung yang sudah terlepas itu, giliran Ken Bayan yang datang. Ditonjoknya perut kanan Galuh Ajeng yang membuatnya kesakitan.
Galuh Ajeng lari sambil menjerit-jerit pulang ke tempat kediamannya, Puri Paduka Liku. Galuh Ajeng langsung masuk kamar, membuat terkejut ibunya Paduka Liku yang sedang berada di atas ranjang, sedang bermesraan dengan Sang Raja. Raja yang terkejut melihat tangis anaknya langsung meloncat dari ranjang dan menanyakan apa masalahnya sambil memeluk anak gadisnya itu. Galuh Ajeng sambil menangis mengadu bahwa dirinya dipukul dua kali oleh Si Kirana, gara-gara mau pinjam kerudung kesumba yang baru dan indah yang sedang dipakai Si Kirana, tetapi tidak boleh.

Mendengar pengaduan Galuh Ajeng itu, Sang Raja langsung keluar menuju Puri Mahadewi. Sang Raja yang akan memarahi Galuh Candra Kirana dihalang-halangi Mahadewi. Mahadewi memberitahukan kejadian yang sebenarnya. Ken Bayan dan Ken Sanggit terpaksa menonjok Galuh Ajeng, karena Galuh Ajeng bukan saja merebut paksa kerudung yang sedang dipakai Galuh Candra Kirana. Tetapi juga menyepak pantat Ken Bayan dua kali dan Ken Sanggit dua kali.

Sang Raja bersungut-sungut mendengar penjelasan Mahadewi. Sang Raja percaya pada Mahadewi, karena baik Galuh Candra Kirana mapun Galuh Ajeng bukanlah anak kandung Mahadewi. Kedua-duanya adalah anak tiri Mahadewi, sehingga Sang Raja yakin Mahadewi akan berkata jujur. Sang Raja kembali ke Puri Paduka Liku.Di jumpainya Paduka Liku dan Galuh Ajeng sedang merajuk.
Ki Dalang Sukmo Lelono membawakan suara Paduka Liku yang sedang merajuk:
“Oh, Kanda junjungan hamba. Apakah Kanda benar-benar cinta kepada hamba? Ataukah Kanda hanya menyenangi tubuh dan kecantikan hamba saja? Tidakkah Kanda mencintai dinda dengan segenap jiwa, raga, dan hati Kanda? Jika Kanda sudah merasa tidak cinta lagi kepada hamba, pulangkan saja hamba ke desa hamba, ke ayah, ibu dan keluarga hamba. Buat apa hamba jauh-jauh meninggalkan desa tercinta untuk mengikuti Kanda. Tetapi Kanda sudah tidak lagi mencintai dinda? Pulangkan saja dinda, wahai Kakanda junjungan hamba.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Sang Raja:
“Mengapa, Oh Dinda, berkata demikian? Ragukah Dinda kepada cinta kanda? Cinta kanda kepada Dinda tak akan pernah pudar. Selama dunia dan bintang-bintang masih berputar. Kenapa pula dinda harus pulang kembali ke desa? Kembali kepada orang tua? Meninggalkan kanda sendirian di dera cinta kepada Adinda? Sampai hatikah Dinda membiarkan kanda menderita? Setiap saat, setiap pagi, setiap petang, setiap malam. Oh Adinda, hanyalah Dinda. Kanda tak mungkin berpisah dengan Dinda. Harta, jiwa, dan raga kanda adalah milik Adinda tercinta. Dinda akan meninggalkan kanda? Tidak! Wahai Dinda tercinta dambaan kanda.”
Ki Dalang kembali dengan suara normal biasa:
“Galuh Ajeng sangat gembira mendengar kata-kata Sang Raja. Dia yakin bahwa dirinya akan dapat mengendalikan Sang Raja dan menaklukannya dengan kekuatan cintanya. Kemudian dibujuknya Galuh Ajeng agar bermain sendiri di kamarnya. Dijanjikannya keburukan-keburukan Kirana akan diadukan kepada Baginda Raja.”
“Paduka Liku segera mengajak Sri Baginda melanjutkan kembali permainan cinta yang belum selesai di kamar Paduka Liku. Paduka Liku, pandai membuat Sri Baginda bertekuk lutut dalam permainan cinta. Dihamburkannya segala ceritera rekaan untuk memburuk-burukkan dan memfitnah Candra Kirana. Sang Raja yang terbuai dalam jaring-jaring cinta yang ditebarkan Paduka Liku, berjanji akan menghukum Candra Kirana. Paduka Liku senang, dengan janji Sang Baginda.
“Tetapi tiba-tiba datang utusan dari Istana yang memberitahu ada utusan dari Kerajaan Janggala yang menghadap Sang Raja. Utusan Raja Janggala itu hendak melamar Dyah Ayu Candra Kirana untuk Putra Mahkota Kerajaan Jenggala, Raden Inu Kertapati. Sang Raja segera bergegas meninggalkan Puri Paduka Liku menuju Istana. Di sana Ki Patih dan Permaisuri Puspaningrat sudah menunggu.
“Sang Raja Daha didampingi Ki Patih dan Permaisuri Puspaningrat dengan gembira menerima rombongan dari Kerajaan Jenggala. Mereka membawa tampan emas, surat pinangan dan sejumlah bingkisan hadiah dari Sri Baginda Jenggala. Lamaran Kakandanya Raja Jenggala yang meminang putrinya, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana untuk Raden Inu Kertapati, diterima dengan suka cita.
“Permaisuri Puspaningrat dan Maha Dewi, selir pertama raja, semuanya memanjatkan puji syukur gembira.Tak terkecuali Sang Putri Daha Galuh Candra Kirana. Rombongan Patih Jenggala kembali dengan suka cita karena lamaran telah diterima. Raja Daha segera menyelenggarakan pesta, mengumumkan pertunangan Putri Daha Dyah Ayu Galuh Candra Kirana – Raden Inu Kertapati, Sang Putra Mahkota Jenggala.”
Ki Dalang membunyikan kecrek. Crek…crek…crek…. Iringan gending irama gembira mengalun. Suara seruling bagaikan suara burung yang bergembira ria, meloncat ke sana kemari. Suara ketipung cepat bertalu-talu seakan sedang mengiringi gadis yang sedang menari gembira ria.
Gender dan kangsi terdengar membawakan suara ceria. Sinden Titisari mengalunkan suara emasnya membawakan lagu yang menggambarkan bunga-bunga di taman yang sedang mekar.
***
Tepuk tangan bergemuruh dari penonton yang ikut hanyut dalam kegembiraan tokoh Galuh Candra Kirana yang telah dipinang pangeran tampan Raden Inu Kertapati.
Mayangsari, ikut memberikan tepuk tangan panjang, ketika Sinden Titisari sampai pada akhir lagu. Sang Dewi, tersenyum ikut merasakan kebahagiaan Dyah Ayu Candra Kirana.
*
Ki Dalang membalikkan tubuhnya, menghadap layar, pasak kanan wayang beber kembali di cabut. Gambar lama segera menggulung ke kiri. Kini tampil gambar baru di layar. Dalam gambar tampak sebuah gua pertapaan di lereng gunung Lawu. Di dalam gua nampak seorang pendeta ilmu hitam pemuja Sang Hyang Durga, duduk di atas batu dengan memegang tongkat yang menyangga tengkorak. Lambang Dewi Durga, dewi dari dunia hitam. Di depannya seorang punggawa sedang menghadap. Dapat dipastikan punggawa itu sedang minta jampi-jampi untuk suatu tindak kejahatan.Gending dengan suara samar-samar masih berbunyi dan berhenti begitu Ki Dalang membunyikan kecrek.
Ki Dalang dengan suara normal, irama naik turun, terdengar suaranya:
“Ketika Sang Raja Daha dan keluarganya, para punggawanya dan rakyatnya ikut bersukaria menyambut pertunangan Putri Daha dengan Putra Mahkota Jenggala, Galuh Ajeng dan Paduka Liku malah sedih, dibakar oleh iri hati, dengki dan rasa cemburu yang menyala-nyala."

“Kenapa Sri Baginda ingkar janji? Kenapa bukan Galuh Ajeng yang tidak kalah cantiknya dengan Si Kirana yang dipertunangkan dengan Pangeran dari Jenggala itu? Demikian Paduka Liku berpikir. Demikian pula Galuh Ajeng berpendapat."
“Paduka Liku mencari jalan. Bagaimana bisa menyingkirkan Puspaningrat? Sebab dengan menyingkirkan Puspaningratlah Sang Baginda akan benar-benar bisa menepati janjinya. “Paduka Liku terus memutar otaknya. Akhirnya ditemukan suatu cara. Pertama mencari upaya untuk melenyapkan Puspaningrat. Dan kedua Paduka Liku akan membuat jampi-jampi untuk menaklukan Sang Baginda"

“Paduka Liku mulai melaksanakan rencana jahat pertama. Dibuatnya tape yang sangat enak, dihias dengan penyedap, di taruh di atas talam yang paling indah. Tetapi tape itu diberi racun yang mematikan. Lalu disuruhnya seorang dayang untuk mengirimkan tape maut itu ke puri Puspaningrat. Dayang suruhannya diberitahu agar mengatakan tape itu adalah tape syukuran Paduka Liku. Syukuran karena ikut bergembira dengan telah dilangsungkannya pertunangan Candra Kirana dengan Raden Inu Kertapati. Paduka Liku tahu, tape bisa tahan sampai beberapa hari.”
“Rencana kedua dengan memanggil paman Paduka Liku yang menjabat sebagai wakil patih Daha untuk mencari cara guna mencelakakan Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana.”
Ki Dalang membawakan suara Paduka Liku:
“Mamanda dulu yang mengusulkan agar Mamanda diangkat jadi wakil patih adalah aku. Sekarang Mamanda ganti harus menolong aku. Carilah Mamanda seorang dukun sakti. Yang bisa melembutkan hati. Sehingga apa pun yang aku lakukan Sri Baginda tidak akan memurkai. Buatlah agar Sang Baginda tunduk patuh ke padaku. Tentu perlu tenung yang dapat melipatgandakan cinta dan kasih Sang Baginda kepadaku.”
Setelah itu Ki Dalang membawakan suara Mamanda Wakil Patih:
“Mamanda pasti melaksanakan perintah Paduka. Walaupun lurah harus dituruni. Walaupun bukit harus didaki. Binatang buas Mamanda tidak kecut. Hujan deras Mamanda tidak takut.Terik matahari yang menyengat Mamanda tak akan loncat. Mamanda percaya, Paduka kelak pun pasti akan ingat. Agar Ki Patih kelak cepat dilengserkan. Mamanda lah yang akan ….he..he..he…menggantikan!!!
Ki Dalang kembali membawakan suara Paduka Liku:
“Mamanda Wakil Patih, Aku setuju. Kalau Puspaningrat mati. Akulah Sang Permaisuri. Apa pun permintaanku, Sang Baginda kelak pasti akan menuruti kehendakku. Berangkatlah Mamanda segera. Carilah dukun sakti ahli guna-guna. Sekantong uang emas dan perak untuk bekal Mamanda sudah tersedia. Mamanda bisa segera bawa. Itu pun belum seberapa. Jika berhasil, nanti juga ada. Doaku untuk Mamanda. Salam pula untuk keluarga Mamanda tercinta.”

Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan ditabuh dengan nada lembut irama lambat. Sinden Paijem langsung masuk membawakan satu lagu, tentang sawah, hutan, ngarai dan sungai. Kecrek berbunyi. Gamelan berhenti.
Mamanda Patih berjalan siang dan malam, demikian suara Ki Dalang mengisahkan perjalanan Wakil Patih. Lereng bukit penuh semak belukar dan duri terus saja didaki. Sampailah Mamanda Patih di mulut gua pertapa pemuja Sang Hyang Durga.Crek..crek..crek…tok..trototok..tok. Terdengar suara kecrek.
Ki Dalang membawakan suara Sang Pertapa :
“Ki Sanak dari mana? Jauh-jauh mendatangi pertapaan Sang Hyang Durga? Semua jampi-jampi di sini ada. Ingin kaya, naik jabatan, atau urusan cinta? Teluh, tenung, aneka macam santet semua tersedia. Sang Hyang Durga senang membantunya. Urusan cinta? Jaran guyang, semar mesem, randa linglung? Ki Sanak tinggal mohon dan memuja pada Sang Batari penguasa alam kegelapan abadi. Silahkan Ki Sanak!”
Ki Dalang membawakan suara Mamanda Patih:
“Benar sekali, Eyang Resi. Paduka Liku selir muda Sang Baginda Raja Daha. Mengharapkan kasih sayang Sang Batari Durga. Barang pekasih Jaran Guyang, Semar Mesem, Randa Linglung dan entah apa lagi. Yang diinginkan selir muda, bisa melipatgandakan cinta Sang Baginda kepada Paduka Liku, selir muda tercinta Sang Baginda. Pertolongan Eyang Resi satu-satunya harapan hamba.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Sang Pertapa:
“Ki Sanak, Eyang sudah tahu. Sirih sepah ini cuh..cuh..cuh…Silahkan Ki Sanak ambil. Jangan terlalu lama dibiarkan menggeletak di lantai. Hasil puja mantra ribuan japa kepada Sang Batari Durga. Eyang Wiku kulum dengan sirih kinang terlapis mantra pekasih penakluk cinta. Segera pungut itu sepah sirih berwarna merah. Bungkuslah dengan sapu tangan putih bersih. Berikan pada Paduka Liku. Taruhlah di bawah sarung bantal Si Selir itu. Teluh cinta luar biasa. Bisa membuat Sri Baginda mabuk dan tergila-gila. Kasih sayang Sang Batari, anugerah kepada para pemuja setianya. Ki Sanak boleh undur diri, ke Daha segeralah kembali. Paduka Liku sudah gelisah menanti. Tidak sabar menunggu sepah sirih Sang Betari. Cuh…cuh..cuh…. “
Ki Dalang membunyikan kecrek, terdengar suara gamelan ditabuh dengan irama sedang, mengiringi perjalanan Mamanda Patih yang bergegas pulang kembali, ingin cepat-cepat tiba di Kraton Daha. Crek..crek..crek. Suara gamelan pengiring berhenti.
Terdengar suara normal Ki Dalang :
“Sepah sirih sakti telah dibungkus dengan sapu tangan bersih, diikat dengan batang padi warna kuning dan diperkuat dengan tali bambu. Tali pengikat hati yang selalu dirundung rindu. Mamanda Patih pun telah sampai di puri Paduka Liku.”
“Paduka Liku gembira bukan main. Bungkusan sepah sirih telah diterima. Pesan Eyang Resi agar bungkusan sepah sirih dimasukkan di bawah sarung bantal, telah dimengertinya. Begitu nanti Mamanda Patih undur diri, pesan itu akan langsung dilaksanakannya. Dia percaya khasiatnya. Pendeta teluh sakti lereng gunung Kelud, terkenal dimana-mana. Paduka Liku tidak sabar ingin segera melihat hasilnya. Dia bersyukur kepada Sang Batari Durga. Diucapkan terimakasih kepada Mamanda Patih. Sekantong uang perak dan emas kembali diberikan kepada Mamanda Patih.”
“Paduka Liku tinggal menunggu. Berita yang menggemparkan. Sebentar lagi pastilah meledak. Dari mana lagi kalau bukan dari Puri Permaisuri. Dia akan mati mendadak. Bila Puspaningrat makan tape kirimannya. Bila Kirana ikut memakan tape kirimannya, Kirana pasti akan menyusul ibunya. Dua-duanya mati. Lebih baik lagi. Paduka Liku berdebar-debar menungggu.”
Crek..crek..crek. Terdengar kecrek Ki Dalang. Lalu menyusul suara rebab, meliuk-liuk dengan nada sedih, diiringi suara gending yang samar-samar. Sinden Juminem membawakan lagu sedih. Seakan-akan awan hitam sedang terbentuk menaungi Puri Permaisuri di Istana Daha.
Ki Dalang membalikkan tubuhnya. Tangan kanan meraih pasak kanan gambar yang ada di layar. Gambar menggulung ke kiri. Muncul di layar gambar Sang Baginda Raja sedang murka karena mendengar laporan sebab-sebab kematian Permaisuri Puspaningrat.
Ki Dalang membunyikan kecrek. Menghentikan irama gending. Crek..crek..crek. Terdengar suara Ki Dalang :
Ono peteng dudu ratri, ono padang dudu rahinooo...oooooong./Ada gelap bukan malam, ada terang bukan siang…,
“Awan hitam lambat bergerak ditiup sang bayu. Berdatangan bergumpal-gumpal menutupi sang surya. Burung gagak berputar-putar di atas Puri Permaisuri. Suasana muram sekan-akan tak lama lagi akan terjadi,” kata Ki Dalang.
“Permaisuri Puspaningrat sedang duduk di beranda puri kediamannya. Air mukanya pucat, nampak lesu seperti tak berdaya. Perasaan haus tiba-tiba menyengat tenggorokannya. Air madu telah diminumnya. Tiba-tiba permaisuri ingat tape kiriman Paduka Liku yang masih disimpannya. Terbayang olehnya, alangkah nikmatnya pada siang hari yang tidak karuan seperti itu. Menikmati tape kiriman Paduka Liku. Puspaningrat segera memanggil salah seorang pelayannya. Dihadapannya tape di atas talam telah tersedia. Pelan-pelan dibukanya kain sutra penutup talam. Hem, alangkah nikmatnya tape itu, pikir Puspaningrat. Tape itu pun seakan-akan terus memanggilnya. Ingin segera disantap permaisuri.
“Tangan Puspaningrat pelan bergerak hendak menjangkau tape itu. Tapi tiba-tiba dia melihat burung gagak hinggap di atas tangkal pohon yang tumbuh di halaman. ‘Gakkk…gak..gakk’ burung gagak berteriak. Puspaningrat terkejut.”
“Di tatapnya burung gagak, yang segera terbang pindah entah ke mana. Puspaningrat menarik napas panjang. Hatinya berdebar-debar. Siapa yang akan meninggal? Dia tahu burung gagak suka memberitahu. Akan ada orang meninggal.”
“Kembali tangan Puspaningrat hendak menjangkau kueh tape yang sudah dari tadi menunggunya. Tapi kembali Puspaningrat mengurungkannya. Dua ekor cicak berlari-larian di dinding di depannya sambil mengeluarkan bunyi cek..cek..cek. Cicak yang dikejar meloncat melayang jatuh hampir saja mendarat di atas talam tape. Untunglah lewat, pikir Puspaningrat.”
“Puspaningrat berpikir lagi. Siapa akan meninggal? Ah, masa bodoh. Tape yang sudah lama menunggu itu pun diraihnya. Tanpa menyadari maut yang sudah mengintainya. Langsung di santapnya tape itu dengan lahapnya. Tetapi tiba-tiba…,”
“Puspaningrat langsung gemetar. Tubuhnya menggigil seketika. Mukanya pucat. Perutnya seperti diobok-obok. Puspaningrat langsung jatuh terjerembab ke lantai. Matanya membalik, warna hitamnya menghilang. Yang tampak bola matanya yang putih. Busa keluar dari mulutnya. Puspaningrat tewas seketika.”
Crek…crek..crek…tok..trok..tok…tok. Kembali terdengan suara Ki Dalang:
“Para pengasuh menjerit berteriak-teriak seketika. Orang-orang berdatangan. Ribut hendak memberikan pertolongan. Mahadewi berlari-lari menghampiri Permaisuri. Langsung pingsan. Candra Kirana menubruk ibunya. Langsung pingsan. Sejumlah prajurit datang. Puspaningrat tak tertolong. Nyawanya pergi meninggalkan jasadnya. Sang Baginda yang diberitahu, segera tiba beserta Ki Patih.”
Crek..crek…crek….Ki Dalang membunyikan kecrek. Terdengarlah Ki Dalang memperdengarkan suara Sang Baginda:
“Dayang, bagaimana ini semua bisa tejadi? Siapa yang telah meracuni permasuri?”
Ki Dalang ganti membawakan suara salah seorang dayang pelayan permasuri yang ketakutan: “Ampun, Sang Baginda Paduka Raja. Hamba mohon beribu-ribu ampun. Permaisuri menyantap tape beracun kiriman Paduka Liku, Sang Baginda Paduka Raja. Hamba memberikan sebagian tape itu kepada anjing. Anjing pun mati. Hamba berikan kepada kucing. Kucing pun mati.”
“Ampun hamba, Paduka Raja. Hamba tak dapat mengetahui dan mencegah sebelumnya. Tape dari Paduka Liku, Sang Baginda Paduka Raja.”
Kembali Ki Dalang membawakan suara Sang Raja :
“Bangsat! Paduka Liku!Tak tahu diuntung! Dasar wanita sundal dari desa lereng gunung!
Ki Patih! Rawat jasad Permaisuri Puspaningrat. Siapkan upacara pembakaran. Aku akan hajar Paduka Liku!”
Tampak Ki Dalang sedang membunyikan kecreknya. Crek…., crek…., crek…., tok…, trotok…., tok…., tok.
Terdengar suara Ki Dalang, “Sang Raja yang sedang murka segera mencabut keris yang terselip di pinggangnya. Dengan keris terhunus, Sang Raja berjalan bergegas menuju Puri Paduka Liku. Kemarahan Sang Baginda kepada Paduka Liku sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya.”
Crek…, crek…, crek…., Ki Dalang membunyikan kecreknya kembali.
*
Para penonton ikut menahan nafas menunggu apa yang akan terjadi, benarkan Sang Baginda akan berani? Atau pada akhirnya tak punya nyali sama sekali? Sang Dewi yang duduk di samping Kamandaka ikut menahan napas. Demikian pula Kamandaka dan adik-adik-adiknya. Bahkan Pendeta Amenglayaran pun ikut-ikutan menahan nafas.(bersambung)
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar