“Sebuah
pertanyaan menarik. Karena Kerajaan Kediri dan Kerajaan Pajajaran sama-sama
memeluk Hindu Syiwa,nyatanya mewariskan dendam akibat tragedi Bubat yang terus
berlanjut. Bahkan Kadipaten Pasirluhur dan Wirasaba ikut-ikutan tidak saling
sapa padahal keduanya sama-sama menganggap Sungai Ciserayu sebagai sungai suci,
Sungai Gangganya lembah Ciserayu, bukan?” kata Ki Demang.
“Ki Demang
berpendapat, agama bukan alat pemecah belah. Buktinya hubungan-antar sesama
suku di Lembah Sungai Gangga, yakni suku Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan
Saka. Mereka beda suku, tapi satu agama. Ternyata mereka terlibat konflik dan
permusuhan berkepanjangan, karena
berebutkan kekuasaan. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta
menundukkan suku-suku lainnya. Akhirnya suku bangsa Saka benar-benar bosan
dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari
perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan, menjadi perjuangan
kesejahteraan, kemanusiaan, dan kebudayaan. Ketika Dinasti Kushana dari suku
bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan, dinasti itu terketuk oleh perubahan
arah perjuangan suku bangsa Saka yang menggagas persatuan dan tidak haus kekuasaan. Kekuasaan yang dipegang
suku bangsa Saka bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya.”
“Kekuasaan
itu dipergunakan untuk merangkul semua suku yang ada di India. Suku Saka
mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku bangsa, kemudian dipadukan menjadi satu kebudayaan nasional
kerajaan. Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku
bangsa Yuehchi sepakat menetapkan sistem kalender Saka menjadi kalender
kerajaan. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, berbangsa, dan
beragama di India ditata ulang. Semboyannya berbeda suku bangsa, adat istiadat,
dan kebudayaan, dilihatnya sebagai suatu keunikan, keragaman, dan kekayaan
rokhani. Tetapi semua keragaman itu hakekatnya satu. Bisa satu agama, satu
negara, satu tanah air, dan satu kemanusiaan sesama penghuni muka bumi ciptaan
Yang Maha Kuasa.”
“Semboyan
dari suku bangsa Saka itulah yang kelak mengilhami Mpu Tantular menuliskan
semboyan persatuannya yang terkenal dalam kitabnya Sutasoma, ‘Bhinneka Tunggal
Ika, Tan Hana Darma Mangrwa’, yang artinya sekalipun berbeda-beda tetapi semua
itu hakekatnya satu, dan tidak ada
kewajiban yang mendua. Dimensi perbedaan itu bisa luas, dan-bisa sempit. Tetapi
tetap saja semuanya bisa bersatu dalam bingkai kemanusiaan. Untuk menghormati
gagasan dan idelogi persatuan suku bangsa Saka yang telah menciptakan kalender
bersama yang disebut kalender Saka, maka tanggl 1 Saka yang merupakan tanggal
awal tahun baru Saka, ditetapkan sebagai Hari Raya 1 Saka yang dirayakan dengan
berbagai ritual seperti yang sudah Ki Demang sebutkan di depan. Oleh karena
itu, peringatan Hari Raya 1 Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari
pembaharuan, hari kebersamangan, persatuan, kesatuan, hari toleransi, dan hari
perdamaian, sekaligus hari kerukunan nasional. Seiring dengan perkembangan
agama Hindu, kalender Saka pun tersebar kemana-mana. Termasuk ke Jawa,” kata Ki
Demang Kejawar mengakhiri penjelasannya tentang riwayat kalender Saka.
Penjelasan
Ki Demang Kejawar cukup memuaskan Ki Sulap Pangebatan, sehingga dia tidak
mengajukan pertanyaan lainnya lagi. “Terimakasih atas penjelasannya, Ki Demang.
Penjelasan yang memuaskan. Ki Sulap setuju sekali gagasan dan konsep persatuan
yang mendalam itu. Ki Sulap juga yakin sepenuhnya agama bukan pemecah belah
persatuan. Kadipaten Pasirluhur dan Kademangan Kejawar ternyata memiliki
pandangan sama. Dalam soal peribadatan, ternyata antara Kadipaten Pasirluhur
dan Kademangan Kejawar juga memiliki banyak persamaan dan kemiripan. Soal
tatacara ibadah hanya masalah teknis saja. Kalau toh ada perbedaan dalam tata cara
penyelenggaraan ritual religi, semua itu hanya perbedaan kecil. Bukan perbedaan
dalam konsepsi,” kata Ki Sulap Pangebatan menyimpulkan hasil perbincangan di
antara keduanya.
“Mudah-mudahan
kerja sama ini, bisa terus berlanjut. Tentu baik sekali jika Kadipaten
Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba bisa saling kerjasama, bantu membantu, dan
saling tolong menolong. Tentu akan semakin baik jika kelak Kerajaan Pajajaran
dengan Kerajaan Kediri, juga mengikuti langkah-langkah kita, bekerja sama dalam
soal penyelenggaraan ritual religi memuja Sang Hyang Syiwa,” kata Ki Sulap
Pangebatan menyampaikan harapannya yang disetujui sepenuhnya Ki Demang Kejawar.
***
Matahari pagi musim kemarau, tampak semakin cemerlang dan
berkilau-kilauan menerobos pohon-pohan di sekitar Kademangan Kejawar. Ki Demang
masih asyik duduk di ruang tamu, wajahnya semakin cerah setiap kali mengingat
pebincangannya dengan Ki Sulap Pangebatan.
Ki Demang
Kejawar merasa punya teman bercakap-cakap masalah agama dan keyakinan yang
sejalan dan sepemikiran. Agama bukan sumber perpecahan. Fungsi agama bagi
kemanusiaan justru alat mempersatukan
manusia dalam memuja Tuhan. Dan secara tidak disengaja pada saat itu Ki Sulap
Pangebatan alias Kamandaka sebenarnya-telah membuka jembatan silaturahmi antara
Kadipaten Pasirluhur dan Kadipaten Wirasaba. Yaitu melalui aktivitas pemujaan
kepada Sang Hyang Syiwa, tanpa sepengetahuan Adipati dari kedua Kadipaten yang
dipisahkan Sungai Ciserayu itu.
Hubungan Ki Sulap Pangebatan dengan Ki Demang
Kejawar menjadi lancar dan baik. Dan saat itulah Ki Sulap Pangebatan untuk
pertama kalinya berjumpa dengan Arya Baribin yang akhirnya menjadi calon adik
iparnya. Kenangannya kepada Ki Sulap Pangebatan lenyap seketika, ketika Ki
Demang Kejawar ingat bahwa Arya Baribin baru saja mengatakan sudah dapat calon istri dari Kadipaten
Pasirluhur. “Lalu, kapan Ananda Raden Arya akan menyususul Ananda Kamandaka?“
tanya Ki Demang Kejawar pula.
Mendapat
pertanyaan seperti itu, Arya Baribin tersenyum, lalu terdiam sejenak. Arya
Baribin memang ingin menyampaikan maksud kunjungannya pagi itu pada Ki Demang
Kejawar. Dia masih menunggu agar Nyi Demang juga ada di samping Ki Demang. Tapi
karena Nyi Demang masih di dapur, akhirnya Arya Baribin menyampaikan maksudnya
tanpa menunggu kehadiran Nyi Demang.
“Baiklah Paman Demang. Jika pagi ini ananda menyempatkan
diri menemui Paman Demang dan Bibi, karena memang ada beberapa maksud yang
ingin ananda sampaikan. Pertama, tentu karena ananda masih rindu kepada Paman
dan Bibi, setelah hampir lima bulan ananda meninggalkan Kademangan Kejawar. Kedua,
ananda ingin mengucapkan terimakasih karena Paman dan Bibi telah memberikan tempat bernaung kepada
ananda, bahkan melindungi ananda, hampir satu tahun. Apabila selama ananda
tinggal di Kademangan Kejawar ada salah
kata, atau perbuatan yang tidak senonoh, atau tingkah laku yang pernah membuat Paman
dan Bibi tidak senang, ananda mohon maaf,” kata Arya Baribin. Setelah diam
sebentar, Arya Baribin meneruskan kata-katanya.
“Terakhir,
ananda pun mohon doa restu dari Paman dan Bibi,
agar maksud ananda menyunting gadis idaman ananda bisa menjadi kenyataan.
Jika Yang Maha Kuasa mengijinkan, dua atau tiga bulan lagi, ananda akan melamar
seorang gadis dari Pakuan Pajajaran. Dan rencananya jika lamaran ananda
diterima, akan langsung dilanjutkan dengan ritual dan resepsi pernikahan,” kata
Arya Baribin yang membuat Ki Demang ikut merasa gembira dan senang. Pada
kesempatan itu Arya Baribin tidak lupa menceriterkan secara singkat
pertemuannya dengan calon istrinya yang tidak lain adalah adik perempuan
Kamandaka dan putri bungsu Sri Baginda Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan
Pajajaran. Diceriterakan pula rencana Arya Baribin menetap jika sudah berhasil
menyunting Ratna Pamekas.
Tiba-tiba
Nyi Demang keluar diiringi seorang pembantu membawa cangkir berisi wedang jahe
dan rebusan ganyong. Dan seperti biasa Nyi Demang langsung mempersilahkan kedua
tamunya menikmati hidangan yang baru
saja disajikan.
“Untung
sekali Rekajaya datang bawa gula. Sudah dua hari Ki Demang minumannya paitan.
Minta wedang jahe, direbuskan tanpa gula, marah-marah. Sekarang pasti Ki Demang
tidak akan marah-marah lagi. Wedang jahenya sudah manis,” kata Nyi Demang blaka
suta. Tapi kata-kata istrinya itu membuat wajah Ki Demang agak merah.
Rekajaya
langsung tertawa dan berkata, “Kenapa tidak kirim orang ke Kaliwedi, Nyi
Demang? Coba kalau kirim orang, pasti
Mbakyu Kertisara akan langsung kirim gula ke sini.”
“Maafkan, ya, Rekajaya, Nyi Demang memang begitu adatnya.
Blaka suta. Siapa orangnya yang tak marah, minta dibuatkan wedang jahe, bukan
bilang gulanya habis. Eh, malah dikasih garam. Mana ada wedang jahe rasa asin?”
kata Ki Demang membeladiri.
“Hihihi…, habis
kalau dibilangin gulanya habis, berasnya habis, tak pernah percaya!” kata Nyi
Demang dengan tangkas yang membuat Ki Demang langsung bertekuk lutut.
“Sudah,
sini duduk! Ini serius, sebuah berita gembira. Ini tadi Ananda Raden Arya baru saja bilang, minta doa restu kita
berdua, karena dua bulan lagi akan punya istri. Tahu tidak, Nyi? Calon istri
Ananda Raden Arya itu Putri Sri Baginda
Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran!” kata Ki Demang Kejawar sambil menyuruh Nyi
Demang duduk lagi disampingnya.
“Oh, sudah
punya calon istri, Ananda Raden Arya?
Pasti Bibi ikut bergembira. Habis Bibi sendiri tidak punya adik
perempuan. Ki Demang juga tidak punya. Anak gadis apa lagi. Punya anak
laki-laki masih kecil. Kalau Bibi punya pasti sudah Bibi jodohkan dengan Raden,
biar Raden ada yang mengurus. Tadinya Raden mau Bibi carikan ke Kadipaten
Wirasaba, kalau-kalau di sana ada gadis cantik. Tapi ya itu, Ki Demang
lagi-lagi tidak menyetujui,” kata Nyi Demang yang mau terus bicara, jika tidak
buru-buru distop oleh Ki Demang. Nyi Demang tidak pernah diberitahu oleh Ki
Demang bahwa Arya Baribin itu seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit yang dilindungi
Ki Demang.
“Raden,
Paman sungguh sangat gembira dengan berita rencana pernikahan Raden dengan
Putri Pajajaran. Paman dan Bibi pun minta maaf jika selama Raden tinggal di
Kademangan Kejawar, pernah menyinggung perasaan atau melakukan hal-hal yang
membuat Raden Arya tidak enak. Kami berdua hanya bisa memanjatkan puja, japa,
dan mantra, agar rencana pernikahan Raden kelak lancar, selamat, dan terhindar
dari segala macam bahaya,” kata Ki Demang Kejawar didampingi Nyi Demang-yang ikut
mendengarkan-dan sudah tidak sabar ingin ikut bicara.
“Bibi juga
ikut gembira, Raden. Semoga pernikahan dengan putri Pajajaran kelak lancar.
Jika ada undangan dan yang mengajak, Bibi juga mau, lho, menyaksikan resepsi pernikahan
Raden di Pakuan Pajajaran kelak,” kata Nyi Demang.
“Oh, tentu
gembira sekali jika Paman dan Bibi bisa hadir. Paman dan Bibi Demang kan sudah
ananda anggap sebagai orang tua sendiri. Jika bisa hadir di Pakuan Pajajaran,
kelak bisa mewakili Ayahanda untuk melamarkan ananda, sekaligus juga bisa jadi
saksi dan wakil keluarga. Bagaimana Paman Demang?“ tanya Arya Baribin. Dia
sangat girang dan berharap Ki Demang dan Nyi Demang bisa ikut hadir di Pakuan
Pajajaran sebagai wakil dari keluarga Arya Baribin, seperti apa yang diusulkan
Nyi Demang.
“Paman
sependapat dengan Ibunya Bagus,” kata Ki
Demang menyetujui usul Nyi Demang. Dan Nyi Demang merasakannya sebagai
perubahan sikap yang lebih positip pada Ki Demang. Sebab, jangankan menyetujui
setiap usul yang disampaikannya. Sikap Ki Demang terhadap dirinya selalu
mencela dan tak pernah memujinya. Sekalipun pada akhirnya menyetujui sarannya
atau pendapatnya. Karena itu, Nyi Demang lebih sering dongkol kepada suaminya.
“Tetapi,
Paman kan harus minta ijin dulu kepada Kanjeng Adipati Wirasaba, jika akan
mengunjungi Kerajaan Pakuan Pajajaran. Tentu dalam hal ini Raden lebih
memahaminya,” kata Ki Demang yang langsung membuat kecewa Nyi Demang.
“Kalau
begitu, jika Ki Demang tidak berani minta ijin kepada Kanjeng Adipati Wirasaba,
Raden tidak usah cemas. Besok biar Bibi mau ke Wirasaba, Bibilah yang mau
menghadap Kanjeng Adipati Wirasaba, lalu minta ijin agar Ki Demang diijinkan
menghadiri pernikahan Raden di Pakuan Pajajaran,” kata Nyi Demang menentang
secara terang-terangan suaminya, karena Nyi Demang menganggap soal ijin kepada
Kanjeng Adipati Wirasaba hanyalah akal-akalan Ki Demang saja untuk mencari-cari
alasan guna menolak secara halus undangan ke Pajajaran. Tetapi Ki Demang
bersikap tenang-tenang saja.
“Kalau toh
Kanjeng Adipati mengijinkan Paman dan Bibi pergi ke Pakuan Pajajaran, belum
tentu Sri Baginda Prabu Ranawijaya di Kediri, mengijinkan Paman dan Bibi pergi
ke Pakuan Pajajaran,” kata Ki Demang, yang langsung membuat Nyi Demang terdiam.
Kini Nyi Demang baru tahu bahwa urusan hadir di Pakuan Pajajaran bagi suaminya
ternyata rumit dan tidak mudah.
“Ayo,
diminum wedang jahenya. Juga dicicipi ganyong rebus, manis sekali, lho! Hasil
dari ladang sendiri,” kata Nyi Demang mengalihkan perhatian dari soal minta
ijin bagi suaminya, menjadi soal ganyong. Tapi bagi Nyi Demang, masih tersimpan
keinginan untuk membicarakan soal pernikahan Arya Baribin.
“Kenapa
tidak dibuat ongol-ongol saja, Nyi Demang?” tanya Rekajaya kepada Nyi Demang
sambil mengajak Raden Aryo Baribin yang baru meneguk wedang jahe, menikmati
rebusan ganyong.(bersambung)