Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 13 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(53)





“Itulah buah kerja keras Dinda Wirapati yang tak kenal lelah untuk menemukan kembali kekasihnya yang hilang,” jawab Sang Dewi. “Dinda Wirapati berhasil menjalin hubungan rahasia dengan seorang gadis Pondok Tamanbidadari yang memiliki posisi unik. Namanya Sekarmenur. Dia dengan dua dua-gadis kembar adiknya,adalah-putri Adipati Banakeling. Sama dengan Kadipaten Kalipucang, Kadipaten Banakeling juga berhasil ditaklukan Raja Pulebahas. Ketiga gadis putri Adipati Banakeling itu dibawa ke Nusakambangan setelah seluruh keluarganya ditumpas habis. Akhirnya Sekarmenur dan kedua adik kembarnya, Sekarmelati dan Sekarcempaka menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari,” kata-Sang Dewi.Dia mengaku  tahu kisah ketiga gadis yang bernasib malang itu dari Wirapati yang sering mencurahkan isi hatinya kepada Sang Dewi.
“Tetapi Sekarmenur dan kedua adiknya itu, pandai bermain sandiwara, sehingga mereka bertiga mendapat posisi menguntungkan. Mereka bertiga dipercaya menjadi pembantu setia pengasuh Pondok Tamanbidadari. Bahkan Sekarmenur dipercaya boleh keluar Nusakambangan menyeberang ke daratan untuk berbelanja di pasar daratan tanpa ada pengawalan. Seminggu sekali, Sekarmenur diijinkan membeli barang-barang kebutuhan Pondok Tamanbidadari ke pasar daratan,” kata Sang Dewi pula.
“Entah bagaimana ceriteranya,” kata Sang Dewi melanjutkan, “Dinda Wirapati berhasil menjalin kontak-kontak rahasia dengan Sekarmenur. Sekarmenurlah yang selama ini memasok semua keterangan yang berkaitan dengan rahasia kekuatan dan kelemahan Kerajaan Nusakambangan kepada Dinda Wirapati. Sesungguhnya, Sekarmenur dan Dinda Wirapati sedang memainkan peran yang sangat membahayakan dirinya. Jika sampai bocor, dapat dipastikan nyawa Sekarmenur dan kedua adiknya itu akan melayang.”
“Menurut penjelasan Dinda Wirapati, Sekarmenur dan kedua adiknya itu adalah tiga pendekar wanita yang cukup disegani. Sejak usia tujuh tahun ketiga gadis  itu sudah dilatih ilmu beladiri oleh Adipati Banakeling. Hanya nasib malang sajalah yang mengantarkannya tiga gadis cantik itu menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari. Bisa jadi karena Sekarmenur dan kedua adiknya memiliki ketrampilan dalam ilmu beladiri, pemimpin pondok tertarik kepada ketiganya dan akhirnya menempatkannya sebagai pembantu setianya. Itulah penjelasan yang aku terima dari Dinda Wirapati,” kata Sang Dewi mengakhiri ceriteranya yang membuat Kamandaka semakin menaruh simpati kepada Wirapati.
“Aku pasti akan mendukung perjuangan Dinda Wirapati,” kata Kamandaka. “Pastilah Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi juga akan merestui, bahkan mudah-mudahan kelak akan membantu setiap usaha untuk mengembalikan wilayah yang telah lama melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran itu.” Sang Dewi gembira mendengar tekad Kamandaka. Ternyata Kamandaka, Sang Dewi, dan Wirapati memiliki tujuan dan kepentingan yang-sama-untuk-menaklukan Kerajaan Nusakambangan.
Sang Dewi menjatuhkan kepalanya ke pundak kekasihnya. Kamandaka yang tengah dibalut rindu itu mendekatkan bibirnya ke wajah gadis cantik yang sedang manja kepada dirinya. Tetapi sebelum sempat mencium Sang Dewi, tiba-tiba Kamandaka melihat Rekajaya mendatanginya dengan langkah tergesa-gesa.
“Raden, Lurah Karangjati ingin menemui Raden. Sekarang ada di ruang tamu tempat menginap Ndara-Silihwarna. Dia memberitahu Tumenggung Maresi sakit parah, memanggil-manggil terus Raden. Katanya hanya Raden yang bisa mengobati sakitnya,” kata Rekajaya setelah tiba di depan Kamandaka dan Sang Dewi.
“Apa sakitnya? Lurah Karangjati  mantan kakak ipar Kakang, bukan?,”
“Iya, dulu suami Mbakyu hamba. Tumenggung Maresi adalah-kakak Lurah Karangjati. Sakitnya katanya tidak bisa tidur. Setiap akan tidur terus menerus muncul bayangan dikejar-kejar anjing pelacak yang hamba potong di hutan itu lho, Raden,” kata Rekajaya kepada Kamandaka. Sang Dewi ikut mendengarkannya.
“Oh, itu gara-gara Kakang memberikan dia jantung, hati, darah, dan potongan telinga anjing itu. Apakah bungkusan itu dimasak dan dimakan Tumenggung Maresi?” tanya Kamandaka.
“Tidak tahu, Raden. Tapi Lurah Karangjati berkata, tidak akan pulang, jika malam ini tidak bertemu Raden,” jabab Rekajaya. Terpaksa-Kamandaka-meninggalkan Sang Dewi untuk menemui Lurah Karangjati. Rekajaya mengikutinya.
Kamandaka menerima penjelasan Lurah Karangjati, bahwa Tumenggung Maresi tiba-tiba sakit sejak bangun pagi  di dalam tenda pengepungan di padang ilalang kemarin lusa. Esok paginya sakitnya semakin parah.  Itulah sebabnya Tumenggung Maresi diantarkan pulang ke Maresi oleh pengawalnya. Tanggung jawab komando pasukan diserahkan kepada wakilnya, Jigjayuda.
Konon-saat-tiba di rumah, Tumenggung Maresi semakin parah, lebih-lebih ketika melihat bungkusan dalam daun jati yang dikirim oleh orang tak di kenal. Isi bungkusan itu adalah darah, jantung, hati, dan potongan kuping anjing pelacak kesayangannya.
“Sejak-itu-Tumenggung-Maresi menjerit-jerit terus, dan memanggil-manggil Raden, ingin memohon ampun,” kata Lurah Karangjati dengan wajah sangat berharap agar Kamandaka malam bisa menolong Tumenggung Maresi.
“Kanda, bagaimana kalau malam ini kita kesana dengan Rekajaya? Bagaimanapun juga Tumenggung Maresi itu wakilku. Dia ingin mohon maaf kepada Kanda. Jika Kanda berkenan memaafkan kesalahannya dan dia bisa sembuh dari sakitnya, nistaya kelak dia akan menjadi seorang tumenggung yang akan sangat setia pada Kanda,” kata Silihwarna membujuk Kamandaka.
Usul Silihwarna diterima dengan baik. Malam itu juga Kamandaka  meminta ijin kepada Sang Dewi. Akhirnya mereka berempat dengan menggunakan dua ekor kuda menembus malam yang masih disinari wajah-bulan tanggal empat belas. Mereka memacu kudanya menuju tempat tinggal Tumenggung Maresi.
Sementara itu, Sang Dewi yang ditinggal Kamandaka berkata kepada emban kesayangannya, ”Biyung Emban, temani aku lagi ya. Kanda Kamandaka malam ini akan menolong Tumenggung Maresi yang sedang sekarat. Besok pagi baru bisa ke sini lagi.”
“Baik, Ndara Putri,” kata Khandegwilis menggerutu,tapi-sambil tertawa.
”Wah, tilam alas tidur harus diambil lagi di kamar Biyung Emban, Ndara Putri,” Khandegwilis cepat berlari menuju kamarnya sendiri yang tidak jauh dari Kamar Sang Dewi. Tilam alas tidur kesayangannya dibawa masuk kembali ke kamar Sang Dewi.
Setelah menempuh kegelapan malam, Kamandaka beserta rombongan akhirnya tiba di kediaman Tumenggung Maresi. Begitu tahu Kamandaka tiba dan langsung-menemuinya di tempat tidur, Tumenggung Maresi dengan susah payah mencoba bangun. Dia memohon ampun kepada Kamandaka dan mencoba bersujud akan mencium kaki Kamandaka. Tetapi Kamandaka menolaknya.
“Tumenggung Maresi, aku sudah memaafkan kesalahanmu sejak tadi pagi.”
“Tetapi hamba masih cemas, Raden. Setiap mau tidur, bayangan anjing pelacak muncul dan terus-menerus mengejar-ngejar hamba, seakan-akan-mau menerkam hamba, Raden. Oh, Raden. Tolonglah hamba. Hamba belum mau mati dalam waktu dekat ini, Raden.”
“Tumengggung Maresi, soal hidup dan mati itu bukan urusan manusia. Itu adalah urusan Yang Maha Kuasa. Bungkusan daun jati yang diterima kemarin  disimpan dimana?”
“Dikubur di-belakang rumah, Raden.”
“Ya, sudah. Rekajaya, besok lubang itu digali lagi, ya. Bawa kembali ke hutan, kuburkan jadi satu lubang dengan kuburan anjing pelacak. Lurah Karangjati, temani dan antarkan bekas iparmu itu ke hutan di pinggir padang ilalang,” perintah Kamandaka kepada Lurah Karangjati dan Rekajaya.
Malam itu terpaksa Kamandaka dan Slihwarna bermalam di kediaman Tumenggung Maresi, sebab Kamandaka harus menyaksikan dengan benar penggalian kembali jantung, hati, darah, dan potongan telinga yang telah terlanjur ditanam di belakang rumah Tumenggung Maresi.
Pagi harinya ketika matahari baru naik sepenggalah, Rekajaya dan Lurah Maresi sudah tiba kembali dari hutan.  Rekajaya melaporkan kepada  Kamandaka sudah melakukan segala  apa yang diperintahkannya. Seketika itu juga Tumenggung Maresi yang tadinya tergolek saja di tempat tidurnya karena tidak bisa tidur, langsung tidur pulas setelah diberi minum air putih oleh Kamandaka.
“Nyai Tumenggung, nanti sore suamimu akan bangun dalam keadaan segar bugar seperti sedia kala. Salam saja dari aku. Karena pagi ini juga, aku dan Dinda Silihwarna akan kembali ke Pakuan Pajajaran,” kata Kamandaka kepada istri Tumenggung Maresi. Istri Tumenggung itu  mengucapkan terimakasih yang tak terhingga.
Pagi itu juga sesuai rencana Kamandaka dan Silihwarna memacu kudanya meninggalkan Kadipaten Pasirluhur. Kanjeng Adipati dan Sang Dewi berpesan agar kedua Ksatria Pajajaran itu menyempatkan diri singgah di Kadipaten Dayeuhluhur sambil menyampaikan dua buah surat. Surat pertama dari Kanjeng Adipati Kandhadaha untuk adik iparnya, Adipati Dayeuhluhur. Dan surat kedua dari Sang Dewi untuk Wirapati.Kedua ksatria kakak beradik itu mengendarai satu kuda. Kamandaka menolak dipinjami kuda Kanjeng Adipati, sebab Kamandaka sebenarnya membawa kuda yang dititipkan kepada tukang penitipan kuda di tepi Sungai Citanduy.
Dengan bekal surat dari Kanjeng Adipati dan Sang Dewi, Kamandaka dan Silihwarna sempat bermalam di Kadipaten Dayeuhluhur. Sekalipun hanya semalam, Kanjeng Adipati Dayeuhluhur, Wirapati, dan Mayangsari menyambut Ksatria Pajajaran itu dengan keramahtamahan luar biasa. Silihwarna malam itu sempat berkenalan dengan Mayangsari. Dia-langsung jatuh cinta dan mendesak Kamandaka agar segera melamarnya kelak jika mereka berdua kembali lagi ke Kadipaten Pasirluhur.
Jarak Kadipaten Dayeuhluhur dengan Sungai Cintanduy tidak terlalu jauh. Karena itu, pagi-pagi Kamandaka dan adiknya sudah berhasil menyeberangi Sungai Citanduy. Sampai di seberang sungai, Kamandaka segera mendatangi rumah tukang penitipan  kuda hampir lima belas bulan  lalu. Ternyata kuda Kamandaka masih segar bugar, dan-dirawat dengan baik.
“Aduh, Raden, hamba sudah cemas dengan keselamatan Raden. Begitu lama tidak ada kabar beritanya, sampai-sampai hamba amat cemas,” kata orang itu sambil memeluk Kamandaka. Kamandaka tersenyum dan bangga kepada orang yang telah menjaga dan merawat kudanya dengan baik itu. Kamandaka langsung menyerahkan sejumlah keping emas sebagai upah.
Kini dengan masing-masing mengendarai kudanya sendiri, kedua Ksatria Pajajaran itu melesat bagaikan anak panah terbang memacu kudanya secepat-cepatnya menuju Keraton Pakuan Pajajaran. Mereka berdua adalah pengendara kuda hebat, sehingga kedua Ksatria Pajajaran itu bisa tiba di Kraton Pakuan Pajajaran lebih cepat dari waktu yang direncanakan.
***
Sudah sebulan Kamandaka meninggalkan Kadipaten Pasirluhur. Sang Dewi sangat gelisah. Karena waktu yang dijanjikan kepada Raja Pulebahas, tinggal tersisa 90 hari lagi.
Malam itu Sang Dewi duduk di kursi teras depan kamarnya di Taman Kaputren. Kursi itu sebulan yang lalu didudukinya berdampingan dengan Kamandaka. Kini kursi di sebelahnya itu dibiarkannya kosong. Emban Khandegwilis duduk di lantai. Sang Dewi bolak-balik menatap bulan purnama yang bagaikan kandil raksasa tergantung di langit malam.
“Biyung Emban, lihatlah bulan purnama dilangit itu.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar