“Pasukan kepala udang justru harus bisa
membiarkan pasukan Gajah Nusakambangan terus bergerak maju ke utara mengikuti
tandu calon mempelai pria yang bergerak masuk jalur utara dengan diiringi
barisan gadis kembar. Tugas pasukan penjepit kanan, adalah segera memotong dan
memisahkan barisan gadis kembar dan ketiga prajurit wanita pengawalnya dari
pasukan Gajah yang mengikuti dari belakang. Setelah barisan gadis kembar dan tiga prajurit wanita
berhasil dipisahkan dengan pasukan Gajah yang ada dibelakangnya, barulah
pertempuran yang sesungguhnya bisa dimulai, sebagaimana yang sudah aku jelaskan
pada pelaksanaan operasi perang,” kata Sang Dewi mengakhiri uraiannya yang
ditanggapi dengan wajah-wajah yang sepenuhnya dapat mengerti.
“Terima-kasih. Dinda Dewi telah memberikan
gambaran lengkap formasi perang pasukan Pasirluhur dan Dayeuhluhur dalam
menghadapi pasukan Nusakambangan. Langkah berikutnya, mulai besok panglima
lapangan harus sudah menyusun rencana pelatihan pasukan di lokasi-lokasi yang
telah ditetapkan. Terimakasih atas perhatian semuanya,” kata Kamandaka. Dia
bermaksud akan segera menutup pertemuan kordinasi itu. Tetapi Sang Dewi yang
duduk di samping Kamandaka segera membisikkan sesuatu.
“Oh, ya maaf lupa. Terimakasih Dinda Dewi
telah mengingatkan. Masih ada dua acara lagi. Silahkan Dimas Arya Baribin jika
ingin menyampaikan sesuatu,” kata Kamandaka kepada Arya Baribin. Ksatria
Majaphit itu segera berdiri dan berjalan menghadap Kanjeng Adipati Kandhadaha.
Setelah menghormat dengan membungkukkan badan dengan berdiri tegak, Arya
Baribin mengucapkan janji setia.
“Sahaya Arya Baribin, melalui Kanjeng Adipati
Kandhadaha,Kanjeng-Adipati-Kadipaten Pasirluhur, dengan ini sahaya-menyatakan
sumpah setia sahaya kepada Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan Pajajaran.
Sahaya bersedia mengorbankan jiwa dan raga sahaya untuk membela para kawula
Kerajaan Pajajaran di bagian mana pun, demi kebesaran dan keagungan Kerajaan
Pajajaran,” kata Arya Baribin mengucapkan janji sumpah setia kepada Kerajaan
Pajajaran. Sang Adipati mewakil Sri
Baginda Prabu Siliwangi menerima janji
setia Arya Baribin.
“Saya, Adipati Kandhadaha dari Kadipaten
Pasirluhur, dalam kesempatan ini mewakili Sri Baginda Prabu Siliwangi di Pakuan
Pajajaran menerima sumpah setia Ananda Arya Baribin,” kata Kanjeng Adipati yang
berdiri di depan Arya Baribin, kemudian menyalaminya sebagai ucapan selamat.
Sejak saat itu Arya Baribin telah
diterima sebagai anggota keluarga besar para Kstaria Kerajaan Pajajaran. Tepuk
tangan terdengar mengiringi selesainya pengucapan janji setia Arya Baribin.
“Selanjutnya Dinda Ratna Pamekas, dipersilahkan
jika ingin menyampaikan sesuatu kepada Dimas Arya Baribin,” kata Kamandaka
kepada Ratna Pamekas yang hari itu tampil cantik dengan wajah ceria dan menyungging senyum di bibir
mungilnya.
“Kangmas Arya Baribin, terimalah pusaka Kujang
Kancana Shakti Kerajaan Pajajaran dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi
untuk membela kepentingan Kerajaan Pajajaran di manapun Kangmas Arya berada,”
kata Ratna Pamekas sambil menyerahkan pusaka Kerajaan Pajajaran yang segera
diterima Arya Baribin dengan suka-cita.
Arya Baribin segera mencium punggung telapak
tangan kanan Ratna Pamekas. Gelang emas yang melilit pergelang tangan Ratna
Pamekas dan cincin emas bermata berlian yang ada di jari manisnya,
berkilau-kilauan memantulkan cahayanya kian kemari. Tepuk tangan kembali terdengar mengiringi
kegembiraan Arya Baribin dan Ratna Pamekas. Sebab sesuai dengan amanat Sri
Baginda Prabu Siliwangi, dengan menyerahkan pusaka Kujang Kancana Shakti kepada
Arya Baribin, berarti Ratna Pamekas telah menjatuhkan pilihannya. Dia telah
memilih dan menerima Arya Baribin, Ksatria trah Majapahit itu, sebagai calon
suaminya. Kamandaka dan Silihwarna terharu sekaligus bangga kepada adiknya yang
mereka cintai itu. Sebab, Ratna Pamekas telah berhasil menemukan pria calon
pendamping hidupnya.
Acara siang hari itu diakhiri dengan
pelantikan para panglima perang dan panglima pasukan gabungan Pasirluhur dan Dayeuhluhur
oleh Kanjeng Adipati Pasirluhur. Mereka yang dilantik adalah Kamandaka,
Silihwarna, Wirapati, dan Arya Baribin. Selesai pelantikan, pertemuan ditutup,
dilanjutkan dengan ramah tamah dan santap siang bersama di Dalem Kadipaten.
***
Pagi setelah
santap sarapan bersama, Wirapati mohon diri kepada Kanjeng Adipati, Kanjeng Ayu
Adipati,-Sang-Dewi,Kamandaka,Ratna-Pamekas-dan-Arya-Baribin, untuk kembali ke
Dayeuhluhur. Dia memang harus segera pulang karena harus menyiapkan pelatihan
pasukan dan menyambut-kedatangan-pasukan Kadipaten Galuh yang-akan-diperbantuan-dalam-perang-melawan-Nusakambangan.
“Dinda Silihwarna, Kanda titip Dinda
Mayangsari,” kata Wirapati saat berpamitan kepada Silihwarna yang pagi itu
didampingi Mayangsari. Mayangsari sengaja ditinggal di Kadipaten Pasirluhur
untuk menemani Ratna Pamekas. Lagi pula, Mayangsari sudah dilamar Silihwarna.
“Baik, Kanda Wirapati. Pasti Dinda Mayangsari
akan aku jaga sebaik-baiknya. Selamat jalan dan selamat berjuang, teriring
salam untuk Ayah dan-Bunda Kanjeng Adipati Dayeuhluhur,” kata Silihwarna sambil
memeluk Wirapati. Mayangsari menatap kakaknya dengan senyum bahagia, ketika
kedua ksatria itu saling berpelukan. Wirapati segera memacu kudanya
meninggalkan saudara-saudaranya yang sedang berbahagia diiringi tatapan mata
para Kstaria Kadipaten Pasirluhur, sampai kuda yang membawa Wirapati itu lenyap
di sebuah tikungan.
“Kasihan juga nasib Dinda Wirapati. Semoga
segera menemukan pengganti Niken Gambirarum, kekasihnya tercinta yang telah
tewas,” bisik Kamandaka kepada Sang Dewi yang berdiri di sampingnya. Sang Dewi menjawab dengan anggukan dan
tatapan mata sedih.
‘‘Kanda, kapan kita meninjau rencana lokasi
pelatihan prajurit di Baturagung dan Kendalisada?”
“Asal Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu
mengijinkan, hari ini juga tidak apa-apa. Memang hal itu sudah aku pikirkan,
Dinda Dewi.”
“Urusan ijin dari Kanjeng Rama dan Kanjeng
Ibu, biar aku yang mengurusnya. Tugas Kanda sekarang cari kuda yang bagus,”
kata Sang Dewi. Dia segera meninggalkan Kamandaka. Sang Dewi bergegas menemui Kanjeng Ayu Adipati untuk minta ijin.
Sementara-itu,Kamandaka menemui Silihwarna dan
Arya Baribin untuk membicarakan usul Sang Dewi. Tentu saja Silihwarna dan Arya
Baribin langsung menyambut gembira. Apa lagi Mayangsari dan Ratna Pamekas akan diajak. “Tinggal cari satu kuda lagi
untuk Dimas Arya Baribin. Biar aku minta tolong Tumenggung Maresi mencarikan
kuda dan mempersiapkan perbekalan,” kata Silihwarna yang disetujui Kamandaka.
Silihwarna segera pergi ke Pendapa Kadipaten untuk menemui Tumenggung Maresi.
Sementara itu Sang Dewi langsung masuk kamar
Kanjeng Ayu Adipati dan melihat Ibunya sedang duduk di depan meja rias sambil
memandang wajahnya yang cantik itu di dalam cermin rias.
“Lho, Kanjeng Ibu pagi-pagi begini malah
menangis. Pasti baru bertengkar dengan Kanjeng Rama!” kata Sang Dewi yang
segera tahu ibunya sedang menangis karena matanya basah oleh air mata. ”Kemana
Kanjeng Rama? Pagi-pagi begini sudah pergi?”
Kanjeng Ayu Adipati tidak menjawab, tetapi
Sang Dewi segera tahu, kemana Kanjeng Adipati itu pergi. Padahal tadi pagi
masih ikut mengantarkan Wirapati. Rupanya Kanjeng Adipati pergi secara
diam-diam. “Berapa malam dalam seminggu Kanjeng Rama meninggalkan Kanjeng Ibu
sendirian?”
“Empat malam,” jawab Kanjeng Ayu Adipati
sambil menahan isak tangisnya.
“Empat malam tiap minggu tidak bersama Ibu? Kanjeng
Rama bilang kepada Dewi hanya dua malam?”
“Ya, itulah Kanjeng Ramamu, suka berbohong.”
“Salah Ibu juga sih, lemah mengendalikan
Kanjeng Rama. Padahal Kanjeng Ibu itu istri paling cantik dan paling cerdas
dibanding istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Katakan pada Kanjeng Rama kalau
sudah kembali, Dewi tidak ingin punya Ibu tiri lagi! Tidak ingin punya adik
tiri lagi! Kanjeng Ibu juga jangan gampang larut dalam kesedihan. Kanjeng Rama
punya istri muda lagi, betul Kanjeng Ibu?” Kembali Kanjeng Ayu Adipati diam tak
menjawab. Tetapi tangisnya malah meledak.
“Sudahlah Kanjeng Ibu, sabar saja,” kata Sang
Dewi sambil memeluk dengan segenap kasih sayang pada ibundanya yang amat
dicintainya itu.
“Mudah-mudahan kelak Ananda Kamandaka tidak
seperti Kanjeng Ramamu,”
“Dewi sudah meminta Kanda Kamandaka untuk
bersumpah disaksikan Yang Maha Menguasai Jagad ini, bahwa Kanda Kamandaka akan
menjadikan aku sebagai satu-satunya istri sampai maut memisahkan kami berdua.
Kewajiban Dewi hanyalah menjaga agar
Kanda Kamandaka selalu memegang teguh sumpah yang pernahkan diucapkannya itu,”
kata Sang Dewi menghibur Ibundanya.
“Bagi seorang suami,” kata Sang Dewi lagi,
“Istri itu sering disebutnya sebagai garwa, yang berarti belahan jiwa. Sebagai
belahan jiwa, seorang istri itu harus tahu kemana saja suami pergi. Bila perlu
istri selalu mendampingi suami kemana saja. Bahkan seandainya suami pergi ke
lubang semut istri pun harus ikut. Perlunya agar supaya istri tahu kesulitan
apa yang dihadapi suami dan ikut membantu suami memecahkan masalah yang
timbul,” kata Sang Dewi pula.
“Kesalahan Kanjeng Ibu barang kali, Kanjeng
Ibu membiarkan Kanjeng Rama kemana saja pergi, tanpa Kanjeng Ibu mengetahuinya.
Seharusnya Kanjeng Ibu bisa mengendalikan Kanjeng Rama. Jangan biarkan Kanjeng
Rama berjalan sendiri. Kalau perlu dampingi Kanjeng Rama, sekalipun Kanjeng
Rama mau pegi ke istri-istri Kanjeng Rama yang lain. Seharusnya Kanjeng Ibu
yang memegang kunci kandang kuda. Coba, Dewi tanya sekarang, di kandang kuda
ada berapa ekor? Kanjeng Ibu pasti tidak tahu kuda-kuda Kanjeng Rama. Seharusnya
Kanjeng Rama tidak bisa pergi menggunakan kuda tanpa ijin Kanjeng Ibu. Kanjeng
Ibu tahu berapa ekor kuda Kanjeng Rama?” tanya Sang Dewi.
“Tiga ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Baik, Kanjeng Rama pagi ini pergi memakai
kuda. Menurut Ibu ada berapa ekor kuda Kanjeng Rama di kandang?”
“Dua ekor,” jawab Kanjeng Ayu Adipati.
“Kanjeng Ibu kurang teliti. Seharusnya pagi
ini di kandang ada empat ekor kuda, karena Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna
menitipkan dua kudanya di kandang Kanjeng Rama. Tetapi kalau Kanjeng Ibu lihat
di kandang kuda, hanya ada tiga ekor kuda. Satu milik Kanjeng Rama, dua lagi
milik Kanda Kamandaka dan Dinda Silihwarna. Tadi Kanjeng Ibu bilang kuda
Kanjeng Rama ada tiga. Ditambah dua kuda titipan, harusnya ada lima ekor kuda.
Dipakai satu oleh Kanjeng Rama. Seharusnya pagi ini di kandang kuda ada
empat ekor kuda. Kenyataannya hanya ada
tiga ekor kuda. Menurut Ibu kemana satu ekor kuda Kanjeng Rama?”
“Satu kuda telah hilang,” jawab Kanjeng Ayu
Adipati.
“Bukan hilang, Kanjeng Ibu! Tetapi Kanjeng
Rama telah melepasnya untuk menikahi istri barunya! Coba Kanjeng Ibu
ingat-ingat, sejak kapan Kanjeng Rama jarang tidur dengan Kanjeng Ibu?”
“Kira-kira sejak tiga bulan lalu.”
“Sekarang aku panggil tukang perawat kuda
Kanjeng Rama,” kata Sang Dewi sambil melangkah keluar menyuruh seorang bujang
untuk memanggil tukang perawat kuda menghadap Sang Dewi dan Kanjeng Ayu
Adipati. Tak lama kemudian seorang perawat kuda yang sudah dikenal Sang Dewi
menghadap.
“Patik, berapa jumlah kuda Kanjeng Rama?”
tanya Sang Dewi kepada tukang perawat kuda disaksikan Kanjeng Ayu Adipati.
“Dulu ada tiga, kini tinggal dua. Tadi pagi
dipakai Kanjeng Adipati satu. Titipan Ndara Kamandaka dan Silihwarna dua. Jadi
sekarang di kandang kuda ada tiga ekor kuda,” jawab tukang perawat kuda.
“Kuda Kanjeng Rama berkurang satu?”
“Betul, Ndara Putri?”
“Sejak kapan?”
“Kira-kira sejak tiga bulan yang lalu,” jawab
tukang perawat kuda.
“Kanjeng Ibu, benar bukan? Sejak tiga bulan lalu!” kata Sang Dewi sambil menyuruh tukang
perawat kuda kembali ke kandang untuk mempersiapkan tiga ekor kuda yang akan
segera dipakai, termasuk kuda Kamandaka dan Silihwarna. Kanjeng Ayu Adipati
diam saja. Bahkan akan menangis lagi. Sang Dewi kembali memeluknya.
“Sudahlah, Kanjeng Ibu. Katakan kepada Kanjeng
Rama pesan Dewi tadi. Dewi tidak ingin Kanjeng Rama punya istri muda lagi.
Katakan kalau tidak segera dicerai, dewi akan mengadakan pesta untuk merayakan pernikahan
Kanjeng Rama dengan istri terbarunya, agar seluruh punggawa dan rakyat
Kadipaten Pasirluhur tahu, bahwa Kanjeng Rama yang sudah sepuh itu, masih suka
pada daun muda,” kata Sang Dewi kepada
ibundanya.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar