Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Senin, 23 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(57)



“Pasukan kepala udang justru harus bisa membiarkan pasukan Gajah Nusakambangan terus bergerak maju ke utara mengikuti tandu calon mempelai pria yang bergerak masuk jalur utara dengan diiringi barisan gadis kembar. Tugas pasukan penjepit kanan, adalah segera memotong dan memisahkan barisan gadis kembar dan ketiga prajurit wanita pengawalnya dari pasukan Gajah yang mengikuti dari belakang. Setelah  barisan gadis kembar dan tiga prajurit wanita berhasil dipisahkan dengan pasukan Gajah yang ada dibelakangnya, barulah pertempuran yang sesungguhnya bisa dimulai, sebagaimana yang sudah aku jelaskan pada pelaksanaan operasi perang,” kata Sang Dewi mengakhiri uraiannya yang ditanggapi dengan wajah-wajah yang sepenuhnya dapat mengerti.
“Terima-kasih. Dinda Dewi telah memberikan gambaran lengkap formasi perang pasukan Pasirluhur dan Dayeuhluhur dalam menghadapi pasukan Nusakambangan. Langkah berikutnya, mulai besok panglima lapangan harus sudah menyusun rencana pelatihan pasukan di lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Terimakasih atas perhatian semuanya,” kata Kamandaka. Dia bermaksud akan segera menutup pertemuan kordinasi itu. Tetapi Sang Dewi yang duduk di samping Kamandaka segera membisikkan sesuatu.
“Oh, ya maaf lupa. Terimakasih Dinda Dewi telah mengingatkan. Masih ada dua acara lagi. Silahkan Dimas Arya Baribin jika ingin menyampaikan sesuatu,” kata Kamandaka kepada Arya Baribin. Ksatria Majaphit itu segera berdiri dan berjalan menghadap Kanjeng Adipati Kandhadaha. Setelah menghormat dengan membungkukkan badan dengan berdiri tegak, Arya Baribin mengucapkan janji setia.
“Sahaya  Arya Baribin, melalui Kanjeng Adipati Kandhadaha,Kanjeng-Adipati-Kadipaten Pasirluhur, dengan ini sahaya-menyatakan sumpah setia sahaya kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran. Sahaya bersedia mengorbankan jiwa dan raga sahaya untuk membela para kawula Kerajaan Pajajaran di bagian mana pun, demi kebesaran dan keagungan Kerajaan Pajajaran,” kata Arya Baribin mengucapkan janji sumpah setia kepada Kerajaan Pajajaran. Sang Adipati  mewakil Sri Baginda Prabu Siliwangi  menerima janji setia Arya Baribin.
“Saya, Adipati Kandhadaha dari Kadipaten Pasirluhur, dalam kesempatan ini mewakili Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran menerima sumpah setia Ananda Arya Baribin,” kata Kanjeng Adipati yang berdiri di depan Arya Baribin, kemudian menyalaminya sebagai ucapan selamat. Sejak saat itu Arya Baribin  telah diterima sebagai anggota keluarga besar para Kstaria Kerajaan Pajajaran. Tepuk tangan terdengar mengiringi selesainya pengucapan janji setia Arya Baribin.
“Selanjutnya Dinda Ratna Pamekas, dipersilahkan jika ingin menyampaikan sesuatu kepada Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka kepada Ratna Pamekas yang hari itu tampil cantik dengan wajah  ceria dan menyungging senyum di bibir mungilnya.
“Kangmas Arya Baribin, terimalah pusaka Kujang Kancana Shakti Kerajaan Pajajaran dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi untuk membela kepentingan Kerajaan Pajajaran di manapun Kangmas Arya berada,” kata Ratna Pamekas sambil menyerahkan pusaka Kerajaan Pajajaran yang segera diterima Arya Baribin dengan suka-cita.
Arya Baribin segera mencium punggung telapak tangan kanan Ratna Pamekas. Gelang emas yang melilit pergelang tangan Ratna Pamekas dan cincin emas bermata berlian yang ada di jari manisnya, berkilau-kilauan memantulkan cahayanya kian kemari.  Tepuk tangan kembali terdengar mengiringi kegembiraan Arya Baribin dan Ratna Pamekas. Sebab sesuai dengan amanat Sri Baginda Prabu Siliwangi, dengan menyerahkan pusaka Kujang Kancana Shakti kepada Arya Baribin, berarti Ratna Pamekas telah menjatuhkan pilihannya. Dia telah memilih dan menerima Arya Baribin, Ksatria trah Majapahit itu, sebagai calon suaminya. Kamandaka dan Silihwarna terharu sekaligus bangga kepada adiknya yang mereka cintai itu. Sebab, Ratna Pamekas telah berhasil menemukan pria calon pendamping hidupnya.
Acara siang hari itu diakhiri dengan pelantikan para panglima perang dan panglima pasukan gabungan Pasirluhur dan Dayeuhluhur oleh Kanjeng Adipati Pasirluhur. Mereka yang dilantik adalah Kamandaka, Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin. Selesai pelantikan, pertemuan ditutup, dilanjutkan dengan ramah tamah dan santap siang bersama di Dalem Kadipaten.
***
Pagi setelah santap sarapan bersama, Wirapati mohon diri kepada Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu Adipati,-Sang-Dewi,Kamandaka,Ratna-Pamekas-dan-Arya-Baribin, untuk kembali ke Dayeuhluhur. Dia memang harus segera pulang karena harus menyiapkan pelatihan pasukan dan menyambut-kedatangan-pasukan Kadipaten Galuh yang-akan-diperbantuan-dalam-perang-melawan-Nusakambangan.
“Dinda Silihwarna, Kanda titip Dinda Mayangsari,” kata Wirapati saat berpamitan kepada Silihwarna yang pagi itu didampingi Mayangsari. Mayangsari sengaja ditinggal di Kadipaten Pasirluhur untuk menemani Ratna Pamekas. Lagi pula, Mayangsari sudah dilamar Silihwarna.
“Baik, Kanda Wirapati. Pasti Dinda Mayangsari akan aku jaga sebaik-baiknya. Selamat jalan dan selamat berjuang, teriring salam untuk Ayah dan-Bunda Kanjeng Adipati Dayeuhluhur,” kata Silihwarna sambil memeluk Wirapati. Mayangsari menatap kakaknya dengan senyum bahagia, ketika kedua ksatria itu saling berpelukan. Wirapati segera memacu kudanya meninggalkan saudara-saudaranya yang sedang berbahagia diiringi tatapan mata para Kstaria Kadipaten Pasirluhur, sampai kuda yang membawa Wirapati itu lenyap di sebuah tikungan.
“Kasihan juga nasib Dinda Wirapati. Semoga segera menemukan pengganti Niken Gambirarum, kekasihnya tercinta yang telah tewas,” bisik Kamandaka kepada Sang Dewi yang berdiri di sampingnya.  Sang Dewi menjawab dengan anggukan dan tatapan mata sedih.
‘‘Kanda, kapan kita meninjau rencana lokasi pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada?”
“Asal Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu mengijinkan, hari ini juga tidak apa-apa. Memang hal itu sudah aku pikirkan, Dinda Dewi.”
“Urusan ijin dari Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu, biar aku yang mengurusnya. Tugas Kanda sekarang cari kuda yang bagus,” kata Sang Dewi. Dia segera meninggalkan Kamandaka. Sang Dewi bergegas  menemui Kanjeng Ayu Adipati untuk minta ijin.
Sementara-itu,Kamandaka menemui Silihwarna dan Arya Baribin untuk membicarakan usul Sang Dewi. Tentu saja Silihwarna dan Arya Baribin langsung menyambut gembira. Apa lagi Mayangsari dan Ratna Pamekas  akan diajak. “Tinggal cari satu kuda lagi untuk Dimas Arya Baribin. Biar aku minta tolong Tumenggung Maresi mencarikan kuda dan mempersiapkan perbekalan,” kata Silihwarna yang disetujui Kamandaka. Silihwarna segera pergi ke Pendapa Kadipaten untuk menemui Tumenggung Maresi.

 Sementara itu Sang Dewi langsung masuk kamar Kanjeng Ayu Adipati dan melihat Ibunya sedang duduk di depan meja rias sambil memandang wajahnya yang cantik itu di dalam cermin rias.
“Lho, Kanjeng Ibu pagi-pagi begini malah menangis. Pasti baru bertengkar dengan Kanjeng Rama!” kata Sang Dewi yang segera tahu ibunya sedang menangis karena matanya basah oleh air mata. ”Kemana Kanjeng Rama? Pagi-pagi begini sudah pergi?”
Kanjeng Ayu Adipati tidak menjawab, tetapi Sang Dewi segera tahu, kemana Kanjeng Adipati itu pergi. Padahal tadi pagi masih ikut mengantarkan Wirapati. Rupanya Kanjeng Adipati pergi secara diam-diam. “Berapa malam dalam seminggu Kanjeng Rama meninggalkan Kanjeng Ibu sendirian?”
“Empat malam,” jawab Kanjeng Ayu Adipati sambil menahan isak tangisnya.
“Empat malam tiap minggu tidak bersama Ibu? Kanjeng Rama bilang kepada Dewi hanya dua malam?”
“Ya, itulah Kanjeng Ramamu, suka berbohong.”
“Salah Ibu juga sih, lemah mengendalikan Kanjeng Rama. Padahal Kanjeng Ibu itu istri paling cantik dan paling cerdas dibanding istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Katakan pada Kanjeng Rama kalau sudah kembali, Dewi tidak ingin punya Ibu tiri lagi! Tidak ingin punya adik tiri lagi! Kanjeng Ibu juga jangan gampang larut dalam kesedihan. Kanjeng Rama punya istri muda lagi, betul Kanjeng Ibu?” Kembali Kanjeng Ayu Adipati diam tak menjawab. Tetapi tangisnya malah meledak.
“Sudahlah Kanjeng Ibu, sabar saja,” kata Sang Dewi sambil memeluk dengan segenap kasih sayang pada ibundanya yang amat dicintainya itu.
“Mudah-mudahan kelak Ananda Kamandaka tidak seperti Kanjeng Ramamu,”
“Dewi sudah meminta Kanda Kamandaka untuk bersumpah disaksikan Yang Maha Menguasai Jagad ini, bahwa Kanda Kamandaka akan menjadikan aku sebagai satu-satunya istri sampai maut memisahkan kami berdua. Kewajiban  Dewi hanyalah menjaga agar Kanda Kamandaka selalu memegang teguh sumpah yang pernahkan diucapkannya itu,” kata Sang Dewi menghibur Ibundanya.
“Bagi seorang suami,” kata Sang Dewi lagi, “Istri itu sering disebutnya sebagai garwa, yang berarti belahan jiwa. Sebagai belahan jiwa, seorang istri itu harus tahu kemana saja suami pergi. Bila perlu istri selalu mendampingi suami kemana saja. Bahkan seandainya suami pergi ke lubang semut istri pun harus ikut. Perlunya agar supaya istri tahu kesulitan apa yang dihadapi suami dan ikut membantu suami memecahkan masalah yang timbul,” kata Sang Dewi pula.
“Kesalahan Kanjeng Ibu barang kali, Kanjeng Ibu membiarkan Kanjeng Rama kemana saja pergi, tanpa Kanjeng Ibu mengetahuinya. Seharusnya Kanjeng Ibu bisa mengendalikan Kanjeng Rama. Jangan biarkan Kanjeng Rama berjalan sendiri. Kalau perlu dampingi Kanjeng Rama, sekalipun Kanjeng Rama mau pegi ke istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Seharusnya Kanjeng Ibu yang memegang kunci kandang kuda. Coba, Dewi tanya sekarang, di kandang kuda ada berapa ekor? Kanjeng Ibu pasti tidak tahu kuda-kuda Kanjeng Rama. Seharusnya Kanjeng Rama tidak bisa pergi menggunakan kuda tanpa ijin Kanjeng Ibu. Kanjeng Ibu tahu berapa ekor kuda Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi.
“Tiga ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Baik, Kanjeng Rama pagi ini pergi memakai kuda. Menurut Ibu ada berapa ekor kuda Kanjeng Rama di kandang?”
“Dua ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Ibu kurang teliti. Seharusnya pagi ini di kandang ada empat ekor kuda, karena Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna menitipkan dua kudanya di kandang Kanjeng Rama. Tetapi kalau Kanjeng Ibu lihat di kandang kuda, hanya ada tiga ekor kuda. Satu milik Kanjeng Rama, dua lagi milik Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna. Tadi Kanjeng Ibu bilang kuda Kanjeng Rama ada tiga. Ditambah dua kuda titipan, harusnya ada lima ekor kuda. Dipakai satu oleh Kanjeng Rama. Seharusnya pagi ini di kandang kuda ada empat  ekor kuda. Kenyataannya hanya ada tiga ekor kuda. Menurut Ibu kemana satu ekor kuda Kanjeng Rama?”
“Satu kuda telah hilang,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Bukan hilang, Kanjeng Ibu! Tetapi Kanjeng Rama telah melepasnya untuk menikahi istri barunya! Coba Kanjeng Ibu ingat-ingat, sejak kapan Kanjeng Rama jarang tidur dengan Kanjeng Ibu?”
“Kira-kira sejak tiga bulan lalu.”
“Sekarang aku panggil tukang perawat kuda Kanjeng Rama,” kata Sang Dewi sambil melangkah keluar menyuruh seorang bujang untuk memanggil tukang perawat kuda menghadap Sang Dewi dan Kanjeng Ayu Adipati. Tak lama kemudian seorang perawat kuda yang sudah dikenal Sang Dewi menghadap.
“Patik, berapa jumlah kuda Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi kepada tukang perawat kuda disaksikan Kanjeng Ayu Adipati.
“Dulu ada tiga, kini tinggal dua. Tadi pagi dipakai Kanjeng Adipati satu. Titipan Ndara Kamandaka dan Silihwarna dua. Jadi sekarang di kandang kuda ada tiga ekor kuda,” jawab tukang perawat kuda.
“Kuda Kanjeng Rama berkurang satu?”
“Betul, Ndara Putri?”
“Sejak kapan?”
“Kira-kira sejak tiga bulan yang lalu,” jawab tukang perawat kuda.
“Kanjeng Ibu, benar bukan? Sejak tiga bulan  lalu!” kata Sang Dewi sambil menyuruh tukang perawat kuda kembali ke kandang untuk mempersiapkan tiga ekor kuda yang akan segera dipakai, termasuk kuda Kamandaka dan Silihwarna. Kanjeng Ayu Adipati diam saja. Bahkan akan menangis lagi. Sang Dewi kembali memeluknya.
“Sudahlah, Kanjeng Ibu. Katakan kepada Kanjeng Rama pesan Dewi tadi. Dewi tidak ingin Kanjeng Rama punya istri muda lagi. Katakan kalau tidak segera dicerai, dewi akan mengadakan pesta untuk merayakan pernikahan Kanjeng Rama dengan istri terbarunya, agar seluruh punggawa dan rakyat Kadipaten Pasirluhur tahu, bahwa Kanjeng Rama yang sudah sepuh itu, masih suka pada daun muda,”  kata Sang Dewi kepada ibundanya.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar