Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Kamis, 04 Januari 2018

Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (01)




Novel Sejarah, diangkat dari Ceritera Rakyat Banyoemas, Episode ke-2, Seri Kisah Cinta Dewi Ciptarasa- Raden Kamandaka.( by : Anwar Hadja )



Perayaan pernikahan agung Sang Dyah Ayu Dewi Ciptarasa – Raden Kamandaka Banyakcatra, sudah menginjak malam ke tujuh. Berpuluh-puluh kambing dan ratusan ayam telah dipotong. Tetapi sumbangan ternak potong terus mengalir. Demikian pula berkarung-karung beras, beras ketan, tepung ketela, pisang, dan berpuluh-puluh keranjang sayuran telah dimasak. Tetapi tiap hari masih saja datang gerobag-gerobag yang membawa hasil bumi dari tanah-tanah subur lembah Logawa dan Ciserayu yang disumbangkan penduduk untuk memeriahkan pesta perkawinan Sang Dewi  dan Kamandaka.

Perayaan pun sampailah pada malam terakhir. Penduduk bersuka ria karena akan menyaksikan pagelaran wayang beber oleh dalang terkenal Ki Sukmo Lelono, dalang dari Jatijajar. Ki Dalang dan penabuh gamelan sore hari itu telah tiba di Kadipaten Pasirluhur. Demikian pula Sinden Titisari dari grumbul Jatisari, sinden muda yang sedang naik daun,.
Kamandaka dan Sang Dewi segera mengundang Ki Dalang menghadapnya di Dalem Gede Kadipaten. Ki Dalang Sukmo Lelono diiringi sinden cantik Titisari dan empat niyaga, menyampaikan ucapan selamat kepada Sang Dewi dan Kamandaka setelah memperkenalkan diri terlebih dahulu..
“Selamat Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu. Semoga sejahtera dan bahagia selalu. Semoga Kadipaten Pasirluhur pun semakin maju, berkembang dan jaya” kata Ki Sukmo Lelono yang didampingi Sinden Titisari dan empat niyaga.
“Terimakasih, Ki Dalang. Apa lakon wayang yang akan dipentaskan malam ini?” tanya Kamandaka setelah mempersilahkan semua tamunya duduk di depannya.
“Bagaimana kalau kisah Raden Dewabrata atau Pandu Palakrama, cuplikan Mahabharata?” tanya Ki Dalang menawarkan.
“Bagaimana Diajeng, suka tidak kisah Dewabrata, putra Prabu Sentanu dari Kerajaan Hastina?”.
“Ah, aku tak suka, Kanda. Dewabrata menolak cinta Dewi Amba, akhirnya malah membunuh gadis yang malang itu.”
“Kalau Pandu Palakrama, Diajeng?”
“Aku juga tidak suka. Raja Pandu mati muda, karena kesalahannya sendiri. Kasihan Dewi Kunti yang harus jadi janda muda dan mengasuh sekaligus tiga anak kandungnya dan dua anak tirinya.”
“Aku tak mau jadi janda muda,” kata Sang Dewi memberi alasan. Kamandaka tersenyum mendengar alasan penolakan istrinya.
“Bagaimana kalau lakon Sayembara Mantili dari kisah Ramayana, Kanjeng Ayu Adipati?” Ki Dalang menawarkan lakon yang lain lagi. Ruang tamu itu kembali senyap, menunggu pendapat Sang Dewi yang lama menimbang-nimbang.
“Kasihan Dewi Sinta, ya? Belum sempat merasakan indahnya bulan madu, harus mengikuti Raden Rama masuk hutan. Kemudian diculik Rahwana, meletuslah perang besar untuk merebut kembali Dewi Sinta. Tapi aku tak suka ujung ceritera. Keduanya akhirnya berpisah juga,” kata Sang Dewi setelah agak lama membuat pertimbangan. Ki Dalang tersenyum. Dia tahu Kanjeng Ayu Adipati sosok wanita cerdas dan pandai mengambil hikmah dari sebuah kisah.
“Cerita lain ada tidak, Ki Dalang?” tanya Kamandaka.
“Kebetulan hamba membawa juga di dalam kotak gulungan wayang kisah Raden Inu Kertapati –Galuh Candrakirana, Kanjeng Adipati,” kata Ki Dalang. Dia berharap kisah yang ditawarkannya itu disenangi Kanjeng Ayu Adipati. Lalu dijelaskannya secara singkat lakon yang akan dipentaskannya itu. Lakon-Lakon Panji saat itu sangat digemari pada acara-acara pesta perkawinan para punggawa dan adipati di Lembah Ciserayu.
“Oh, cerita Panji, ya aku setuju!” kata Sang Dewi dengan wajah gembira.
“Ya, sudah. Pentaskan saja lakon pilihan istriku, Ki Dalang,” akhirnya Kamandaka membuat keputusan.
“Baiklah, Kanjeng Adipati. Mohon doa restu agar pementasan lancar dan memuaskan,” Ki Dalang pun mohon diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka ingin memeriksa panggung pementasan di Pendapa Kadipaten. Teh manis yang terhidang di hadapan Ki Dalang dan rombongan telah diminum. Mereka juga telah menikmati ketela rebus yang disajikan.
“Siapa namamu, Cah Ayu?” tanya Sang Dewi saat bersalaman dengan Sinden Titisari yang akan pamit mengikuti Ki Dalang.
“Titisari, Kanjeng Ayu, dari grumbul Jatisari,” jawabnya.
“Bisa menari, Titisari?”
“Ya, begitulah, Kanjeng Ayu. Masih dalam taraf belajar.”
“Teruslah berlatih, jangan mudah bosan dan jangan gampang menyerah,” pesan Sang Dewi.
“Terima kasih, doa dari Kanjeng Ayu senantiasa hamba harapkan,” kata Sinden Titisari seraya mencium tangan Kanjeng Ayu Adipati dan suaminya.
“Ada berapa sinden, Ki Dalang?” tanya Sang Dewi.
“Ada tiga sinden, Kanjeng Ayu. Yang dua lagi masih dalam perjalanan,” jawab Ki Dalang.
Sinden Titisari masih muda, cantik, berkulit kuning, usianya baru sekitar 16 tahun. Tetapi namanya sudah melejit di Lembah Ciserayu sebagai sinden muda yang banyak penggemarnya. Pentas wayang tanpa kehadiran Sinden Titisari, akan terasa hambar, ibaratnya sayur kurang garam.
Begitu rombongan Ki Dalang Sukmo Lelono meninggalkan ruang tamu, Pendeta Muda Amenglayaran, Arya Baribin, dan Ratna Pamekas tiba di halaman serambi Dalem Gede. Ratna Pamekas langsung memeluk Kamandaka dan Sang Dewi dengan sinar mata berkilat-kilat ikut merasakan kebahagiaan kedua pasang pengantin baru itu. Arya Baribin dan Pendeta Muda bersalaman dengan Kamandaka dan Sang Dewi.

 Sore itu Sang Dewi dan Ratna Pamekas sama-sama mengenakan kain kebaya dari sutra halus warna merah muda, dan kain batik coklat saga tua corak truntum, dengan dandanan rambut disanggul indah sekali. Keduanya tampak anggun, cantik mempesonan, menyebarkan aroma segar mewangi. Sore itu Sang Dewi memang telah mengajak adik-adiknya mengenakan kain dan kebaya kembar, untuk menunjukkan kekompakkan di antara mereka. Kamandaka sendiri mengenakan celana hitam dan atasan baju sutra lengan panjang warna biru muda, lalu diikuti adik-adiknya dengan warna sama. Hanya Pendeta Muda yang tidak kebagian pakaian baju sutra seragam, karena dia datang terlambat dan Kamandaka tidak menduga kakak sepupunya itu akan datang. Karena Pendeta Muda malam itu ingin santai dan tidak mau memakai baju jubah pendeta, Kamandaka meminjamkan baju atasan berbahan sutra hijau muda.
Sang Dewi memanggil Khandeg Wilis, dan disuruhnya menugaskan pembantu  menarik cangkir-cangkir kosong yang baru dipakai menjamu tamu rombongan Ki Dalang. Khandeg Wilis datang membawa seorang pembantu wanita untuk mengambil cangkir-cangkir dan piring di atas meja.
Belum lama Arya Baribin dan Ratna Pamekas duduk, tiba-tiba Sang Dewi ingat Mayangsari dan Sekarmenur. Dia merasa kurang lengkap bila kedua adik sepupunya itu belum datang.
“Dinda Ratna, mana Dinda Mayangsari? Dinda Sekarmenur? “ tanya Sang Dewi kepada adik iparnya.
“Sedang mandi, Ayunda,” jawab Ratna Pamekas. ”Sebentar lagi mau nyusul ke sini. Kanda Silihwarna dan Kanda Wirapati sudah nunggu di teras Taman Kaputren.”
“Wah, Dinda Mayangsari kalau mandi lama, setahun! Belum dirias pula, ya?” kata Sang Dewi yang tahu adat adik sepupunya itu. Mereka tertawa semua.
“Ayunda Sekarmenur sudah selesai dirias, Ayunda Dewi. Demikian pula Ayunda Sekarmelati dan Sekarcempaka. Memang Ayunda Mayangsari lama kalau mandi. Tapi kalau merias dirinya sendiri  biasanya cepat. Apalagi sudah ditunggu Kanda Silihwarna,” kata Ratna Pamekas.
Tiba-tiba Mayangsari, Sekarmenur, Sekarmelati dan Sekarcempaka diiringi Silihwarna dan Wirapati, sudah muncul di depan mereka. Keempat gadis cantik itu juga mengenakan kebaya dan kain batik yang sama, sehingga beranda Dalem Gede itu seakan-akan kedatangan tamu enam bidadari cantik kembar dari Suralaya.
Sekarmelati dan Sekarcempaka baru tiba tiga hari lalu di Pasirluhur, karena selama ini sibuk di Nusakambangan mewakili Sekarmenur dan Wirapati. Kakaknya itu sudah beberapa minggu ada di Kadipaten Pasirluhur. Sekarmelati dan Sekarcempaka langsung berkenalan dengan Pendeta Muda yang sore hari itu tampil rapih dengan potongan baju biasa, sehingga Sekarmelati dan Sekarcempaka hampir-hampir tidak menyanggka kalau Amenglayaran adalah seorang Pendeta Muda. Paling-paling rambut kepalanya yang tipis dan mulai memenuhi kepalanya yang semula plontos itulah yang merupakan ciri bahwa dia seorang pendeta agama Hindu Syiwa.
“Dinda Mayangsari, itu Diajeng Dewi, tadi bilang bahwa Dinda Mayangsari kalau mandi lama karena pasti sambil menyanyi,” kata Kamandaka menggoda Mayangsari yang sore itu tampil cantik jelita didampingi kekasihnya, Silihwarna. Kamandaka ingin malam nanti Mayangsari mau menyumbangkan lagu untuk memeriahkan acara.
“Lho, diam-diam Dinda Mayangsari punya suara emas. Tidak kalah dengan suara Sinden Titisari yang sedang naik daun. Padahal medan latihannya hanya di kamar mandi, ” puji Sang Dewi pula yang membuat hati Mayangsari senang.
Angin sore bertiup masuk beranda ruang tamu Dalem Gede, menerbangkan aroma wewangian menyegarkan dari kain dan kebaya indah berwarna merah muda yang dikenakan Sang Dewi dan kelima gadis cantik adik-adiknya itu. Matahari masih cukup tinggi dari atas kaki langit sebelah barat, sekalipun sudah cukup jauh condong ke barat. Angin sore dari pohon-pohon raksasa di hutan sekitar Sungai Logawa masih berhembus cukup kuat, merontokkan daun-daun yang sudah kering dan menguning, menambah tebal daun-daun lama. Daun yang telah  membusuk di kaki pohon-pohon raksasa yang tumbuh seenaknya di hutan pingit Logawa.
Di halam Pendapa dan Dalem Gede Kadipaten Pasirluhur, sejumlah daun kering juga luruh. Ada diantaranya yang melayang-layang menerobos halaman Dalem Gede dan jatuh dekat beranda ruang tamu. Seorang juru taman cepat-cepat berlari memungut daun-daun yang luruh itu, agar daun-daun itu tidak membusuk di halaman Dalem Kadipaten.
“Nanti malam kita akan nonton pentas wayang beber. Tadi Ki Dalang Sukmo Lelono, dalang kondang dari Jatijajar dengan empat niyaganya baru saja ke sini. Sindennya Titisari dari grumbul Jatisari, sinden bersuara emas dan sedang naik daun. Dua sinden lagi masih di perjalanan. Ke dua sinden yang belum tiba itu sinden dari Kalikidang,” kata Kamandaka kepada adik-adiknya yang sudah berkumpul.
Tentu saja Mayangsari senang mendengar berita itu. Dia  berjanji akan ikut memeriahkan pentas wayang beber nanti malam dengan menyumbangkan beberapa lagu. Mayangsari juga ingin menyanyi duet bareng dengan Sinden Titisari.
“Lakonnya apa Kanda?” Arya Baribin bertanya.
“Kisah ceritera Panji. Diajeng Dewi yang memilih,” jawab Kamandaka.
“Kisah Panji kelihatannya menarik. Benar, Dimas Arya?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ayunda Dewi. Ceritera Panji selalu menarik, padahal tokoh utamanya sebenarnya hanya dua,” kata Arya Baribin. Tentu saja dia tahu banyak perkembangan wayang beber dengan ceritera Panji. Sebab dia memang berasal dari lingkungan Keraton Majapahit. Dulu, dia sering sekali menyaksikan pagelaran wayang beber maupun wayang kulit.
“Dimas Arya, coba Dimas jelaskan bagaimana wayang beber yang berisi kisah-kisah Panji itu. Aku pernah dengar ceritera Panji, hanya masih samar-samar. Bagaimana seluk beluk wayang beber, aku belum banyak tahu. Demikian pula riwayat wayang kulit. Konon wayang beber di kalangan rakyat lebih digemari ketimbang wayang kulit, benar tidak Dimas?” tanya Sang Dewi. Tiba-tiba muncul dua orang pembantu wanita datang membawa baki berisi sejumlah cangkir teh manis. Khandeg Wilis muncul lagi di belakangnya.
“Apa makanan kecil untuk teman minum teh, Biyung Emban?” tanya Sang Dewi.
“Mau cimplung pepaya atau talas rebus, Ndara Kanjeng Ayu?” Khandeg Wilis balik bertanya.
“Dua duanya boleh, Biyung Emban,” kata Kamandaka..
“Sambil menunggu cimplung dan ubi rebus, ayo Dimas Arya mulai,” desak Sang Dewi mengulangi permintaannya kepada Arya Baribin. Arya Baribin yang menguasai berbagai jenis pertunjukan wayang itu pun mulai menjelaskan riwayat wayang beber.
“Sebenarnya pementasan ceritera Panji dalam bentuk wayang beber sudah dimulai pada jaman Kerajaan Kediri Lama. Jadi riwayat kisah Panji memang berawal dari kerajaan warisan Erlangga, Raja Jenggala. Pada awalnya kisah Panji merupakan ceritera tutur yang sering dipentaskan melalui media wayang beber. Penggemarnya bukan hanya dari kalangan istana saja. Banyak juga dari kalangan rakyat biasa. Pada jaman Majapahit, wayang beber yang menceriterakan kisah Panji semakin populer dan berkembang ke mana-mana. Akhirnya kesenian wayang beber yang merakyat itu sampai juga di Lembah Ciserayu dan ternyata di sini memiliki banyak penggemar juga.” kata Arya Baribin.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar