Sore itu, Kanjeng
Adipati mondar-mandir di beranda ruang tamu Dalem Kadipaten. Sebentar lagi dia
akan menerima tamu dua putra Kerajaan
Pajajaran. Perasaan gembira, bahagia, dan cemas campur aduk jadi satu. Kanjeng
Ayu Adipati yang memperhatikan tingkah laku suaminya hanya tersenyum.
“Tidak usah tegang dan gelisah, Kanda. Masa
mau menerima calon menantu wajahnya tegang?” kata Kanjeng Ayu Adipati sambil
mendekati suaminya.
‘Apakah aku kelihatan tegang? Aku pikir, Diajeng
saja yang suka berpikiran negatip.”
“Aku tahu apa yang sedang Kanda pikirkan,”
kata Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa coba, kalau memang tahu?”
“Kanda wajahnya kelihatan gembira karena
sudah memberikan surat jawaban lamaran
yang dibuat Dewi kepada utusan dari Nusakambangan tadi pagi. Dan mereka telah
pergi dengan perasaan senang karena lamaran mereka diterima. Kepergian mereka
dari Kadipaten itulah yang membuat Kanda gembira, karena Kanda merasa telah
terhindar dari beban berat.”
“Lho, yang menerima kan Dewi, Diajeng tahu
sendiri tadi malam, bukan?”
“Betul Dewi yang menerima dan yang membuat
surat jawaban. Tetapi bukankah yang menandatangani Kanda sendiri, bukan Dewi?
Itu kan yang membuat Kanda gembira tapi campur bingung.” Kata Kanjeng Ayu
Adipati yang membuat suaminya tidak berkata sedikit pun.
“Ada satu lagi yang membuat Kanda galau,” kata
Kanjeng Ayu Adipati.
“Apa itu?” tanya Kanjeng Adipati.
“Kamandaka, belum akan melamar Dewi secara
resmi. Dia akan pulang dulu ke Pajajaran, lapor Ayahandanya, baru melamar Dewi.
Kanda galau, karena belum ada kepastian. Bagaimana kalau Kamandaka tidak
kembali ke Pasirluhur? Bagaimana kalau Ayahandanya ternyata ingkar janji dan
tak menyetujui Dewi jadi menantunya? Banyak hal belum pasti. Karena itu Kakanda
bingung dan galau, benar bukan, Kakanda?” Kanjeng Ayu Adipati melirik suaminya.
Tiba-tiba Sang Dewi muncul dengan dandanan
anggun bak bidadari baru turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam mengkilat
disanggul indah sekali, dihiasi rangkaian melati putih bersih yang menyebarkan aroma harum
mewangi. Bagian atas tubuhnya dibalut
kain penutup dada berwarna merah jambu. Selendangnya sutra kuning. Kain
batiknya berwarna putih truntum
berhiaskan burung merak warna hitam, melekat indah membelit pinggang dan
bagian bawah tubuh Sang Dewi yang tinggi semampai itu. Seuntai kalung emas
meliliti lehernya dan sepasang gelang emas keroncong berkilau-kilauan di
pergelangan tangannya. Alas kaki yang dipakainya adalah alas kaki dengan haq
tinggi dilapisi beludru hitam berhiaskan sulaman benang mas. Seuntai rantai
emas berkilau-kilauan meliliti salah
satu ujung kakinya.
Sejenak Kanjeng Adipati Kandhadaha terpukau
melihat kecantikan putri kesayangannya, Dyah Ayu Dewi Ciptarasa, Melati
Kadipaten Pasirluhur. Sang Dewi sore itu, tampil bagaikan Dewi Supraba,
bidadari tercantik kekasih Sang Arjuna dari kahyangan yang sedang bertamu
mengunjungi Kadipaten Pasirluhur. Seraya mengembangkan senyumnya yang manis,
Sang Dewi langsung berkata kepada ayahandanya. Bayangan bidadari Dewi Supraba
dari kahyangan lenyap seketika dari benak Kanjeng Adipati Kandhadaha, ketika
mendengar kata-kata Sang Dewi.
“Kanjeng Rama, tidak usah cemas. Bukankah Dewi sudah mengatakan? Kanda Kamandaka pasti
akan melamar Dewi secara resmi, sebelum pulang ke Pakuan Pajajaran. Pulang ke
Pajajaran juga tidak akan lama. Percaya saja pada Dewi. Kalau sampai Kanda
Kamandaka pulang ke Pakuan tanpa lebih dulu melamar Dewi secara resmi, Kanjeng
Rama tahu kan?” kata Sang Dewi kepada Kanjeng Adipati, lalu diam sejenak.
Kemudian katanya melanjutkan.
“Dewi akan berkata pada Kanda Kamandaka,
silahkan pulang ke Pajajaran, dan tak usah melamar aku lagi. Karena akan
terlambat, bukankah aku sudah dilamar Raja Nusakambangan? Dan aku sudah
menerima lamaran itu. Artinya jika Kanda Kamandaka memang serius menginginkan
aku jadi pendamping hidupnya, Kanda Kamandaka masih punya beberapa kewajiban.”
“Pertama, sebelum kembali ke Pajajaran, harus
sudah melamar aku secara resmi. Kedua, Kanda Kamandaka harus sanggup
membatalkan lamaran Raja Nusakambangan yang sudah aku terima. Caranya terserah
bagaimana Kanda Kamandaka saja. Kenapa aku menerima lamaran Raja Nusakambangan?
Karena Kanda Kamandaka terlambat menemui Kanjeng Rama untuk melamar Dewi secara resmi. Kanda Kamandaka berjanji
sebulan setelah bertemu Dewi, dia mau melamar secara resmi. Eh, malah empat
bulan lebih masih ada di sekitar Kadipaten Pasirluhur.”
Mendengar penjelasan Sang Dewi, Kanjeng
Adipati merasa tenang dan kegalauannya yang menggelayuti dirinya sedikit demi
sedikit lenyap dari dalam benaknya. Kanjeng Adipati semakin kagum pada
kecerdasan putrinya itu. Bukan hanya cerdas. Tetapi juga banyak akalnya. Mereka
bertiga masih berdiri di beranda ruang tamu Dalem Gede Kadipaten sambil
berbincang-bincang menunggu tamu yang menurut seorang utusan Ki Patih, akan
segera tiba.
Sementara itu, di halaman kadipaten sejumlah
prajurit berbaris rapi siap menyambut kedatangan tamu. Tak lama kemudian memang
datanglah tamu yang ditunggu-tungu itu. Tiga ekor kuda berjalan di depan
diiringi sejumlah prajurit dari kepatihan yang berjalan gagah sambil membawa
tombak. Di atas kuda duduk berturut-turut Kamandaka yang mengenakan baju sutra
warna kuning, celana hitam, sabuk kulit coklat dan alas kaki dari kulit halus
berwarna hitam.
Di samping kiri Kamandaka, duduk di atas kuda,
Silihwarna dengan pakaian yang sama dengan Kamandaka, hanya baju sutranya yang
berwarna biru laut. Kedua satria itu nampak bagaikan sepasang satria kembar. Di
samping kanannya lagi, duduk di atas kuda adalah Ki Patih Reksanata yang
mengantarkan kedua Ksatria Pajajaran itu sejak dari Dalem Kepatihan. Ki Patih
mengenakan beskap warna hitam mengkilat dengan hiasan benang emas, celana
hitam, alas kaki hitam dan penutup kepala sebuah blangkon corak batik.
Memang Kamandaka dan Silihwarna, sebelum
menuju kadipaten, mampir dulu ke kepatihan. Malah Kamandaka menyempatkan diri
menengok bekas kamar yang dulu ditempatnya saat masih mondok jadi anak angkat
Ki Patih Reksanata.
Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati, dan Sang
Dewi, menyambut kedua Ksatria Putra Pajajaran itu di depan beranda ruang tamu.
Kanjeng Adipati Kandhadaha dan Kanjeng Ayu Adipati langsung terpukau kepada
ketampanan kedua putra Kerajaan Pajajaran yang bagaikan ksatria kembar.
Keduanya hanya bisa dibedakan dengan warna bajunya.
“Hem, bagaikan ksatria Arjuna yang sangat
layak menjadi anak menantu pendamping hidup putriku tercinta, Dewi, Melati dari
Pasirluhur yang cantik jelita itu,” kata Sang Adipati dalam benaknya.
Kamandakan langsung mencium tangan Kanjeng
Adipati dan tangan Kanjeng Ayu Adipati.
Dengan Sang Dewi selain bersalaman dan mencium punggung telapak tangan kanan
Sang Dewi, tentu saja Kamandaka langsung
cium pipi kanan dan cium pipi kiri Sang Dewi. Silihwarna mengikuti kakaknya.
Tetapi dengan Sang Dewi, Silihwarna tentu saja hanya bersalaman biasa saja,
sambil menyebutkan namanya. Sebab, walaupun agak sering ke Kadipaten,
Silihwarna belum pernah berjumpa dengan Sang Dewi. Dalam hati, Silihwarna
merasa bangga juga punya kakak ipar secantik Sang Dewi.
Pertemuan sore hari itu diadakan di ruang tamu
Dalem Kadipaten. Hanya Ki Patih yang menemani kedua putra Pajajaran itu menghadap
Kanjeng Adipati yang duduk didampingi Kanjeng Ayu Adipati dan Sang Dewi. Ki
Patih yang duduk di depan Kanjeng Adipati mendampingi kedua putra Pajajaran itu
mengawali pembicaraannya.
“Kanjeng Adipati, mewakili kedua putra
Pajajaran ini, kami menyampaikan terimakasih atas kesediaan Kanjeng Adipati dan
keluarga yang telah menerima kami bertiga. Selanjutnya silahkan Ananda
Kamandaka mengutarakan sendiri apa tujuannya sore ini menghadap Kanjeng
Adipati.”
Kamandaka langsung melanjutkan kata-kata Ki
Patih, “Pertama, tentu saja, ananda Banyakcatra, mengucapkan terimakasih atas
penerimaan dan penyambutan dari Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga yang sungguh
luar biasa ini. Kedua, ananda Banyakcatra pada kesempatan ini memohon maaf yang
sebesar-besarnya atas segala kelakuan dan perbuatan ananda Banyakcatra yang
tidak senonoh, yang telah melanggar adat, tradisi serta kebiasaan-kebiasakan
yang dimuliakan yang telah ananda langgar, sehingga sangat merepotkan dan
menyulitkan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga. Ketiga, Adinda Silihwarna akan
mengutarakan sesuatu mewakli Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan
Pajajaran. Silahkan Adinda.”
Silihwarna
langsung angkat bicara, “Sebagimana baru saja diutarakan oleh Ki Patih dan
Kanda Banyakcatra, ananda Banyakngampar juga mengucapkan terimakasih atas
penyambutan Kanjeng Uwa Adipati sekeluarga kepada kami bertiga. Kedua,
ananda juga mohon maaf kepada Kanjeng
Uwa Adipati sekeluarga, jika selama ananda di Kadipaten Pasirluhur, banyak melakukan
kesalahan, baik yang disadari maupun tidak. Ketiga, atas nama Sri Baginda Prabu
Siliwangi, Ayahanda kami berdua, ananda sendiri dan Kanda Banyakcatra, memohon
ijin kepada Kanjeng Uwa Adipati, agar Kanda Banyakcatra diijinkan dan direstui oleh
Kanjeng Uwa Adipati dan Kanjeng Ibu Adipati, untuk menyunting Ayunda Dewi. Terakhir, ananda dan Kanda Banyakcatra
mohon ijin besok akan kembali ke Pakuan untuk melaporkan kepada Ayahanda guna
membicarakan langkah-langkah lebih lanjut setelah lamaran resmi diterima.
Keempat, Kanda Banyakcatra ingin menyerahkan sesuatu sebagai pengikat untuk
Ayunda Dewi,” kata Silihwarna mengakhiri
kata-katanya sambil menyerahkan kotak dari perak yang diikat dengan pita
berwarna kuning dan diletakkan di atas meja di depannya.
Kanjeng Adipati langsung memberikan sambutan
sambil tersenyum, wajahnya nampak ceria. “Ki Patih, terimakasih telah ikut
bersusah-susah mengantar ke dua putra Kerajaan Pajajaran ke Dalem Kadipaten.
Ananda Banyakcatra dan Ananda Banyakngampar, semua permintaan dan permohan
Ananda berdua, Kanjeng Uwa kabulkan. Kanjeng Uwa juga minta maaf, karena
kekurang telitian dan bisa jadi karena keteledoran dan kecerobohan. Marilah
kita lupakan semua peristiwa yang timbul semata-mata karena kesalahpahaman.
Maklumlah, karena sudah tua. Adapun soal lamaran, sebagai orang tua, Kanjeng
Uwa dan Kanjeng Ayu Adipati pastilah menyetujui dan merestui. Tapi karena dalam
soal lamaran ini yang paling punya hak untuk menjawab adalah Dewi, ya biarlah
Dewi saja yang menjawabnya secara langsung.”
Sang Dewi langsung memberikan sambutan. Dengan
tenang dan nada suara enak di dengar, Sang Dewi memenuhi permintaan Kanjeng
Adipati. “Terimakasih Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, Paman Patih, Kanda Banyakcatra
dan Dinda Banyakngampar. Soal lamaran tidak mudah, karena sudah ada seorang pria yang secara
resmi lebih dahulu melamar Dewi,” kata Sang Dewi, lalu diam beberapa saat,
sehingga membuat mereka yang hadir berdebar-debar. Bahkan Kanjeng Adipati dan
Kanjeng Ayu Adipati ikut menahan napas. Karena mereka tahu, langkah Sang Dewi
terkadang sukar ditebak.
“Sebenarnya, Kanda Kamandaka sudah mengenal
aku lebih dari empat bulan yang lalu.
Tetapi lebih dari empat bulan ditunggu-tunggu lamarannya secara resmi tak
datang-datang juga. Tidak ada pula kabarnya. Maka ketika ada lamaran resmi dari
Raja Nusakambangan tiga hari yang lalu, aku langsung menerimanya.” Berkata
demikian Sang Dewi lalu diam lagi beberapa saat. Semua yang hadir menahan napas
semua, lebih-lebih Kamandaka. Wajahnya langsung pucat pasi.
“Namun sekalipun aku sudah menerima lamaran Raja Nusakambangan, tetapi
aku mengajukan sejumlah syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi Raja
Nusakambangan, tentu saja lamaran akan batal dengan sendirinya. Sekarang datang
lamaran ke dua dari Kanda Kamandaka. Tentu saja lamaran Kanda Kamandaka sekalipun
terlambat akan aku terima. Tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi Kanda Kamandaka,”
kata Sang Dewi membuat susana menjadi hening mendadak. Ketegangan pun muncul
kembali akibat penjelasan Sang Dewi yang agak membingungkan itu.
“Kira-kira syarat apakah yang harus dipenuhi
Kanda Banyakcatra, Ayunda Dewi?” tanya Silihwarna memecahkan keheningan suasana
yang sempat terbentuk.
“Tentu saja Kanda Kamandaka harus berjuang
sekuat tenaga agar semua butir persyaratan yang Dewi minta kepada Raja
Nusakambangan tidak bisa dipenuhinya”, jawab Sang Dewi sambil tersenyum.
“Boleh tahu syarat-syarat apa yang Ayunda Dewi
minta kepada Raja Nusakambangan?” tanya
Silihwarna pula.(bersambung)