Entri yang Diunggulkan

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26)

SERAYU-MEDIA.COM: Novel : Pusaka Kembang Wijayakusuma (26) : “Dari mana Dinda Sekarmenur mendapatkan perlengkapan ranjang tempat tidur yang ...

Jumat, 20 Oktober 2017

Novel:Melati-Kadipaten-Pasirluhur(56)





“Menurut Ayunda Dewi, prajurit Kerajaan Nusakambangan memiliki kemampuan luar biasa. Mereka bisa menggelar siasat perang cepat dan mematikan musuh-musuhnya, yang disebut siasat perang Gilinganrata. Siasat perang ini berupa formasi bentuk kereta perang yang bergerak dengan kecepatan tinggi untuk menggilas musuhnya dengan roda-roda kereta perangnya yang berputar dengan cepat.”
“Untuk membentuk formasi perang Gilinganrata ini tidak mudah. Diperlukan ketrampilan individu yang tinggi, tetapi bisa tetap menjaga kekompakan kelompok. Panglima perangnya  harus bisa mengerahkan prajuritnya secara besar-besaran yang harus bisa bergerak dengan cepat. Sebab tujuan dari formasi Gilinganrata adalah melindas musuh dengan segera dan membinasakannya seketika juga.”
“Panglima yang menyusun formasi ini memang harus seorang panglima perang ulung yang bisa membuat musuh tak berdaya. Prajurit Nusakambangan rajin berlatih dan memang memiliki prajurit-parjurit hebat seperti Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, Rangga Singalaut, dan lainnya lagi. Bahkan mereka pernah punya prajurit wanita hebat dan menguasai seni beladiri tingkat tinggi, yakni Nyai Gede Wulansari.”
“Formasi perang kedua yang dimilki prajurit Nusakambangan yang juga tidak kalah hebatnya adalah formasi Diratameta, yang artinya adalah formasi gajah mengamuk. Formasi ini berbentuk gajah yang sedang marah dan mengamuk, sehingga belalainya dan gadingnya sangat berbahaya. Dalam menggelar formasi ini, biasanya Patih Puletembini berposisi memimpin sejumlah prajurit yang bertindak sebagai belalai. Singalaut dan Surajaladri  berposisi memimpin sejumlah prajurit yang bertindak sebagai sepasang gading.”
“Kita tidak tahu formasi mana yang akan disiapkan oleh prajurit Nusakambangan pada saat perang menghadapi gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur kelak. Akan tetapi ada kelemahan dari prajurit Nusakambangan terutama para panglima perangnya. Mereka adalah penyembah aliran sesat dan menggunakan ilmu hitam untuk meningkatkan daya kekebalan tubuh mereka. Mereka adalah para penyembah Maha Dewa Ditya Kala Rembuculung. Mereka secara rutin menyelenggarakan ritual persembahan perawan suci dengan cara menculik anak-anak gadis. Semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan bertempur mereka dengan menggunakan pertolongan ilmu hitam.”
“Tetapi ilmu hitam sejenis ini, sebenarnya mudah sekali dilawan. Mereka punya pantangan,yaitu takut setengah mati dengan segala jenis monyet. Jika sampai tergigit monyet, bukan hanya kekebalan yang mereka miliki akan-hilang. Nyawa mereka pun akan secepatnya meninggalkan tubuh mereka,” kata Wirapati mengakhiri keterangannya.
Kamandaka kembali mengambil alih pembicaraan dengan mengajak para peserta pertemuan untuk merenungkan dan mengendapkan dengan sebaik-baiknya semua hal yang telah disampaikan Wirapati.
“Itulah tadi penjelasan Dinda Wirapati. Menarik sekali. Telah dijelaskan kekuatan formasi perang Kerajaan Nusakambangan, tetapi sekaligus juga kelemahan yang mereka miliki. Sekarang, marilah kita dengar pandangan tentang ilmu perang hasil telaah Dinda Dewi dari rontal yang berisi kisah tentang peperangan besar, seperti perang Bharatayudha dan perang Brubuh Alengka. Silahkan Dinda Dewi,” kata Kamandaka kepada Sang Dewi yang duduk di sampingnya.
“Baiklah Kanda Kamandaka,“ kata Sang Dewi, “Suatu kadipaten, atau pun kerajaan mana-pun tanpa memiliki kemampuan berperang yang memadai, pastilah akan cepat runtuh dan rakyatnya akan diperbudak oleh sang penakluk. Apakah kita akan membiarkan rakyat Kadipaten Pasirluhur dan Dayeuhluhur diperbudak oleh Nusakambangan?” tanya Sang Dewi kepada peserta rapat yang segera dijawab dengan penuh semangat,”Tidaakkkk!”
“Terimakasih,” kata Sang Dewi. “Apakah kita akan membiarkan gadis-gadis cantik dari Pasirluhur dan Dayeuhluhur, diculik prajurit Nusakambangan untuk dikorbankan dalam ritual aliran sesat?” Kembali para peserta menjawab serentak dan penuh semangat,” Tidaaakkk!!!”
“Terimakasih! Kita hanya bisa mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan kita sehingga terlepas menjadi budak, hanya apabila kita menguasai ilmu perang. Kita hanya bisa melindungi anak-anak gadis kita dari penculikan-penculikan yang terus dilakukan prajurit Nusakambangan, hanya apabila kita menguasai ilmu perang. Apakah ilmu perang itu sebenarnya?” tanya Sang Dewi kepada hadirin yang hanya dijawab dengan tatapan sinar mata keinginan yang besar untuk memperoleh pengetahuan apa itu hakekat dari ilmu perang.
“Perang itu sebenarnya merupakan seni, ketrampilan, dan keahlian untuk mempertahankan keselamatan diri sendiri, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan tanah airnya. Perang bukanlah ketrampilan untuk menaklukan masyarakat dan bangsa lain untuk kemudian memperbudak mereka. Perang bukanlah ilmu untuk menjajah dan memperbudak kemanusiaan. Perang, sekali lagi, adalah ilmu untuk mempertahankan dan membeladiri. Karena itu kita harus terus mewariskan semangat dan ilmu perang kepada generasi penerus dari semua penduduk yang tinggal di lembah Ciserayu-dan-Citanduy. Kita hanya bisa memenangkan perang dengan Kerajaan Nusakambangan hanya apabila kita memiliki semangat bersatu padu untuk bisa menggabungkan kekuatan-kekuatan perang yang terpisah-pisah yang dimiliki masyarakat menjadi satu kekuatan. Apa sebab Kadipatan Kalipucang dan Banakeling, dengan begitu mudah dilindas kekuatan perang prajurit Nusakambangan? Karena Kadipaten Banakeling dan Kalipucang tidak mau bersatu,” kata Sang Dewi.
“Lihatlah Sungai Ciserayu dan sungai-sungai besar lainnya. Sungai Ciserayu menjadi sebuah sungai besar dan arusnya lebih bertenaga dan lebih hebat, karena ke dalam Sungai Ciserayu telah mengalir anak-anak sungai, seperti Sungai Cingcinggoling, Sungai Logawa, dan anak-anak sungai yang lain. Kenapa Sungai Logawa lebih besar dari Sungai Kabunan dan  Banjaran? Karena kedalam Sungai Logawa telah mengalir anak-anak sungainya, antara lain Sungai Kabunan dan Banjaran. Tenaga yang dimiliki Sungai Logawa, adalah gabungan dan persatuan dari tenaga anak-anak sungainya. Hanya apabila semua anak-anak sungai bersatupadu, maka semua anak sungai itu akan bisa mencapai tujuannya, yaitu bermuara di Samudra Raya yang luas, bebas, damai, dan merdeka. Mencapai Samudra luas yang menjanjikan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan, itulah sejatinya tujuan dari setiap perang,”  kata Sang Dewi melanjutkan.
“Kita pun akan bisa memenangkan perang dengan Nusakambangan apabila kekuatan perang Dayeuhluhur dan Pasirluhur bersatupadu melawan kekuatan perang Kerajaan Nusakambangan. Kita akan memenangkan perang apabila pusat-pusat pelatihan prajurit di Dayeuhluhur, di Baturagung, dan di Kendalisada dibawah panglima-panglima perangnya bersatu padu melawan prajurit Nusakambangan. Untuk memenangkan perang tentu saja semangat bersatu saja tidak cukup,” kata Sang Dewi masih melanjutkan penjelasannya.
“Pusat-pusat pelatihan prajurit harus bisa dijadikan mandala untuk meningkatkan ketrampilan dan kecakapan ilmu perang. Pelatihan-pelatihan tidak cukup dengan hanya mengandalkan ketrampilan perang berbasis daratan. Ketrampilan perang berbasis sungai dan lautan juga harus diajarkan,” kata Sang Dewi dengan semangat. Sang Dewi berhenti sejenak. Dilihatnya semua wajah pendengarnya. Nampak semuanya mendengarkan apa yang dikatakan Sang Dewi dengan penuh perhatian. Sang Dewi bangga juga, kata-katanya disimak dengan sungguh-sungguh.  

“Untuk pusat pelatihan Dayeuhluhur, sungai Cijolang, Cikijing dan Citanduy bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis sungai,” kata Sang Dewi melanjutkan. “Untuk pusat pelatihan Baturagung, Sungai Kabunan dan Logawa bisa dijadikan tempat latihan ketrampilan perang berbasis sungai. Sedangkan untuk pusat latihan Kendalisada, bisa memanfaatkan Sungai Ciserayu dan Cingcinggoling.” Sang Dewi kembali diam, memberi kesempatan pada para pendengarnya mencernakkan dengan baik apa yang telah disampaikannya. Para pendengarnya termasuk juga para carik, lurah, ngabehi, rangga, tumenggung dan para punggawa Kadipaten Pasirluhur lainnya. Sang Dewi merasa telah cukup memberikan penjelasan tentang ilmu Perang, kemudian mengakhiri penjelasannya.
“Bagi Kanda, ada sumbangan gagasan Dinda Dewi yang menarik,” kata Kamandaka setelah Sang Dewi selesai memberikan pandangan-pandangannya tentang ilmu perang. “Yaitu, perlunya menjadikan sungai dan lautan sebagai bagian dari basis ketrampilan berperang. Dengan demikian sangat jelas bahwa keterampilan perang yang utuh bukan hanya didasarkan pada kemampuan menguasai daratan saja. Tetapi perlu juga keterampilan untuk menguasai sungai dan lautan. Bisa jadi inilah kelebihan Kerajaan Lautan Nusakambangan.”
“Mereka mampu mengembangkan ilmu perang berbasis daratan dan lautan, karena lingkungan mereka sangat mendukung. Saran Dinda Dewi agar keterampilan perang berbasis sungai diajarkan kepada prajurit-prajurit kita, dimaksudkan untuk bisa mengimbangi dan sekaligus bisa mengungguli keterampilan perang prajurit Nusakambangan.”
“Terima kasih, Dinda Dewi atas sumbangan pemikirannya yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan prajurit-prajurit kita dalam ilmu perang. Jika tidak ada yang menyampaikan keberatan, berarti apa yang disampaikan Dinda Dewi, bisa diterima. Setujui?” tanya Kamandaka. Karena Ki Patih dan Kanjeng Adipati menjawab setuju, maka-semua punggawa yang hadir langsung menyatakan-setuju.
“Sekarang yang terakhir, mari kita dengar bersama pemaparan dari Dinda Dewi lagi tentang formasi perang prajurit gabungan Pasirluhur dan Dayeuhluhur. Formasi perang apa yang sebaiknya dipilih untuk menghadapi Kerajaan Nusakambangan. Silahkan, Dinda Dewi,” kata Kamandaka mempersilahkan kepada Sang Dewi untuk berbicara kembali.
“Dinda Wirapati?“ Sang Dewi berpaling kepada Wirapati menawarkan untuk berbicara lebih dulu. Tetapi Wirapati menggelengkan kepalanya, suatu tanda dia mempersilahkan Sang Dewi saja yang berbicara soal formasi perang yang akan digelar menghadapi Nusakambangan.
“Tidak mungkin Nusakambangan menggelar formasi perang Gilinganrata,” kata Sang Dewi mulai memberi penjelasan, “Karena apa? Jika Nusakambangan menggelar formasi Gilinganrata, berarti Nusakambangan menantang perang Pasirluhur. Berdasarkan syarat-syarat penerimaan lamaran pasukan Nusakambangan, hanya akan mengawal calon mempelai putra. Karena itu paling banter Nusakambangan akan menggelar formasi Diratameta, yakni formasi berbentuk gajah sebagaimana yang telah dijelaskan Dinda Wirapati. Dengan formasi perang Diratameta Nusakambangan bermaksud untuk bisa mengelabui Kadipaten Pasirluhur, seakan-akan pasukan Nusakambangan memang tidak membawa senjata.”
“Padahal jika situasi menjadi genting, formasi Diratameta dengan mudah akan berubah menjadi formasi gajah mengamuk dengan mengeluarkan senjata yang dengan rapih disembunyikannya. Karena itu, kita harus hati-hati dan waspada. Jangan terkecoh dengan penyamaran mereka. Formasi yang harus dipilih oleh prajurit gabungan Pasirluhur-Dayeuhluhur yang paling tepat dan sesuai dengan medan yang dikuasai oleh prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur, menurut aku adalah formasi  Sumpitudang. Formasi Garudamelayang dan Bulansabit, kurang cocok dengan medan pertempuran yang ada.”
“Dengan formasi Sumpitudang, ada  tiga jalur jalan simpang empat yang dikuasai prajurit Pasirluhur-Dayeuhluhur, yakni jalur dari arah barat,  arah timur, dan  arah utara. Ke tiga jalur itu  sangat cocok untuk menggelar formasi Sumpitudang. Jalur arah barat dari Dayeuhluhur, ditempati pasukan di bawah komando Dinda Wirapati yang berfungsi sebagai sumpit kanan udang. Jalur dari arah timur dari Rawalo, ditempati pasukan di bawah komando Dimas Arya Baribin yang bertindak sebagai sumpit kiri udang. Jalur dari arah utara ditempati pasukan Dinda Silihwarna yang berfungsi sebagai kepala dan badan udang. Jika pasukan sumpit udang kanan, kiri dan kepala-badan udang bergerak secara serentak dan terus menerus, pasukan Sumpitudang akan menjelma jadi udang raksasa yang akan dengan mudah menaklukan pasukan formasi Gajah Nusakambangan yang akan datang dari jalur selatan.”
“Kuncinya, pasukan kepala udang yang dikomandani Dinda Silihwarna jangan terkecoh gerak-gerik pasukan Gajah Nusakambangan. Bisa saja pasukan Gajah pura-pura mundur ke arah selatan. Jika itu terjadi, jangan sampai pasukan kepala udang bernafsu mengejar masuk ke jalur selatan. Jika hal ini dilakukan, dapat dipastikan pasukan kepala udang akan repot menghadapi pasukan gajah. Dinda Silihwarna selaku panglima pasukan kepala udang akan sangat berat menghadapi tiga panglima perang pasukan Gajah, yakni Patih Puletembini, Tumenggung Surajaladri, dan Rangga Singalaut, sebagaimana yang telah dijelaskan Dinda Wirapati tadi. Lagi pula, jika Dinda Silihwarna sampai terjebak karena bernafsu hendak mengejar pasukan Gajah dengan masuk jalur selatan, praktis pasukan sumpit kanan yang ada di jalur barat dan pasukan sumpit kiri yang ada di jalur timur, akan terkunci dan tidak dapat berbuat banyak.”(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar