“Itulah buah kerja keras Dinda Wirapati yang
tak kenal lelah untuk menemukan kembali kekasihnya yang hilang,” jawab Sang
Dewi. “Dinda Wirapati berhasil menjalin hubungan rahasia dengan seorang gadis
Pondok Tamanbidadari yang memiliki posisi unik. Namanya Sekarmenur. Dia dengan
dua dua-gadis kembar adiknya,adalah-putri Adipati Banakeling. Sama dengan
Kadipaten Kalipucang, Kadipaten Banakeling juga berhasil ditaklukan Raja Pulebahas.
Ketiga gadis putri Adipati Banakeling itu dibawa ke Nusakambangan setelah
seluruh keluarganya ditumpas habis. Akhirnya Sekarmenur dan kedua adik
kembarnya, Sekarmelati dan Sekarcempaka menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari,”
kata-Sang Dewi.Dia mengaku tahu kisah
ketiga gadis yang bernasib malang itu dari Wirapati yang sering mencurahkan isi
hatinya kepada Sang Dewi.
“Tetapi Sekarmenur dan kedua adiknya itu,
pandai bermain sandiwara, sehingga mereka bertiga mendapat posisi
menguntungkan. Mereka bertiga dipercaya menjadi pembantu setia pengasuh Pondok
Tamanbidadari. Bahkan Sekarmenur dipercaya boleh keluar Nusakambangan
menyeberang ke daratan untuk berbelanja di pasar daratan tanpa ada pengawalan.
Seminggu sekali, Sekarmenur diijinkan membeli barang-barang kebutuhan Pondok
Tamanbidadari ke pasar daratan,” kata Sang Dewi pula.
“Entah bagaimana ceriteranya,” kata Sang Dewi
melanjutkan, “Dinda Wirapati berhasil menjalin kontak-kontak rahasia dengan
Sekarmenur. Sekarmenurlah yang selama ini memasok semua keterangan yang
berkaitan dengan rahasia kekuatan dan kelemahan Kerajaan Nusakambangan kepada
Dinda Wirapati. Sesungguhnya, Sekarmenur dan Dinda Wirapati sedang memainkan
peran yang sangat membahayakan dirinya. Jika sampai bocor, dapat dipastikan
nyawa Sekarmenur dan kedua adiknya itu akan melayang.”
“Menurut penjelasan Dinda Wirapati, Sekarmenur
dan kedua adiknya itu adalah tiga pendekar wanita yang cukup disegani. Sejak
usia tujuh tahun ketiga gadis itu sudah
dilatih ilmu beladiri oleh Adipati Banakeling. Hanya nasib malang sajalah yang
mengantarkannya tiga gadis cantik itu menjadi penghuni Pondok Tamanbidadari.
Bisa jadi karena Sekarmenur dan kedua adiknya memiliki ketrampilan dalam ilmu
beladiri, pemimpin pondok tertarik kepada ketiganya dan akhirnya menempatkannya
sebagai pembantu setianya. Itulah penjelasan yang aku terima dari Dinda
Wirapati,” kata Sang Dewi mengakhiri ceriteranya yang membuat Kamandaka semakin
menaruh simpati kepada Wirapati.
“Aku pasti akan mendukung perjuangan Dinda
Wirapati,” kata Kamandaka. “Pastilah Ayahanda Sri Baginda Prabu Siliwangi juga
akan merestui, bahkan mudah-mudahan kelak akan membantu setiap usaha untuk
mengembalikan wilayah yang telah lama melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran
itu.” Sang Dewi gembira mendengar tekad Kamandaka. Ternyata Kamandaka, Sang
Dewi, dan Wirapati memiliki tujuan dan kepentingan yang-sama-untuk-menaklukan
Kerajaan Nusakambangan.
Sang Dewi menjatuhkan kepalanya ke pundak kekasihnya.
Kamandaka yang tengah dibalut rindu itu mendekatkan bibirnya ke wajah gadis
cantik yang sedang manja kepada dirinya. Tetapi sebelum sempat mencium Sang
Dewi, tiba-tiba Kamandaka melihat Rekajaya mendatanginya dengan langkah
tergesa-gesa.
“Raden, Lurah Karangjati ingin menemui Raden.
Sekarang ada di ruang tamu tempat menginap Ndara-Silihwarna. Dia memberitahu
Tumenggung Maresi sakit parah, memanggil-manggil terus Raden. Katanya hanya
Raden yang bisa mengobati sakitnya,” kata Rekajaya setelah tiba di depan
Kamandaka dan Sang Dewi.
“Apa sakitnya? Lurah Karangjati mantan kakak ipar Kakang, bukan?,”
“Iya, dulu suami Mbakyu hamba. Tumenggung
Maresi adalah-kakak Lurah Karangjati. Sakitnya katanya tidak bisa tidur. Setiap
akan tidur terus menerus muncul bayangan dikejar-kejar anjing pelacak yang
hamba potong di hutan itu lho, Raden,” kata Rekajaya kepada Kamandaka. Sang
Dewi ikut mendengarkannya.
“Oh, itu gara-gara Kakang memberikan dia
jantung, hati, darah, dan potongan telinga anjing itu. Apakah bungkusan itu
dimasak dan dimakan Tumenggung Maresi?” tanya Kamandaka.
“Tidak tahu, Raden. Tapi Lurah Karangjati
berkata, tidak akan pulang, jika malam ini tidak bertemu Raden,” jabab Rekajaya.
Terpaksa-Kamandaka-meninggalkan Sang Dewi untuk menemui Lurah Karangjati. Rekajaya
mengikutinya.
Kamandaka menerima penjelasan Lurah
Karangjati, bahwa Tumenggung Maresi tiba-tiba sakit sejak bangun pagi di dalam tenda pengepungan di padang ilalang
kemarin lusa. Esok paginya sakitnya semakin parah. Itulah sebabnya Tumenggung Maresi diantarkan
pulang ke Maresi oleh pengawalnya. Tanggung jawab komando pasukan diserahkan
kepada wakilnya, Jigjayuda.
Konon-saat-tiba di rumah, Tumenggung Maresi
semakin parah, lebih-lebih ketika melihat bungkusan dalam daun jati yang dikirim
oleh orang tak di kenal. Isi bungkusan itu adalah darah, jantung, hati, dan
potongan kuping anjing pelacak kesayangannya.
“Sejak-itu-Tumenggung-Maresi menjerit-jerit
terus, dan memanggil-manggil Raden, ingin memohon ampun,” kata Lurah Karangjati
dengan wajah sangat berharap agar Kamandaka malam bisa menolong Tumenggung
Maresi.
“Kanda, bagaimana kalau malam ini kita kesana
dengan Rekajaya? Bagaimanapun juga Tumenggung Maresi itu wakilku. Dia ingin
mohon maaf kepada Kanda. Jika Kanda berkenan memaafkan kesalahannya dan dia
bisa sembuh dari sakitnya, nistaya kelak dia akan menjadi seorang tumenggung
yang akan sangat setia pada Kanda,” kata Silihwarna membujuk Kamandaka.
Usul Silihwarna diterima dengan baik. Malam
itu juga Kamandaka meminta ijin kepada
Sang Dewi. Akhirnya mereka berempat dengan menggunakan dua ekor kuda menembus
malam yang masih disinari wajah-bulan tanggal empat belas. Mereka memacu
kudanya menuju tempat tinggal Tumenggung Maresi.
Sementara itu, Sang Dewi yang ditinggal
Kamandaka berkata kepada emban kesayangannya, ”Biyung Emban, temani aku lagi
ya. Kanda Kamandaka malam ini akan menolong Tumenggung Maresi yang sedang
sekarat. Besok pagi baru bisa ke sini lagi.”
“Baik, Ndara Putri,” kata Khandegwilis menggerutu,tapi-sambil
tertawa.
”Wah, tilam alas tidur harus diambil lagi di
kamar Biyung Emban, Ndara Putri,” Khandegwilis cepat berlari menuju kamarnya
sendiri yang tidak jauh dari Kamar Sang Dewi. Tilam alas tidur kesayangannya
dibawa masuk kembali ke kamar Sang Dewi.
Setelah menempuh kegelapan malam, Kamandaka
beserta rombongan akhirnya tiba di kediaman Tumenggung Maresi. Begitu tahu
Kamandaka tiba dan langsung-menemuinya di tempat tidur, Tumenggung Maresi
dengan susah payah mencoba bangun. Dia memohon ampun kepada Kamandaka dan
mencoba bersujud akan mencium kaki Kamandaka. Tetapi Kamandaka menolaknya.
“Tumenggung Maresi, aku sudah memaafkan
kesalahanmu sejak tadi pagi.”
“Tetapi hamba masih cemas, Raden. Setiap mau
tidur, bayangan anjing pelacak muncul dan terus-menerus mengejar-ngejar hamba, seakan-akan-mau
menerkam hamba, Raden. Oh, Raden. Tolonglah hamba. Hamba belum mau mati dalam
waktu dekat ini, Raden.”
“Tumengggung Maresi, soal hidup dan mati itu
bukan urusan manusia. Itu adalah urusan Yang Maha Kuasa. Bungkusan daun jati
yang diterima kemarin disimpan dimana?”
“Dikubur di-belakang rumah, Raden.”
“Ya, sudah. Rekajaya, besok lubang itu digali
lagi, ya. Bawa kembali ke hutan, kuburkan jadi satu lubang dengan kuburan anjing
pelacak. Lurah Karangjati, temani dan antarkan bekas iparmu itu ke hutan di
pinggir padang ilalang,” perintah Kamandaka kepada Lurah Karangjati dan
Rekajaya.
Malam itu terpaksa Kamandaka dan Slihwarna
bermalam di kediaman Tumenggung Maresi, sebab Kamandaka harus menyaksikan
dengan benar penggalian kembali jantung, hati, darah, dan potongan telinga yang
telah terlanjur ditanam di belakang rumah Tumenggung Maresi.
Pagi harinya ketika matahari baru naik
sepenggalah, Rekajaya dan Lurah Maresi sudah tiba kembali dari hutan. Rekajaya melaporkan kepada Kamandaka sudah melakukan segala apa yang diperintahkannya. Seketika itu juga
Tumenggung Maresi yang tadinya tergolek saja di tempat tidurnya karena tidak
bisa tidur, langsung tidur pulas setelah diberi minum air putih oleh Kamandaka.
“Nyai Tumenggung, nanti sore suamimu akan
bangun dalam keadaan segar bugar seperti sedia kala. Salam saja dari aku.
Karena pagi ini juga, aku dan Dinda Silihwarna akan kembali ke Pakuan
Pajajaran,” kata Kamandaka kepada istri Tumenggung Maresi. Istri Tumenggung
itu mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga.
Pagi itu juga sesuai rencana Kamandaka dan
Silihwarna memacu kudanya meninggalkan Kadipaten Pasirluhur. Kanjeng Adipati
dan Sang Dewi berpesan agar kedua Ksatria Pajajaran itu menyempatkan diri singgah
di Kadipaten Dayeuhluhur sambil menyampaikan dua buah surat. Surat pertama dari
Kanjeng Adipati Kandhadaha untuk adik iparnya, Adipati Dayeuhluhur. Dan surat
kedua dari Sang Dewi untuk Wirapati.Kedua ksatria kakak beradik itu mengendarai
satu kuda. Kamandaka menolak dipinjami kuda Kanjeng Adipati, sebab Kamandaka
sebenarnya membawa kuda yang dititipkan kepada tukang penitipan kuda di tepi
Sungai Citanduy.
Dengan bekal surat dari Kanjeng Adipati dan
Sang Dewi, Kamandaka dan Silihwarna sempat bermalam di Kadipaten Dayeuhluhur.
Sekalipun hanya semalam, Kanjeng Adipati Dayeuhluhur, Wirapati, dan Mayangsari
menyambut Ksatria Pajajaran itu dengan keramahtamahan luar biasa. Silihwarna
malam itu sempat berkenalan dengan Mayangsari. Dia-langsung jatuh cinta dan
mendesak Kamandaka agar segera melamarnya kelak jika mereka berdua kembali lagi
ke Kadipaten Pasirluhur.
Jarak Kadipaten Dayeuhluhur dengan Sungai
Cintanduy tidak terlalu jauh. Karena itu, pagi-pagi Kamandaka dan adiknya sudah
berhasil menyeberangi Sungai Citanduy. Sampai di seberang sungai, Kamandaka
segera mendatangi rumah tukang penitipan
kuda hampir lima belas bulan lalu. Ternyata kuda Kamandaka masih segar
bugar, dan-dirawat dengan baik.
“Aduh, Raden, hamba sudah cemas dengan
keselamatan Raden. Begitu lama tidak ada kabar beritanya, sampai-sampai hamba
amat cemas,” kata orang itu sambil memeluk Kamandaka. Kamandaka tersenyum dan
bangga kepada orang yang telah menjaga dan merawat kudanya dengan baik itu. Kamandaka
langsung menyerahkan sejumlah keping emas sebagai upah.
Kini dengan masing-masing mengendarai kudanya
sendiri, kedua Ksatria Pajajaran itu melesat bagaikan anak panah terbang memacu
kudanya secepat-cepatnya menuju Keraton Pakuan Pajajaran. Mereka berdua adalah
pengendara kuda hebat, sehingga kedua Ksatria Pajajaran itu bisa tiba di Kraton
Pakuan Pajajaran lebih cepat dari waktu yang direncanakan.
***
Sudah sebulan
Kamandaka meninggalkan Kadipaten Pasirluhur. Sang Dewi sangat gelisah. Karena
waktu yang dijanjikan kepada Raja Pulebahas, tinggal tersisa 90 hari lagi.
Malam itu Sang Dewi duduk di kursi teras depan
kamarnya di Taman Kaputren. Kursi itu sebulan yang lalu didudukinya
berdampingan dengan Kamandaka. Kini kursi di sebelahnya itu dibiarkannya
kosong. Emban Khandegwilis duduk di lantai. Sang Dewi bolak-balik menatap bulan
purnama yang bagaikan kandil raksasa tergantung di langit malam.
“Biyung Emban, lihatlah bulan purnama dilangit
itu.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar