Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Selasa, 24 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(58)



“Kanjeng Ibu, Dewi mau pamit sambil pinjam kuda Kanjeng Rama. Dewi bersama Dinda Ratna Pamekas dan Dinda Mayangsari akan menemani Kanda Kamandaka, Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin meninjau rencana lokasi tempat pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada,” kata Sang Dewi seraya memeluk Kanjeng Ayu Adipati.
“Baiklah, Nduk Dewi, tapi sore hari harus sudah kembali ke Kadipaten. Jangan sampai bermalam di tempat lain, ya, Nduk Dewi,” pesan Kanjeng Ayu Adipati. Sang Dewi tersenyum sambil mengangguk.
“Percayalah Kanjeng Ibu, aku bisa menjaga diri. Lagi pula Kanda Kamandaka tidak seperti Kanjeng Rama,”  kata Sang Dewi sambil menyindir Ibundanya.
Kanjeng Ayu Adipati hanya tersenyum mendengar sindiran halus Sang Dewi. Air matanya sudah kering. Dia membenarkan sepenuhnya kata-kata putri kesayangannya itu. Dia pun bertekad untuk melaksanakan saran-saran yang disampaikan Sang Dewi kepadanya.
“Benar juga Nduk Dewi, jika Kanda Adipati tak cepat dikendalikan, bisa-bisa nafsu untuk mencari daun muda akan terus berlanjut tak kenal lelah. Oh, Kanda Adipati!” keluh Kanjeng Ayu Adipati kesal juga memikirkan adat suaminya.
Sang Dewi segera bergegas menemui Kamandaka.Dia dapat pinjaman satu ekor kuda dari Ki Patih. “Kuda Kanda Kamandaka biar dipakai Dimas Arya Baribin dengan Dinda Ratna Pamekas. Kanda Kamandaka pakai kuda Kanjeng Rama dengan aku. Dinda Silihwarna pakai kudanya sendiri dengan Dinda Mayangsari,” kata Sang Dewi yang langsung mengusulkan penggunaan kuda.
“Tumenggung Maresi bawa kuda sendiri. Pinjaman kuda Ki Patih biar dipakai Jigjayuda” Usul Sang Dewi langsung disetujui Kamandaka dan adik-adiknya.
Jarak Kadipaten Pasirluhur ke Baturagung di lereng Gunung Agung tidak terlalu jauh. Matahari masih bersinar lembut dan angin gunung bertiup sayup-sayup ketika lima ekor kuda para ksatria dan punggawa  Kadipaten Pasirluhur itu tiba di tepi sebuah hutan lebat di lereng Gunung Agung. Wakil Tumenggung Jigjayuda, selaku penunjuk jalan mengendarai kuda paling depan.Tiba-tiba-dia-berhenti-dan meloncat turun. Disusul kuda yang membawa Arya Baribin dan Ratna Pamekas.Mereka-telah tiba di lokasi. Kemudian menyusul di belakangnya kuda Silihwarna dengan Mayangsari, kuda Kamandaka dengan Sang Dewi. Terakhir tiba di lokasi adalah kuda Tumenggung Maresi yang membawa perbekalan sambil mengawal rombongan. Kamandaka dan Silihwarna segera mencari lokasi yang nyaman untuk kelak dibangun tenda dan tempat pelatihan prajurit. Setelah lokasi ditemukan, Jigjayuda disuruh menandai tempat itu sebaik-baiknya.
“Tumenggung Maresi, lima hari cukup untuk menyiapkan lokasi perkemahan dan lokasi pelatihan?” tanya Kamandaka kepada Tumenggung Maresi.
“Siap, Raden!” jawab Tumenggung Maresi.
“Hari keenam 400 prajurit harus sudah tiba di lokasi,” kata Kamandaka pula
“Siap, Raden!” Tumenggung Maresi-menjawab-lagi.
“Jigjayuda, benar daerah ini namanya Baturagung?” tanya Kamandaka yang dibenarkan oleh Jigjayuda dan Tumenggung Maresi.
“Baiklah, aku namakan tempat-pelatihan ini Mandala  Baturagung,” kata Kamandaka.
Setelah dirasa cukup, Kamandaka mengajak rombongan meninggalkan lokasi menuju Kendalisada. Dalam perjalanan ke Kendalisada, rombongan menyempatkan diri mencari lokasi di Sungai Logawa dan Kabunan yang akan dijadikan tempat latihan dasar keprajuritan berbasis sungai. Kembali Kamandaka dan Silihwarna menentukan lokasi yang telah dipilih dan menugaskan Jigjayuda untuk menandainya. Lokasi di Sungai Kabunan tidak jauh dari Sungai Logawa, dekat dengan hutan yang dikenal penduduk sebagai hutan Kabunan. Disebut demikian, sebab hutan itu  berembun sepanjang malam.
“Daerah tebing Sungai Kabunan di bawah hutan Kabunan yang banyak batu-batu besarnya itu cocok untuk berlatih yoga, Dinda Silihwarna dan Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka sambil menunjukkan  sebuah batu besar dekat tebing di sisi barat Sungai Kabunan.
“Betul sekali, Kanda. Nanti akan dinda atur sehingga nyaman digunakan untuk berlatih yoga dan ilmu pernapasan bagi para prajurit yang berlatih di Baturagung,” kata Silihwarna.
“Nanti aku-juga akan mencobanya barang semalam untuk lebih mempertajam daya kekebalan tubuh. Embun yang turun sepanjang malam dan melewati pohon-pohon hutan lebat itu, mengandung energi positip luar biasa yang-berguna-kepada tubuh kita,” kata Kamandaka menjelaskan manfaat embun hutan untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh.

“Dinda pun ingin mencobanya,” kata Arya Baribin setelah mendengar penjelasan Kamandaka. Dari tepi Sungai Kabunan yang mengalir sejajar dengan Sungai Logawa itu, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kaliwedi. Tepat pada tengah hari rombongan sudah tiba sampai. Kamandaka menentukan agar rombongan istirahat di kediaman Nyai Kertisara lebih dulu  untuk santap siang. Direncanakan usai istirahat dan santap siang baru menuju ke lokasi.
Nyai Kertisara dan Rekajaya menyambut kedatangan tamunya dengan wajah  berseri-seri. Semakin sering para ksatria dan punggawa kadipaten mengunjungi rumah Nyai Kertisara, kedudukan Nyai Kertisara di mata penduduk Kaliwedi semakin terangkat. Apalagi jika para ksatria dan punggawa itu mau bermalam. Tak heran bila Nyai Kertisara siap kapan saja menerima tamu. Apa lagi, bangunan rumah Nyai Kertisara dalam waktu relatip singkat telah berubah jadi bangunan rumah paling menonjol di desa Kaliwedi. Itu semua berkat bimbingan dan bantuan Kamandaka.
“Bermalam lagi Raden?” tanya Nyai Kertisara kepada Kamandaka di tengah-tengah jamuan santap siang yang disediakannya.
“Aku sebenarnya ingin sekali bermalam di sini, Nyai. Dinda Mayangsari dan Dinda Ratna Pamekas sudah pernah bermalam tiga hari yang lalu, bukan?” kata Sang Dewi menjawab tawaran menginap Nyai Kertisara kepada Kamandaka. Kamandaka  yang duduk di samping Sang Dewi hanya senyum-senyum saja.
“Oh, gembira sekali hamba, Ndara Putri, jika malam ini berkenan menginap di sini. Raden  Kamandaka pasti menyetujui. Kamar cukup banyak. Kamar yang pernah ditinggali Raden Kamandaka masih utuh, belum dirubah. Rekajaya selalu merawat dan menjaganya,” kata Nyai Kertisara yang mengira semua tamunya itu akan bermalam lagi. “Tapi, ya itu, tidak selengkap kamar-kamar di Kadipaten.”
“Terima-kasih, Nyai. Sayang Kanjeng Ibu sudah berpesan, sore ini aku harus sudah kembali ke Dalem Kadipaten,” kata Sang Dewi  menjelaskan kepada Nyai Kertisara. “Mudah-mudahan di lain kesempatan aku bisa bermalam di sini.” Mendengar janji Sang Dewi kelak mau menginap di rumah Nyai Kertisara saja sudah membuat dirinya gembira bukan alang kepalang. Beberapa kali Nyai Kertisara mengucapkan terimakasih pada Sang Dewi.
“Justru aku yang seharusnya banyak terimakasih pada Nyai. Kiriman gula kelapa dan gula aren yang tiap minggu mengalir lima keranjang-lima keranjang ke kadipaten membuat dapur kadipaten tak pernah kekurangan gula kelapa dan gula aren,” kata Sang Dewi memuji Nyai Kertisara yang tentu saja  membuat senang pengusaha wanita yang sukses itu.Tiba-tiba Rekajaya muncul mendekati Kamandaka. Dia baru disuruh Kamandaka mengantarkan Tumenggung Maresi dan Jigjayuda mencari lokasi untuk mendirikan tempat pelatihan prajurit di Kendalisada.
“Mana Tumenggung Maresi dan Jigjayuda? Ditunggu Nyai Kertisara, suruh makan dulu,” tanya Kamandaka setelah menerima laporan bahwa lokasi yang dimaksud di Kendalisada tinggal menunggu persetujuannya saja. Tak lama kemudian Tumenggung Maresi dan Jigjayuda masuk dan segera disambut Nyai Kertisara. Keduanya saling bersalaman. Tumenggung Maresi pernah jadi kakak ipar Nyai Kertisara, karena Lurah Karangjati, mantan suami Nyai Kertisara adalah adik Tumenggung Maresi.
Cukup lama rombongan para ksatria Kadipaten Pasirluhur itu saling melepas rindu dan lelah di kediaman Nyai Kertisara. Menjelang sore hari, barulah rombongan meninggalkan rumah Nyai Kertasara menuju lokasi yang akan dipersiapkan sebagai pusat pelatihan prajurit sektor timur.
“Dimas Arya Baribin, lokasinya sangat bagus sekali,” kata Kamandaka dari atas kudanya kepada Arya Baribin. Mereka semua sudah tiba di lokasi. Arya Baribin yang naik kuda bersama Ratna Pamekas menghentikan kudanya di sebelah kanan kuda Kamandaka. Tak lama kemudian Silihwarna yang naik kuda bersama Mayangsari, menghentikan kudanya di sebelah kiri kuda Kamandaka.
”Lihatlah di sebelah utara deretan perbukitan hijau yang memanjang ke timur. Di kakinya membentang padang yang luas ke selatan dan ke timur.” kata Kamandaka kepada Sang Dewi.
“Kanda, sungguh lokasi ini tepat sekali dijadikan mandala pelatihan prajurit. Perbukitannya tidak terlalu tinggi, memanjang jauh ke timur, demikian pula hamparan padang rumput dan perdu di kakinya yang luas dan datar. Aku jadi teringat Padang Kurusetra dalam kisah Mahabharata,” kata Sang Dewi sambil memandang kagum keindahan perbukitan yang ada di depannya.
 “He! Dinda Ratna Pamekas! Dinda Mayangsari! Lihat ke selatan! Itu Sungai Ciserayu yang mengalir dari timur ke barat. Oh, alangkah indahnya. Lebih besar dari Sungai Logawa,” Sang Dewi berteriak kegirangan ketika menengok ke selatan melihat Sungai Ciserayu. Bukan hanya Ratna Pamekas dan Mayangsari saja yang mengikuti Sang Dewi memandang ke arah selatan untuk melihat Sungai Ciserayu. Kamandaka, Arya Baribin, dan Silihwarna pun iku menikmati pemandangan indah Sungai Ciserayu dilihat dari ketinggian tempat duduknya, di atas pelana kuda. Tampak Sungai Ciserayu mengalir tenang tak beriak seakan-akan tidak peduli kepada mereka yang sedang mengaguminya.
“Pegunungan yang memanjang dari timur ke barat di selatan Sungai Ciserayu itu, namanya Pegunungan Ciserayu,” kata Kamandaka memberi penjelasan.
“Kalau jalan ini terus ke timur akan sampai di mana, Kanda?” tanya Sang Dewi kepada Kamandaka. Arya Baribin yang mendengar pertanyaan Sang Dewi langsung menjawab.
“Ayunda Dewi, kalau jalan ini terus ke timur akan sampai ke sebuah sungai juga, namanya Cingcinggoling,” kata Arya Baribin yang masih duduk di atas kuda bersama Ratna Pamekas. “Hanya jalannya agak sempit, naik turun,” kata Arya Baribin.
“Kangmas Arya, aku mau kalau diajak ke sana,” kata Ratna Pamekas.
 “Aku juga mau, " kata Mayangsari. "Kanda Silihwarna, mau kan mengantarkan aku ke sana, melihat sungai yang namanya aneh itu?” Mayangsari tiba-tiba ikut mendukung usul Ratna Pamekas. Silihwarna yang masih agak malu-malu, sedikit demi sedikit memperlihatkan kemajuannya.
“Dinda Mayangsari, aku pasti mau mengantarkan. Tetapi ijin dulu kepada Ayunda Dewi,” kata Silihwarna yang mulai pandai berbicara dengan Mayangsari.
Sang Dewi dan Kamandaka tersenyum mendengar usul kedua adik perempuannya itu. Lebih-lebih Sang Dewi yang melihat adik-adiknya itu sudah mulai lancar berkomunikasi dengan Arya Baribin maupun Silihwarna. Padahal mereka baru kenal belum terlalu lama, tetapi sudah memperlihatkan keakraban.
“Aku juga senang diantarkan Kanda Kamandaka ke tepi Sungai Cingcinggoling. Lebih-lebih sungai itu merupakan batas paling timur Kadipaten Pasirluhur. Tetapi matahari sudah sangat condong ke barat. Pesan Kanjeng Ibu, sore ini aku harus sudah tiba kembali ke kadipaten. Lagi pula tujuan utama kita sebenarnya menemani para panglima perang yang sudah dilantik Kanjeng Rama meninjau  tempat pelatihan prajurit. Tujuan itu sudah tercapai. Jadi, lain kali saja, ya, Adindaku sayang?” kata Sang Dewi menghibur kedua adik perempuannya itu. Satu adik sepupu, satu lagi calon adik ipar.
“Benar, bukan, Kanda ?” Sang Dewi bertanya kepada Kamandaka, meminta persetujuan. Kamandaka yang duduk di atas pelana kuda di belakang Sang Dewi membenarkannya.
Tiba-tiba Tumenggung Maresi, Jigjayuda, dan Rekajaya yang sudah turun sejak tadi dan sudah selesai menandai lokasi tempat pelatihan, datang-melapor. Kamandaka meloncat turun, diikuti Silihwarna dan Arya Baribin. Sang Dewi, Mayangsari, dan Ratna Pamekas tetap duduk di atas pelana kudanya.
“Bagaimana Raden, lokasi ini?” tanya Tumenggung Maresi.
“Setuju sekali. Malah sangat ideal. Dimas Arya Baribin, lokasi pelatihan prajurit ini aku namakan Mandala Kendalisada. Lima hari harus sudah siap untuk digunakan,” kata Kamandaka yang disanggupi Tumenggung Maresi dan Jigjayuda.

”Pusat-pelatihan di sektor timur ini lebih sulit dari pada sektor utara. Sebab pesertanya terdiri-dari-200 prajurit yang sudah terlatih-dan-sudah biasa dikomandani Dinda Silihwarna. Sedang yang 200 adalah-calon-prajurit-yang-belum-siap.Mereka-adalah para penyadap binaan Rekajaya dan Nyai Kertisara yang ingin ikut berbakti-demi kepentingan Kadipaten Pasirluhur. Kakang Rekajaya, sudah dapat berapa penyadap yang mau jadi sukarelawan? “
“Empat ratus penyadap, Raden.”
“Empat ratus? Kebanyakan. Harus pilih hanya 200 orang-saja. Tak boleh lebih!” saran Kamandaka.
“Sudah Raden, tepat 200 orang,” jawab Rekajaya mantap.
 “Tumenggung Maresi, Kakang Rekajaya ikutkanlah untuk-membantu mempersiapkan lokasi. Dia punya banyak tenaga yang bisa diperbantukan mempercepat penyelesaian tempat pelatihan,” Kamandaka memberikan perintah kepada Tumenggung Maresi.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar