Novel Sejarah, diangkat dari Ceritera Rakyat Banyoemas, Episode ke-2, Seri Kisah Cinta Dewi Ciptarasa- Raden Kamandaka.( by : Anwar Hadja )
Perayaan pernikahan agung Sang Dyah
Ayu Dewi Ciptarasa – Raden Kamandaka Banyakcatra, sudah menginjak malam ke
tujuh. Berpuluh-puluh kambing dan ratusan ayam telah dipotong. Tetapi sumbangan
ternak potong terus mengalir. Demikian pula berkarung-karung beras, beras
ketan, tepung ketela, pisang, dan berpuluh-puluh keranjang sayuran telah
dimasak. Tetapi tiap hari masih saja datang gerobag-gerobag yang membawa hasil
bumi dari tanah-tanah subur lembah Logawa dan Ciserayu yang disumbangkan
penduduk untuk memeriahkan pesta perkawinan Sang Dewi dan Kamandaka.
Perayaan pun sampailah pada malam terakhir. Penduduk bersuka ria karena akan menyaksikan pagelaran wayang beber oleh dalang terkenal Ki Sukmo Lelono, dalang dari Jatijajar. Ki Dalang dan penabuh gamelan sore hari itu telah tiba di Kadipaten Pasirluhur. Demikian pula Sinden Titisari dari grumbul Jatisari, sinden muda yang sedang naik daun,.
Perayaan pun sampailah pada malam terakhir. Penduduk bersuka ria karena akan menyaksikan pagelaran wayang beber oleh dalang terkenal Ki Sukmo Lelono, dalang dari Jatijajar. Ki Dalang dan penabuh gamelan sore hari itu telah tiba di Kadipaten Pasirluhur. Demikian pula Sinden Titisari dari grumbul Jatisari, sinden muda yang sedang naik daun,.
Kamandaka dan
Sang Dewi segera mengundang Ki Dalang menghadapnya di Dalem Gede Kadipaten. Ki
Dalang Sukmo Lelono diiringi sinden cantik Titisari dan empat niyaga,
menyampaikan ucapan selamat kepada Sang Dewi dan Kamandaka setelah
memperkenalkan diri terlebih dahulu..
“Selamat Kanjeng
Adipati dan Kanjeng Ayu. Semoga sejahtera dan bahagia selalu. Semoga Kadipaten
Pasirluhur pun semakin maju, berkembang dan jaya” kata Ki Sukmo Lelono yang
didampingi Sinden Titisari dan empat niyaga.
“Terimakasih, Ki
Dalang. Apa lakon wayang yang akan dipentaskan malam ini?” tanya Kamandaka
setelah mempersilahkan semua tamunya duduk di depannya.
“Bagaimana kalau
kisah Raden Dewabrata atau Pandu Palakrama, cuplikan Mahabharata?” tanya Ki
Dalang menawarkan.
“Bagaimana
Diajeng, suka tidak kisah Dewabrata, putra Prabu Sentanu dari Kerajaan
Hastina?”.
“Ah, aku tak
suka, Kanda. Dewabrata menolak cinta Dewi Amba, akhirnya malah membunuh gadis
yang malang itu.”
“Kalau Pandu
Palakrama, Diajeng?”
“Aku juga tidak
suka. Raja Pandu mati muda, karena kesalahannya sendiri. Kasihan Dewi Kunti
yang harus jadi janda muda dan mengasuh sekaligus tiga anak kandungnya dan dua
anak tirinya.”
“Aku tak mau jadi
janda muda,” kata Sang Dewi memberi alasan. Kamandaka tersenyum mendengar
alasan penolakan istrinya.
“Bagaimana kalau
lakon Sayembara Mantili dari kisah Ramayana, Kanjeng Ayu Adipati?” Ki Dalang
menawarkan lakon yang lain lagi. Ruang tamu itu kembali senyap, menunggu
pendapat Sang Dewi yang lama menimbang-nimbang.
“Kasihan Dewi
Sinta, ya? Belum sempat merasakan indahnya bulan madu, harus mengikuti Raden
Rama masuk hutan. Kemudian diculik Rahwana, meletuslah perang besar untuk
merebut kembali Dewi Sinta. Tapi aku tak suka ujung ceritera. Keduanya akhirnya
berpisah juga,” kata Sang Dewi setelah agak lama membuat pertimbangan. Ki
Dalang tersenyum. Dia tahu Kanjeng Ayu Adipati sosok wanita cerdas dan pandai
mengambil hikmah dari sebuah kisah.
“Cerita lain ada
tidak, Ki Dalang?” tanya Kamandaka.
“Kebetulan hamba
membawa juga di dalam kotak gulungan wayang kisah Raden Inu Kertapati –Galuh
Candrakirana, Kanjeng Adipati,” kata Ki Dalang. Dia berharap kisah yang
ditawarkannya itu disenangi Kanjeng Ayu Adipati. Lalu dijelaskannya secara
singkat lakon yang akan dipentaskannya itu. Lakon-Lakon Panji saat itu sangat
digemari pada acara-acara pesta perkawinan para punggawa dan adipati di Lembah
Ciserayu.
“Oh, cerita
Panji, ya aku setuju!” kata Sang Dewi dengan wajah gembira.
“Ya, sudah. Pentaskan
saja lakon pilihan istriku, Ki Dalang,” akhirnya Kamandaka membuat keputusan.
“Baiklah, Kanjeng
Adipati. Mohon doa restu agar pementasan lancar dan memuaskan,” Ki Dalang pun
mohon diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka ingin memeriksa
panggung pementasan di Pendapa Kadipaten. Teh manis yang terhidang di hadapan
Ki Dalang dan rombongan telah diminum. Mereka juga telah menikmati ketela rebus
yang disajikan.
“Siapa namamu,
Cah Ayu?” tanya Sang Dewi saat bersalaman dengan Sinden Titisari yang akan
pamit mengikuti Ki Dalang.
“Titisari,
Kanjeng Ayu, dari grumbul Jatisari,” jawabnya.
“Bisa menari,
Titisari?”
“Ya, begitulah,
Kanjeng Ayu. Masih dalam taraf belajar.”
“Teruslah
berlatih, jangan mudah bosan dan jangan gampang menyerah,” pesan Sang Dewi.
“Terima kasih,
doa dari Kanjeng Ayu senantiasa hamba harapkan,” kata Sinden Titisari seraya
mencium tangan Kanjeng Ayu Adipati dan suaminya.
“Ada berapa
sinden, Ki Dalang?” tanya Sang Dewi.
“Ada tiga sinden,
Kanjeng Ayu. Yang dua lagi masih dalam perjalanan,” jawab Ki Dalang.
Sinden Titisari
masih muda, cantik, berkulit kuning, usianya baru sekitar 16 tahun. Tetapi
namanya sudah melejit di Lembah Ciserayu sebagai sinden muda yang banyak
penggemarnya. Pentas wayang tanpa kehadiran Sinden Titisari, akan terasa
hambar, ibaratnya sayur kurang garam.
Begitu rombongan
Ki Dalang Sukmo Lelono meninggalkan ruang tamu, Pendeta Muda Amenglayaran, Arya
Baribin, dan Ratna Pamekas tiba di halaman serambi Dalem Gede. Ratna Pamekas
langsung memeluk Kamandaka dan Sang Dewi dengan sinar mata berkilat-kilat ikut
merasakan kebahagiaan kedua pasang pengantin baru itu. Arya Baribin dan Pendeta
Muda bersalaman dengan Kamandaka dan Sang Dewi.
Sore itu Sang
Dewi dan Ratna Pamekas sama-sama mengenakan kain kebaya dari sutra halus warna
merah muda, dan kain batik coklat saga tua corak truntum, dengan dandanan
rambut disanggul indah sekali. Keduanya tampak anggun, cantik mempesonan,
menyebarkan aroma segar mewangi. Sore itu Sang Dewi memang telah mengajak
adik-adiknya mengenakan kain dan kebaya kembar, untuk menunjukkan kekompakkan
di antara mereka. Kamandaka sendiri mengenakan celana hitam dan atasan baju
sutra lengan panjang warna biru muda, lalu diikuti adik-adiknya dengan warna
sama. Hanya Pendeta Muda yang tidak kebagian pakaian baju sutra seragam, karena
dia datang terlambat dan Kamandaka tidak menduga kakak sepupunya itu akan
datang. Karena Pendeta Muda malam itu ingin santai dan tidak mau memakai baju
jubah pendeta, Kamandaka meminjamkan baju atasan berbahan sutra hijau muda.
Sang Dewi
memanggil Khandeg Wilis, dan disuruhnya menugaskan pembantu menarik cangkir-cangkir kosong yang baru
dipakai menjamu tamu rombongan Ki Dalang. Khandeg Wilis datang membawa seorang
pembantu wanita untuk mengambil cangkir-cangkir dan piring di atas meja.
Belum lama Arya
Baribin dan Ratna Pamekas duduk, tiba-tiba Sang Dewi ingat Mayangsari dan
Sekarmenur. Dia merasa kurang lengkap bila kedua adik sepupunya itu belum
datang.
“Dinda Ratna,
mana Dinda Mayangsari? Dinda Sekarmenur? “ tanya Sang Dewi kepada adik iparnya.
“Sedang mandi,
Ayunda,” jawab Ratna Pamekas. ”Sebentar lagi mau nyusul ke sini. Kanda
Silihwarna dan Kanda Wirapati sudah nunggu di teras Taman Kaputren.”
“Wah, Dinda
Mayangsari kalau mandi lama, setahun! Belum dirias pula, ya?” kata Sang Dewi
yang tahu adat adik sepupunya itu. Mereka tertawa semua.
“Ayunda
Sekarmenur sudah selesai dirias, Ayunda Dewi. Demikian pula Ayunda Sekarmelati
dan Sekarcempaka. Memang Ayunda Mayangsari lama kalau mandi. Tapi kalau merias
dirinya sendiri biasanya cepat. Apalagi
sudah ditunggu Kanda Silihwarna,” kata Ratna Pamekas.
Tiba-tiba Mayangsari, Sekarmenur,
Sekarmelati dan Sekarcempaka diiringi Silihwarna dan Wirapati, sudah muncul di
depan mereka. Keempat gadis cantik itu juga mengenakan kebaya dan kain batik
yang sama, sehingga beranda Dalem Gede itu seakan-akan kedatangan tamu enam
bidadari cantik kembar dari Suralaya.
Sekarmelati dan
Sekarcempaka baru tiba tiga hari lalu di Pasirluhur, karena selama ini sibuk di
Nusakambangan mewakili Sekarmenur dan Wirapati. Kakaknya itu sudah beberapa
minggu ada di Kadipaten Pasirluhur. Sekarmelati dan Sekarcempaka langsung
berkenalan dengan Pendeta Muda yang sore hari itu tampil rapih dengan potongan
baju biasa, sehingga Sekarmelati dan Sekarcempaka hampir-hampir tidak
menyanggka kalau Amenglayaran adalah seorang Pendeta Muda. Paling-paling rambut
kepalanya yang tipis dan mulai memenuhi kepalanya yang semula plontos itulah
yang merupakan ciri bahwa dia seorang pendeta agama Hindu Syiwa.
“Dinda
Mayangsari, itu Diajeng Dewi, tadi bilang bahwa Dinda Mayangsari kalau mandi
lama karena pasti sambil menyanyi,” kata Kamandaka menggoda Mayangsari yang
sore itu tampil cantik jelita didampingi kekasihnya, Silihwarna. Kamandaka
ingin malam nanti Mayangsari mau menyumbangkan lagu untuk memeriahkan acara.
“Lho, diam-diam
Dinda Mayangsari punya suara emas. Tidak kalah dengan suara Sinden Titisari
yang sedang naik daun. Padahal medan latihannya hanya di kamar mandi, ” puji
Sang Dewi pula yang membuat hati Mayangsari senang.
Angin sore
bertiup masuk beranda ruang tamu Dalem Gede, menerbangkan aroma wewangian
menyegarkan dari kain dan kebaya indah berwarna merah muda yang dikenakan Sang
Dewi dan kelima gadis cantik adik-adiknya itu. Matahari masih cukup tinggi dari
atas kaki langit sebelah barat, sekalipun sudah cukup jauh condong ke barat.
Angin sore dari pohon-pohon raksasa di hutan sekitar Sungai Logawa masih
berhembus cukup kuat, merontokkan daun-daun yang sudah kering dan menguning,
menambah tebal daun-daun lama. Daun yang telah membusuk di kaki pohon-pohon raksasa yang
tumbuh seenaknya di hutan pingit Logawa.
Di halam Pendapa dan Dalem Gede
Kadipaten Pasirluhur, sejumlah daun kering juga luruh. Ada diantaranya yang
melayang-layang menerobos halaman Dalem Gede dan jatuh dekat beranda ruang
tamu. Seorang juru taman cepat-cepat berlari memungut daun-daun yang luruh itu,
agar daun-daun itu tidak membusuk di halaman Dalem Kadipaten.
“Nanti malam kita
akan nonton pentas wayang beber. Tadi Ki Dalang Sukmo Lelono, dalang kondang
dari Jatijajar dengan empat niyaganya baru saja ke sini. Sindennya Titisari
dari grumbul Jatisari, sinden bersuara emas dan sedang naik daun. Dua sinden
lagi masih di perjalanan. Ke dua sinden yang belum tiba itu sinden dari
Kalikidang,” kata Kamandaka kepada adik-adiknya yang sudah berkumpul.
Tentu saja
Mayangsari senang mendengar berita itu. Dia berjanji akan ikut memeriahkan pentas wayang
beber nanti malam dengan menyumbangkan beberapa lagu. Mayangsari juga ingin
menyanyi duet bareng dengan Sinden Titisari.
“Lakonnya apa
Kanda?” Arya Baribin bertanya.
“Kisah ceritera
Panji. Diajeng Dewi yang memilih,” jawab Kamandaka.
“Kisah Panji
kelihatannya menarik. Benar, Dimas Arya?” tanya Sang Dewi.
“Benar, Ayunda
Dewi. Ceritera Panji selalu menarik, padahal tokoh utamanya sebenarnya hanya
dua,” kata Arya Baribin. Tentu saja dia tahu banyak perkembangan wayang beber
dengan ceritera Panji. Sebab dia memang berasal dari lingkungan Keraton
Majapahit. Dulu, dia sering sekali menyaksikan pagelaran wayang beber maupun
wayang kulit.
“Dimas Arya, coba
Dimas jelaskan bagaimana wayang beber yang berisi kisah-kisah Panji itu. Aku
pernah dengar ceritera Panji, hanya masih samar-samar. Bagaimana seluk beluk
wayang beber, aku belum banyak tahu. Demikian pula riwayat wayang kulit. Konon
wayang beber di kalangan rakyat lebih digemari ketimbang wayang kulit, benar
tidak Dimas?” tanya Sang Dewi. Tiba-tiba muncul dua orang pembantu wanita
datang membawa baki berisi sejumlah cangkir teh manis. Khandeg Wilis muncul
lagi di belakangnya.
“Apa makanan
kecil untuk teman minum teh, Biyung Emban?” tanya Sang Dewi.
“Mau cimplung pepaya atau talas rebus,
Ndara Kanjeng Ayu?” Khandeg Wilis balik bertanya.
“Dua duanya
boleh, Biyung Emban,” kata Kamandaka..
“Sambil menunggu
cimplung dan ubi rebus, ayo Dimas Arya mulai,” desak Sang Dewi mengulangi
permintaannya kepada Arya Baribin. Arya Baribin yang menguasai berbagai jenis
pertunjukan wayang itu pun mulai menjelaskan riwayat wayang beber.
“Sebenarnya
pementasan ceritera Panji dalam bentuk wayang beber sudah dimulai pada jaman
Kerajaan Kediri Lama. Jadi riwayat kisah Panji memang berawal dari kerajaan
warisan Erlangga, Raja Jenggala. Pada awalnya kisah Panji merupakan ceritera
tutur yang sering dipentaskan melalui media wayang beber. Penggemarnya bukan
hanya dari kalangan istana saja. Banyak juga dari kalangan rakyat biasa. Pada
jaman Majapahit, wayang beber yang menceriterakan kisah Panji semakin populer
dan berkembang ke mana-mana. Akhirnya kesenian wayang beber yang merakyat itu
sampai juga di Lembah Ciserayu dan ternyata di sini memiliki banyak penggemar
juga.” kata Arya Baribin.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar