“Menurut Ayunda Dewi, prajurit Kerajaan
Nusakambangan memiliki kemampuan luar biasa. Mereka bisa menggelar siasat
perang cepat dan mematikan musuh-musuhnya, yang disebut siasat perang
Gilinganrata. Siasat perang ini berupa formasi bentuk kereta perang yang
bergerak dengan kecepatan tinggi untuk menggilas musuhnya dengan roda-roda
kereta perangnya yang berputar dengan cepat.”
“Untuk membentuk formasi perang Gilinganrata
ini tidak mudah. Diperlukan ketrampilan individu yang tinggi, tetapi bisa tetap
menjaga kekompakan kelompok. Panglima perangnya
harus bisa mengerahkan prajuritnya secara besar-besaran yang harus bisa
bergerak dengan cepat. Sebab tujuan dari formasi Gilinganrata adalah melindas
musuh dengan segera dan membinasakannya seketika juga.”
“Panglima yang menyusun formasi ini memang
harus seorang panglima perang ulung yang bisa membuat musuh tak berdaya.
Prajurit Nusakambangan rajin berlatih dan memang memiliki prajurit-parjurit
hebat seperti Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Rangga Singalaut, dan
lainnya lagi. Bahkan mereka pernah punya prajurit wanita hebat dan menguasai
seni beladiri tingkat tinggi, yakni Nyai Gede Wulansari.”
“Formasi perang kedua yang dimilki prajurit
Nusakambangan yang juga tidak kalah hebatnya adalah formasi Diratameta, yang
artinya adalah formasi gajah mengamuk. Formasi ini berbentuk gajah yang sedang
marah dan mengamuk, sehingga belalainya dan gadingnya sangat berbahaya. Dalam
menggelar formasi ini, biasanya Patih Puletembini berposisi memimpin sejumlah
prajurit yang bertindak sebagai belalai. Singalaut dan Surajaladri berposisi memimpin sejumlah prajurit yang
bertindak sebagai sepasang gading.”
“Kita tidak tahu formasi mana yang akan
disiapkan oleh prajurit Nusakambangan pada saat perang menghadapi gabungan
Pasirluhur-Dayeuhluhur kelak. Akan tetapi ada kelemahan dari prajurit
Nusakambangan terutama para panglima perangnya. Mereka adalah penyembah aliran
sesat dan menggunakan ilmu hitam untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh
mereka. Mereka adalah para penyembah Maha Dewa Ditya Kala Rembuculung. Mereka
secara rutin menyelenggarakan ritual persembahan perawan suci dengan cara
menculik anak-anak gadis. Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
bertempur mereka dengan menggunakan pertolongan ilmu hitam.”
“Tetapi ilmu hitam sejenis ini, sebenarnya
mudah sekali dilawan. Mereka punya pantangan,yaitu takut setengah mati dengan
segala jenis monyet. Jika sampai tergigit monyet, bukan hanya kekebalan yang
mereka miliki akan-hilang. Nyawa mereka pun akan secepatnya meninggalkan tubuh
mereka,” kata Wirapati mengakhiri keterangannya.
Kamandaka kembali mengambil alih pembicaraan
dengan mengajak para peserta pertemuan untuk merenungkan dan mengendapkan
dengan sebaik-baiknya semua hal yang telah disampaikan Wirapati.
“Itulah tadi penjelasan Dinda Wirapati. Menarik
sekali. Telah dijelaskan kekuatan formasi perang Kerajaan Nusakambangan, tetapi
sekaligus juga kelemahan yang mereka miliki. Sekarang, marilah kita dengar
pandangan tentang ilmu perang hasil telaah Dinda Dewi dari rontal yang berisi
kisah tentang peperangan besar, seperti perang Bharatayudha dan perang Brubuh
Alengka. Silahkan Dinda Dewi,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi yang duduk di
sampingnya.
“Baiklah Kanda Kamandaka,“ kata Sang Dewi,
“Suatu kadipaten, atau pun kerajaan mana-pun tanpa memiliki kemampuan berperang
yang memadai, pastilah akan cepat runtuh dan rakyatnya akan diperbudak oleh
sang penakluk. Apakah kita akan membiarkan rakyat Kadipaten Pasirluhur dan
Dayeuhluhur diperbudak oleh Nusakambangan?” tanya Sang Dewi kepada peserta
rapat yang segera dijawab dengan penuh semangat,”Tidaakkkk!”
“Terimakasih,” kata Sang Dewi. “Apakah kita
akan membiarkan gadis-gadis cantik dari Pasirluhur dan Dayeuhluhur, diculik
prajurit Nusakambangan untuk dikorbankan dalam ritual aliran sesat?” Kembali
para peserta menjawab serentak dan penuh semangat,” Tidaaakkk!!!”
“Terimakasih! Kita hanya bisa mempertahankan
kemerdekaan dan kebebasan kita sehingga terlepas menjadi budak, hanya apabila
kita menguasai ilmu perang. Kita hanya bisa melindungi anak-anak gadis kita
dari penculikan-penculikan yang terus dilakukan prajurit Nusakambangan, hanya
apabila kita menguasai ilmu perang. Apakah ilmu perang itu sebenarnya?” tanya
Sang Dewi kepada hadirin yang hanya dijawab dengan tatapan sinar mata keinginan
yang besar untuk memperoleh pengetahuan apa itu hakekat dari ilmu perang.
“Perang itu sebenarnya merupakan seni,
ketrampilan, dan keahlian untuk mempertahankan keselamatan diri sendiri,
keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan tanah airnya. Perang bukanlah ketrampilan
untuk menaklukan masyarakat dan bangsa lain untuk kemudian memperbudak mereka.
Perang bukanlah ilmu untuk menjajah dan memperbudak kemanusiaan. Perang, sekali
lagi, adalah ilmu untuk mempertahankan dan membeladiri. Karena itu kita harus
terus mewariskan semangat dan ilmu perang kepada generasi penerus dari semua penduduk
yang tinggal di lembah Ciserayu-dan-Citanduy. Kita hanya bisa memenangkan
perang dengan Kerajaan Nusakambangan hanya apabila kita memiliki semangat
bersatu padu untuk bisa menggabungkan kekuatan-kekuatan perang yang
terpisah-pisah yang dimiliki masyarakat menjadi satu kekuatan. Apa sebab
Kadipatan Kalipucang dan Banakeling, dengan begitu mudah dilindas kekuatan
perang prajurit Nusakambangan? Karena Kadipaten Banakeling dan Kalipucang tidak
mau bersatu,” kata Sang Dewi.
“Lihatlah Sungai Ciserayu dan sungai-sungai
besar lainnya. Sungai Ciserayu menjadi sebuah sungai besar dan arusnya lebih
bertenaga dan lebih hebat, karena ke dalam Sungai Ciserayu telah mengalir
anak-anak sungai, seperti Sungai Cingcinggoling, Sungai Logawa, dan anak-anak
sungai yang lain. Kenapa Sungai Logawa lebih besar dari Sungai Kabunan dan Banjaran? Karena kedalam Sungai Logawa telah
mengalir anak-anak sungainya, antara lain Sungai Kabunan dan Banjaran. Tenaga
yang dimiliki Sungai Logawa, adalah gabungan dan persatuan dari tenaga
anak-anak sungainya. Hanya apabila semua anak-anak sungai bersatupadu, maka
semua anak sungai itu akan bisa mencapai tujuannya, yaitu bermuara di Samudra
Raya yang luas, bebas, damai, dan merdeka. Mencapai Samudra luas yang
menjanjikan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan, itulah sejatinya tujuan dari
setiap perang,” kata Sang Dewi
melanjutkan.
“Kita pun akan bisa memenangkan perang dengan
Nusakambangan apabila kekuatan perang Dayeuhluhur dan Pasirluhur bersatupadu
melawan kekuatan perang Kerajaan Nusakambangan. Kita akan memenangkan perang apabila
pusat-pusat pelatihan prajurit di Dayeuhluhur, di Baturagung, dan di
Kendalisada dibawah panglima-panglima perangnya bersatu padu melawan prajurit
Nusakambangan. Untuk memenangkan perang tentu saja semangat bersatu saja tidak
cukup,” kata Sang Dewi masih melanjutkan penjelasannya.
“Pusat-pusat pelatihan prajurit harus bisa
dijadikan mandala untuk meningkatkan ketrampilan dan kecakapan ilmu perang.
Pelatihan-pelatihan tidak cukup dengan hanya mengandalkan ketrampilan perang
berbasis daratan. Ketrampilan perang berbasis sungai dan lautan juga harus
diajarkan,” kata Sang Dewi dengan semangat. Sang Dewi berhenti sejenak.
Dilihatnya semua wajah pendengarnya. Nampak semuanya mendengarkan apa yang
dikatakan Sang Dewi dengan penuh perhatian. Sang Dewi bangga juga, kata-katanya
disimak dengan sungguh-sungguh.
“Untuk pusat pelatihan Dayeuhluhur, sungai Cijolang,
Cikijing dan Citanduy bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis
sungai,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Untuk pusat pelatihan Baturagung, Sungai
Kabunan dan Logawa bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis
sungai. Sedangkan untuk pusat latihan Kendalisada, bisa memanfaatkan Sungai
Ciserayu dan Cingcinggoling.” Sang Dewi kembali diam, memberi kesempatan pada
para pendengarnya mencernakkan dengan baik apa yang telah disampaikannya. Para
pendengarnya termasuk juga para carik, lurah, ngabehi, rangga, tumenggung dan
para punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya. Sang Dewi merasa telah cukup
memberikan penjelasan tentang ilmu Perang, kemudian mengakhiri penjelasannya.
“Bagi Kanda, ada sumbangan gagasan Dinda Dewi
yang menarik,” kata Kamandaka setelah Sang Dewi selesai memberikan
pandangan-pandangannya tentang ilmu perang. “Yaitu, perlunya menjadikan sungai
dan lautan sebagai bagian dari basis ketrampilan berperang. Dengan demikian
sangat jelas bahwa keterampilan perang yang utuh bukan hanya didasarkan pada
kemampuan menguasai daratan saja. Tetapi perlu juga keterampilan untuk
menguasai sungai dan lautan. Bisa jadi inilah kelebihan Kerajaan Lautan
Nusakambangan.”
“Mereka mampu mengembangkan ilmu perang
berbasis daratan dan lautan, karena lingkungan mereka sangat mendukung. Saran
Dinda Dewi agar keterampilan perang berbasis sungai diajarkan kepada
prajurit-prajurit kita, dimaksudkan untuk bisa mengimbangi dan sekaligus bisa
mengungguli keterampilan perang prajurit Nusakambangan.”
“Terima kasih, Dinda Dewi atas sumbangan
pemikirannya yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan prajurit-prajurit
kita dalam ilmu perang. Jika tidak ada yang menyampaikan keberatan, berarti apa
yang disampaikan Dinda Dewi, bisa diterima. Setujui?” tanya Kamandaka. Karena
Ki Patih dan Kanjeng Adipati menjawab setuju, maka-semua punggawa yang hadir
langsung menyatakan-setuju.
“Sekarang yang terakhir, mari kita dengar
bersama pemaparan dari Dinda Dewi lagi tentang formasi perang prajurit gabungan
Pasirluhur dan Dayeuhluhur. Formasi perang apa yang sebaiknya dipilih untuk
menghadapi Kerajaan Nusakambangan. Silahkan, Dinda Dewi,” kata Kamandaka
mempersilahkan kepada Sang Dewi untuk berbicara kembali.
“Dinda Wirapati?“ Sang Dewi berpaling kepada
Wirapati menawarkan untuk berbicara lebih dulu. Tetapi Wirapati menggelengkan
kepalanya, suatu tanda dia mempersilahkan Sang Dewi saja yang berbicara soal
formasi perang yang akan digelar menghadapi Nusakambangan.
“Tidak mungkin Nusakambangan menggelar formasi
perang Gilinganrata,” kata Sang Dewi mulai memberi penjelasan, “Karena apa?
Jika Nusakambangan menggelar formasi Gilinganrata, berarti Nusakambangan
menantang perang Pasirluhur. Berdasarkan syarat-syarat penerimaan lamaran
pasukan Nusakambangan, hanya akan mengawal calon mempelai putra. Karena itu paling
banter Nusakambangan akan menggelar formasi Diratameta, yakni formasi berbentuk
gajah sebagaimana yang telah dijelaskan Dinda Wirapati. Dengan formasi perang
Diratameta Nusakambangan bermaksud untuk bisa mengelabui Kadipaten Pasirluhur,
seakan-akan pasukan Nusakambangan memang tidak membawa senjata.”
“Padahal jika situasi menjadi genting, formasi
Diratameta dengan mudah akan berubah menjadi formasi gajah mengamuk dengan
mengeluarkan senjata yang dengan rapih disembunyikannya. Karena itu, kita harus
hati-hati dan waspada. Jangan terkecoh dengan penyamaran mereka. Formasi yang
harus dipilih oleh prajurit gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur yang paling tepat
dan sesuai dengan medan yang dikuasai oleh prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur,
menurut aku adalah formasi Sumpitudang.
Formasi Garudamelayang dan Bulansabit, kurang cocok dengan medan pertempuran
yang ada.”
“Dengan formasi Sumpitudang, ada tiga jalur jalan simpang empat yang dikuasai
prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur, yakni jalur dari arah barat, arah timur, dan arah utara. Ke tiga jalur itu sangat cocok untuk menggelar formasi
Sumpitudang. Jalur arah barat dari Dayeuhluhur, ditempati pasukan di bawah
komando Dinda Wirapati yang berfungsi sebagai sumpit kanan udang. Jalur dari
arah timur dari Rawalo, ditempati pasukan di bawah komando Dimas Arya Baribin
yang bertindak sebagai sumpit kiri udang. Jalur dari arah utara ditempati
pasukan Dinda Silihwarna yang berfungsi sebagai kepala dan badan udang. Jika pasukan
sumpit udang kanan, kiri dan kepala-badan udang bergerak secara serentak dan
terus menerus, pasukan Sumpitudang akan menjelma jadi udang raksasa yang akan dengan
mudah menaklukan pasukan formasi Gajah Nusakambangan yang akan datang dari
jalur selatan.”
“Kuncinya, pasukan kepala udang yang
dikomandani Dinda Silihwarna jangan terkecoh gerak-gerik pasukan Gajah
Nusakambangan. Bisa saja pasukan Gajah pura-pura mundur ke arah selatan. Jika
itu terjadi, jangan sampai pasukan kepala udang bernafsu mengejar masuk ke
jalur selatan. Jika hal ini dilakukan, dapat dipastikan pasukan kepala udang
akan repot menghadapi pasukan gajah. Dinda Silihwarna selaku panglima pasukan
kepala udang akan sangat berat menghadapi tiga panglima perang pasukan Gajah,
yakni Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut,
sebagaimana yang telah dijelaskan Dinda Wirapati tadi. Lagi pula, jika Dinda
Silihwarna sampai terjebak karena bernafsu hendak mengejar pasukan Gajah dengan
masuk jalur selatan, praktis pasukan sumpit kanan yang ada di jalur barat dan
pasukan sumpit kiri yang ada di jalur timur, akan terkunci dan tidak dapat
berbuat banyak.”(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar