“Sudah dari tadi Biyung Emban ikut-ikutan
memandangi bulan purnama, Ndara Putri,” jawab Khandegwilis, .
“Lalu apa yang Biyung pikirkan saat memandang
bulan purnama tanggal empat belas itu?”
“Yang hamba pikirkan malam-malam seperti ini,
bisa jadi Kakang Rekajaya sedang mancing di pinggir Sungai Ciserayu, Ndara
Putri.”
Rekajaya sudah pulang ke Kaliwedi, begitu
Kamandaka pulang ke Pakuan Pajajaran. Si Lutung Kasarung, sudah dibuatkan rumah
kayu bagus, menempel pada pohon nangka di timur bangunan, tidak jauh dari bekas
kamar tempat Rekajaya mondok. Seorang bujang sudah dilatih untuk mengurus segala keperluan monyet
kesayangan Sang Dewi.
“O, Rekajaya gemar mancing, ya?” tanya Sang
Dewi.
“Betul, Ndara Putri. Ikan baceman Sungai
Ciserayu, ikan kegemaran-Kakang-Rekajaya.”
“Sejak pulang ke rumah Nyai Kertisara di
Kaliwedi, apakah Rekajaya sudah pernah
ketemu lagi dengan Biyung Emban?”
“Lho, sudah dua kali menemui hamba. Tapi hanya
sampai di gardu jaga di depan. Kakang Rekajaya mengirimkan lima keranjang gula
kelapa dan lima keranjang gula Aren untuk Kanjeng Adipati. Hamba ajak menemui
Ndara Putri, tidak mau. Katanya malu,” kata Khandegwilis yang membuat Sang Dewi
tertawa ketika mendengar kata malu.
“Aku tidak tahu. Jadi, sudah dua kali mengirim
gula kelapa dan gula aren untuk Kanjeng Rama?”
“Benar, Ndara Putri.Tentu saja maksudnya kiriman
itu untuk Ndara Putri. Kakang Rekajaya pun-hanya melaksanakan pesan Ndara
Kamandaka pada waktu mau pulang ke Pakuan Pajajaran.”
“Oh. Begitu. Berarti Kanda Kamandaka selalu
ingat aku, Biyung Emban?”
“Tentu saja, Ndara Putri. Hamba yakin Ndara
Kamandaka tiap malam tidak bisa tidur karena selalu ingat Ndara Putri,” kata Khandegwilis
yang membuat Sang Dewi terhibur hatinya.
“Jika Rekajaya
malam-ini sedang mancing di pinggir Sungai Ciserayu, menurut-Biyung-Emban,kira-kira
apa yang sedang dilakukan Kanda Kamandaka?” tanya Sang Dewi pula.
“Ya, sama dengan Ndara Putri sekarang ini. Ndara
Kamandaka juga sedang menatap bulan tanggal empat belas itu sambil mengenang
Ndara Putri.”
“Bulan lalu tanggal empat belas Kanda
Kamandaka duduk di sini,” kata Sang Dewi sambil menunjuk kursi kosong yang ada
di sebelahnya. “Sekarang sudah tanggal empat belas lagi. Berarti Kanda
Kamandaka meninggalkan Kadipaten Pasirluhur, sudah berapa hari, Biyung Emban?”
Khandegwilis yang sudah pandai berhitung dan
membaca karena diajari Sang Dewi, dengan cepat bisa menjawab,“ Kurang lebih
sudah 30 hari, Ndara Putri.”
“Ya, benar,” kata Sang Dewi, “Aku dengar
Rekajaya membantu kakaknya Nyai Kertisara yang menggeluti usaha jual beli gula
kelapa dan gula aren. Tentu Biyung Emban juga harus pandai berhitung, jangan
kalah dengan Rekajaya.”
“Hamba bisa karena diajari Ndara Putri,” kata Khandegwilis.
Sang-Dewi kembali membicarakan Kamandaka.
“Kanda Kamandaka berjanji hanya perlu waktu 20
hari saja. Ternyata sudah 30 hari belum tiba juga. Kanda Kamandaka itu memang
pria yang tidak pernah menepati janji. Padahal janji itu adalah kesanggupan yang
harus ditepati. Ini yang paling aku benci pada Kanda Kamandaka. Sering tidak
tepat waktu bila berjanji!” kata Sang Dewi dengan nada mulai jengkel karena
kesal menunggu.
“Tak apa Ndara Putri, benci sedikit asal lebih
banyak rindunya,” kata Khandegwilis mencoba menghibur Ndara Putrinya yang sedang kesal itu.
“Kalau ada di sampingku, Kanda Kamandaka pasti sudah aku cubit!”
“Tapi jangan keras-keras, Ndara Putri. Kasihan,
hamba tidak sampai hati, lho,” kata Khandegwilis.
“Apakah cubitanku terlalu-keras?”
“Wah, bukan keras lagi. Tapi suangaaat keras.
Sampai-sampai teriakan Ndara Kamandaka waktu itu mengejutkan hamba yang sedang
di dapur. Jangan-jangan waktu itu Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati di
Dalem Gede juga mendengar suara Ndara Kamandaka,” kata Khandegwilis yang ditanggapi Sang Dewi dengan tertawa.
“Biyung Emban tidak tahu sih. Sebenarnya Kanda
Kamandaka waktu itu hanya pura-pura berteriak dan pura-pura sakit.”
“Ah, masa? Mana ada orang dicubit pura-pura
sakit dan pura-pura berteriak?” tanya Khandegwilis menyangkal keterangan Ndara
Putrinya itu.
“Lho, buktinya Kanda Kamandaka langsung
memeluk dan mencium aku, Biyung Emban.”
“Oh, iya? Hihihi…, Biyung Emban tidak tahu,” Khandegwilis
tertawa mendengar ceritera reaksi Kamandaka saat dicubit Ndara Putrinya itu.
“Pernah mencubit
Rekajaya, apa belum?”
“Ah, belum, Ndara Putri.”
“Kalau begitu, belum pernah dicium Rekajaya?”
tanya Sang Dewi menyelidik.
“Oh, kalau itu baru dua kali, Ndara Putri. Semuanya
di dekat gardu depan pada waktu mau pulang setelah mengantarkan gula. Dua
minggu yang lalu di pipi kanan. Minggu kemarin pipi kiri,” kata Khandegwilis
berterus terang.
“Wah, bakal jadi sungguhan dengan Rekajaya,
syukurlah, ” kata Sang Dewi menggoda.
“Ah, tidak tahu, Ndara Putri. Yang penting
jalan saja dulu. Hamba sudah sama-sama tua. Inginnya Kakang Rekajaya sih,
setelah pesta pernikahan Ndara Putri dengan Ndara Kamandaka,” kata Khandegwilis
agak malu-malu.
“Cinta itu, tidak mengenal usia, Biyung Emban.
Aku dan Kanda Kamandaka setuju sekali jika Biyung Emban mencoba membangun rumah
tangga kembali. Jika ada peluang dan Yang Maha Kuasa menghendakiNya, kenapa
tidak?”
“Terimakasih atas dukungan dan doanya, Ndara
Putri,” kata Khandegwilis. Wajahnya tampak
ceria dan matanya berbinar-binar.
Malam itu,
seperti biasanya Sang Dewi tidur di atas ranjangnya sambil memeluk
guling erat-erat. Khandegwilis yang tidur di bawah Ndara Putrinya dengan alas
tilam yang digelarnya, ikut-ikutan memeluk guling, padahal biasanya tidak
pernah.
***
Esok pagi harinya
ketika Sang Dewi sedang bermain-main dengan si Lutung, tiba-tiba Khandegwilis
mendatanginya dan berkata dengan tergopoh-gopoh.
”Ndara Putri! Dipanggil Kanjeng Rama. Ndara
Kamandaka baru saja tiba dengan adiknya dan saudaranya. Sekarang ada di ruang
tamu Dalem Gede. Juga-ada Kakang Rekajaya dan kakaknya, Nyai Kertisara. Ada
pula Ndara Silihwarna. Ndara Wirapati datang-dengan adiknya, Dyah Ayu
Mayangsari. Satu pria lagi, hamba belum
pernah lihat. Ada pula satu gadis cantik, sepertinya adik Ndara Kamandaka.
Cepat kesana, Ndara Putri. Ndara Kamandaka tadi menanyakan Ndara Putri. Mereka
mau menginap di sini semua. Para bujang sudah dikerahkan menyiapkan kamar.”
Mendengar pemberitahuan Khandegwilis, Sang
Dewi langsung menyuruh si Lutung supaya kembali ke rumahnya, sebuah kandang
kayu di pohon nangka, kiri bangunan. Si Lutung segera berlari pulang setelah
bersalaman dengan Sang Dewi.
Memang tiap hari Sang Dewi bermain-main dengan
si Lutung yang lucu dan menyenangkan. Selain Emban kesayangannya, si Lutunglah
yang menjadi penghibur Sang Dewi, selama masa-masa menunggu Kamandaka. Sang
Dewi sudah bosan dengan pekerjaan menunggu yang dirasakannya sangat menyiksa.
Oleh karena itu, betapa gembiranya dia ketika mendengar Kamandaka telah tiba
kembali. Setelah berhias lebih dulu, Sang Dewi bergegas menjemputnya,. Dalam
hati Sang Dewi hanya menduga-duga, siapakah
satu orang gadis dan satu orang pria yang semuanya belum pernah dikenal Khandegwilis.
Begitu bertemu, Sang Dewi langsung berpelukan
dengan Kamandaka. Di telinganya dia mendengar bisikan lembut, “Maaf Dinda Dewi,
aku terlambat sekitar sepuluh hari dari yang aku janjikan. Ada salam khusus untuk
Dinda Dewi dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi. Ingin sebenarnya Ayahanda
melihat seperti apa calon menantu putra
pertamanya. Tapi kondisi dan situasi belum memungkinkan untuk bisa melihat
wajah Dinda Dewi. Kenalkan, ini Adikku
yang pernah aku ceriterakan,” kata Kamandaka sambil mengenalkan Ratna Pamekas
yang segera mendekat. Keduanya segera berkenalan dengan saling berpelukan.
Mayangsari, adik Wirapati juga mendekat.
Keduanya pun saling berpelukan melepas rindu. Sang Dewi dengan Mayangsari dan
Wirapati saudara sepupu, tentu saja mereka sudah saling kenal.
Kemudian Kamandaka berturut turut mengenalkan
Arya Baribin dan Nyai Kertisara yang tampil dengan kain-kebaya,dan-tampak
anggun. Sang Dewi sudah mendengar kedua orang itu. Tetapi baru pada hari itu dia-bisa
mengenalnya. Selain Rekajaya dan Nyai Kertisara, semua tamu akan menginap di
Kadipaten. Wirapati, Silihwarna, dan Kamandaka ditempatkan di Taman Kaputran
sedangkan Ratna Pamekas dan Mayangsari, ditempatkan di kamar Taman kaputren,
yang berdampingan dengan kamar Sang Dewi. Jarak antara bangunan Taman Kaputran
dan Taman Kaputren tidak terlalu jauh,
hanya dipisahkan halaman taman bunga dan bangsal Pancaniti. Taman Kaputran
biasa ditempati para-menantu Kanjeng Adipati Khandadaha, sebelum pindah membawa
istrinya yang merupakan putri-putri Kanjeng Adipati Khandadaha dari istri
terdahulu.
Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati sangat
senang dengan tamu-tamunya yang tidak lama lagi akan membentuk keluarga besar
Kadipaten Pasirluhur. Kanjeng Adipati juga senang karena trah Pajajaran dan
trah Majapahit bisa berkumpul di Kadipaten Pasirluhur. Dia bangga karena
Kadipaten Pasirluhur akan-bisa menjadi poros yang menyambungkan kembali tali
silaturahmi trah Pajajaran dan trah
Majapahit yang sempat terputus akibat tragedi Bubat.
Bagi Kanjeng Adipati-dan-Kanjeng-Ayu Adipati,
kehadiran kembali Kamandaka di Kadipaten Pasirluhur bukan hanya memberikan
jaminan kepastian hubungan Kamandaka dengan Sang Dewi. Tetapi tidak kalah
pentingnya adalah persiapan perang melawan Nusakambangan yang waktunya tinggal
90 hari lagi. Memang untuk keperluan persiapan perang itulah,maka Kamandaka, Silihwarna,
dan Ratna Pamekas, dalam perjalanannya kembali ke Pasirluhur menyempatkan diri singgah-lagi
di Kadipaten Dayeuhluhur. Mereka pun-kembali menginap.
Kesempatan
mengunjungi Kadipaten Dayeuhluhur yang ke dua kalinya itu dimanfaatkan dengan
baik oleh Silihwarna untuk melamar Mayangsari. Kamandaka didampingi Ratna
Pamekas bertindak sebagai juru lamar sekaligus mewakili Sri Baginda Prabu
Siliwangi. Oleh karena itu Mayangsari yang sudah menjadi calon istri Silihwarna
diijinkan Kanjeng Adipati Dayeuhluhur menyertai rombongan-Kamandaka pergi ke
Pasirluhur. Wirapati yang telah diangkat sebagai wakil panglima tertinggi dan komandan
sektor barat, ikut bergabung ke dalam rombongan Kamandaka. Sebelum rombongan
tiba di Pasirluhur, Kamandaka menyempatkan diri singgah di kediaman Nyai
Kertisara di Kaliwedi.
Di kediaman Nyai Kertisara itulah Arya Baribin
yang disusul Rekajaya di Kademangan Kejawar
segera ikut bergabung. Arya Baribin, Ksatria Majapahit itu, segera
dikenalkan dengan Wirapati, Mayangsari, dan tentu saja dengan Ratna Pamekas. Sejak
di Pakuan Ratna Pamekas sudah-diberitahu, bahwa Arya Baribin adalah Ksatria
Majapahit yang ingin mengabdi kepada
Kerajaan Pajajaran. Selain itu Arya Baribin juga ingin menjalin hubungan
serius dengan dirinya. Saat itu juga
Ratna Pamekas langsung menyambutnya dengan gembira.
Rombongan Kamandaka baru berangkat menuju
Kadipaten Pasirluhur setelah menginap semalam di rumah Nyai Kertisara. Bahkan
Nyai Kertisara terpaksa meninggalkan kegiatan bisnis sehar-hari yang
digelutinya, karena ingin ikut mengantarkan Kamandaka ke Kadipaten
Pasirluhur.Matahari masih jauh dari puncak kubah langit, saat rombongan
Kamandaka tiba di halaman Pendapa Kadipaten. Bahkan sisa-sisa angin pagi yang
bertiup lembut mengisi relung-relung lembah Sungai Logawa masih terasa
menyejukkan kulit. Baru-pada siang harinya, setelah para tamu mendapatkan kamar
tempatnya menginap masing-masing, mereka semua bertemu lagi-dalam acara santap siang bersama dengan Kanjeng Adipati
dan Kanjeng Ayu Adipati.
Rencananya
besok pagi akan diadakan rapat komando membahas persiapan operasi
menggelar perang melawan Kerajaan Nusakambangan. Itulah Sebabnya Wirapati yang
kelak akan memegang komando sektor barat dan Arya Baribin yang akan memegang
komando sektor timur, ikut dalam rombongan Kamandaka.(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar