“Sang Raja Kerajaan Daha mempunyai
seorang permasuri, Dewi Puspaningrat, seorang selir pertama Mahadewi dan
seorang selir ke dua Paduka Liku,” Ki Dalang Sukmo Lelono mulai mendalang. Dia sudah
duduk menghadap penonton, sambil berkisah.
Dari permaisuri
lahirlah seorang putri yang cantik jelita, Galuh Candra Kirana. Mahadewi, selir
pertama tak punya anak. Tapi dari selir ke dua Sang Raja Daha punya putri yang
cantik jelita juga, Galuh Ajeng. Sayang Galuh Ajeng berperangai buruk, iri
pendengki, sama dengan ibunya Paduka Liku.
Suatu pagi, Galuh
Ajeng melihat Galuh Candra Kirana sedang bermain dengan dua orang emban
pengasuhnya, Ken Sanggit dan Ken Bayan. Dilihatnya Galuh Candra Kirana memakai
kerudung warna kesumba yang lebih indah dan lebih cemerlang dari kerudung yang
dimilikinya yang menurutnya berwarna jelek dan kusam.
Didatanginya
Galuh Candra Kirana tanpa banyak omong, Galuh Ajeng langsung merebut kerudung
yang sedang dipakai Galuh Candra Kirana dan berusaha menarik begitu saja
kerudung itu sekeras-kerasnya.Tentu saja Galuh Candra Kirana terkejut dan
menjerit. Dia tidak mengira akan diperlakukan kasar seperti itu oleh adik
tirinya itu.
Melihat Ndara
Putri yang diasuhnya itu diganggu, Ken Sanggit segera turun tangan. Ditonjoknya
perut kiri Galuh Ajeng sehingga kerudung yang mau direbutnya terlepas dari
tangannya. Ketika Galuh Ajeng mau merebut lagi kerudung yang sudah terlepas
itu, giliran Ken Bayan yang datang. Ditonjoknya perut kanan Galuh Ajeng yang
membuatnya kesakitan.
Galuh Ajeng lari
sambil menjerit-jerit pulang ke tempat kediamannya, Puri Paduka Liku. Galuh
Ajeng langsung masuk kamar, membuat terkejut ibunya Paduka Liku yang sedang
berada di atas ranjang, sedang bermesraan dengan Sang Raja. Raja yang terkejut
melihat tangis anaknya langsung meloncat dari ranjang dan menanyakan apa
masalahnya sambil memeluk anak gadisnya itu. Galuh Ajeng sambil menangis
mengadu bahwa dirinya dipukul dua kali oleh Si Kirana, gara-gara mau pinjam
kerudung kesumba yang baru dan indah yang sedang dipakai Si Kirana, tetapi
tidak boleh.
Mendengar pengaduan Galuh Ajeng itu,
Sang Raja langsung keluar menuju Puri Mahadewi. Sang Raja yang akan memarahi
Galuh Candra Kirana dihalang-halangi Mahadewi. Mahadewi memberitahukan kejadian
yang sebenarnya. Ken Bayan dan Ken Sanggit terpaksa menonjok Galuh Ajeng, karena
Galuh Ajeng bukan saja merebut paksa kerudung yang sedang dipakai Galuh Candra
Kirana. Tetapi juga menyepak pantat Ken Bayan dua kali dan Ken Sanggit dua
kali.
Sang Raja bersungut-sungut mendengar
penjelasan Mahadewi. Sang Raja percaya pada Mahadewi, karena baik Galuh Candra
Kirana mapun Galuh Ajeng bukanlah anak kandung Mahadewi. Kedua-duanya adalah
anak tiri Mahadewi, sehingga Sang Raja yakin Mahadewi akan berkata jujur. Sang
Raja kembali ke Puri Paduka Liku.Di jumpainya Paduka Liku dan Galuh Ajeng
sedang merajuk.
Ki Dalang Sukmo
Lelono membawakan suara Paduka Liku yang sedang merajuk:
“Oh, Kanda junjungan hamba. Apakah
Kanda benar-benar cinta kepada hamba? Ataukah Kanda hanya menyenangi tubuh dan
kecantikan hamba saja? Tidakkah Kanda mencintai dinda dengan segenap jiwa,
raga, dan hati Kanda? Jika Kanda sudah merasa tidak cinta lagi kepada hamba,
pulangkan saja hamba ke desa hamba, ke ayah, ibu dan keluarga hamba. Buat apa
hamba jauh-jauh meninggalkan desa tercinta untuk mengikuti Kanda. Tetapi Kanda
sudah tidak lagi mencintai dinda? Pulangkan saja dinda, wahai Kakanda junjungan
hamba.”
Ki Dalang ganti
membawakan suara Sang Raja:
“Mengapa, Oh Dinda, berkata demikian?
Ragukah Dinda kepada cinta kanda? Cinta kanda kepada Dinda tak akan pernah
pudar. Selama dunia dan bintang-bintang masih berputar. Kenapa pula dinda harus
pulang kembali ke desa? Kembali kepada orang tua? Meninggalkan kanda sendirian
di dera cinta kepada Adinda? Sampai hatikah Dinda membiarkan kanda menderita?
Setiap saat, setiap pagi, setiap petang, setiap malam. Oh Adinda, hanyalah
Dinda. Kanda tak mungkin berpisah dengan Dinda. Harta, jiwa, dan raga kanda
adalah milik Adinda tercinta. Dinda akan meninggalkan kanda? Tidak! Wahai Dinda
tercinta dambaan kanda.”
Ki Dalang kembali
dengan suara normal biasa:
“Galuh Ajeng sangat gembira mendengar
kata-kata Sang Raja. Dia yakin bahwa dirinya akan dapat mengendalikan Sang Raja
dan menaklukannya dengan kekuatan cintanya. Kemudian dibujuknya Galuh Ajeng
agar bermain sendiri di kamarnya. Dijanjikannya keburukan-keburukan Kirana akan
diadukan kepada Baginda Raja.”
“Paduka Liku
segera mengajak Sri Baginda melanjutkan kembali permainan cinta yang belum
selesai di kamar Paduka Liku. Paduka Liku, pandai membuat Sri Baginda bertekuk
lutut dalam permainan cinta. Dihamburkannya segala ceritera rekaan untuk
memburuk-burukkan dan memfitnah Candra Kirana. Sang Raja yang terbuai dalam
jaring-jaring cinta yang ditebarkan Paduka Liku, berjanji akan menghukum Candra
Kirana. Paduka Liku senang, dengan janji Sang Baginda.
“Tetapi tiba-tiba
datang utusan dari Istana yang memberitahu ada utusan dari Kerajaan Janggala
yang menghadap Sang Raja. Utusan Raja Janggala itu hendak melamar Dyah Ayu
Candra Kirana untuk Putra Mahkota Kerajaan Jenggala, Raden Inu Kertapati. Sang
Raja segera bergegas meninggalkan Puri Paduka Liku menuju Istana. Di sana Ki
Patih dan Permaisuri Puspaningrat sudah menunggu.
“Sang Raja Daha
didampingi Ki Patih dan Permaisuri Puspaningrat dengan gembira menerima
rombongan dari Kerajaan Jenggala. Mereka membawa tampan emas, surat pinangan
dan sejumlah bingkisan hadiah dari Sri Baginda Jenggala. Lamaran Kakandanya
Raja Jenggala yang meminang putrinya, Dyah Ayu Galuh Candra Kirana untuk Raden
Inu Kertapati, diterima dengan suka cita.
“Permaisuri
Puspaningrat dan Maha Dewi, selir pertama raja, semuanya memanjatkan puji
syukur gembira.Tak terkecuali Sang Putri Daha Galuh Candra Kirana. Rombongan
Patih Jenggala kembali dengan suka cita karena lamaran telah diterima. Raja
Daha segera menyelenggarakan pesta, mengumumkan pertunangan Putri Daha Dyah Ayu
Galuh Candra Kirana – Raden Inu Kertapati, Sang Putra Mahkota Jenggala.”
Ki Dalang
membunyikan kecrek. Crek…crek…crek…. Iringan gending irama gembira mengalun.
Suara seruling bagaikan suara burung yang bergembira ria, meloncat ke sana
kemari. Suara ketipung cepat bertalu-talu seakan sedang mengiringi gadis yang
sedang menari gembira ria.
Gender dan kangsi terdengar membawakan
suara ceria. Sinden Titisari mengalunkan suara emasnya membawakan lagu yang
menggambarkan bunga-bunga di taman yang sedang mekar.
***
Tepuk tangan bergemuruh dari penonton
yang ikut hanyut dalam kegembiraan tokoh Galuh Candra Kirana yang telah
dipinang pangeran tampan Raden Inu Kertapati.
Mayangsari, ikut memberikan tepuk
tangan panjang, ketika Sinden Titisari sampai pada akhir lagu. Sang Dewi,
tersenyum ikut merasakan kebahagiaan Dyah Ayu Candra Kirana.
*
Ki Dalang membalikkan tubuhnya,
menghadap layar, pasak kanan wayang beber kembali di cabut. Gambar lama segera
menggulung ke kiri. Kini tampil gambar baru di layar. Dalam gambar tampak
sebuah gua pertapaan di lereng gunung Lawu. Di dalam gua nampak seorang pendeta
ilmu hitam pemuja Sang Hyang Durga, duduk di atas batu dengan memegang tongkat
yang menyangga tengkorak. Lambang Dewi Durga, dewi dari dunia hitam. Di
depannya seorang punggawa sedang menghadap. Dapat dipastikan punggawa itu
sedang minta jampi-jampi untuk suatu tindak kejahatan.Gending dengan suara
samar-samar masih berbunyi dan berhenti begitu Ki Dalang membunyikan kecrek.
Ki Dalang dengan
suara normal, irama naik turun, terdengar suaranya:
“Ketika Sang Raja Daha dan
keluarganya, para punggawanya dan rakyatnya ikut bersukaria menyambut
pertunangan Putri Daha dengan Putra Mahkota Jenggala, Galuh Ajeng dan Paduka
Liku malah sedih, dibakar oleh iri hati, dengki dan rasa cemburu yang
menyala-nyala."
“Kenapa Sri Baginda ingkar janji?
Kenapa bukan Galuh Ajeng yang tidak kalah cantiknya dengan Si Kirana yang
dipertunangkan dengan Pangeran dari Jenggala itu? Demikian Paduka Liku
berpikir. Demikian pula Galuh Ajeng berpendapat."
“Paduka Liku
mencari jalan. Bagaimana bisa menyingkirkan Puspaningrat? Sebab dengan
menyingkirkan Puspaningratlah Sang Baginda akan benar-benar bisa menepati
janjinya. “Paduka Liku terus memutar otaknya. Akhirnya ditemukan suatu cara.
Pertama mencari upaya untuk melenyapkan Puspaningrat. Dan kedua Paduka Liku
akan membuat jampi-jampi untuk menaklukan Sang Baginda"
“Paduka Liku mulai melaksanakan
rencana jahat pertama. Dibuatnya tape yang sangat enak, dihias dengan penyedap,
di taruh di atas talam yang paling indah. Tetapi tape itu diberi racun yang
mematikan. Lalu disuruhnya seorang dayang untuk mengirimkan tape maut itu ke
puri Puspaningrat. Dayang suruhannya diberitahu agar mengatakan tape itu adalah
tape syukuran Paduka Liku. Syukuran karena ikut bergembira dengan telah
dilangsungkannya pertunangan Candra Kirana dengan Raden Inu Kertapati. Paduka
Liku tahu, tape bisa tahan sampai beberapa hari.”
“Rencana kedua
dengan memanggil paman Paduka Liku yang menjabat sebagai wakil patih Daha untuk
mencari cara guna mencelakakan Sang Dyah Ayu Galuh Candra Kirana.”
Ki Dalang
membawakan suara Paduka Liku:
“Mamanda dulu yang mengusulkan agar
Mamanda diangkat jadi wakil patih adalah aku. Sekarang Mamanda ganti harus
menolong aku. Carilah Mamanda seorang dukun sakti. Yang bisa melembutkan hati.
Sehingga apa pun yang aku lakukan Sri Baginda tidak akan memurkai. Buatlah agar
Sang Baginda tunduk patuh ke padaku. Tentu perlu tenung yang dapat
melipatgandakan cinta dan kasih Sang Baginda kepadaku.”
Setelah itu Ki
Dalang membawakan suara Mamanda Wakil Patih:
“Mamanda pasti melaksanakan perintah
Paduka. Walaupun lurah harus dituruni. Walaupun bukit harus didaki. Binatang
buas Mamanda tidak kecut. Hujan deras Mamanda tidak takut.Terik matahari yang menyengat
Mamanda tak akan loncat. Mamanda percaya, Paduka kelak pun pasti akan ingat.
Agar Ki Patih kelak cepat dilengserkan. Mamanda lah yang akan
….he..he..he…menggantikan!!!
Ki Dalang kembali
membawakan suara Paduka Liku:
“Mamanda Wakil Patih, Aku setuju.
Kalau Puspaningrat mati. Akulah Sang Permaisuri. Apa pun permintaanku, Sang
Baginda kelak pasti akan menuruti kehendakku. Berangkatlah Mamanda segera.
Carilah dukun sakti ahli guna-guna. Sekantong uang emas dan perak untuk bekal
Mamanda sudah tersedia. Mamanda bisa segera bawa. Itu pun belum seberapa. Jika
berhasil, nanti juga ada. Doaku untuk Mamanda. Salam pula untuk keluarga
Mamanda tercinta.”
Ki Dalang membunyikan kecrek. Gamelan
ditabuh dengan nada lembut irama lambat. Sinden Paijem langsung masuk membawakan
satu lagu, tentang sawah, hutan, ngarai dan sungai. Kecrek berbunyi. Gamelan
berhenti.
Mamanda Patih
berjalan siang dan malam, demikian suara Ki Dalang mengisahkan perjalanan Wakil
Patih. Lereng bukit penuh semak belukar dan duri terus saja didaki. Sampailah
Mamanda Patih di mulut gua pertapa pemuja Sang Hyang
Durga.Crek..crek..crek…tok..trototok..tok. Terdengar suara kecrek.
Ki Dalang
membawakan suara Sang Pertapa :
“Ki Sanak dari mana? Jauh-jauh
mendatangi pertapaan Sang Hyang Durga? Semua jampi-jampi di sini ada. Ingin
kaya, naik jabatan, atau urusan cinta? Teluh, tenung, aneka macam santet semua
tersedia. Sang Hyang Durga senang membantunya. Urusan cinta? Jaran guyang,
semar mesem, randa linglung? Ki Sanak tinggal mohon dan memuja pada Sang Batari
penguasa alam kegelapan abadi. Silahkan Ki Sanak!”
Ki Dalang
membawakan suara Mamanda Patih:
“Benar sekali, Eyang Resi. Paduka Liku
selir muda Sang Baginda Raja Daha. Mengharapkan kasih sayang Sang Batari Durga.
Barang pekasih Jaran Guyang, Semar Mesem, Randa Linglung dan entah apa lagi.
Yang diinginkan selir muda, bisa melipatgandakan cinta Sang Baginda kepada
Paduka Liku, selir muda tercinta Sang Baginda. Pertolongan Eyang Resi
satu-satunya harapan hamba.”
Kembali Ki Dalang
membawakan suara Sang Pertapa:
“Ki Sanak, Eyang sudah tahu. Sirih
sepah ini cuh..cuh..cuh…Silahkan Ki Sanak ambil. Jangan terlalu lama dibiarkan
menggeletak di lantai. Hasil puja mantra ribuan japa kepada Sang Batari Durga.
Eyang Wiku kulum dengan sirih kinang terlapis mantra pekasih penakluk cinta.
Segera pungut itu sepah sirih berwarna merah. Bungkuslah dengan sapu tangan
putih bersih. Berikan pada Paduka Liku. Taruhlah di bawah sarung bantal Si
Selir itu. Teluh cinta luar biasa. Bisa membuat Sri Baginda mabuk dan
tergila-gila. Kasih sayang Sang Batari, anugerah kepada para pemuja setianya.
Ki Sanak boleh undur diri, ke Daha segeralah kembali. Paduka Liku sudah gelisah
menanti. Tidak sabar menunggu sepah sirih Sang Betari. Cuh…cuh..cuh…. “
Ki Dalang
membunyikan kecrek, terdengar suara gamelan ditabuh dengan irama sedang,
mengiringi perjalanan Mamanda Patih yang bergegas pulang kembali, ingin
cepat-cepat tiba di Kraton Daha. Crek..crek..crek. Suara gamelan pengiring
berhenti.
Terdengar suara
normal Ki Dalang :
“Sepah sirih sakti telah dibungkus
dengan sapu tangan bersih, diikat dengan batang padi warna kuning dan diperkuat
dengan tali bambu. Tali pengikat hati yang selalu dirundung rindu. Mamanda
Patih pun telah sampai di puri Paduka Liku.”
“Paduka Liku
gembira bukan main. Bungkusan sepah sirih telah diterima. Pesan Eyang Resi agar
bungkusan sepah sirih dimasukkan di bawah sarung bantal, telah dimengertinya.
Begitu nanti Mamanda Patih undur diri, pesan itu akan langsung dilaksanakannya.
Dia percaya khasiatnya. Pendeta teluh sakti lereng gunung Kelud, terkenal
dimana-mana. Paduka Liku tidak sabar ingin segera melihat hasilnya. Dia
bersyukur kepada Sang Batari Durga. Diucapkan terimakasih kepada Mamanda Patih.
Sekantong uang perak dan emas kembali diberikan kepada Mamanda Patih.”
“Paduka Liku
tinggal menunggu. Berita yang menggemparkan. Sebentar lagi pastilah meledak.
Dari mana lagi kalau bukan dari Puri Permaisuri. Dia akan mati mendadak. Bila
Puspaningrat makan tape kirimannya. Bila Kirana ikut memakan tape kirimannya,
Kirana pasti akan menyusul ibunya. Dua-duanya mati. Lebih baik lagi. Paduka
Liku berdebar-debar menungggu.”
Crek..crek..crek.
Terdengar kecrek Ki Dalang. Lalu menyusul suara rebab, meliuk-liuk dengan nada
sedih, diiringi suara gending yang samar-samar. Sinden Juminem membawakan lagu
sedih. Seakan-akan awan hitam sedang terbentuk menaungi Puri Permaisuri di
Istana Daha.
Ki Dalang membalikkan tubuhnya. Tangan
kanan meraih pasak kanan gambar yang ada di layar. Gambar menggulung ke kiri.
Muncul di layar gambar Sang Baginda Raja sedang murka karena mendengar laporan
sebab-sebab kematian Permaisuri Puspaningrat.
Ki Dalang membunyikan kecrek.
Menghentikan irama gending. Crek..crek..crek. Terdengar suara Ki Dalang :
Ono peteng dudu ratri, ono padang dudu
rahinooo...oooooong./Ada gelap bukan malam, ada terang bukan siang…,
“Awan hitam
lambat bergerak ditiup sang bayu. Berdatangan bergumpal-gumpal menutupi sang
surya. Burung gagak berputar-putar di atas Puri Permaisuri. Suasana muram
sekan-akan tak lama lagi akan terjadi,” kata Ki Dalang.
“Permaisuri
Puspaningrat sedang duduk di beranda puri kediamannya. Air mukanya pucat,
nampak lesu seperti tak berdaya. Perasaan haus tiba-tiba menyengat
tenggorokannya. Air madu telah diminumnya. Tiba-tiba permaisuri ingat tape
kiriman Paduka Liku yang masih disimpannya. Terbayang olehnya, alangkah
nikmatnya pada siang hari yang tidak karuan seperti itu. Menikmati tape kiriman
Paduka Liku. Puspaningrat segera memanggil salah seorang pelayannya.
Dihadapannya tape di atas talam telah tersedia. Pelan-pelan dibukanya kain
sutra penutup talam. Hem, alangkah nikmatnya tape itu, pikir Puspaningrat. Tape
itu pun seakan-akan terus memanggilnya. Ingin segera disantap permaisuri.
“Tangan
Puspaningrat pelan bergerak hendak menjangkau tape itu. Tapi tiba-tiba dia melihat
burung gagak hinggap di atas tangkal pohon yang tumbuh di halaman.
‘Gakkk…gak..gakk’ burung gagak berteriak. Puspaningrat terkejut.”
“Di tatapnya
burung gagak, yang segera terbang pindah entah ke mana. Puspaningrat menarik
napas panjang. Hatinya berdebar-debar. Siapa yang akan meninggal? Dia tahu
burung gagak suka memberitahu. Akan ada orang meninggal.”
“Kembali tangan
Puspaningrat hendak menjangkau kueh tape yang sudah dari tadi menunggunya. Tapi
kembali Puspaningrat mengurungkannya. Dua ekor cicak berlari-larian di dinding
di depannya sambil mengeluarkan bunyi cek..cek..cek. Cicak yang dikejar
meloncat melayang jatuh hampir saja mendarat di atas talam tape. Untunglah
lewat, pikir Puspaningrat.”
“Puspaningrat berpikir lagi. Siapa
akan meninggal? Ah, masa bodoh. Tape yang sudah lama menunggu itu pun
diraihnya. Tanpa menyadari maut yang sudah mengintainya. Langsung di santapnya
tape itu dengan lahapnya. Tetapi tiba-tiba…,”
“Puspaningrat
langsung gemetar. Tubuhnya menggigil seketika. Mukanya pucat. Perutnya seperti
diobok-obok. Puspaningrat langsung jatuh terjerembab ke lantai. Matanya
membalik, warna hitamnya menghilang. Yang tampak bola matanya yang putih. Busa
keluar dari mulutnya. Puspaningrat tewas seketika.”
Crek…crek..crek…tok..trok..tok…tok.
Kembali terdengan suara Ki Dalang:
“Para pengasuh menjerit
berteriak-teriak seketika. Orang-orang berdatangan. Ribut hendak memberikan
pertolongan. Mahadewi berlari-lari menghampiri Permaisuri. Langsung pingsan.
Candra Kirana menubruk ibunya. Langsung pingsan. Sejumlah prajurit datang.
Puspaningrat tak tertolong. Nyawanya pergi meninggalkan jasadnya. Sang Baginda
yang diberitahu, segera tiba beserta Ki Patih.”
Crek..crek…crek….Ki
Dalang membunyikan kecrek. Terdengarlah Ki Dalang memperdengarkan suara Sang
Baginda:
“Dayang, bagaimana ini semua bisa
tejadi? Siapa yang telah meracuni permasuri?”
Ki Dalang ganti
membawakan suara salah seorang dayang pelayan permasuri yang ketakutan: “Ampun,
Sang Baginda Paduka Raja. Hamba mohon beribu-ribu ampun. Permaisuri menyantap
tape beracun kiriman Paduka Liku, Sang Baginda Paduka Raja. Hamba memberikan
sebagian tape itu kepada anjing. Anjing pun mati. Hamba berikan kepada kucing.
Kucing pun mati.”
“Ampun hamba,
Paduka Raja. Hamba tak dapat mengetahui dan mencegah sebelumnya. Tape dari
Paduka Liku, Sang Baginda Paduka Raja.”
Kembali Ki Dalang
membawakan suara Sang Raja :
“Bangsat! Paduka Liku!Tak tahu
diuntung! Dasar wanita sundal dari desa lereng gunung!
Ki Patih! Rawat jasad Permaisuri
Puspaningrat. Siapkan upacara pembakaran. Aku akan hajar Paduka Liku!”
Tampak Ki Dalang sedang membunyikan
kecreknya. Crek…., crek…., crek…., tok…, trotok…., tok…., tok.
Terdengar suara
Ki Dalang, “Sang Raja yang sedang murka segera mencabut keris yang terselip di
pinggangnya. Dengan keris terhunus, Sang Raja berjalan bergegas menuju Puri
Paduka Liku. Kemarahan Sang Baginda kepada Paduka Liku sudah memuncak sampai ke
ubun-ubunnya.”
Crek…, crek…, crek…., Ki Dalang
membunyikan kecreknya kembali.
*
Para penonton ikut menahan nafas
menunggu apa yang akan terjadi, benarkan Sang Baginda akan berani? Atau pada
akhirnya tak punya nyali sama sekali? Sang Dewi yang duduk di samping Kamandaka
ikut menahan napas. Demikian pula Kamandaka dan adik-adik-adiknya. Bahkan
Pendeta Amenglayaran pun ikut-ikutan menahan nafas.(bersambung)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar