“Kanjeng Ibu, Dewi mau pamit sambil pinjam
kuda Kanjeng Rama. Dewi bersama Dinda Ratna Pamekas dan Dinda Mayangsari akan
menemani Kanda Kamandaka, Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin meninjau
rencana lokasi tempat pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada,” kata
Sang Dewi seraya memeluk Kanjeng Ayu Adipati.
“Baiklah, Nduk Dewi, tapi sore hari harus
sudah kembali ke Kadipaten. Jangan sampai bermalam di tempat lain, ya, Nduk
Dewi,” pesan Kanjeng Ayu Adipati. Sang Dewi tersenyum sambil mengangguk.
“Percayalah Kanjeng Ibu, aku bisa menjaga
diri. Lagi pula Kanda Kamandaka tidak seperti Kanjeng Rama,” kata Sang Dewi sambil menyindir Ibundanya.
Kanjeng Ayu Adipati hanya tersenyum mendengar
sindiran halus Sang Dewi. Air matanya sudah kering. Dia membenarkan sepenuhnya
kata-kata putri kesayangannya itu. Dia pun bertekad untuk melaksanakan
saran-saran yang disampaikan Sang Dewi kepadanya.
“Benar juga Nduk Dewi, jika Kanda Adipati tak
cepat dikendalikan, bisa-bisa nafsu untuk mencari daun muda akan terus berlanjut
tak kenal lelah. Oh, Kanda Adipati!” keluh Kanjeng Ayu Adipati kesal juga
memikirkan adat suaminya.
Sang Dewi segera bergegas menemui Kamandaka.Dia dapat pinjaman satu ekor kuda dari Ki Patih. “Kuda Kanda Kamandaka biar
dipakai Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Kanda Kamandaka pakai
kuda Kanjeng Rama dengan aku. Dinda Silihwarna pakai kudanya sendiri dengan
Dinda Mayangsari,” kata Sang Dewi yang langsung mengusulkan penggunaan kuda.
“Tumenggung Maresi bawa kuda sendiri. Pinjaman
kuda Ki Patih biar dipakai Jigjayuda” Usul Sang Dewi langsung disetujui
Kamandaka dan adik-adiknya.
Jarak Kadipaten Pasirluhur ke Baturagung di
lereng Gunung Agung tidak terlalu jauh. Matahari masih bersinar lembut
dan angin gunung bertiup sayup-sayup ketika lima ekor kuda para ksatria dan
punggawa Kadipaten Pasirluhur itu tiba
di tepi sebuah hutan lebat di lereng Gunung Agung. Wakil Tumenggung Jigjayuda,
selaku penunjuk jalan mengendarai kuda paling depan.Tiba-tiba-dia-berhenti-dan meloncat turun.
Disusul kuda yang membawa Arya Baribin dan Ratna Pamekas.Mereka-telah tiba di
lokasi. Kemudian menyusul di belakangnya kuda Silihwarna dengan Mayangsari, kuda Kamandaka dengan Sang Dewi. Terakhir tiba di lokasi
adalah kuda Tumenggung Maresi yang membawa perbekalan sambil mengawal
rombongan. Kamandaka dan Silihwarna segera mencari lokasi yang nyaman untuk
kelak dibangun tenda dan tempat pelatihan prajurit.
Setelah lokasi ditemukan, Jigjayuda disuruh menandai tempat itu sebaik-baiknya.
“Tumenggung Maresi, lima hari cukup untuk
menyiapkan lokasi perkemahan dan lokasi pelatihan?” tanya Kamandaka kepada
Tumenggung Maresi.
“Siap, Raden!” jawab Tumenggung Maresi.
“Hari keenam 400 prajurit harus sudah tiba di
lokasi,” kata Kamandaka pula
“Siap, Raden!” Tumenggung Maresi-menjawab-lagi.
“Jigjayuda, benar daerah ini namanya
Baturagung?” tanya Kamandaka yang dibenarkan oleh Jigjayuda dan Tumenggung
Maresi.
“Baiklah, aku namakan tempat-pelatihan ini Mandala Baturagung,” kata Kamandaka.
Setelah dirasa cukup, Kamandaka mengajak
rombongan meninggalkan lokasi menuju Kendalisada. Dalam perjalanan ke
Kendalisada, rombongan menyempatkan diri mencari lokasi di Sungai Logawa dan
Kabunan yang akan dijadikan tempat latihan dasar keprajuritan berbasis sungai. Kembali
Kamandaka dan Silihwarna menentukan lokasi yang telah dipilih dan menugaskan
Jigjayuda untuk menandainya. Lokasi di Sungai Kabunan tidak jauh dari Sungai
Logawa, dekat dengan hutan yang dikenal penduduk sebagai hutan Kabunan. Disebut
demikian, sebab hutan itu berembun sepanjang malam.
“Daerah tebing Sungai Kabunan di bawah hutan
Kabunan yang banyak batu-batu besarnya itu cocok untuk berlatih yoga, Dinda
Silihwarna dan Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka sambil menunjukkan sebuah batu besar dekat tebing di sisi barat
Sungai Kabunan.
“Betul sekali, Kanda. Nanti akan dinda atur
sehingga nyaman digunakan untuk berlatih yoga dan ilmu pernapasan bagi para
prajurit yang berlatih di Baturagung,” kata Silihwarna.
“Nanti aku-juga akan mencobanya
barang semalam untuk lebih mempertajam daya kekebalan tubuh. Embun yang turun
sepanjang malam dan melewati pohon-pohon hutan lebat itu,
mengandung energi positip luar biasa yang-berguna-kepada tubuh kita,” kata Kamandaka
menjelaskan manfaat embun hutan untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh.
“Dinda pun ingin
mencobanya,” kata Arya Baribin setelah mendengar penjelasan Kamandaka. Dari
tepi Sungai Kabunan yang mengalir sejajar dengan Sungai Logawa itu, rombongan
melanjutkan perjalanan ke Kaliwedi. Tepat pada tengah hari rombongan sudah
tiba sampai. Kamandaka menentukan agar rombongan istirahat di kediaman
Nyai Kertisara lebih dulu untuk santap
siang. Direncanakan usai istirahat dan santap siang baru menuju ke lokasi.
Nyai Kertisara dan Rekajaya menyambut kedatangan tamunya dengan wajah
berseri-seri. Semakin sering para ksatria
dan punggawa kadipaten mengunjungi rumah Nyai Kertisara, kedudukan Nyai
Kertisara di mata penduduk Kaliwedi semakin terangkat. Apalagi jika para
ksatria dan punggawa itu mau bermalam. Tak heran bila Nyai Kertisara siap kapan saja menerima tamu. Apa lagi, bangunan rumah Nyai Kertisara
dalam waktu relatip singkat telah berubah jadi bangunan rumah paling menonjol
di desa Kaliwedi. Itu semua berkat bimbingan dan bantuan Kamandaka.
“Bermalam lagi Raden?” tanya Nyai Kertisara
kepada Kamandaka di tengah-tengah jamuan santap siang yang disediakannya.
“Aku sebenarnya ingin sekali bermalam di sini,
Nyai. Dinda Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas sudah pernah bermalam tiga hari
yang lalu, bukan?” kata Sang Dewi menjawab tawaran menginap Nyai Kertisara
kepada Kamandaka. Kamandaka yang duduk
di samping Sang Dewi hanya senyum-senyum saja.
“Oh, gembira sekali hamba, Ndara Putri, jika
malam ini berkenan menginap di sini. Raden
Kamandaka pasti menyetujui. Kamar cukup banyak. Kamar yang pernah
ditinggali Raden Kamandaka masih utuh, belum dirubah. Rekajaya selalu merawat
dan menjaganya,” kata Nyai Kertisara yang mengira semua tamunya itu akan
bermalam lagi. “Tapi, ya itu, tidak selengkap kamar-kamar di Kadipaten.”
“Terima-kasih, Nyai. Sayang Kanjeng Ibu sudah
berpesan, sore ini aku harus sudah kembali ke Dalem Kadipaten,” kata Sang
Dewi menjelaskan kepada Nyai Kertisara.
“Mudah-mudahan di lain kesempatan aku bisa bermalam di sini.” Mendengar janji
Sang Dewi kelak mau menginap di rumah Nyai Kertisara saja sudah membuat dirinya
gembira bukan alang kepalang. Beberapa kali Nyai Kertisara mengucapkan
terimakasih pada Sang Dewi.
“Justru aku yang seharusnya banyak terimakasih
pada Nyai. Kiriman gula kelapa dan gula aren yang tiap minggu mengalir lima
keranjang-lima keranjang ke kadipaten membuat dapur kadipaten tak pernah
kekurangan gula kelapa dan gula aren,” kata Sang Dewi memuji Nyai Kertisara
yang tentu saja membuat senang pengusaha
wanita yang sukses itu.Tiba-tiba Rekajaya muncul mendekati Kamandaka.
Dia baru disuruh Kamandaka mengantarkan Tumenggung Maresi dan Jigjayuda mencari
lokasi untuk mendirikan tempat pelatihan prajurit di Kendalisada.
“Mana Tumenggung
Maresi dan Jigjayuda? Ditunggu Nyai Kertisara, suruh makan dulu,” tanya
Kamandaka setelah menerima laporan bahwa lokasi yang dimaksud di Kendalisada
tinggal menunggu persetujuannya saja. Tak lama kemudian Tumenggung Maresi dan
Jigjayuda masuk dan segera disambut Nyai Kertisara. Keduanya saling bersalaman.
Tumenggung Maresi pernah jadi kakak ipar Nyai Kertisara, karena Lurah
Karangjati, mantan suami Nyai Kertisara adalah adik Tumenggung Maresi.
Cukup
lama rombongan para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu saling melepas rindu dan
lelah di kediaman Nyai Kertisara. Menjelang sore hari, barulah rombongan
meninggalkan rumah Nyai Kertasara menuju lokasi yang akan dipersiapkan sebagai
pusat pelatihan prajurit sektor timur.
“Dimas
Arya Baribin, lokasinya sangat bagus sekali,” kata Kamandaka dari atas kudanya
kepada Arya Baribin. Mereka semua sudah tiba di lokasi. Arya Baribin yang naik
kuda bersama Ratna Pamekas menghentikan kudanya di sebelah kanan kuda
Kamandaka. Tak lama kemudian Silihwarna yang naik kuda bersama Mayangsari,
menghentikan kudanya di sebelah kiri kuda Kamandaka.
”Lihatlah
di sebelah utara deretan perbukitan hijau yang memanjang ke timur. Di kakinya
membentang padang yang luas ke selatan dan ke timur.” kata Kamandaka kepada
Sang Dewi.
“Kanda,
sungguh lokasi ini tepat sekali dijadikan mandala pelatihan prajurit.
Perbukitannya tidak terlalu tinggi, memanjang jauh ke timur, demikian pula
hamparan padang rumput dan perdu di kakinya yang luas dan datar. Aku jadi
teringat Padang Kurusetra dalam kisah Mahabharata,” kata Sang Dewi sambil
memandang kagum keindahan perbukitan yang ada di depannya.
“He! Dinda Ratna Pamekas! Dinda Mayangsari!
Lihat ke selatan! Itu Sungai Ciserayu yang mengalir dari timur ke barat. Oh,
alangkah indahnya. Lebih besar dari Sungai Logawa,” Sang Dewi berteriak
kegirangan ketika menengok ke selatan melihat Sungai Ciserayu. Bukan hanya
Ratna Pamekas dan Mayangsari saja yang mengikuti Sang Dewi memandang ke arah
selatan untuk melihat Sungai Ciserayu. Kamandaka, Arya Baribin, dan Silihwarna
pun iku menikmati pemandangan indah Sungai Ciserayu dilihat dari ketinggian
tempat duduknya, di atas pelana kuda. Tampak Sungai Ciserayu mengalir tenang tak
beriak seakan-akan tidak peduli kepada mereka yang sedang mengaguminya.
“Pegunungan
yang memanjang dari timur ke barat di selatan Sungai Ciserayu itu, namanya
Pegunungan Ciserayu,” kata Kamandaka memberi penjelasan.
“Kalau
jalan ini terus ke timur akan sampai di mana, Kanda?” tanya Sang Dewi kepada
Kamandaka. Arya Baribin yang mendengar pertanyaan Sang Dewi langsung menjawab.
“Ayunda
Dewi, kalau jalan ini terus ke timur akan sampai ke sebuah sungai juga, namanya
Cingcinggoling,” kata Arya Baribin yang masih duduk di atas kuda bersama Ratna
Pamekas. “Hanya jalannya agak sempit, naik turun,” kata Arya Baribin.
“Kangmas
Arya, aku mau kalau diajak ke sana,” kata Ratna Pamekas.
“Aku juga mau, " kata Mayangsari.
"Kanda Silihwarna, mau kan mengantarkan aku ke sana, melihat sungai yang
namanya aneh itu?” Mayangsari tiba-tiba ikut mendukung usul Ratna Pamekas. Silihwarna
yang masih agak malu-malu, sedikit demi sedikit memperlihatkan kemajuannya.
“Dinda
Mayangsari, aku pasti mau mengantarkan. Tetapi ijin dulu kepada Ayunda Dewi,”
kata Silihwarna yang mulai pandai berbicara dengan Mayangsari.
Sang
Dewi dan Kamandaka tersenyum mendengar usul kedua adik perempuannya itu.
Lebih-lebih Sang Dewi yang melihat adik-adiknya itu sudah mulai lancar
berkomunikasi dengan Arya Baribin maupun Silihwarna. Padahal mereka baru kenal
belum terlalu lama, tetapi sudah memperlihatkan keakraban.
“Aku
juga senang diantarkan Kanda Kamandaka ke tepi Sungai Cingcinggoling.
Lebih-lebih sungai itu merupakan batas paling timur Kadipaten Pasirluhur.
Tetapi matahari sudah sangat condong ke barat. Pesan Kanjeng Ibu, sore ini aku
harus sudah tiba kembali ke kadipaten. Lagi pula tujuan utama kita sebenarnya
menemani para panglima perang yang sudah dilantik Kanjeng Rama meninjau tempat pelatihan prajurit. Tujuan itu sudah tercapai. Jadi, lain kali
saja, ya, Adindaku sayang?” kata Sang Dewi menghibur kedua adik perempuannya
itu. Satu adik sepupu, satu lagi calon adik ipar.
“Benar,
bukan, Kanda ?” Sang Dewi bertanya kepada Kamandaka, meminta persetujuan.
Kamandaka yang duduk di atas pelana kuda di belakang Sang Dewi membenarkannya.
Tiba-tiba
Tumenggung Maresi, Jigjayuda, dan Rekajaya yang sudah turun sejak tadi dan sudah selesai menandai lokasi tempat pelatihan, datang-melapor.
Kamandaka meloncat turun, diikuti Silihwarna dan Arya Baribin. Sang Dewi,
Mayangsari, dan Ratna Pamekas tetap duduk di atas pelana kudanya.
“Bagaimana
Raden, lokasi ini?” tanya Tumenggung Maresi.
“Setuju
sekali. Malah sangat ideal. Dimas Arya Baribin, lokasi
pelatihan prajurit ini aku namakan Mandala Kendalisada. Lima hari harus
sudah siap untuk digunakan,” kata Kamandaka yang disanggupi Tumenggung Maresi
dan Jigjayuda.
”Pusat-pelatihan
di sektor timur ini lebih sulit dari pada sektor utara. Sebab
pesertanya terdiri-dari-200 prajurit yang sudah terlatih-dan-sudah biasa dikomandani Dinda
Silihwarna. Sedang yang 200 adalah-calon-prajurit-yang-belum-siap.Mereka-adalah para penyadap binaan Rekajaya dan Nyai
Kertisara yang ingin ikut berbakti-demi kepentingan Kadipaten Pasirluhur.
Kakang Rekajaya, sudah dapat berapa penyadap yang mau jadi sukarelawan? “
“Empat
ratus penyadap, Raden.”
“Empat
ratus? Kebanyakan. Harus pilih hanya 200 orang-saja. Tak boleh lebih!” saran
Kamandaka.
“Sudah
Raden, tepat 200 orang,” jawab Rekajaya mantap.
“Tumenggung Maresi, Kakang Rekajaya ikutkanlah
untuk-membantu mempersiapkan lokasi. Dia punya banyak tenaga yang bisa
diperbantukan mempercepat penyelesaian tempat pelatihan,” Kamandaka memberikan
perintah kepada Tumenggung Maresi.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar