“Sang Putri sendiri sudah mulai tegar.
Dia bertekad menghadapi pengusiran dirinya sebagai suatu tantangan yang harus
bisa dijawabnya. Mengadu pada kekasihnya di Jenggala? Rasanya tidak mungkin.
Dia merasa bukan lagi wanita jelita, karena rambut adalah mahkota wanita.
Dengan Rambut sudah dipotong pendek, belum tentu Raden Inu Kertapati mau
menerima dirinya.”
“Akhirnya setelah
menempuh perjalanan lama, menjelang tengah hari, tibalah rombongan Sang Putri
diperbatasan Kerajaan Daha dan Jenggala. Sang Putri minta Ki Patih berhenti.
Sang Putri mohon Ki Patih membuatkan pesanggrahan di tempat itu. Sang Putri
ingin menjadikan tempat itu untuk menetap sementara setelah diusir dari Keraton
Daha.”
“Ki Patih segera
mengerahkan prajuritnya untuk membangun pesanggrahan baru, mengikuti kehendak
Sang Putri. Setelah beberapa hari bekerja keras dengan semangat gotong royong,
sepi ing pamrih, ramai ing gawe, pesanggrahan dengan atap rumbia, dinding dan
tiang dari bambu dan kayu, daun jendela dan daun pintu dari kayu, pesanggrahan
itu sudah berdiri,” kata Ki Dalang Sukmo Lelono.
“Sang Putri minta
pertimbangan Mahadewi dan Ki Patih. Sang Putri bermaksud mendirikan sebuah
kerajaan di tempat itu. Ki Patih dan Ibu Mahadewi tentu saja menyetujuinya.
Bahkan Ki Patih berjanji akan membantunya dengan sekuat tenaga,” kata Ki Dalang
meneruskan kisahnya. “Malam pun tiba. Ki Patih, Mahadewi, dan prajurit yang
telah seharian bekerja keras, sudah tidur pulas. Tetapi Sang Putri, Ken Bayan,
dan Ken Sanggit masih terus berbisik-bisik merundingkan sesuatu. Kadang-kadang
Sang Putri Galuh Candra Kiranan menimang-nimang boneka emas kesayangannya.
Akhirnya Sang Putri dan kedua dayang pengasuhnya itu pulas tertidur.”
“Tetapi pagi-pagi
benar, Sang Putri sudah bangun. Diiringi kedua pengasuhnya, Sang Putri bergegas
menuju telaga Puspawarna yang jernih airnya untuk mandi. Usai mandi, Sang Putri
mengenakan pakaian pria, hingga dia tampil sebagai ksatria berwajah tampan
sekali. Demikian pula Ken Bayan dan Ken Sanggit, mengenakan pakaian pria
sehingga menjelma jadi ksatria tampan pula. Kumis tipis menghiasi wajah Ken
Bayan dan Ken Sanggit. Ketika sampai di pasanggrahan, Ki Patih dan Mahadewi
terkejut bukan main. Hampir saja Ki Patih mengambil pedang, karena mengira
telah datang musuh yang akan menculik Sang Putri. Untunglah Sang Putri segera
memberitahukan identitas mereka bertiga.”
“Betapa
terkejutnya Ki Patih dan Mahadewi, setelah tahu bahwa para ksatria tampan itu
adalah Sang Putri yang menyamar menjadi Raden Panji Semirang, Ken Sanggit yang
menyamar menjadi Kuda Peranca dan Ken Bayan yang menyamar menjadi Kuda Perwira.
Sang Putri Candra Kirana yang telah mengenakan pakaian ksatria tampan Raden
Panji Semirang itu menjelaskan maksud penyamarannya yaitu ingin melupakan masa
lalunya yang menyedihkan dan menyakitkan. Dia pun menjelaskan pesanggrahan yang
didirikannya itu akan dirubah menjadi sebuah kerajaan yang akan dipimpinnya
sendiri dengan bantuan Patih Kuda Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira.
Kerajaan yang akan didirikannya itu diberi nama Kerajaan Asmarakanta.”
Terdengar suara
Ki dalang membawakan suara Ki Patih. “Oh, sungguh luar biasa. Pamanda setuju
sekali. Sejumlah prajurit akan Paman tinggalkan sementara di sini. Pamanda juga
akan bantu agar berdatangan pemukim baru ke sini.”
Kemudian
terdengar Ki Dalang membawakan suara Sang Putri Candra Kirana Panji Semirang.
“Aku mohon Pamanda Patih menyimpan baik-baik rahasia hamba. Biarkan orang-orang
Daha melupakan hamba. Aku hendak berkelana. Aku hendak membuat lembaran baru
dalam lakon hidupku. Sekarang selesai sudah tugas Pamanda Patih menyelamatkan
aku keluar dari istana Daha. Istana yang bagaikan neraka bagiku. Aku ucapkan
terima kasih atas bantuan dan pertolongan Pamanda Patih. Aku hanya bisa berdoa
semoga Dewatalah kelak yang akan membalas semua kebaikan Pamanda. Dengan
iringan doa selamat dariku kepada Pamanda. Aku ikhlaskan Pamanda Patih kembali
ke Daha.”
Kembali terdengar
suara biasa Ki Dalang dengan nada suara biasa. “Ki Patih terharu mendengar
kata-kata Panji Semirang Asmarakanta. Maklumlah, karena Ki Patih mengenal Sang
Putri sejak masa kanak-kanak mula. Ya, sejak masih dalam buaian dan asuhan
Permaisuri Puspaningrat. Esok paginya Ki Patih barulah meninggalkan Panji
Semirang dan pulang ke barat. Kerajaan Daha tempat tujuan kembalinya. Sedang
Mahadewi lebih suka mendampingi Sang Putri dari pada pulang ke Daha kembali.”
Crek…crek…crek…,
Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan pengiring kembali terdengar dengan
irama netral dan tempo sedang. Sinden Paijem mengiringi dengan suara emasnya.
Di layar Ki Dalang sudah menampilkan gambar Raden Panji Semirang, Patih Kuda
Peranca dan Wakil Patih Kuda Perwira dengan gagah duduk di atas kuda, menjaga
jalan besar yang menghubungkan Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Daha.
Terdengar suara Ki Dalang dalam suara
yang normal. “Tiap pagi Kuda Peranca dan Kuda Perwira dibantu beberapa prajurit
anak buah Ki Patih Daha yang telah disumpah untuk menjaga rahasia. Mereka
menjaga jalan yang menghubungkan Daha-Jenggala. Tugas mereka adalah mengenalkan
kerajaan baru yang dipimpin Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta. Jika ada
orang lewat baik dari Daha ataupun Jenggala akan ditahannya. Tetapi bila ada
orang dari Kerajaan Gagelang, akan dibiarkan lewat begitu saja. Rombongan yang
sering lewat pada umumnya adalah para pedagang atau mereka yang akan mencari
kerja.”
“Suatu saat lewat
rombongan dari Gagelang. Mereka ditahan sebentar oleh Kuda Perwira dan
diberitahu bahwa kerajaan baru itu dipimpin oleh rajanya Sang Baginda Panji
Semirang yang adil dan bijaksana. Mereka diajak bermukim di kerajaan baru itu.
Kalau tidak mau, hanya diminta agar menyampaikan berita ke Daha atau ke
Jenggala yaitu bahwa Sang Raja Panji Semirang adalah seorang raja yang adil dan
bijaksana. Setelah itu rombongan dari Gagelang dibiarkan lewat. Kemudian
datanglah rombongan dari negeri Mentawan, Kuda Perwira, dan Kuda Peranca segera
menahan mereka,” kata Ki Dalang, lalu berhenti sejenak.
Ki Dalang
membawakan suara Kuda Perwira. “Oh, dari negeri Mentawan. Apa maksud kalian ke
Jenggala, Kawan?”
Ki Dalang ganti
membawakan suara Kepala Rombongan. “Macam-macam, Raden. Ada yang mau dagang,
ada yang mau jual tenaga. Ada yang mau selenggarakan tontonan juga. Misalnya
lais, ronggeng, debus, sulap, dan pertunjukan lainnya.”
Ki Dalang kembali
membawakan suara Kuda Perwira. “Kalian dilarang meneruskan perjalanan ke
Jenggala. Kalian mesti ikut aku menghadap Sang Baginda Panji Semirang yang adil
dan bijaksana. Di negeri kami kalian boleh mencari nafkah apa saja. Sumber
penghidupan di negeri kami cukup banyak dan terbuka bagi siapa saja.”
Terdengar suara
Ki Dalang membawakan suara Kepala Rombongan “Raden, jangan membegal kami. Kami
harus meneruskan perjalanan ke Jenggala. Kami bisa menderita rugi. Langganan
kami sudah menunggu lama sekali.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Kuda
Peranca, Patih Kerajaan Asmarakanta. “Tidak bisa! Ini perintah! Ini kawasan
Sang Baginda Panji Semirang! Siapa melawan saya tangkap! Kalau perlu kubunuh!
Pilih! Mau hidup apa mau mati! Nyawa atau turuti perintahku! Mengerti? Apa
kalian ingin merasakan tajamnya ujung tombakku ini ?”
Ki Dalang ganti
membawakan suara dari Salah seorang anggota rombongan. “Meng..meng..errti,
Raden. Jangan bunuh kami. Istri dirumah sedang hamil, Raden. Istri teman ada
juga yang sedang sakit. Yang lain harus bayar hutang. Yang lain lagi mau
mengawinkan anak. Jangan bunuh kami Raden. Ya, baik, baik. Tolong mata tombak
diturunkan Raden. Kami takut. Kami mau menurut.”
Kembali Ki Dalang
membawakan suara Kepala Rombongan yang berteriak memberi perintah. “Sialan kamu
kawan! Jangan takut! Aku pun bisa main keris. Ayo kawan! Kita lawan! Lawan!”
Crek…crek….crek…tok…tok…trotok…tok.
Ki Dalang membunyikan kecreknya diiringi suara gamelan dengan nada-nada tinggi
dan tempo cepat. Ketipung terdengar bertalu-talu. Perkelaihan terjadi. Kuda
Perwira dan Kuda Peranca dibantu sejumlah prajurit melawan rombongan pedagang
yang hanya bersenjatakan keris. Ki Dalang mengisahkan, Kuda Perwira ternyata
pandai main tombak. Tombak dipegang di tengah. Ujung yang tajam untuk menusuk
ujung yang lain untuk memukul lawan sebagai ujung tongkat. Musuh terkena mata
tombak. Ketipung berbunyi: Cos! Kuda Perwira memukulkan gagang tombak ke kepala
musuh. Ketipung berbunyi: Dug! Musuh jatuh terpukul gagang tombak. Ketipung
berbunyi: Gedebug! Gamelan terus berbunyi mengikuti adegan peperangan yang
sedang diceriterakan Ki Dalang Sukmo Lelono.
*
Penonton bertepuk tangan ketika adegan
peperangan berakhir dengan kemenangan mudah dari Kuda Perwira dan Kuda Peranca
yang tidak lain adalah Ken Bayan dan Ken Sanggit. Sang Dewi kagum kepada Ken
Bayan dan Ken Sanggit yang ternyata bukan hanya pandai memainkan tombak. Tetapi
juga pandai menunggang kuda. Tentu saja Sang Dewi lebih–lebih lagi kagum pada
Sang Baginda Panji Semirang Asmarakanta yang tidak lain adalah Dyah Ayu Galuh
Candra Kirana, Putri Daha yang pantang menyerah. Demikian pula Sekarmenur, Sekarmelati,
dan Sekarcempaka, sangat senang mendengarkan kisah-kisah perkelahaian yang
dimainkan oleh prajurit wanita. Sebab mereka bertiga pun pandai seni bela diri.
Sekarmenur tiba-tiba ingat regu prajurit wanita yang pernah dibentuk Raja
Nusakambangan, Pulebahas. Lamunan Sekarmenur lenyap ketika kembali terdengar
suara Ki Dalang
*
Ki Dalang menceriterakan, bahwa hanya
enam orang yang berani melawan Kuda Perwira-Kuda Peranca dan anak buahnya. Dua
mati berlumuran darah, termasuk ketua rombongan. Empat luka-luka. Yang lainnya
takluk. Mereka beramai-ramai digiring menghadap Sang Baginda Panji Semirang.
Sri Baginda Panji Semirang menyambut mereka dengan menunjukkan simpati dan
ramah tamah. Dikatakannya, bahwa Kerajaan Asmarakanta menyampaikan salam
persaudaran. Sri Baginda menyambut kedatangan mereka, mengajak mereka berkerja
sama bergotong royong membangun kerajaannya sehingga kerajaannya akan bertambah
makmur. Sang Baginda juga menjanjikan kehidupan mereka akan lebih baik lagi.
Sang Baginda
Panji Semirang memerintahkan prajurit dan anak buahnya untuk menghibur mereka
dengan memberikan makan, minum dan apa saja. Tiap keluarga harus menampung tiga
orang tamu di rumah masing-masing. Ternyata mereka semua mau melaksanakan
perintah Sang Raja. Kemudian secara gotong royong mereka membangun perkampungan
baru yang diakhiri dengan mengadakan pesta syukuran dan selamatan. Di alun-alun
acara syukuran yang meriah itu diselenggarakan.
Tentu saja orang
Mentawan senang mendengar sabda Sang Baginda. Hilang rasa cemas, takut dan curiga.
Munculah rasa persaudaraan, kasih sayang dan rasa kekeluargaan. Mereka malah
betah, senang, dan merasa menjadi rakyat dari seorang raja yang bukan saja
adil, baik hati, dan penyayang. Tetapi juga karena Sang Baginda Panji Semirang,
masih muda lagi pula sangat cakap dan tampan.
Mereka kemudian
pulang untuk mengajak saudaranya pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji
Semirang. Makin lama makin banyak rakyat Mentawan yang berbondong-bondong
pindah menjadi rakyat Sang Baginda Panji Semirang. Dalam waktu singkat Kerajaan
Asmarakanta bukan saja semakin ramai, tetapi penduduknya juga semakin
meningkat. Apa yang dijanjikan Sang Baginda Panji Semirang untuk mewujudkan
kemakmuran dan keadilan semua rakyatnya menjadi kenyataan.
Sang Baginda
mendorong rakyatnya agar giat, rajin, dan tekun dalam berusaha dan bekerja
menurut ketrampilan, kecakapan, dan kemampuan masing-masing. Sang Baginda
hanyalah memberikan dorongan semangat dan fasilitas umum untuk melancarkan
kegiatan. Rakyat yang belum cakap bekerja, diberikan bimbingan. Barang siapa
yang mendapatkan kesulitan, diberikan pertolongan. Barang siapa yang papa,
cacad dan sakit, dirawat dengan diberi santunan.
Anak-anak muda
dilatih membuat alat-alat perang dan pertanian. Mereka juga dilatih ilmu bela
diri agar bisa menjaga keamanan bagi diri sendiri, keluarga, dan negeri
tercinta. Kepada mereka yang memperlihatkan kecakapannya dan mempunya prestasi
luar biasa, Sang Baginda tidak segan-segan memberikan penghargaannya, demikian
Ki Dalang Sukmo Lelono berkisah dari atas panggung pementasan, diiringi suara
gamelan sayup sayup. Crek…ccrek..crek…..crek. Gamelan berhenti.
Ki Dalang
melanjutkan suaranya tanpa iringan gamelan maupun alunan suara emas dari Sinden
Paijem, Juminem, dan Titisari. “Nama Sang Baginda Panji Semirang, makin tenar.
Namanya tersebar ke Daha, Jenggala, Gagelang, dan tentu saja Mentawan. Bahkan
penduduk Mentawan banyak yang pindah ingin menjadi rakyat Sang Baginda Panji
Semirang. Akhirnya terbentuklah persahabatan dengan Kerajaan Mentawan. Bahkan
dua putri Raja Mentawan, Puspajuita dan Puspasari akhirnya mengabdi kepada Sang
Baginda Panji Semirang. Sang Raja Mentawan dan Permaisuri dengan berat
mengijinkannya. Bahkan kedua emban pengasuh, yakni Ken Pamonang dan Ken
Pasirian, diijinkan mengikuti majikannya, mengabdi di Kerajaan Asmarakanta.”
Ki Dalang
membunyikan kecreknya, crek-crek-crek. Dan memukulkan cempalanya ke kotak
tok..trotok..tok… Terdengar suara gamelan pelan-pelan. Ki Dalang Sukmo Lelono
diam beberapa saat. Crek…crek…crek. Ki Dalang membunyikan kecrek. Suara gamelan
pengiring berhenti. Yang terdengar hanya suara Ki Dalang. “Alkisah rombongan
dari Kerajaan Jenggala akan lewat menuju Kerajaan Daha. Raden Inu Kertapati
dengan gagah naik kuda. Di depannya barisan prajurit berjalan lebih dulu, membawa
barang-barang keperluan perkawinan. Di antaranya adalah sejumlah uang sebagai
mas kawin yang akan di serahkan kepada calon mempelai wanita, Dyah Ayu Candra
Kirana.
“Tetapi Kuda
Perwira dan Kuda Peranca menghentikan rombongan yang membawa barang-barang cinderamata
dan uang sebagai mas kawin. Kedua Panglima Kerajaan Asmarakanta minta agar
mereka menyerahkan barang-barang dan uang mas kawin. Tentu saja prajurit
Jenggala menolak. Terjadilah pertempuran di antara mereka.”
Kembali Ki Dalang
membunyikan kecrek. Suara gamelan dengan irama cepat, terdengar mengalun
mengiringi adegan perkelahaian antara pasukan Kerajaan Jenggala yang dipimpin
Ki Patih melawan pasukan Kerajaan Asmarakanta yang dipimpin Kuda Peranca dan
Kuda Perwira.
Ternyata dalam pertempuran itu prajurit
Jenggala dengan mudah dapat dikalahkan. Barang Cinderamata perkawinan dan uang
mas kawin berhasil dirampas Kuda Peranca. Dia segera membawanya lari dan
diserahkan kepada Sang Baginda Panji Semirang, kata Ki Dalang menceriterakan
adegan peperangan.
Sementara itu
Kuda Perwira berhasil melumpuhkan Ki Patih Kerajaan Jenggala, sehingga Ki Patih
menderita luka-luka dan jatuh dari kuda. Ki Patih segera dilarikan oleh
pengawalnya menemui Raden Inu Kertapati. Mendengar laporan uang mas kawin dan
barang cinderamata untuk kekasihnya itu dirampas, Raden Inu Kertapati segera
mencabut kerisnya. Dia lalu memacu kudanya menantang duel satu lawan satu
kepada Sang Baginda Panji Semirang, Raja baru yang telah lama didengarnya. Kuda
Perwira segera menghentikan Raden Inu Kertapati sambil memegang tombak.
Ki Dalang ganti
membawakan suara Kuda Perwira yang bertindak sebagai Wakil Panglima Perang.
“Stop! Berhenti. Atau ingin merasakan tajamnya mata tombak ini. Aku Kuda
Perwira. Wakil Panglima Kerajaan Asmarakanta. Rajaku Sang Baginda Panji
Semirang. Semua orang yang lewat, wajib menghadap Sang Baginda Panji Semirang.
Seorang Raja yang adil dan bijaksana.”
Ki Dalang ganti membawakan suara Raden
Inu Kertapati. “He Kuda Perwira! Tahukan engkau siapa aku? Aku Putra Mahkota
Sang Baginda Raja Jenggala. Aku akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihku,
Putri Daha Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kenapa barang-barang cinderamata dan
uang mas kawin kau rampas? Jika Rajamu memang Raja yang adil dan bijaksana,
janganlah jadi begal dan pemeras. Kembalikan barang-barang itu. Atau aku
tantang Rajamu itu bertanding duel satu lawan satu denganku? Katakan sana pada
Rajamu. Aku tidak butuh bertempur dengan kamu.”
Suara gamelan
berhenti, setelah terdengar suara kecrek. Kembali Ki Dalang membawakan suara
Kuda Perwira. “Ha….ha…ha…! Calon pengantin pria dari Jenggala? Hem….! Kekasih
Dyah Ayu Candra Kirana Putri Daha? Hem…! Tolong simpan dulu keris itu. Rajaku
Sang Baginda Panji Semirang Raja adil dan bijaksana. Dia berpesan kepadaku
barang-barang cinderamata dan mas kawin untuk Putri Daha masih utuh. Tidak akan
diambil oleh Sang Baginda Panji Semirang sedikit pun. Sang Baginda hanya
mengharapkan calon mempelai pria menghadap dulu. Setelah itu silahkan ambil
kembali semua barang-barang. Sang Baginda Panji Semirang berpesan hanya calon
mempelai pria yang boleh mengambilnya. Selain dia, tidak boleh!”
Ganti Ki Dalang
membawakan suara Raden Inu Kertaapati yang mulai melunak.“Baik, aku masukkan
keris ini ke sarungnya. Aku hanya tidak mau ribut. Sebab kasihan kekasihku,
Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Kedatanganku di Daha sudah sangat
ditunggu-tungggun. Besok harus sudah sampai di Daha. Esok lusa prosesi upacara
pernikahanku dengan Dyah Ayu Galuh Candra Kirana. Apa jaminanmu, engkau tidak
ingkar janji sedikitpun?”
Ki Dalang kembali
membawakan suara Kuda Perwira untuk meyakinkan Raden Inu Kertapati. “Jaminanku
nih! Potong leherku bila aku berbohong. Sekarang ayo ikuti aku menghadap Sang
Baginda Panji Semirang, yang sedang menunggu di bale pertemuan. Ayo! Keburu malam
tiba.”
Terdengar suara
Ki Dalang kembali ke dalam nada normal diringi suara gending lamat-lamat, “Tar…,
tar…, tar…! Kuda Perwira melecut kudanya dan memacunya menuju istana Kerajaan
Asmarakanta. Raden Inu Kertapati segera mengikutinya, memacu kudanya di belakang
Kuda Perwira. Prajuritnya diminta menunggu dan membuat kemah. Mereka diminta
agar menunggu perintah yang bisa saja datang setiap saat. Ternyata Sang Baginda
Panji Semirang menyambutnya dengan menunggang kuda. Ketika melihat kuda Raden
Inu Kertapati mendekat, Sang Baginda Panji Semirang merasa berdebar-debar.
Selama ini sebenarnya Panji Semirang alias Candra Kirana itu belum pernah
bertemu dengan tunangannya, Putra Mahkota Kerajaan Jenggala. Demikian pula
sebaliknya.”
“Akhirnya
keduanya bertemu juga. Wajah bertemu wajah. Pandangan bertemu pandangan. Mata
bertemu mata. Keduanya gemetar seketika. Panji Semirang tidak menduga, Raden
Inu Kertapati ternyata tampan luar biasa. Sebaliknya, Raden Inu Kertapati heran
ada Raja berwajah cantik jelita dan muda belia. Tetapi tampak gagah perkasa.
Duduk di atas kudanya.”
“Lebih-lebih
ketika Raden Inu Kertapati mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Perasaan
aneh tiba-tiba menggoyang-goyang jantungnya. Raden Inu Kertapati kembali heran
ada tangan seorang pria kulitnya halus bak kain sutra. Tetapi Panji Semirang
cepat menguasi perasaannya. Panji Semirang segera menyambutnya dengan
mengucapkan selamat datang kepada Raden Inu Kertapati. Diajaknya Raden Inu
Kertapati masuk istana. Sang Baginda Panji Semirang sudah menyediakan santap
malam untuk Raden Inu Kertapati. Setelah berbincang panjang lebar, akhirnya
Sang Baginda Panji Semirang menanyakan soal rencana pernikahan Raden Inu
Kertapati.” Ki Dalang membunyikan kecreknya…crek…crek..crek. Suara gamelan yang
lamat-lamat berhenti (bersambung)