Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Rabu, 18 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(54)




“Sudah dari tadi Biyung Emban ikut-ikutan memandangi bulan purnama, Ndara Putri,” jawab Khandegwilis,  .
“Lalu apa yang Biyung pikirkan saat memandang bulan purnama tanggal empat belas itu?”
“Yang hamba pikirkan malam-malam seperti ini, bisa jadi Kakang Rekajaya sedang mancing di pinggir Sungai Ciserayu, Ndara Putri.”
Rekajaya sudah pulang ke Kaliwedi, begitu Kamandaka pulang ke Pakuan Pajajaran. Si Lutung Kasarung, sudah dibuatkan rumah kayu bagus, menempel pada pohon nangka di timur bangunan, tidak jauh dari bekas kamar tempat Rekajaya mondok. Seorang bujang sudah dilatih  untuk mengurus segala keperluan monyet kesayangan Sang Dewi.
“O, Rekajaya gemar mancing, ya?” tanya Sang Dewi.
“Betul, Ndara Putri. Ikan baceman Sungai Ciserayu, ikan kegemaran-Kakang-Rekajaya.”
“Sejak pulang ke rumah Nyai Kertisara di Kaliwedi, apakah  Rekajaya sudah pernah ketemu lagi dengan Biyung Emban?”
“Lho, sudah dua kali menemui hamba. Tapi hanya sampai di gardu jaga di depan. Kakang Rekajaya mengirimkan lima keranjang gula kelapa dan lima keranjang gula Aren untuk Kanjeng Adipati. Hamba ajak menemui Ndara Putri, tidak mau. Katanya malu,” kata Khandegwilis yang membuat Sang Dewi tertawa ketika mendengar kata malu.
“Aku tidak tahu. Jadi, sudah dua kali mengirim gula kelapa dan gula aren untuk Kanjeng Rama?”
“Benar, Ndara Putri.Tentu saja maksudnya kiriman itu untuk Ndara Putri. Kakang Rekajaya pun-hanya melaksanakan pesan Ndara Kamandaka pada waktu mau pulang ke Pakuan Pajajaran.”
“Oh. Begitu. Berarti Kanda Kamandaka selalu ingat aku, Biyung Emban?”
“Tentu saja, Ndara Putri. Hamba yakin Ndara Kamandaka tiap malam tidak bisa tidur karena selalu ingat Ndara Putri,” kata Khandegwilis yang membuat Sang Dewi terhibur hatinya.
“Jika Rekajaya  malam-ini sedang mancing di pinggir Sungai Ciserayu, menurut-Biyung-Emban,kira-kira apa yang sedang dilakukan Kanda Kamandaka?” tanya Sang Dewi pula.
“Ya, sama dengan Ndara Putri sekarang ini. Ndara Kamandaka juga sedang menatap bulan tanggal empat belas itu sambil mengenang Ndara Putri.”
“Bulan lalu tanggal empat belas Kanda Kamandaka duduk di sini,” kata Sang Dewi sambil menunjuk kursi kosong yang ada di sebelahnya. “Sekarang sudah tanggal empat belas lagi. Berarti Kanda Kamandaka meninggalkan Kadipaten Pasirluhur, sudah berapa hari, Biyung Emban?”
Khandegwilis yang sudah pandai berhitung dan membaca karena diajari Sang Dewi, dengan cepat bisa menjawab,“ Kurang lebih sudah 30 hari, Ndara Putri.”
“Ya, benar,” kata Sang Dewi, “Aku dengar Rekajaya membantu kakaknya Nyai Kertisara yang menggeluti usaha jual beli gula kelapa dan gula aren. Tentu Biyung Emban juga harus pandai berhitung, jangan kalah dengan Rekajaya.”
“Hamba bisa karena diajari Ndara Putri,” kata Khandegwilis. Sang-Dewi kembali membicarakan Kamandaka.
“Kanda Kamandaka berjanji hanya perlu waktu 20 hari saja. Ternyata sudah 30 hari belum tiba juga. Kanda Kamandaka itu memang pria yang tidak pernah menepati janji. Padahal janji itu adalah kesanggupan yang harus ditepati. Ini yang paling aku benci pada Kanda Kamandaka. Sering tidak tepat waktu bila berjanji!” kata Sang Dewi dengan nada mulai jengkel karena kesal menunggu.
“Tak apa Ndara Putri, benci sedikit asal lebih banyak rindunya,” kata Khandegwilis mencoba menghibur Ndara  Putrinya yang sedang kesal itu.
“Kalau ada di sampingku, Kanda Kamandaka  pasti sudah aku cubit!”
“Tapi jangan keras-keras, Ndara Putri. Kasihan, hamba tidak sampai hati, lho,” kata Khandegwilis.
“Apakah cubitanku terlalu-keras?”
“Wah, bukan keras lagi. Tapi suangaaat keras. Sampai-sampai teriakan Ndara Kamandaka waktu itu mengejutkan hamba yang sedang di dapur. Jangan-jangan waktu itu Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati di Dalem Gede juga mendengar suara Ndara Kamandaka,” kata Khandegwilis yang  ditanggapi Sang Dewi dengan tertawa.
“Biyung Emban tidak tahu sih. Sebenarnya Kanda Kamandaka waktu itu hanya pura-pura berteriak dan pura-pura sakit.”
“Ah, masa? Mana ada orang dicubit pura-pura sakit dan pura-pura berteriak?” tanya Khandegwilis menyangkal keterangan Ndara Putrinya itu.
“Lho, buktinya Kanda Kamandaka langsung memeluk dan mencium aku, Biyung Emban.”
“Oh, iya? Hihihi…, Biyung Emban tidak tahu,” Khandegwilis tertawa mendengar ceritera reaksi Kamandaka saat dicubit Ndara Putrinya  itu.
“Pernah mencubit Rekajaya, apa belum?”
“Ah, belum, Ndara Putri.”
“Kalau begitu, belum pernah dicium Rekajaya?” tanya Sang Dewi menyelidik.
“Oh, kalau itu baru dua kali, Ndara Putri. Semuanya di dekat gardu depan pada waktu mau pulang setelah mengantarkan gula. Dua minggu yang lalu di pipi kanan. Minggu kemarin pipi kiri,” kata Khandegwilis berterus terang.
“Wah, bakal jadi sungguhan dengan Rekajaya, syukurlah, ” kata Sang Dewi menggoda.
“Ah, tidak tahu, Ndara Putri. Yang penting jalan saja dulu. Hamba sudah sama-sama tua. Inginnya Kakang Rekajaya sih, setelah pesta pernikahan Ndara Putri dengan Ndara Kamandaka,” kata Khandegwilis agak malu-malu.
“Cinta itu, tidak mengenal usia, Biyung Emban. Aku dan Kanda Kamandaka setuju sekali jika Biyung Emban mencoba membangun rumah tangga kembali. Jika ada peluang dan Yang Maha Kuasa menghendakiNya, kenapa tidak?”
“Terimakasih atas dukungan dan doanya, Ndara Putri,”  kata Khandegwilis. Wajahnya tampak ceria dan matanya berbinar-binar.

Malam itu,  seperti biasanya Sang Dewi tidur di atas ranjangnya sambil memeluk guling erat-erat. Khandegwilis yang tidur di bawah Ndara Putrinya dengan alas tilam yang digelarnya, ikut-ikutan memeluk guling, padahal biasanya tidak pernah.
***
Esok pagi harinya ketika Sang Dewi sedang bermain-main dengan si Lutung, tiba-tiba Khandegwilis mendatanginya dan berkata dengan tergopoh-gopoh.
”Ndara Putri! Dipanggil Kanjeng Rama. Ndara Kamandaka baru saja tiba dengan adiknya dan saudaranya. Sekarang ada di ruang tamu Dalem Gede. Juga-ada Kakang Rekajaya dan kakaknya, Nyai Kertisara. Ada pula Ndara Silihwarna. Ndara Wirapati datang-dengan adiknya, Dyah Ayu Mayangsari.  Satu pria lagi, hamba belum pernah lihat. Ada pula satu gadis cantik, sepertinya adik Ndara Kamandaka. Cepat kesana, Ndara Putri. Ndara Kamandaka tadi menanyakan Ndara Putri. Mereka mau menginap di sini semua. Para bujang sudah dikerahkan  menyiapkan kamar.”
Mendengar pemberitahuan Khandegwilis, Sang Dewi langsung menyuruh si Lutung supaya kembali ke rumahnya, sebuah kandang kayu di pohon nangka, kiri bangunan. Si Lutung segera berlari pulang setelah bersalaman dengan Sang Dewi.
Memang tiap hari Sang Dewi bermain-main dengan si Lutung yang lucu dan menyenangkan. Selain Emban kesayangannya, si Lutunglah yang menjadi penghibur Sang Dewi, selama masa-masa menunggu Kamandaka. Sang Dewi sudah bosan dengan pekerjaan menunggu yang dirasakannya sangat menyiksa. Oleh karena itu, betapa gembiranya dia ketika mendengar Kamandaka telah tiba kembali. Setelah berhias lebih dulu, Sang Dewi bergegas menjemputnya,. Dalam hati Sang Dewi  hanya menduga-duga, siapakah satu orang gadis dan satu orang pria yang semuanya belum pernah dikenal Khandegwilis.
Begitu bertemu, Sang Dewi langsung berpelukan dengan Kamandaka. Di telinganya dia mendengar bisikan lembut, “Maaf Dinda Dewi, aku terlambat sekitar sepuluh hari dari yang aku janjikan. Ada salam khusus untuk Dinda Dewi dari Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi. Ingin sebenarnya Ayahanda melihat seperti  apa calon menantu putra pertamanya. Tapi kondisi dan situasi belum memungkinkan untuk bisa melihat wajah Dinda Dewi.  Kenalkan, ini Adikku yang pernah aku ceriterakan,” kata Kamandaka sambil mengenalkan Ratna Pamekas yang segera mendekat. Keduanya segera berkenalan dengan saling berpelukan. Mayangsari, adik Wirapati  juga mendekat. Keduanya pun saling berpelukan melepas rindu. Sang Dewi dengan Mayangsari dan Wirapati saudara sepupu, tentu saja mereka sudah saling kenal.
Kemudian Kamandaka berturut turut mengenalkan Arya Baribin dan Nyai Kertisara yang tampil dengan kain-kebaya,dan-tampak anggun. Sang Dewi sudah mendengar kedua orang itu. Tetapi baru pada hari itu dia-bisa mengenalnya. Selain Rekajaya dan Nyai Kertisara, semua tamu akan menginap di Kadipaten. Wirapati, Silihwarna, dan Kamandaka ditempatkan di Taman Kaputran sedangkan Ratna Pamekas dan Mayangsari, ditempatkan di kamar Taman kaputren, yang berdampingan dengan kamar Sang Dewi. Jarak antara bangunan Taman Kaputran dan Taman Kaputren  tidak terlalu jauh, hanya dipisahkan halaman taman bunga dan bangsal Pancaniti. Taman Kaputran biasa ditempati para-menantu Kanjeng Adipati Khandadaha, sebelum pindah membawa istrinya yang merupakan putri-putri Kanjeng Adipati Khandadaha dari istri terdahulu.
Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati sangat senang dengan tamu-tamunya yang tidak lama lagi akan membentuk keluarga besar Kadipaten Pasirluhur. Kanjeng Adipati juga senang karena trah Pajajaran dan trah Majapahit bisa berkumpul di Kadipaten Pasirluhur. Dia bangga karena Kadipaten Pasirluhur akan-bisa menjadi poros yang menyambungkan kembali tali silaturahmi  trah Pajajaran dan trah Majapahit yang sempat terputus akibat tragedi Bubat.
Bagi Kanjeng Adipati-dan-Kanjeng-Ayu Adipati, kehadiran kembali Kamandaka di Kadipaten Pasirluhur bukan hanya memberikan jaminan kepastian hubungan Kamandaka dengan Sang Dewi. Tetapi tidak kalah pentingnya adalah persiapan perang melawan Nusakambangan yang waktunya tinggal 90 hari lagi. Memang untuk keperluan persiapan perang itulah,maka Kamandaka, Silihwarna, dan Ratna Pamekas, dalam perjalanannya kembali ke Pasirluhur menyempatkan diri singgah-lagi di Kadipaten Dayeuhluhur. Mereka pun-kembali menginap.

Kesempatan mengunjungi Kadipaten Dayeuhluhur yang ke dua kalinya itu dimanfaatkan dengan baik oleh Silihwarna untuk melamar Mayangsari. Kamandaka didampingi Ratna Pamekas bertindak sebagai juru lamar sekaligus mewakili Sri Baginda Prabu Siliwangi. Oleh karena itu Mayangsari yang sudah menjadi calon istri Silihwarna diijinkan Kanjeng Adipati Dayeuhluhur menyertai rombongan-Kamandaka pergi ke Pasirluhur. Wirapati yang telah diangkat sebagai wakil panglima tertinggi dan komandan sektor barat, ikut bergabung ke dalam rombongan Kamandaka. Sebelum rombongan tiba di Pasirluhur, Kamandaka menyempatkan diri singgah di kediaman Nyai Kertisara di Kaliwedi.
Di kediaman Nyai Kertisara itulah Arya Baribin yang disusul Rekajaya di Kademangan Kejawar  segera ikut bergabung. Arya Baribin, Ksatria Majapahit itu, segera dikenalkan dengan Wirapati, Mayangsari, dan tentu saja dengan Ratna Pamekas. Sejak di Pakuan Ratna Pamekas sudah-diberitahu, bahwa Arya Baribin adalah Ksatria Majapahit yang ingin mengabdi kepada  Kerajaan Pajajaran. Selain itu Arya Baribin juga ingin menjalin hubungan serius dengan dirinya. Saat itu juga  Ratna Pamekas langsung menyambutnya dengan gembira.
Rombongan Kamandaka baru berangkat menuju Kadipaten Pasirluhur setelah menginap semalam di rumah Nyai Kertisara. Bahkan Nyai Kertisara terpaksa meninggalkan kegiatan bisnis sehar-hari yang digelutinya, karena ingin ikut mengantarkan Kamandaka ke Kadipaten Pasirluhur.Matahari masih jauh dari puncak kubah langit, saat rombongan Kamandaka tiba di halaman Pendapa Kadipaten. Bahkan sisa-sisa angin pagi yang bertiup lembut mengisi relung-relung lembah Sungai Logawa masih terasa menyejukkan kulit. Baru-pada siang harinya, setelah para tamu mendapatkan kamar tempatnya menginap masing-masing, mereka semua bertemu lagi-dalam acara  santap siang bersama dengan Kanjeng Adipati dan Kanjeng Ayu Adipati.
Rencananya  besok pagi akan diadakan rapat komando membahas persiapan operasi menggelar perang melawan Kerajaan Nusakambangan. Itulah Sebabnya Wirapati yang kelak akan memegang komando sektor barat dan Arya Baribin yang akan memegang komando sektor timur, ikut dalam rombongan Kamandaka.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar